• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : LANDASAN TEORI

B. Limit Fungsi

Pada bahasan setelah ini akan dipaparkan tentang kekontinuan fungsi, oleh karena itu konsep dasar dari kekontinuan fungsi yakni mempelajari limit fungsi terlebih dahulu agar dapat memahami kekontinuan fungsi. Pada bahasan mengenai limit fungsi ini referensi utama diambil dari buku karangan Edwin J Purcell dan Dale Vanberg (1987).

Definisi 2.2

(Pengertian limit secara intuisi). Untuk mengatakan bahwa

lim = berarti bahwa selisih antara ( ) dan dapat dibuat sekecil mungkin dengan mensyaratkan bahwa cukup dekat tetapi tidak sama dengan

.

Membuat definisi persis dengan mengikuti sebuah tradisi panjang dalam memakai huruf Yunani (epsilon) dan (delta) untuk menggantikan bilangan- bilangan kecil positif. Kita bayangkan jika dan sebagai bilangan-bilangan kecil positif.

Definisi 2.3

(Pengertian tentang limit). Mengatakan bahwa lim = berarti bahwa untuk tiap > 0 yang diberikan (betapapun kecilnya), terdapat > 0

yang berpadanan sedemikian sehingga − < asalkan bahwa 0 < − < ; yakni

0 < − < ⇒ − < .

C.Kekontinuan Fungsi

Konsep dasar untuk mempelajari kekontinuan fungsi yaitu limit fungsi. Pada bahasan sebelumnya telah dibahas tentang arti dari limit fungsi yang akan digunakan pada bahasan kekontinuan fungsi berikut ini. Pada bahasan mengenai kekontinuan fungsi ini referensi utama diambil dari buku karangan Edwin J Purcell dan Dale Vanberg (1987). Dalam bahasa yang biasa, kata kontinu digunakan untuk memberikan suatu proses yang berkelanjutan tanpa perubahan yang mendadak. Gagasan tersebut berkenaan dengan fungsi.

lim ( ) = .

Definisi 2.4

Kekontinuan di satu titik adalah bahwa f kontinu di c jika beberapa selang terbuka di sekitar c terkandung dalam daerah asal f dan lim ( ) = . Maksud dari definisi tersebut adalah mensyaratkan tiga hal sebagai berikut

(1) lim ( ) ada,

f Y

(2) ( ) ada (yakni, c berada dalam daerah asal ), dan (3) lim ( ) = .

Jika salah satu dari ketiga fungsi tersebut tidak terpenuhi, maka tak kontinu (diskontinu) di .

Jadi, fungsi yang diwakili oleh kedua grafik di atas tak kontinu di . Tetapi kontinu -titik lain dari daerah asalnya.

D.Turunan Parsial

Pada bahasan mengenai turunan parsial ini referensi utama diambil dari buku karangan Edwin J Purcell dan Dale Vanberg (1987).

Andaikan bahwa f adalah suatu fungsi dua peubah x dan y. Jika y ditahan agar konstan, misalnya = 0, maka ( , 0) menjadi fungsi satu peubah x. Turunannya di = 0disebut turunan parsial f terhadap x di ( 0, 0) dan dinyatakan sebagai ( 0, 0). Jadi,

0, 0 = lim∆ →0 0 +∆ , 0 − ( 0, 0) ∆ . (2.25) f Y C x

lim ( ) ada, tetapi lim ( )≠ . f

Y

C

Demikian pula, turunan parsial f terhadap y di ( 0, 0) dinyatakan oleh ( 0, 0) dan dituliskan sebagai

0, 0 = lim∆ →0 0

, 0+∆ − ( 0, 0)

∆ . (2.26)

Daripada menghitung ( 0, 0) dan ( 0, 0) secara langsung dari definisi (2.25) dan (2.26), secara khas kita mencari ( , ) dan ( , ) dengan menggunakan aturan baku untuk turunan; kemudian kita menyulihkan (mensubtitusikan) = 0 dan = 0.

Contoh 2.6

Carilah (1,2) dan (1,2) jika , = 2 + 3 3.

Solusi

Untuk mencari ( , ) kita anggap y sebagai konstanta dan kita diferensialkan fungsi ini terhadap x didapat

, = 2 + 0. Jadi, 1,2 = 2.1.2 = 4. Demikian pula, , = 2+ 9 2 sehingga 1,2 = 12 + 9. 22 = 37.

