PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAHU SECARA BIOFILTRASI DENGAN MENGGUNAKAN ENCENG GONDOK(Eichornia crassipes)
DI DESA MARINDALKECAMATAN PATUMBAK KABUPATEN DELI SERDANG
TAHUN 2012
SKRIPSI
OLEH :
NIM. 071000043
REZEKI PUTRI RAUDHAH
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAHU SECARA BIOFILTRASI DENGAN MENGGUNAKAN ENCENG GONDOK(Eichornia crassipes)
DI DESA MARINDALKECAMATAN PATUMBAK KABUPATEN DELI SERDANG
TAHUN 2012
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh :
NIM. 071000043
REZEKI PUTRI RAUDHAH
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi Dengan Judul
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAHU SECARA BIOFILTRASI DENGAN MENGGUNAKAN ENCENG GONDOK(Eichornia crassipes)
DI DESA MARINDALKECAMATAN PATUMBAK KABUPATEN DELI SERDANG
TAHUN 2012
Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh :
NIM. 071000043
REZEKI PUTRI RAUDHAH
Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 16 Juli 2012 dan
Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima
Tim Penguji
Ketua Penguji Penguji I
Ir. Indra Chahaya S, MSi
NIP. 196811011993032005 NIP. 195804041987021001
Dr. Surya Dharma, MPH
Penguji II Penguji III
NIP. 196501091994032002 NIP. 197803312003121001
Prof. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, MSdr. Taufik Ashar, MKM
Medan, Juli2012
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Dekan,
ABSTRAK
Enceng Gondok(Eichornia crassipes) merupakan gulma air yang hidup mengapung bebas dipermukaan air dan berakar di dasar kolam atau rawa jika airnya dangkal. Beberapa hal yang menguntungkan dari gulma air ini adalah kemampuannya untuk mengolah air buangan domestic dengan tingkat efisiensi yang tinggi. Tahu merupakan bagian dari salah satu makanan yang tingkat konsumsinya terus meningkat, pembuatan tahu ini sebagian besar banyak dilakukan di industri – industri kecil yang tidak memilki unit pengolahan limbah sehingga menimbulkan pencemaran air. Limbah tahu termasuk limbah organik sehingga perlu dilakukan penelitian tentang pengolahan limbah cair tahu secara biofiltrasi dengan menggunakan enceng gondok.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya penurunan dan perbedaan Parameter Limbah Cair Tahu yaitu TSS, pH, BOD, dan COD setelah diberi perlakuan biofiltrasi dengan menggunakan enceng gondok.
Jenis penelitian adalah Eksperimen murni dengan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial 4 x 3, dimana perlakuan variasi enceng gondok menutupi luas permukaan bak terdiri atas 4 taraf yaitu A(0%), B(25%), C(50%) dan D (75%). Perlakuan waktu (T) sebagai faktor kedua terdiri atas 3 taraf yaitu T1 (hari ketiga), T2 (Hari keenam), T3 (Hari kesembilan). Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Data dianalisis menggunakan uji anova two ways.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Limbah Cair Industri tahu di Desa Marindal Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang melebihi baku mutu KEPMENLH No. 51/MENLH/10/1995, nilai rata – rata TSS, BOD, COD dan pH berturut – turut adalah 1064 mg/l, 58,01 mg/l, 161,1 mg/l dan 4,7. Setelah dilakukan Perlakuan, variasi enceng gondok yang paling besar dalam menurunkan kandungan TSS pada limbah cair tahu yaitu variasi 50% selama 3 hari dengan penurunan sebesar 88,06%, pada BOD yaitu variasi 75% selama 9 hari dengan penurunan sebesar 49,23%, pada CODyaitu variasi 75% selama 9 hari dengan penurunan sebesar 49,22 % dan pada pH yaitu variasi 25% dan 75% selama 9 hari dengan peningkatan sebesar 32,86%. Perlakuan diatas sudah berada dibawah baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri. Selain itu hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan / penurunan tingkat pencemaran limbah cair tahu pada parameter TSS, BOD, COD, dan pH dengan perlakuan biofiltrasi menggunakan enceng gondok.
Berdasarkan penelitian dapat diketahui bahwa enceng gondok mampu menurunkan parameter – parameter limbah cair tahu sesuai dengan lama waktu dan variasi enceng gondok menutupi luas permukaan bak.
ABSTRACT
Water hyacinth (Eichornia crassipes) is one of water weeds which floats on the water surface and rooted in the bottom of ponds or swamps when the water is shallow. One of benefits from this water weeds is it’s ability to treat domestic waste water with high efficiency level.Tofu is one of food which it’s compsution level keep rising every year. The tofu making process is mostly done in small industries which have not the waste water treatment unit that cause water pollution. Tofu waste water is considered of organic waste water, so it is necessary to do research about the tofu waste water treatment biofiltration by using water hyacinth.
The purpose of this study is to know the reduction and difference of tofu waste water parameters after subjected biofiltration treatment by using water hyacinth. The parameters are TSS, pH, BOD and COD.
The type of this research is pure experiment whichused Completely Randomized Design (CRD) with 4 x 3 factorial. The treatment variations (N) of water hyacinths covered the tub surface area consists of 4 stages, they are A (0%), B (25%), C (50%) and D (75%). The treatment time (T) as the second factor are consist of 3 stages, T1 (third day), T2 (sixth day), and T3 (ninth day) . each treatment repeated 3 times. Data was analyzed used two ways anova test.
The Result of Research indicated that tofu waste water in Marindal District, Patumbak Subdistrict, Deli Serdang Regency stated exceedthe quality standard KEPMENLH No. 51/MENLH/10/1995. The average values of TSS, BOD, COD and pH consecutive are 1064 mg / l, 58,01 mg / l, 161,1 mg / l and 4,7. After subjected experiment, the greatest treatment variation of water hyacinth to reduce TSS content in the tofu waste water was in 50% variation for three days with reduction percentage up to 88,06%. BOD was in 75% variation for nine days with reduction percentage up to 49,23%, COD was in 75% variation for nine days with reduction pesentage up to 49,22%. And pH was in 25% and 75% variation for nine days with enhancement percentage up to 32,86%. The treatment above had under the effluent quality standards for industrial activities. Besides, the result of analyse of variance indicated there was the differences / reduction for the parameters (TSS, BOD, COD and pH ) with biofiltration treatment by using water hyacinth.
Based on the research can be seen that water hyacinth can reduce parameter value of tofu waste water based on treatment time and water hyacinth covered the tub surface.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Rezeki Putri Raudhah
Tempat/ Tanggal Lahir : Medan, 07 Juli 1989
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Anak Ke : 3 dari 3 bersaudara
Status Perkawinan : Belum menikah
Alamat : Jl. Prof. HM Yamin Gg Langgar Batu No.
2 Medan
Riwayat Pendidikan :
SD Negeri No. 060852 Medan 1996 - 2001
SLTP Negeri 12 Medan 2001 - 2004
SMU Swasta Eria 2004 - 2007
Fakultas Kesehatan Masyarakat USU 2007 - 2012
Riwayat Organisasi
1. Anggota Departemen Bidang Kekaryaan dan Pengembangan Profesi
Himpunan Mahasiswa Islam FKM USU Periode 2008 – 2009
2. Wakil Sekretaris Jenderal Dinas Advokasi dan Pengabdian Masyarakat
PEMA FKM USU Periode 2010 - 2011
3. Wakil Sekretaris Pergerakan Anggota Muda IAKMI (PAMI) SUMUT
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segenap rasa syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena limpahan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul:
“Pengolahan Limbah Cair Tahu secara Biofiltrasi dengan Menggunakan Enceng Gondok (Eichornia crassipes) di Desa Marindal Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012”.
Skripsi ini penulis persembahkan bagi ibunda Yusnizar Lubis dan Ayahanda Suburman yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh kasih sayang dan tidak henti – hentinya memberikan dukungan,nasehat dan doa pada penulis.
Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Ir.Evi Naria, Mkes, selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan FKM USU.
3. Ibu Ir. Indra Chahaya, Msi,selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan dan dukungan moril yang luar biasasehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
4. Bapak dr. Surya Dharma, MPH, selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan sumbangan pikiran dengan keikhlasan kepada penulis dalam menyempurnakan skripsi ini.
5. Ibu Prof. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, MS dan Bapak dr. Taufik Ashar, MKM yang telah memberikan saran dalam penyempurnaan skripsi ini.
6. Dr. Ir Evawany Yunita Aritonang, Mkes, selaku Dosen Penasihat Akademik. 7. Para dosen dan pegawai Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara.
8. Noviandi, S.Si dan Panji Wibowo Hasyim, S.Si, yang telah membimbing di laboratorium.
9. Ibu, ayah, abang terutama kakak tersayang Putri Sara yang telah memberikan doa tanpa kenal waktu, semangat, dukungan moril dan materil.
10.Tante – tanteku tersayang Roslely Lbs, Nur Indah Hati Lbs, SE, Dra. Siti Rohani Lbs, dan Dra. Fauziana Lbs.
11.Paman yang luar biasa Drs. Richaldun Syah Lubis. Oc dan kakanda ku Arif Maulana, SH.
