• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Limbah Cair Industri Tahu

Dalam Proses pembuatan tahu selain menghasilkan tahu juga menghasilkan

produk sampingan yaitu limbah padat dan limbah cair, namun dalam hal ini

limbah cair lebih memiliki potensi yang besar untuk mencemari lingkungan.

Gambar 2.2 menunjukkan diagram neraca massa proses pembuatan tahu

Teknologi Energi Bahan baku/Input

Manusia

Ternak

Limbah

Gambar 2.2 : Diagram Neraca Massa Pembuatan Tahu

(Sumber : BPPT, 1997a dikutip dari Pohan, 2008) Kedelai 60 kg Air 2700 kg Tahu 80 kg Ampas Tahu 70 kg Whey 2610 kg

Berdasarkan Neraca Masa pembuatan tahu, bahan baku berupa kedelai

dengan bantuan air sebagai bahan penolong, akan menghasilkan tahu dan hasil

sampingan berupa limbah padat dan limbah cair tahu. Ampas tahu dapat

dimanfaatkan sebagai bahan makanan ternak, ikan serta oncom sedangkan limbah

cair belum dapat dimanfaatkan kecuali diolah secara teknis sehingga tidak

menimbulkan pencemaran lingkungan.

Jumlah limbah cair tahu yang dihasilkan cukup banyak pada proses

pembuatan tahu, berdasarkan diagram neraca massa pembuatan tahu dijelaskan

dengan menggunakan Bahan baku berupa 60 kg kedelai dan air 2700 kg maka

akan dihasilkan 80 kg tahu, 70 kg ampas tahu dan 2610 kg air limbah.

2.2.1 Karakteristik Limbah Cair Industri Tahu

Secara umum karakterisitik air buangan dikelompokkan menjadi 3 (tiga)

bagian yaitu karakterisitik fisik, kimia, dan biologis. Namun untuk air buangan

industri tahu karakterisitik penting yang perlu diperhatikan adalah karakteristik

fisika dan kimia. (Pohan, 2008).

a. Karakteristik Fisik

Penentuan derajat kekotoran air limbah sangat di pengaruhi oleh adanya

sifat fisik yang mudah terlihat. Adapaun karakterisitik fisik yang penting pada

limbah cair tahu adalah kandungan padatan tersuspensi yang berdampak pada

efek estetika, kekeruhan, bau , warna dan suhu.

b. Karakteristik Kimia

Adapun bahan kimia penting yang terdapat di dalam limbah cair tahu pada

b.1 Bahan Organik

Bahan – bahan organik yang terdapat pada limbah cair tahu pada

umumnya sangat tinggi berupa protein 40% - 60%, karbohidrat

25% - 50% dan lemak 10% (Nurhasan dan Pramudyanto, 1987).

b.2 Bahan Anorganik

Dalam proses pembuatan tahu digunakan beberapa zat - zat kimia

sebagai bahan tambahan untuk membantu proses pembuatannya.

Penggunaan bahan kimia seperti batu tahu (CaSO4 nH2O) atau

asam asetat sebagai koagulan tahu juga menyebabkan limbah cair tahu

mengandung ion – ion logam yaitu kalsium dan sulfat. Kuswardani

(1985) melaporkan bahwa Ca dalam bahan penggumpal batu tahu

sebanyak 34, 03 ml/l sementara pada asam suka (asam asetat )

sebanyak 0,04 ml/l.

2.2.2 Parameter Limbah Cair Industri

Menurut Eckenfelder (1989) parameter yang digunakan untuk menunjukkan

karakteristik air buangan industri adalah :

a. Parameter Fisika, seperti kekeruhan, suhu, zat padat, bau dan lain – lain.

b. Parameter Kimia

b.1 Kimia Organik : Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), Total Suspended Solid (TSS), Dissolved Oxygen (DO), Minyak atau lemak, Nitrogen Total (N-Total) dan lain – lain.

b.2 Kimia Anorganik : pH, Ca, Pb, Fe, Ca, Na, Sulfur, H2S, dan lain –

lain.