12.Sahabat - sahabat FKM tersayang Grace Sirait , Juni, Apri, Lia, Yulinda, Addlinsyah dan Putra Apriadi, teman – teman mulai dari proses Kurikulum Berbasis Kompetensi (Fiani dan Vivi Nurhamidah), Peminatan Kesling, Praktek Belajar Lapangan (Kak Dila, Riris, Anggi, Vera, Yuni, Dewi), Latihan Kerja Peminatan (Grace Silaban, Shanty, Rina, dan Eriama).
13.Seven Girls Crew (Vidya, Hafni, Saufina, Dewi dan Riri) terimakasih atas doa, bantuan dan semangat yang telah diberikan kepada penulis.
14.Senior ku tersayang Sri Junita, SKM dan Sri Wahyuni Saleh, Spd.
16.Semua Pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan.
Penulis menyadari skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan sehingga membutuhkan kritik dan saran yang membangun. Walaupun demikian Semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan penelitian selanjutnya.
Medan, Juli 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Daftar Lampiran ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
2.2.1. Karaketristik Limbah Cair Industri Tahu ... 15
2.2.2. Parameter Limbah Cair Industri ... 16
2.3.2. Gangguan terhadap Kehidupan Biotik ... 24
2.3.3. Gangguan terhadap Keindahan ... 25
2.4.2. Pengolahan Limbah Cair Berdasarkan Sifat Limbah Cair ... 31
3.4. Variabel – Variabel Penelitian ... 45
3.5. Defenisi Operasional ... 46
3.6. Metode Pengumpulan Data ... 48
3.7. Alat dan Bahan ... 48
3.8. Lama Kontak Perlakuan dan Total Sampel ... 51
3.9. Prosedur Kerja ... 51
4.1. Gambaran Umum Industri Tahu di Desa Marindal... 58
4.2. Hasil Pemeriksaan Parameter Tingkat Pencemaran Limbah Cair Industri Tahu di Desa Marindal ... 58
4.3.1. Penurunan Tingkat Pencemaran Limbah Cair Industri Tahu untuk Parameter TSS (Total Suspended Solid) dengan Perlakuan BiofiltrasiMenggunakan Enceng Gondok
(Eichornia crassipes) ... 60 4.3.2. Penurunan Tingkat Pencemaran Limbah Cair Industri Tahu
untuk Parameter pH dengan Perlakuan Biofiltrasi
Menggunakan Enceng Gondok (Eichornia Crassipes)... 62 4.3.3. Penurunan Tingkat Pencemaran Limbah Cair Industri Tahu
untuk Parameter BOD (Biochemical Oxygen Demand) dengan Perlakuan Biofiltrasi Menggunakan EncengGondok (Eichornia crassipes) ... 65 4.3.4. Penurunan Tingkat Pencemaran Limbah Cair Industri Tahu
untuk Parameter COD (Chemical Oxygen Demand) dengan Perlakuan Biofiltrasi Menggunakan Enceng Gondok
(Eichornia crassipes) ... 67 4.4. Analisa Statistik PerbedaanTingkat Pencemaran Limbah Cair
Industri Tahu pada Parameter TSS, pH, BOD dan COD dengan Perlakuan BiofiltrasiMenggunakan Enceng Gondok
(Eichhornia crassipes) ... 70
BAB V PEMBAHASAN ... 74
5.1. Hasil Pemeriksaan Parameter Total Padatan Tersuspensi (TSS), Derajat Keasaman (pH), Kebutuhan Oksigen Biologis (BOD),dan Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) Industri Tahu
di Desa MarindalKecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang ... 74
5.2. Penurunan/Perbedaan Parameter TSS pada Pengolahan Limbah Cair Tahu dengan Perlakuan Biofiltrasi Menggunakan
Enceng Gondok (Eichornia Crassipes)... 75 5.3. Penurunan/Perbedaan Parameter pH pada Pengolahan Limbah
Cair Tahu dengan Perlakuan Biofiltrasi Menggunakan
Cair Tahu dengan Perlakuan Biofiltrasi Menggunakan
Enceng Gondok (Eichornia Crassipes)... 80
5.5 Penurunan/Perbedaan Parameter COD pada Pengolahan Limbah Cair Tahu dengan Perlakuan Biofiltrasi Menggunakan Enceng Gondok (Eichornia Crassipes)... 82
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 86
6.1. Kesimpulan... 86
6.2. Saran ... 87
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Analisis Perkiraan Kebutuhan Air Pada Pengolahan Tahu
Dari3KgKedelai ... 9
Tabel 3.1 Rancangan Perlakuan Enceng Gondok pada Limbah Cair Tahu ... 44
Tabel 3.2. Lama Kontak Perlakuan dan Total Sampel ... 51
Tabel 4.1. Hasil ParameterLimbah Cair Industri Tahu Sebelum Pengolahan di DesaMarindal Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012 ... 58
Tabel 4.2. Hasil Parameter TSS (Total Suspended Solid) pada Limbah Cair Tahu denganPerlakuan Enceng Gondok (Eichornia crassipes) ... 59 Tabel 4.3. Hasil Parameter pH pada Limbah Cair Tahu dengan Perlakuan
Enceng Gondok(Eichornia crassipes) ... 62 Tabel 4.4. Hasil Parameter BOD pada Limbah Cair Tahu dengan Perlakuan
Enceng Gondok (Eichornia Crassipes)... 64 Tabel 4.5. Hasil Parameter COD pada Limbah Cair Tahu dengan Perlakuan
Enceng Gondok (Eichornia crassipes) ... 67 Tabel 4.6. Hasil Analisis Sidik Ragam Penurunan Tingkat Pencemaran
Limbah Cair Industri Tahu pada Parameter TSS secara Biofiltrasi dengan Menggunakan Enceng Gondok (Eichornia
Crassipes) ... 69 Tabel 4.7. Hasil Analisis Sidik Ragam Penurunan Tingkat Pencemaran
Limbah Cair Industri Tahu pada Parameter pH secara Biofiltrasi dengan Menggunakan Enceng Gondok (Eichornia Crassipes) ... 70 Tabel 4.8. Hasil Analisis Sidik Ragam Penurunan Tingkat Pencemaran
Limbah Cair Industri Tahu pada Parameter BOD secara Biofiltrasi dengan Menggunakan Enceng Gondok (Eichornia
Crassipes) ... 71 Tabel 4.9. Hasil Analisis Sidik Ragam Penurunan Tingkat Pencemaran
Limbah Cair Industri Tahu pada Parameter COD secara Biofiltrasi dengan Menggunakan Enceng Gondok (Eichornia
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1. Diagram Proses Pembuatan Tahu ... 13
Gambar 2.2. Diagram Neraca Massa Pembuatan Tahu ... 14
Gambar 4.1. Perbandingan Penurunan Parameter TSS (Total Suspended
Solid) pada Limbah Cair Tahu ...61 Gambar 4.2. Perbandingan Peningkatan Parameter pH pada Limbah Cair
Tahu... 63
Gambar 4.3. Perbandingan Penurunan Parameter BOD pada Limbah Cair Tahu... 66
Gambar 4.4. Perbandingan Penurunan Parameter COD pada Limbah
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Penelitian ... 1
Lampiran 2. Surat Keterangan Selesai Penelitian... 2
Lampiran 3. Laporan Hasil Uji Limbah Cair Tahu ... 3
Lampiran 4. Perhitungan Penurunan Parameter Limbah Cair Tahu dengan
Perlakuan Biofiltrasi dengan Menggunakan Enceng Gondok ... 7
Lampiran 5. Perhitungan Statistik Perbedaan Limbah Cair Tahu dengan
Perlakuan Biofiltrasi Menggunakan Enceng Gondok ... 10
Lampiran 6. Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri ... 25
ABSTRAK
Enceng Gondok(Eichornia crassipes) merupakan gulma air yang hidup mengapung bebas dipermukaan air dan berakar di dasar kolam atau rawa jika airnya dangkal. Beberapa hal yang menguntungkan dari gulma air ini adalah kemampuannya untuk mengolah air buangan domestic dengan tingkat efisiensi yang tinggi. Tahu merupakan bagian dari salah satu makanan yang tingkat konsumsinya terus meningkat, pembuatan tahu ini sebagian besar banyak dilakukan di industri – industri kecil yang tidak memilki unit pengolahan limbah sehingga menimbulkan pencemaran air. Limbah tahu termasuk limbah organik sehingga perlu dilakukan penelitian tentang pengolahan limbah cair tahu secara biofiltrasi dengan menggunakan enceng gondok.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya penurunan dan perbedaan Parameter Limbah Cair Tahu yaitu TSS, pH, BOD, dan COD setelah diberi perlakuan biofiltrasi dengan menggunakan enceng gondok.