Menurut Husin (2008) beberapa Parameter yang paling penting untuk

menunjukkan karakterisitk limbah cair tahu adalah Total Suspended Solid (TSS),

Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), Nitrogen – Total dan Derajat Keasaman (pH).

2.2.3 Total Padatan Tersuspensi (Total Suspended Solid)

Padatan Tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak

terlarut, dan tidak dapat mengendap langsung. Padatan tersuspensi terdiri dari

partikel–partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil dari pada sedimen,

misalnya tanah liat, bahan – bahan organik tertentu, sel – sel mikroorganisme, dan

sebagainya. Sebagai contoh, air permukaan mengandung tanah liat dalam bentuk

suspensi yang dapat tahan sampai berbulan – bulan, kecuali jika keseimbangannya

terganggu oleh zat – zat lain sehingga mengakibatkan terjadi penggumpalan,

kemudian diikuti dengan pengendapan. Air buangan industri mengandung jumlah

padatan tersuspensi dalam jumlah yang sangat bervariasi tergantung dari jenis

industrinya. Air buangan dari industri – industri makanan, terutama industri

fermentasi, dan industri tekstil sering mengandung padatan tersuspensi dalam

jumlah relatif tinggi. Jumlah padatan tersuspensi di dalam air dapat diukur

menggunakan alat turbidimeter. Seperti halnya padatan terendap, padatan

tersuspensi akan mengurangi penetrasi sinar/cahaya ke dalam air sehingga

2.2.4 Kebutuhan Oksigen Biologis (Biochemical Oxygen Demand / BOD)

BOD (Biochemical Oxygen Demand) menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk memecah atau mengoksidasi

bahan-bahan buangan di dalam air. Jadi nilai BOD tidak menunjukkan jumlah bahan-bahan

buangan yang sebenarnya, tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah oksigen

yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan – bahan buangan yang membutuhkan

oksigen tinggi. Air dengan nilai BOD yang tinggi menunjukkan jumlah pencemar

yang tinggi, terutama pencemar yang disebabkan oleh bahan organik. Nilai BOD

berbanding lurus dengan jumlah bahan organik di perairan. Semakin tinggi jumlah

bahan organik diperairan semakin besar pula nilai BOD, sebab kebutuhan oksigen

untuk menguraikan bahan organik semakin tinggi. Organisme hidup yang bersifat

aerobik membutuhkan oksigen untuk beberapa reaksi biokimia, yaitu untuk

mengoksidasi bahan organik, sintesis sel, dan oksidasi sel.

Konsumsi oksigen dapat diketahui dengan mengoksidasi air pada suhu 200

C selama 5 hari, dan nilai BOD yang menunjukkan jumlah oksigen yang

dikonsumsi dapat diketahui dengan menghitung selisih konsentrasi oksigen

terlarut sebelum dan sesudah inkubasi. Pengukuran selama 5 hari pada suhu 200 C

ini hanya menghitung sebanyak 68 persen bahan organik yang teroksidasi, tetapi

suhu dan waktu yang digunakan tersebut merupakan standar uji karena

mengoksidasi bahan organik seluruhnya secara sempurna diperlukan waktu yang

Uji BOD mempunyai beberapa kelemahan, di antaranya adalah :

1) Dalam uji BOD ikut terhitung oksigen yang dikonsumsi oleh bahan –

bahan anorganik atau bahan – bahan tereduksi lainnya yang disebut juga

“intermediete oxygen demand”.

2) Uji BOD memerlukan waktu yang cukup lama yaitu minimal lima hari.

3) Uji BOD yang dilakukan selama 5 hari masih belum dapat menunjukkan

nilai BOD total melainkan hanya kira – kira 68 persen dari total BOD.

4) Uji BOD tergantung dari adanya senyawa penghambat di dalam air

tersebut, misalnya adanya germisida seperti klorin dapat menghambat

pertumbuhan mikroorganisme yang dibutuhkan untuk merombak bahan

organik, sehingga hasil uji BOD menjadi kurang teliti.