Jenis penelitian adalah Eksperimen murni dengan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial 4 x 3, dimana perlakuan variasi enceng gondok menutupi luas permukaan bak terdiri atas 4 taraf yaitu A(0%), B(25%), C(50%) dan D (75%). Perlakuan waktu (T) sebagai faktor kedua terdiri atas 3 taraf yaitu T1 (hari ketiga), T2 (Hari keenam), T3 (Hari kesembilan). Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Data dianalisis menggunakan uji anova two ways.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Limbah Cair Industri tahu di Desa Marindal Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang melebihi baku mutu KEPMENLH No. 51/MENLH/10/1995, nilai rata – rata TSS, BOD, COD dan pH berturut – turut adalah 1064 mg/l, 58,01 mg/l, 161,1 mg/l dan 4,7. Setelah dilakukan Perlakuan, variasi enceng gondok yang paling besar dalam menurunkan kandungan TSS pada limbah cair tahu yaitu variasi 50% selama 3 hari dengan penurunan sebesar 88,06%, pada BOD yaitu variasi 75% selama 9 hari dengan penurunan sebesar 49,23%, pada CODyaitu variasi 75% selama 9 hari dengan penurunan sebesar 49,22 % dan pada pH yaitu variasi 25% dan 75% selama 9 hari dengan peningkatan sebesar 32,86%. Perlakuan diatas sudah berada dibawah baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri. Selain itu hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan / penurunan tingkat pencemaran limbah cair tahu pada parameter TSS, BOD, COD, dan pH dengan perlakuan biofiltrasi menggunakan enceng gondok.
Berdasarkan penelitian dapat diketahui bahwa enceng gondok mampu menurunkan parameter – parameter limbah cair tahu sesuai dengan lama waktu dan variasi enceng gondok menutupi luas permukaan bak.
ABSTRACT
Water hyacinth (Eichornia crassipes) is one of water weeds which floats on the water surface and rooted in the bottom of ponds or swamps when the water is shallow. One of benefits from this water weeds is it’s ability to treat domestic waste water with high efficiency level.Tofu is one of food which it’s compsution level keep rising every year. The tofu making process is mostly done in small industries which have not the waste water treatment unit that cause water pollution. Tofu waste water is considered of organic waste water, so it is necessary to do research about the tofu waste water treatment biofiltration by using water hyacinth.
The purpose of this study is to know the reduction and difference of tofu waste water parameters after subjected biofiltration treatment by using water hyacinth. The parameters are TSS, pH, BOD and COD.
The type of this research is pure experiment whichused Completely Randomized Design (CRD) with 4 x 3 factorial. The treatment variations (N) of water hyacinths covered the tub surface area consists of 4 stages, they are A (0%), B (25%), C (50%) and D (75%). The treatment time (T) as the second factor are consist of 3 stages, T1 (third day), T2 (sixth day), and T3 (ninth day) . each treatment repeated 3 times. Data was analyzed used two ways anova test.
The Result of Research indicated that tofu waste water in Marindal District, Patumbak Subdistrict, Deli Serdang Regency stated exceedthe quality standard KEPMENLH No. 51/MENLH/10/1995. The average values of TSS, BOD, COD and pH consecutive are 1064 mg / l, 58,01 mg / l, 161,1 mg / l and 4,7. After subjected experiment, the greatest treatment variation of water hyacinth to reduce TSS content in the tofu waste water was in 50% variation for three days with reduction percentage up to 88,06%. BOD was in 75% variation for nine days with reduction percentage up to 49,23%, COD was in 75% variation for nine days with reduction pesentage up to 49,22%. And pH was in 25% and 75% variation for nine days with enhancement percentage up to 32,86%. The treatment above had under the effluent quality standards for industrial activities. Besides, the result of analyse of variance indicated there was the differences / reduction for the parameters (TSS, BOD, COD and pH ) with biofiltration treatment by using water hyacinth.
Based on the research can be seen that water hyacinth can reduce parameter value of tofu waste water based on treatment time and water hyacinth covered the tub surface.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Tahu merupakan salah satu bagian dari makanan yang banyak dikonsumsi
oleh masyarakat Indonesia, rasanya yang enak ketika disajikan dalam bentuk
apapun, bergizi tinggi serta harga yang ekonomis menjadikan konsumsi tahu oleh
masyarakat Indonesia terus meningkat.Hingga kini tingkatkonsumsi kedelai
nasional sebagai bahan baku tahu mencapai 1,8 sampai dengan 2,2 juta ton
per/tahun.Tingkat konsumsi kedelai dari tahun 2002 hingga tahun 2007 terus
mengalami peningkatan. Peningkatan konsumsi yang terjadi setiap tahunnya
sebesar 3,70 persen. Tingkat konsumsi yang tertinggi terjadi pada tahun 2007
sebanyak 2868 ton.(Badan Pusat Statistik, 2008).
Tahu adalah makanan padat yang dicetak dari sari kedelai dengan proses
pengendapan protein pada titik isoelektriknya, yaitu suatu kondisi dimana telah
terbentuk gumpalan (padatan) protein yang sempurna pada suhu 500 C dan cairan
telah terpisah dari padatan protein tanpa atau dengan penambahan zat lain yang
diizinkan antara lain, bahan pengawet dan bahan pewarna (Hartati, 1994). Proses
Pembuatan tahu pada dasarnya sederhana dan mudah sehingga banyak dilakukan
di industri – industri kecil rumah tangga, protein-nabati dari bahan baku berupa
kedelai diekstrasi secara fisika dan digumpalkan dengan koagulan asam cuka
(CH3COOH) dan batu tahu (CaSO4 nH2O) (Santoso, 1993). Tiap tahap proses
pembuatannya pada umumnya menggunakan air sebagai bahan pembantu dalam
jumlah yang relatif banyak. Menurut Nuraida (1985), untuk tiap 1 kg bahan baku
kedelai dibutuhkan rata – rata 45 liter air dan akan dihasilkan limbah cair berupa
terpisah dari tahu pada tahap proses penggumpalan dan penyaringan, whey
mengandung bahan – bahan organik berupa protein 40% - 60%, karbohidrat 25%
- 50%, dan lemak 10%. Sumber limbah cair lainnya berasal dari proses sortasi dan
pembersihan, pengelupasan kulit, pencucian peralatan proses dan lantai. Apabila
limbah cair tersebut dibuang tanpa diolah terlebih dahulu maka mempunyai
potensi untuk mengganggu kesehatan lingkungan khususnya ekosistem air dan
estetika, hal ini disebabkan oleh sifat limbah tersebut.
Suatu hasil studi tentang karakteristik air buangan industri tahu di Medan
(Bappeda Medan, 1993), dilaporkan bahwa air buangan industri tahu rata-rata
mengandung BOD (Kebutuhan Oksigen Biologis), COD (Kebutuhan Oksigen
Kimiawi), TSS (Total Padatan Tersuspensi) dan Minyak/Lemak berturut-turut
sebesar 4583, 7050, 4743 dan 2 mg/L. Sementara EMDI (Enviromental Management Development in Indonesia)-Bapedal (1994) melaporkan kandungan rata-rata BOD, COD dan TSS berturut-turut sebesar 3250, 6520 dan 1500 mg/l.
Apabila dilihat dari baku mutu menurut KepMenLH No.
Kep-51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan
Industri,kadar maksimum yang diperbolehkan untuk BOD5, COD dan TSS
berturut-turut adalah 50, 100 dan 200 mg/L, sehingga jelas bahwa limbah cair
industri tahu telah melampaui baku mutu yang dipersyaratkan.
Sebagian besar pembuatan tahu dikelola oleh industri kecil rumah tangga
yang tidak memilki pengolahan limbah cair tahu secara khusus, sebagian besar
pengusaha yang bergerak dalam industri tahu adalah orang-orang yang hanya
ekonomi bagi mereka.banyak industri tahu yang tidak mengolah limbahnya sama
sekali dan langsung dibuang ke selokan domestik ataupun ke sungai.
Besarnya volume limbah cairyang dihasilkan melebihi daya dukung
lingkungan akan menyebabkan berbagai macam masalah. Dampak negatif yang
mungkin ditimbulkan adalah pencemaran air seperti meningkatnya kekeruhan air,
salinitas air, bau busuk, bahkan penyakit seperti water borne desease dan water washed desease. apabila air sungai tersebut dimanfaatkan oleh manusia.Bagaimanapun kondisinya tidak dapat dipungkiri bahwa limbah cair
tahu harus dikelola terlebih dahulu sebelum di buang ke selokan ataupun sungai.
Berbagai macam pengolahan limbah cair dapat dilakukan berdasarkan sifat
limbah cair, baik secara fisika, kimia, biologi ataupun kombinasi dari ketiga cara
tersebut. Pengolahan limbah cair secara biologi dapat dilakukan dengan proses
biofiltrasi yaitu pengolahan limbah cair dengan menggunakan jasad hidup berupa
mikroorganisme ataupun tumbuhan air. Menurut Ritmann dan McCarty yang
dikutip oleh Husin (2008), mikroorganisme yang digunakan untuk pengolahan
limbah cair adalah bakteri, algae dan protozoa, sedangkan tumbuhan air yang
mungkin dapat digunakan seperti enceng gondok, kayu apu, kangkung, Azolla pinata dan sebagainya.