Air yang hampir murni mempunyai nilai BOD kira – kira 1 ppm dan air

yang mempunyai nilai BOD 3 ppm masih dianggap cukup murni, tetapi

kemurniaan air diragukan jika nilai BODnya mencapai 5 ppm atau lebih. Bahan

buangan industri pengolahan pangan seperti industri pengalengan, industri susu,

industri gula, dan sebagainya, mempunyai nilai BOD yang bervariasi, yaitu mulai

100 ppm sampai 10.000 ppm, oleh karena itu harus mengalami penanganan atau

pengenceran yang tinggi sekali pada saat pembuangan ke badan air di sekitarnya

seperti sungai atau laut, yaitu untuk mencegah terjadinya penurunan konsentrasi

oksigen terlarut dengan cepat di dalam badan air tempat pembuangan bahan –

bahan tersebut. Masalah yang timbul adalah apabila konsentrasi terlarut

Sebagai akibat menurunnya oksigen terlarut di dalam air adalah

menurunnya kehidupan hewan dan tanaman air. Hal ini disebabkan karena

makhluk – makhluk hidup tersebut banyak yang mati atau melakukan migrasi ke

tempat lain yang konsentrasi oksigennya masih cukup tinggi. Jika konsentrasi

oksigen terlarut sudah terlalu rendah, maka mikroorganisme aerobik tidak dapat

hidup dan berkembang biak, tetapi sebaliknya mikroorganisme yang bersifat

anaerobik karena tidak adanya oksigen. Senyawa – senyawa hasil pemecahan

anaerobik akan menghasilkan bau yang menyengat, oleh karena itu perubahan

badan air dari kondisi aerobik menjadi anaerobik tidak dikehendaki (Fardiaz,

1992).

2.2.5 Kebutuhan Oksigen Kimiawi (Chemical Oxygen Demand / COD)

COD (Chemical Oxygen Demand) merupakan suatu uji yang lebih cepat dibandingkan dengan uji BOD, yaitu berdasarkan reaksi kimia dari suatu bahan

oksidan. Uji COD adalah suatu uji yang menentukan jumlah oksigen yang

dibutuhkan oleh bahan oksidan misalnya kalium dikromat, untuk mengoksidasi

bahan – bahan organik yang terdapat dalam air.

Uji COD biasanya menghasilkan nilai kebutuhan oksigen yang lebih tinggi

daripada uji BOD karena bahan – bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan

mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dalam uji COD. Sebagai contoh, selulosa

sering tidak terukur melalui uji BOD karena sukar dioksidasi melalui reaksi

biokimia, tetapi dapat terukur melalui uji COD. Sembilan puluh enam persen hasil

uji COD yang dilakukan selama 10 menit kira–kira akan setara dengan hasil uji

BOD selama 5 hari. Adanya senyawa khlor selain mengganggu uji BOD juga

dikhromat. Cara pencegahannya adalah dengan menambahkan merkuri sulfat yang

akan memmbentuk senyawa kompleks dengan khlor. Jumlah merkuri yang

ditambahkan harus kira – kira sepuluh kali jumlah khlor di dalam contoh.

(Fardiaz, 1992).

2.2.6 Derajat Keasaman (pH)

pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan tingkat

keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. Nilai ph air yang

normal adalah 6,5 – 7,5 sedangkan pH air yang tercemar seperti air limbah

berbeda – beda tergantung pada jenis limbahnya. Perubahan keasaman pada air

limbah, baik ke arah alkali atau basa (pH naik) maupun ke arah basa (pH turun)

dapat mengganggu kehidupan ikan dan hewan air (Kristanto, 2002). Perubahan

pH pada air limbah menunjukkan bahwa telah terjadi aktivitas mikroba yang

mengubah bahan organik mudah terurai menjadi asam. Air limbah industri tahu

sifatnya cenderung asam pada keadaan asam ini akan terlepas zat – zat yang

mudah menguap . hal ini akan mengakibatkan limbah cair industri mengeluarkan

bau busuk (BPPT, 1997a). Umumnya indikator sederhana yang digunakan untuk

mengukur pH adalah kertas lakmus yang berubah menjadi merah bila

keasamannya tinggi dan biru bila keasamannya rendah. Selain menggunakan

kertas lakmus, indikator asam basa dapat diukur dengan pH meter yang bekerja

berdasarkan prinsip elektrolit suatu larutan.

Dokumen terkait