Enceng gondok (Eichornia crassipes) merupakan salah satu jenis gulma air yang berperan dalam proses biofiltrasi. Walaupun enceng gondok dianggap
sebagai gulma di perairan, tetapi gulma air tersebut berperan dalam menangkap
polutan logam berat. Rangkaian penelitian seputar kemampuan enceng gondok
oleh peneliti Indonesia antara lain oleh Widyanto dan Susilo (1977) yang
kadmium (Cd), merkuri (Hg), dan nikel (Ni), masing- masing sebesar 1,35 mg/g,
1,77 mg/g, dan 1,16 mg/g bila logam itu tidak bercampur. Enceng gondok juga
menyerap Cd 1,23 mg/g, Hg 1,88 mg/g dan Ni 0,35 mg/g berat kering apabila
logam-logam itu berada dalam keadaan tercampur dengan logam lain. Lubis dan
Sofyan (1986) menyimpulkan logam chrom (Cr) dapat diserap oleh Enceng
gondok secara maksimal pada pH 7. Dalam penelitiannya, logam Cr semula
berkadar 15 ppm turun hingga 51,85 persen. Selain berperan dalam menurunkan
polutan logam berat, enceng gondok juga mampu menurunkan limbah organik,
penelitian yang dilakukan oleh Jauhari, Wiryanto dan Setyono (2002) tentang
Penggunaan Enceng Gondok dalam penurunan tingkat pencemar limbah cair
Industri Tapioka, disimpulkan bahwa Enceng Gondok mampu mereduksi BOD,
COD, TSS, dan Kandungan Sianida di dalam limbah cair tapioka dengan
perlakuan efektif selama 8 hari.
Menurut Fardiaz (1992), Enceng gondok mampu mensuplai oksigen ke
dalam air limbah melalui akar dan menambah jumlah oksigen terlarut dalam air
limbah sehingga akan memacu kerja mikroorganisme dalam menguraikan
senyawa-senyawa pencemar.
Berdasarkan Laporan proyek Environmental Management Development in Indonesiaatau EMDI (Bapedal, 1994), pada tahun 1990 jumlah industri tahu di Indonesia tercatat sebanyak 25.870 dan 63 diantaranya merupakan industri skala
besar dan menengah sedangkan sisanya berskala kecil yang pada umumnya tidak
memiliki unit pengolahan limbah cair tahu.
Industri tahu di Desa Marindal merupakan salah satu industri tahu berskala
langsung di buang ke selokan yang bermuara ke kanal yang berada di daerah
tersebut. Keadaan ini disebabkan karena kurangnya kepedulian para pengrajin
tahu akan dampak negatif yang ditimbulkan oleh limbah cair tahu tersebut
disamping tingkat ekonomi yang masih rendah sehingga pengolahan limbah akan
menjadi beban ekonomi yang cukup berat bagi mereka.
Melihat kondisi tersebut maka dibutuhkan suatu alternatif pengolahan
limbah cair tahu yang ekonomis bagi para pengrajin tahu. Menurut zen (1992)
dalam suatu Pengendalian pencemaran harus merupakanproses penggunaan
material berulang kaliatau menggunakan proses alamiah yang tidakberbahaya.
Tujuan jangka panjang pengendalianpencemaran adalah mengurangi
ketergantungan pada teknologi dan kembali ke mekanismeekosfera yang bersifat alamiah, amanuntuk jangka panjang. Maka pengolahan limbah cair tahu secara
biofiltrasi dengan menggunakan enceng gondok diharapkan dapat dijadikan
sebagai alternatif pengolahan limbah cair tahu yang bermanfaat, mudah dan
murah.
Berdasarkan Uraian di atas penulis tertarik melakukan penelitian tentang
pengolahan limbah cair tahu secara biofiltrasi dengan menggunakan enceng
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang tersebut, maka penulis mencoba menerapkan
metode pengolahan limbah cair tahu secara biofiltrasi dengan menggunakan
enceng gondok di Desa Marindal Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui Kemampuan Enceng gondok sebagai biofilter untuk
mengolahlimbah cair tahu.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui kandungan BOD, COD, Total Suspended Solid (TSS) dan pH padalimbah cair tahu sebelum dilakukan pengolahan dengan menggunakan
enceng gondok.
2. Mengetahui kandungan BOD, COD, Total Suspended Solid (TSS) dan pH pada limbah cair tahu dengan variasi enceng gondok 0%, 25%, 50% dan
75% menutupi luas permukaan bak.
3. Mengetahui adanyaperbedaan variasi enceng gondok dan lama waktu
dalam menurunkan kadar BOD,COD,Total Suspended Solid (TSS) dan pH pada limbah cair tahu di Desa Marindal Kecamatan Patumbak Kabupaten
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan informasi dan pertimbangan bagi pengrajin tahu untuk
mengolah limbah cair tahu secara biofiltrasi dengan menggunakan enceng
gondok sebagai unit pengolahan limbah cair tahu yang bermanfaat, mudah
dan murah sehingga tidak mencemari badan air penerima.
2. Meningkatkan pemanfaatan enceng gondok sebagai biofilter yang murah
dan mudah diperoleh, sehingga dapat menjadi suatu unit pengolahan
limbah cair tahu.
3. Sebagai pedoman bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian
mengenai metode pengolahan limbah cair secara biofiltrasidimasa yang
akan datang.
4. Sebagai proses belajar bagi penulis dalam mengimplementasikan berbagai
teori yang telah diperoleh di bangku perkuliahan selama proses belajar di
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara (USU)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Proses Pembuatan Tahu
Tahumerupakan makanan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat
indonesia, rasanya yang enak, harganya yangrelatif murah dan kandungan
proteinnya yang tinggi menjadikan tahu melekat sebagai julukanmakanan
rakyat.Bahanbakupembuatan tahu berupa kacang kedelai menjadi salah satu
alternatif sumber protein selain daging,ikan,dantelur.Satu kilogram kedelai
menurut Kastyanto (1998) mengandungProtein300 - 400 gram (40%),
Karbohidrat200 - 350 gram (35%) dan Lemak150 - 200 gram (20%). Tingkat
Konsumsi kedelai dari tahun 2002 hingga tahun 2007 terus mengalami
peningkatan. Peningkatan konsumsi yang terjadi setiap tahunnya sebesar 3,70
persen. Tingkat konsumsi yang tertinggi terjadi pada tahun 2007 sebanyak 2868
ton. (BPS, 2008). Lebih dari separuh konsumsi kedelai digunakan untuk bahan
baku pembuatan tahu. (Herlambang dan Said, 2001)
Prinsippembuatan tahu adalah mengekstrak protein kedelai melalui
penggilingan bijikedelai menggunakan air. Protein-nabati dalam bahan
bakudiekstrasi secara fisika dan digumpalkan dengan koagulan asam cuka
(CH3COOH) dan batu tahu (CaSO4 nH2O) (Santoso, 1993). Tiap tahapan proses
umumnya menggunakan air sebagai bahan pembantu dalam jumlah yang relatif
Tabel 2.1.Analisis Perkiraan Kebutuhan Air Pada Pengolahan Tahu Dari 3KgKedelai
NO TAHAP PENGOLAHAN KEBUTUHANAIR (LITER)
1 Pencucian 10
2 Perendaman 12
3 Penggilingan 3
4 Pemasakan 30
5 Pencucian Ampas 50
Jumlah 135
Sumber : Nuraida yang dikutip dari Perangin - angin, 2005.
Dari tabel 2.1, dapat dilihat bahwa kebutuhan air pada pembuatan tahu
dari 3 kg kedelai paling banyak terdapat pada tahap pengolahan pencucian ampas
yaitu 50 liter dan penggunaan air yang paling sedikit yaitu pada tahap
penggilingan.
Berikut ini merupakan tahap - tahap yang dilakukan dalam proses pembuatan
tahu :
a.Pemilihan Kedelai
Untuk menghasilkan tahu yang berkualitas, maka kedelai yang merupakan
bahan baku pembuatan tahu harus berkualitas baik pula. Untuk membuat tahu,
kedelai putih ( kuning ) harus bersih, biji-bijinya besar, kulitnya halus dan bebas
dari kerikil atau campuran lain – lain.
b. Perendaman Kedelai
Setelah pemilihan kedelai selesai, kedelai tersebut dicuci dan direndam
dalam bak air selama 6 – 7 jam, agar cukup empuk untuk digiling. Bak terbuat
dari semen, seperti bak air kamar mandi dan harus tersedia cukup banyak air.
Selama direndam, kedelai akan menjadi mekar dan kulitnya dapat dengan mudah
c. Penggilingan Kedelai
Kedelai yang telah cukup empuk kemudian dipindah kedalam tong kayu
yang diletakkan di dekat batu penggiling agar mudah dan cepat mengambil
kedelainya. Dengan menggunakan gayung atau sendok besar, kedelai rendaman
itu sedikit demi sedikit dimasukkan ke dalam lubang bagian atas batu gilingan
yang terus berputar. Karena batu gilingan bagian atas terus berputar cepat, kedelai
yang masuk kedalamnya tergiling sampai halus, hingga menjadi bubur. Bubur
putih itu mengalir dengan sendirinya kedalam tong penampung.
d. Perebusan bubur kedelai
Proses selanjutnya adalah perebusan bubur kedelai. Untuk merebus
digunakan wajan dengan ukuran yang besar. Karena bubur kedelai tersebut masih
kental, maka untuk merebusnya perlu ditambah air. Ukurannya satu takaran bubur
kedelai dicampur satu takaran air panas. Api tungku atau kompor tidak boleh
terlampau kecil. Harus dijaga agar api tetap besar sehingga bubur cepat mendidih.
Bubur yang dipanasi itu membusa seluruhnya. Busanya naik makin lama
bertambah tinggi. Agar busa tidak tumpah, bubur diaduk-aduk sehingga busa
kembali turun. boleh juga ditambahkan air panas sedikit–sedikit. Tidak beberapa
lama kemudian bubur tersebut membusa kembali dan diaduk kembali agar busa
menurun. Setelah bubur membusa dua kali, maka bubur diangkat dari wajan.
Perlu diperhatikan jika bubur direbus terlalu lama, maka tahu yang akan
e. Penyaringan bubur
Bubur yang masih mendidih segera diturunkan dan disaring, untuk
menyaringnya digunakan kain belacu atau mori kasar yang telah diletakkan pada
sangkar bambu. Sangkar bambu diletakkan sedemikian rupa agar kuat menahan
bubur panas yang dituangkan pada saringan tersebut. Jika dalam proses
penyaringan tidak lagi mengandung sari tahu pada bubur kedelai ditandai dengan
warna yang menjadi bening, maka ampas tahu dapat dibuang. Penyaringan ini
dilakukan berkali – kali hingga bubur kedelai habis.
f. Pengendapan Air tahu
Cairan dari proses penyaringan tadi merupakan cairan yang nantinya akan
menjadi tahu. Untuk menghasilkan tahu, cairan tersebut harus dicampuri dengan
asam cuka. Agar tahu yang dihasilkan tidak menjadi asam, maka harus
diperhitungkan sedemikian rupa ukuran pencampur asam cuka (1 asam cuka
untuk dicampurkan dengan lebih kurang 36 liter air). Jika dalam campuran
tersebut telah timbul jonjot ( gumpalan putih ), biarkan hingga dingin dan
gumpalan tersebut pun mengendap.
g. Pencetakan
Gumpalan putih yang sudah mengendap lalu dicetak menjadi tahu. Alat
cetak yang digunakan biasanya dibuat dari kayu berbentuk kotak persegi.
Sebelum endapan tahu dituangkan ke dalam kotak, sebagai alasnya dihamparkan
kain belacu lalu kotak diisi dengan gumpalan tahu hingga penuh, kemudian
diletakkan papan penutup kotak yang besarnya persis sama dengan kotak itu agar
dapat menekan adonan tahu bila dipasang pada meja pengempaan. Pengempaan
pengempa yang mampu menekan tutup kotak sedemikian rupa hingga air yang
masih tercampur dalam adonan terperas habis. Pengempaan ini dilakukan selama
kurang lebih satu menit lalu dibuka sehingga menjadi padat dan tercetak sesuai
ukurannya. Ada juga yang dipotong – potong dengan ukuran 5 x 5 cm (ukuran
umum ) setelah tahu dikempa terlebih dulu.
(sumber : Kastyanto dikutip dari Parangin-angin, 2005)
Adapun Proses pembuatan tahu serta air limbah yang dihasilkan dari tiap
Kedelai
Air untuk pencucian Air Limbah
Kedelai Bersih
Air untuk perendaman Air
Limbah
Kedelai Rendaman
Bubur kedelai
Air
Ampas Tahu
Susu Kedelai
Campuran padatan tahu dan Cairan
AirLimbah
Gambar 2.1 : Diagram Proses Pembuatan tahu
(Sumber : BPPT, 1997a dikutip dari Pohan, 2008) Pencucian
Perendaman
Ditiriskan kemudian digiling dengan ditambah air
Perebusan
Disaring
Ditambahkan Larutan Pengendap (asam cuka) Sedikit demi sedikit sambil diaduk pelan.
Pembuangan cairan
Pencetakan
Dari proses pembuatan tahu diatas, dihasilkan limbah tahu berupa ampas
dan limbah cair. Limbah cair sebagian besar bersumber dari cairan kental yang
terpisah dari gumpalan tahu pada tahap proses penggumpalan dan penyaringan
yang disebut air dadih atau whey. Sumber limbah cair lainnya berasal dari proses sortasi dan pembersihan, pengupasan kulit, pencucian, penyaringan, pencucian
peralatan proses, dan lantai(Pohan, 2008).
2.2. Limbah Cair Industri Tahu
Dalam Proses pembuatan tahu selain menghasilkan tahu juga menghasilkan
produk sampingan yaitu limbah padat dan limbah cair, namun dalam hal ini
limbah cair lebih memiliki potensi yang besar untuk mencemari lingkungan.
Gambar 2.2 menunjukkan diagram neraca massa proses pembuatan tahu
Teknologi Energi Bahan baku/Input
Manusia
Ternak
Limbah
Gambar 2.2 : Diagram Neraca Massa Pembuatan Tahu
(Sumber : BPPT, 1997a dikutip dari Pohan, 2008) Kedelai 60 kg
Air 2700 kg Tahu 80 kg
Ampas Tahu 70 kg
Berdasarkan Neraca Masa pembuatan tahu, bahan baku berupa kedelai
dengan bantuan air sebagai bahan penolong, akan menghasilkan tahu dan hasil
sampingan berupa limbah padat dan limbah cair tahu. Ampas tahu dapat
dimanfaatkan sebagai bahan makanan ternak, ikan serta oncom sedangkan limbah
cair belum dapat dimanfaatkan kecuali diolah secara teknis sehingga tidak
menimbulkan pencemaran lingkungan.
Jumlah limbah cair tahu yang dihasilkan cukup banyak pada proses
pembuatan tahu, berdasarkan diagram neraca massa pembuatan tahu dijelaskan
dengan menggunakan Bahan baku berupa 60 kg kedelai dan air 2700 kg maka
akan dihasilkan 80 kg tahu, 70 kg ampas tahu dan 2610 kg air limbah.
2.2.1 Karakteristik Limbah Cair Industri Tahu
Secara umum karakterisitik air buangan dikelompokkan menjadi 3 (tiga)
bagian yaitu karakterisitik fisik, kimia, dan biologis. Namun untuk air buangan
industri tahu karakterisitik penting yang perlu diperhatikan adalah karakteristik
fisika dan kimia. (Pohan, 2008).
a. Karakteristik Fisik
Penentuan derajat kekotoran air limbah sangat di pengaruhi oleh adanya
sifat fisik yang mudah terlihat. Adapaun karakterisitik fisik yang penting pada
limbah cair tahu adalah kandungan padatan tersuspensi yang berdampak pada
efek estetika, kekeruhan, bau , warna dan suhu.
b. Karakteristik Kimia
Adapun bahan kimia penting yang terdapat di dalam limbah cair tahu pada
b.1 Bahan Organik
Bahan – bahan organik yang terdapat pada limbah cair tahu pada
umumnya sangat tinggi berupa protein 40% - 60%, karbohidrat
25% - 50% dan lemak 10% (Nurhasan dan Pramudyanto, 1987).
b.2 Bahan Anorganik
Dalam proses pembuatan tahu digunakan beberapa zat - zat kimia
sebagai bahan tambahan untuk membantu proses pembuatannya.
Penggunaan bahan kimia seperti batu tahu (CaSO4 nH2O) atau
asam asetat sebagai koagulan tahu juga menyebabkan limbah cair tahu
mengandung ion – ion logam yaitu kalsium dan sulfat. Kuswardani
(1985) melaporkan bahwa Ca dalam bahan penggumpal batu tahu
sebanyak 34, 03 ml/l sementara pada asam suka (asam asetat )
sebanyak 0,04 ml/l.
2.2.2 Parameter Limbah Cair Industri
Menurut Eckenfelder (1989) parameter yang digunakan untuk menunjukkan
karakteristik air buangan industri adalah :
a. Parameter Fisika, seperti kekeruhan, suhu, zat padat, bau dan lain – lain.
b. Parameter Kimia
b.2 Kimia Anorganik : pH, Ca, Pb, Fe, Ca, Na, Sulfur, H2S, dan lain –
lain.
Menurut Husin (2008) beberapa Parameter yang paling penting untuk
menunjukkan karakterisitk limbah cair tahu adalah Total Suspended Solid (TSS),
Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), Nitrogen – Total dan Derajat Keasaman (pH).
2.2.3 Total Padatan Tersuspensi (Total Suspended Solid)
Padatan Tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak
terlarut, dan tidak dapat mengendap langsung. Padatan tersuspensi terdiri dari
partikel–partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil dari pada sedimen,
misalnya tanah liat, bahan – bahan organik tertentu, sel – sel mikroorganisme, dan
sebagainya. Sebagai contoh, air permukaan mengandung tanah liat dalam bentuk
suspensi yang dapat tahan sampai berbulan – bulan, kecuali jika keseimbangannya
terganggu oleh zat – zat lain sehingga mengakibatkan terjadi penggumpalan,
kemudian diikuti dengan pengendapan. Air buangan industri mengandung jumlah
padatan tersuspensi dalam jumlah yang sangat bervariasi tergantung dari jenis
industrinya. Air buangan dari industri – industri makanan, terutama industri
fermentasi, dan industri tekstil sering mengandung padatan tersuspensi dalam
jumlah relatif tinggi. Jumlah padatan tersuspensi di dalam air dapat diukur
menggunakan alat turbidimeter. Seperti halnya padatan terendap, padatan
tersuspensi akan mengurangi penetrasi sinar/cahaya ke dalam air sehingga
2.2.4 Kebutuhan Oksigen Biologis (Biochemical Oxygen Demand / BOD)
BOD (Biochemical Oxygen Demand) menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk memecah atau mengoksidasi
bahan-bahan buangan di dalam air. Jadi nilai BOD tidak menunjukkan jumlah bahan-bahan
buangan yang sebenarnya, tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah oksigen
yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan – bahan buangan yang membutuhkan
oksigen tinggi. Air dengan nilai BOD yang tinggi menunjukkan jumlah pencemar
yang tinggi, terutama pencemar yang disebabkan oleh bahan organik. Nilai BOD
berbanding lurus dengan jumlah bahan organik di perairan. Semakin tinggi jumlah
bahan organik diperairan semakin besar pula nilai BOD, sebab kebutuhan oksigen
untuk menguraikan bahan organik semakin tinggi. Organisme hidup yang bersifat
aerobik membutuhkan oksigen untuk beberapa reaksi biokimia, yaitu untuk
mengoksidasi bahan organik, sintesis sel, dan oksidasi sel.
Konsumsi oksigen dapat diketahui dengan mengoksidasi air pada suhu 200
C selama 5 hari, dan nilai BOD yang menunjukkan jumlah oksigen yang
dikonsumsi dapat diketahui dengan menghitung selisih konsentrasi oksigen
terlarut sebelum dan sesudah inkubasi. Pengukuran selama 5 hari pada suhu 200 C
ini hanya menghitung sebanyak 68 persen bahan organik yang teroksidasi, tetapi
suhu dan waktu yang digunakan tersebut merupakan standar uji karena
mengoksidasi bahan organik seluruhnya secara sempurna diperlukan waktu yang
Uji BOD mempunyai beberapa kelemahan, di antaranya adalah :
1) Dalam uji BOD ikut terhitung oksigen yang dikonsumsi oleh bahan –
bahan anorganik atau bahan – bahan tereduksi lainnya yang disebut juga
“intermediete oxygen demand”.
2) Uji BOD memerlukan waktu yang cukup lama yaitu minimal lima hari.
3) Uji BOD yang dilakukan selama 5 hari masih belum dapat menunjukkan
nilai BOD total melainkan hanya kira – kira 68 persen dari total BOD.
4) Uji BOD tergantung dari adanya senyawa penghambat di dalam air
tersebut, misalnya adanya germisida seperti klorin dapat menghambat
pertumbuhan mikroorganisme yang dibutuhkan untuk merombak bahan
organik, sehingga hasil uji BOD menjadi kurang teliti.
Air yang hampir murni mempunyai nilai BOD kira – kira 1 ppm dan air
yang mempunyai nilai BOD 3 ppm masih dianggap cukup murni, tetapi
kemurniaan air diragukan jika nilai BODnya mencapai 5 ppm atau lebih. Bahan
buangan industri pengolahan pangan seperti industri pengalengan, industri susu,
industri gula, dan sebagainya, mempunyai nilai BOD yang bervariasi, yaitu mulai
100 ppm sampai 10.000 ppm, oleh karena itu harus mengalami penanganan atau
pengenceran yang tinggi sekali pada saat pembuangan ke badan air di sekitarnya
seperti sungai atau laut, yaitu untuk mencegah terjadinya penurunan konsentrasi
oksigen terlarut dengan cepat di dalam badan air tempat pembuangan bahan –
bahan tersebut. Masalah yang timbul adalah apabila konsentrasi terlarut
Sebagai akibat menurunnya oksigen terlarut di dalam air adalah
menurunnya kehidupan hewan dan tanaman air. Hal ini disebabkan karena
makhluk – makhluk hidup tersebut banyak yang mati atau melakukan migrasi ke
tempat lain yang konsentrasi oksigennya masih cukup tinggi. Jika konsentrasi
oksigen terlarut sudah terlalu rendah, maka mikroorganisme aerobik tidak dapat
hidup dan berkembang biak, tetapi sebaliknya mikroorganisme yang bersifat
anaerobik karena tidak adanya oksigen. Senyawa – senyawa hasil pemecahan
anaerobik akan menghasilkan bau yang menyengat, oleh karena itu perubahan
badan air dari kondisi aerobik menjadi anaerobik tidak dikehendaki (Fardiaz,
1992).
2.2.5 Kebutuhan Oksigen Kimiawi (Chemical Oxygen Demand / COD)
COD (Chemical Oxygen Demand) merupakan suatu uji yang lebih cepat dibandingkan dengan uji BOD, yaitu berdasarkan reaksi kimia dari suatu bahan
oksidan. Uji COD adalah suatu uji yang menentukan jumlah oksigen yang
dibutuhkan oleh bahan oksidan misalnya kalium dikromat, untuk mengoksidasi
bahan – bahan organik yang terdapat dalam air.
Uji COD biasanya menghasilkan nilai kebutuhan oksigen yang lebih tinggi
daripada uji BOD karena bahan – bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan
mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dalam uji COD. Sebagai contoh, selulosa
sering tidak terukur melalui uji BOD karena sukar dioksidasi melalui reaksi
biokimia, tetapi dapat terukur melalui uji COD. Sembilan puluh enam persen hasil
uji COD yang dilakukan selama 10 menit kira–kira akan setara dengan hasil uji
BOD selama 5 hari. Adanya senyawa khlor selain mengganggu uji BOD juga
dikhromat. Cara pencegahannya adalah dengan menambahkan merkuri sulfat yang
akan memmbentuk senyawa kompleks dengan khlor. Jumlah merkuri yang
ditambahkan harus kira – kira sepuluh kali jumlah khlor di dalam contoh.
(Fardiaz, 1992).
2.2.6 Derajat Keasaman (pH)
pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan tingkat
keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. Nilai ph air yang
normal adalah 6,5 – 7,5 sedangkan pH air yang tercemar seperti air limbah
berbeda – beda tergantung pada jenis limbahnya. Perubahan keasaman pada air
limbah, baik ke arah alkali atau basa (pH naik) maupun ke arah basa (pH turun)
dapat mengganggu kehidupan ikan dan hewan air (Kristanto, 2002). Perubahan
pH pada air limbah menunjukkan bahwa telah terjadi aktivitas mikroba yang
mengubah bahan organik mudah terurai menjadi asam. Air limbah industri tahu
sifatnya cenderung asam pada keadaan asam ini akan terlepas zat – zat yang
mudah menguap . hal ini akan mengakibatkan limbah cair industri mengeluarkan
bau busuk (BPPT, 1997a). Umumnya indikator sederhana yang digunakan untuk
mengukur pH adalah kertas lakmus yang berubah menjadi merah bila
keasamannya tinggi dan biru bila keasamannya rendah. Selain menggunakan
kertas lakmus, indikator asam basa dapat diukur dengan pH meter yang bekerja
berdasarkan prinsip elektrolit suatu larutan.
2.3 Dampak Limbah Cair Industri Tahu
Pembuangan air limbah secara langsung ke lingkungan menjadi
penyebabutama terjadinya pencemaran air.Indikator bahwa air lingkungan telah
1. Adanya perubahan suhu air.
2. Adanya perubahan pH.
3. Adanya perubahan warna, rasa, dan bau air.
4. Timbulnya endapan, kolodial, dan bahan terlarut.
5. Adanya mikroorganisme.
6. Meningkatnya radioaktivitas air lingkungan.
Air limbah yang tidak diolah terlebih dahulu dapat menyebabkan
gangguan terhadap kesehatan, gangguan terhadap kehidupan biotik, gangguan
terhadap keindahan dan menyebabkan kerusakan benda (Sugiharto, 1987).Adapun
gangguan – gangguan yang diakibatkan oleh limbah cair tahu adalah :
2.3.1 Gangguan terhadap Kesehatan
Limbah cair industri tahu termasuk ke dalam kelompok bahan buangan
olahan makanan yang mengandung bahan – bahan organik. Oleh karena bahan
buangan ini mengandung protein dan gugus aminmaka pada saat didegradasi oleh
mikroorganisme akan terurai menjadi senyawa yang mudah menguap dan berbau
busuk.
Air Lingkungan yang mengandung bahan buangan olahan bahan makanan
merupakan tempat yang subur untuk berkembang biaknya mikroorganisme
termasuk mikroba patogen.mikroba patogen yang berkembang biak dalam air
tercemar menimbulkan berbagai penyakit dan semuanya merupakan penyakit
yang dapat menular dengan mudah apabila air yang tercemar tersebut
dimanfaatkan oleh manusia.Jenis – jenis mikroba patogen penyebab penyakit
1. Virus
a) Rotavirus adalah penyebab penyakit diare, terutama pada anak –
anak.
b) Virus hepatitis A menyebabkan penyakit hepatitis A, air sungai
yang telah tercemar virus bisa mengakibatkan wabah apabila
penduduk menggunakan air tersebut untuk keperluan hidupnya.
c) Virus Polliomyelitis menyebabkan penyakit Polliomyelitis yang sering menyerang anak – anak dan menyebabkan kelumpuhan.
2. Bakteri
a) Vibrio cholera menyebabkan penyakit cholera (kolera) yang menyerang usus halus kemudian dapat mengakibatkan kematian
dalam waktu singkat.
b) Escherichia coli menyebabkan penyakit diare/dysentri.
c) Salmonella spp menyebabkan keracunan makanan dan jenis bakteri terdapat pada air pengolahan.
d) Shigella spp menyebabkan penyakit dysentri bacsillair dan terdapat pada air yang tercemar. Adapun cara penularannya melalui
kontak langsung dengan kotoran manusia maupun perantara
makanan, lalat, dan tanah.
3. Protozoa
4. Metazoa
a) Ascaris lumbricoides menyebabkan penyakit cacingan (cacing gelang) yang menyerang orang di segala usia, terutama pada anak
– anak.
b) Schistosoma spp menyebabkan penyakit schistosomiasis, akan tetapi dapat dimatikan pada saat melewati pengolahan air limbah.
c) Taenia sppmenyebabkan penyakit cacing pita, dengan kondisi yang sangat tahan terhadap cuaca.
Selainitu,bahan anorganik yang juga terdapat padalimbahcairtahudapat
menimbulkan berbagai macam gangguan kesehatan jika air tersebut dimanfaatkan
oleh manusia, seperti keracunan bahan – bahan kimia, penyakit kulit, penyakit
rongga mulut dan dapat menyebabkan kanker jika terakumulasi secara terus
menerus.
(Wardhana, 2001).
2.3.2 Gangguan terhadap kehidupan biotik.
Air limbah tahu mengandung bahan buangan organik yang tinggi sehingga
menyebabkan turunnya kadar oksigen yang terlarut. Kekeruhan yang disebabkan
oleh air limbah tahu mengurangi penetrasi cahaya matahari ke badan air
sehinggga proses fotosintesis yang menghasilkan oksigen pun terganggu. Oksigen
sebagai sumber kehidupan bagi makhluk air (hewan dan tumbuh – tumbuhan)
tidak dapat terpenuhi, ikan – ikan dan bakteri tidak mampu bertahan hidup dan
mengakibatkan kerusakan pada tanaman atau tumbuhan air. Sebagai akibat
selanjutnya, limbah cair tersebut akan sulit diuraikan dan merusak keseimbangan
2.3.3 Gangguan terhadap keindahan
Kandungan zat organik dalam limbah cair tahu mengalami pembusukan
sehingga akan menimbulkan bau yang tidak sedap. Kandungan padatan
tersuspensi menyebabkan air mengalami perubahan warna menjadi keruh atau
warna lain sesuai cemaran. Hal ini menimbulkan gangguan pemandangan.
Selain, ketiga hal tersebut menurut Wardhana (2001), air yang tercemar oleh
limbah industri menyebabkan air menjadi tidak bermanfaat lagi, hal ini
merupakan kerugian yang terasa secara langsung oleh manusia. Bentuk kerugian
langsung ini antara lain :
1. Air tidak dapat digunakan kembali untuk keperluan rumah tangga
Air yang telah tercemar dan kemudian tidak dapat digunakan lagi sebagai
penunjang kehidupan manusia, terutama untuk keperluan rumah tangga,
kondisi ini akan menimbulkan dampak sosial yang sangat luas dan butuh
waktu yang lama untuk memulihkannya. Sementara air yang dibutuhkan
untuk keperluan rumah tangga sangat banyak, seperti kebutuhan air untuk
minum, memasak, mandi, mencuci, dan lain sebagaianya.
2. Air tidak dapat digunakan untuk keperluan industri
Air yang tercemar tidak dapat digunakan kembali untuk menunjang
keperluan industri,proses industri menjadi terganggu dengan demikian usaha
untuk meningkatkan kehidupan manusia pun sulit untuk tercapai.
3. Air tidak dapat digunakan untuk keperluan pertanian
Air tidak dapat digunakan lagi sebagai irigasi, untuk pengairan di
persawahan dan kolam perikananan, karena adanya senyawa – senyawa
bersifat terlalu basa atau terlalu asam akan mematikan tanaman dan hewan
air.
2.4 Pengolahan Limbah Cair
Tujuan utama pengolahan limbah cair adalah mengurangi kandungan
Biochemical Oxygen Demand (BOD), Suspended Solids (SS), dan organisme patogen ( Klei& Sundstorm, 1997). Selain tujuan di atas, pengolahan limbah cair
dibutuhkan untuk menghilangkan kandungan nutrien, bahan kimia beracun,
senyawa yang tidak dapat diuraikan secara biologis (non biodegrable), dan padatan terlarut.
2.4.1 Pengolahan Limbah Cair Berdasarkan Tingkatan perlakuan
Berdasarkan Tingkatan Perlakuannya, proses pengolahan limbah cair umumnya
dibagi mejadi empat kelompok (Soeparman, Soeparmin, 2002) yaitu :
1. Pengolahan pendahuluan
Pengolahan pendahuluan digunakan untuk memisahkan padatan kasar,
mengurangi ukuran padatan, memisahkan minyak atau lemak, dan proses
menyetarakan fluktuasi aliran limbah pada bak penampung. Unit yang
terdapat dalam pengolahan pendahuluan adalah :
a) Saringan (bar Screen /bar racks) untuk menghilangkan padatan kasar b)Pencacah (comminutor) untuk memotong padatan tersaring.
c)Bak penangkap pasir (grit chamber) untuk mengendapkan partikel padat yang terkandung dalam air buangan.
e)Bak penyetaraan (equalization basin) untuk meredam fluktuasi sehingga menjadi stabil.
2. Pengolahan tahap pertama
Pengolahantahappertama bertujuan untuk mengendapkan
partikelyang terdapat dalam efluen pengolahan pendahuluan, sehingga
pengolahan tahap pertama sering disebut proses sedimentasi. Pada proses
ini limbah cair mengalir ke dalam tangki ataupun ke bak pengendap
dengan kecepatan aliran sekitar 0,9 cm/ detik sehingga padatan akan
mengendap di dasar tangki secara gravitasi. Akibatnya, limbah cair
menjadi lebih jernih.
Oleh karena proses ini menyebabkan limbah cair menjadi jernih,
maka tangki pengendapan ini disebut Clafirier. Karena hal ini terjadi pada bak pengendap awal, maka disebut dengan “Primary Clarifier”. Dibagian dasar tangki atau bak pengendap ini akan dihasilkan lumpur proses
sedimentasi. Tahap selanjutnya, lumpur yang terkumpul dipompa atau
dipindahkan secara manual ke unit pengolahan lumpur.
Efisiensi tangki sedimentasi dalam pengurangan kandungan BOD
maupun SS bergantung pada beban permukaan maupun waktu penahanan
yang dilakukan .Dalam tangki dengan waktu penahanan 2 jam,
diperkirakan 60% padatan tersuspensi (SS) dari limbah cair yang masuk
mengendap dalam tangki.Pengendapan ini mengakibatkan berkurangnya
kandungan BOD sebesar ± 30%.Jumlah BOD yang dapat dikurangi
terendap. Bagian air yang jernih di permukaan tangki selanjutnya
mengalir keluar melewati alat ukur debit menuju pengolahan tahap kedua.
3. Pengolahan tahap kedua
Pengolahan tahap kedua disebut juga pengolahan secara biologis
(Biological Treatment) karena pada tahap ini memanfaatkan mikroorganisme untuk menguraikan limbah cair dalam bentuk bahan
organik terlarut menjadi produk yang lebih sederhana dan partikel yang
dapat mengendap. Produk yang dihasilkan disebut lumpur aktif.
Proses pengolahan ini merupakan tahapan penting dalam rangkaian
proses pengolahan limbah cair. Hal ini disebabkan pada tahap inilah
terjadi reduksi zat organik yang sesungguhnya. Efluen dari tahap ini
seharusnya dibuang ke badan air penerima sesuai dengan kelas badan air
tersebut. Jika efluen dari pengolahan tahap kedua akan dimanfaatkan
kembali atau badan air penerima menuntut persyaratan yang ketat, maka
diperlukan pengolahan tahap ketiga. Selain itu, pada pengolahan tahap
kedua ini, proses desinfeksi diperlukan jika kandungan mikroorganisme
dalam efluen tidak memenuhi standar.
Agar diperoleh hasil yang memuaskan dalam proses pengolahan
secara biologis, perlu diperhatikan beberapa faktor sebagai berikut :
a. Konsentrasi mikroorganisme yang tinggi dalam reaktor.
b. Kontak yang cukup antara influen dengan mikroorganisme.
c. Kondisi lingkungan yang sesuai bagi mikroorganisme saat reaksi
berlangsung.
Berdasarkan teknik pengendalian (immobilisasi) mikroorganisme dalam media yang digunakan, pengolahan limbah cair secara biologis dapat
dikelompokkan menjadi suspended growth processes dan attached growth processes.
a. Suspended growth processes
Suspended growth processes adalah proses pengolahan dengan memanfaatkan mikroorganisme pengurai zat organik yang tersuspensi
dalam limbah cair yang diolah. Yang termasuk dalam kelompok ini
antara lain proses lumpur aktif (activated sludge processes) dan kolam stabilisasi /oksidasi (waste stabilization ponds).
1. Pengolahan dengan proses lumpur aktif (activated sludge processes)
Sistem pengolahan lumpur aktif adalah pengolahan dengan cara
membiakkan bakteri aerobik dalam tangki aerasi yangbertujuan
untuk menurunkan organik karbon atau arganik nitrogen. Dalam
penurunan organik karbon, bakteri yang berperan adalah bakteri
heterotropik.Sumber energi berasal dari oksidasi senyawa organik
dan sumber karbon yang berasal dari organik karbon.BOD atau
COD dipakai sebagai ukuran atau satuan yang menyatakan
konsentrasi organik karbon, yang selanjutnya disebut subtrat.
2. Kolam stabilisasi/oksidasi (waste stabilization ponds = oxydation ponds)
kolam oksidasi mirip kolam dangkal yang luas, biasanya berbentuk
proses ini, seluruh limbah cair diolah secara alamiah dengan
melibatkan ganggang hijau, bakteri , dan sinar matahari. Kolam
oksidasi ini dapat digunakan untuk megolah limbah cair yang
berasal dri rumah tangga ataupun kotoran dari kakus.
Kolam ini merupakan cara yang paling ekonomis untuk
pengolahan limbah cair selama luas tanah memungkinkan dan
harganya relatif murah. Keuntungan yang diperoleh dari sistem ini
antara lain pemeliharaanya mudah dan murah.
Bakteri fekal dan bakteri patogen hilang karena kekurangan
makanan atau efek – efek lainnya yang tidak menguntungkan.
Dengan demikian,periodetinggallimbah cair dalam kolam
merupakan faktor yang menentukan walaupun faktor – faktor lainnya,
seperti temperatur, radiasi sinar ultra violet, dan konsentrasi
algae juga memegang peranan.Hasil penelitian menyimpulkan
bahwa kecepatan pengurangan bakteri terutama bergantung pada
temperatur dan algae. Menaikkan kedua hal ini akan meningkatkan
kecepatan pengurangan bakteri fekal. Dengan demikian, kolam
oksidasi merupakan cara yang dianjurkan untuk pegolahanlimbah
cair di negara – negara yang sedang berkembang yang beriklim
tropis, dimana tanah masih cukup memungkinkan.
b. Attached growth processes
Attached growth processesadalah pengolahan yang memanfaatkan mikroorganisme yang menempel pada media yang membentuk lapisan
dengan fix–bed. Influen akan melakukan kontak dengan media ini sehingga terjadi proses biokimia. Akibatnya, bahan organik yang ada
pada limbah cair tersebut dapat diturunkan kandungannya.
4. Pengolahan tahap ketiga atau pengolahan lanjutan
Pengolahan tahap ketiga disebut juga pengolahan lanjutan. Proses
ini disebut pengolahan tahap ketiga karena mengolah efluen dari
pengolahan tahap kedua. Apabila proses ini mengacu pada metode dan
proses pengolahan kontaminan tertentu yang tidak tertangani pada tahap
pengolahan konvensional sebelumnya, maka proses ini disebut pengolahan
lanjutan (Advanced Treatment). Kontaminan tersebut misalnya senyawa fosfat, senyawa nitrogen, dan sebagian berupa padatan tersuspensi (SS).
Proses pengolahan tahap ketiga yang dapat mengurangi kontaminan
tertentu dalam limbah cair antara lain meliputi (Okun & Ponghis, 1975) :
1. Koagulasi dan sedimentasi
2. Absorpsi
3. Elektrodialisis
4. Nitrifikasi dan denitrifikasi
5. Osmosis balik
6. Pertukaran ion
2.4.2 Pengolahan limbah Cair Berdasarkan Sifat Limbah Cair
Berdasarkan sifat limbah cair, proses pengolahan limbah cair dapat
1. Cara Fisika
Cara fisika merupakan metode pemisahan sebagian dari beban pencemaran
khususnya padatan tersuspensi atau koloid dari limbah cair dengan
memanfaatkan gaya – gaya fisika (Eckenfelder, 1989 dan Metcalf dan
Eddy, 2003). Proses yang digunakan adalah filtrasi dan pengendapan
(sedimentasi). Filtrasi atau penyaringan menggunakan media penyaring
terutama untuk menjernihkan dan memisahkan partikel – partikel kasar
dan padatan tersuspensi dari limbah cair. Dalam sedimentasi, flok–flok
padatan dipisahkan dari aliran dengan memanfaatkan gaya gravitasi.
(Husin, 2008)
2. Cara Kimia
Cara kimia merupakan metode penghilangan atau konversi senyawa –
senyawa polutan dalam limbah cair dengan penambahan bahan – bahan
kimia atau reaksi kimia lainnya (Metcalf dan Eddy, 2003). Proses yang
digunakan adalahnetralisasi dan koagulasi. Proses netralisasi biasanya
diterapkan dengan cara penambahan asam atau basa guna menetralisir ion
– ion terlarut dalam limbah cair sehingga memudahkan proses pengolahan
selanjutnya.
Koagulasi pada dasarnya merupakan proses destabilisasi partikel koloid
bermuatan dengan cara penambahan ion – ion berlawanan (koagulan)
dalam koloid, dengan demikian partikel koloid menjadi netral dan dapat
beraglomerasi satu sama lain dengan mikroflok. Selanjutnya mikroflok–
mikroflok yang telah terbentuk dengan dibantu pengadukan lambat
3.Cara Biologi
Cara Biologi dapat menurunkan kadar zat organik dengan memanfaatkan
jasad renik. Pada dasarnya cara biologi adalah pemutusan molekul kompleks
menjadi molekul sederhana. Pengolahan limbah cair secara biologi dapat dilakukan
dengan proses biofiltrasi menggunakan mikroorganisme dan tanaman air sebagai
media penyaring. Mikroorgnisme yang digunakan untuk pengolahan limbah
adalah bakteri, algae, atau protozoa. Sedangkan tumbuhan air yang dapat
digunakan adalah enceng gondok, kayu apu, kayambang, kangkung, Azolla pinata
dan sebagainya. (Husin, 2008).
Proses biofiltrasi memiliki beberapakelebihan diantaranya sangat efektif,
biaya pembuatan kolam biofiltrasi relatif murah,tanaman untuk biofiltrasi cepat
tumbuh dan mudah dipelihara, serta tidak membutuhkanoperator yang memiliki
keahlian khusus (Ulfin, 2001).
2.5 Tinjauan Tentang Enceng Gondok
Enceng Gondok (Eichornia crassipes) adalah salah satu jenis tumbuhan air mengapung. Enceng gondok pertama kali ditemukan secara tidak sengaja oleh
ilmuwan bernama Carl Feredrich Phillip von Murtius seorang ahli botani
berkebangsaan jerman pada tahun 1824 ketika sedang melakukan ekspedisi di
sungai Amazon Brazil. Awalnya Enceng Gondok didatangkan ke Indonesia pada
tahun 1894 dari Brazil untuk koleksi Kebun Raya Bogor. Ternyata dengan cepat
menyebar ke perairan di pulau Jawa. Enceng Gondok memiliki kecepatan tumbuh
yang tinggi sehingga tumbuhan ini dianggap sebagai gulma air yang dapat
merusak lingkungan perairan. Enceng gondok dengan mudah menyebar melauli
justru mendatangkan manfaat lain sebagai biofilter cemaran logam berat, limbah
organik, ataupun limbah anorganik, pupuk, bahan kerajinan, dan pakan ternak.
(Mukti, 2008)
2.5.1 Morfologi Enceng Gondok
Enceng Gondok Hidup mengapung di air dan kadang – kadang berakar
dalam tanah. Tingginya sekitar 0,4 – 0,8 meter, tidak mempunyai batang, daunnya
tunggal dan berbentuk oval. Ujung dan pangkalnya meruncing, pangkal tangkai
daun menggelembung. Permukaan daunnya licin dan berwarna hijau, bunganya
termasuk bunga majemuk, berbentuk bulir, kelopaknya berbentuk tabung, bijinya
berbentuk bulat dan berwarna hitam. Buahnya kotak beruang tiga dan berwarna
hijau. Akarnya merupakan akar serabut.
Enceng gondok dapat hidup mengapung bebas di atas permukaan air dan
berakar di dasar kolam atau rawa jika airnya dangkal.Kemampuan tanaman inilah
yang banyak di gunakan untuk mengolah air buangan, karena dengan aktivitas
tanaman ini mampu mengolah air buangan domestik dengan tingkat efisiensi
yangtinggi. Eceng gondok dapat menurunkan kadar BOD, partikel suspensi secara
biokimiawi (berlangsung agak lambat) dan mampu menyerap logam-logam berat
seperti Cr, Pb, Hg, Cd, Cu, Fe, Mn, Zn dengan baik, kemampuan menyerap logam
persatuan berat kering eceng gondok lebih tinggi pada umur muda dari pada umur
tua (Widianto dan Suselo, 1977).
Adapun bagian-bagian tanaman yang berperan dalam penguraian air