Jika z = , , kita gunakan cara penulisan lain.

0, 0 = [� ] 0, 0 , 0, 0 = [ �

� ]( 0, 0).

Contoh 2.7

Jika z = 2sin( 2), cari� � dan � � . Solusi � � = 2 � � sin 2 + sin 2 � � ( 2) = 2cos 2 � � 2 + sin 2 . 2 = 2cos 2 . 2+ 2 sin 2 = 2 2cos⁡( 2) + 2 sin 2 � � = 2cos 2 . 2 = 2 3 cos( 2).

1. Turunan parsial tingkat tinggi

Secara umum, karena turunan parsial suatu fungsi x dan y adalah fungsi lain dari dua peubah yang sama ini, turunan tersebut dapat diturunkan secara parsial terhadap x atau y untuk memperoleh empat buah turunan parsial kedua fungsi :

= � � � � = �2 � 2, = � � � � = �2 � 2, = ( ) � � � � = �2 � � , = ( ) � � � � = �2 � � . Contoh 2.8

, = −sin( ) + 3 2. Solusi , = −1cos( ) + 3 2 2 , = + 2cos( ) + 2 3 , = 12sin + 6 2 , = + 24sin( )−23cos( ) + 2 3 , = − 3sin + 12cos + 6 2 , = − 3sin + 12cos + 6 2 . Pada contoh di atas , = , .

E.Integral Parsial

Pada materi sebelumnya telah dibahas mengenai turunan parsial, maka kita perlu mengetahui pula teknik-teknik dalam integral parsial ini referensi utama diambil dari buku karangan Nyoman Arcana dkk (1983).

1. Pengintegralan Parsial atau Pengintegralan Sebagian

Metode pengintegralan ini diperoleh dari rumus hitung diferensial dari perkalian dua fungsi, yaitu bila = . , dan keduanya fungsi dari x maka,

= . + . .

= . + . .

Jadi, jika salah satu dari integral pada ruas kanan diketahui, maka integral yang lain dapat dicari. Kita dapat memilih mengerjakan salah satu dari kedua integral tersebut, yang mungkin atau mudah diintegralkan.

Sebagai contoh, bila . dapat dengan segera diintegralkan, maka integral yang lain, yaitu u dv dapat dicari,

. = . − . .

Penggunaan metode ini akan menjadi lebih jelas setelah mengikuti contoh- contoh berikut.

Contoh 2.9

Integralkan cos .

Misal = dan = cos .

Maka = dan = cos = sin .

Sehingga

cos =

= . −

= sin − sin .

Jadi, daripada mengintegralkan cos tentu lebih mudah mengintegralkan sin , yang segera kita tahu, yaitu – cos x. Sehingga

cos = sin + cos + .

Jika u dan dv dipilih sebagai berikut:

Misal = cos dan = , maka = −sin dan = 1 2

Dengan mensubstitusikan kita peroleh: cos =1 2 2cos + 1 2 2(sin ) .

Jadi, integral yang timbul lebih sulit dari integral semula.

Jadi, dalam pengambilan u dan dv harus demikian sehingga integral yang timbul kemudian menjadi lebih sederhana.

Contoh 2.10

Integralkan 2sin .

Seperti alasan yang diberikan pada contoh 1, kita pilih: = 2 dan = sin , maka = 2 dan = −cos .

Sehingga:

2sin =

= . − .

= 2 −cos − − cos . 2

= − 2cos + 2 cos .

Dalam contoh ini kita menemukan integral yang tidak dapat diintegralkan secara pengamatan tetapi telah dikerjakan pada contoh 2.10, yaitu:

cos = sin + cos + 1.

Substitusikan ini ke dalam hasil pengintegralan di atas, kita peroleh: 2sin = 2cos + 2{ sin + cos +

1} = − 2cos + 2 sin + 2 cos + .

Perulangan seperti ini, yaitu kita kembali mempergunakan integral parsial akan sering kita temukan dalam soal-soal yang lain. Sebagai contoh, jika

3sin kita cari, proses pengintegralan akan berlangsung tiga kali.

F. Metode Lagrange

Setelah membahas tentang turunan parsial dan integral parsial, akan dibahas pula mengenai metode Lagrange karena syarat tersebut terpenuhi di dalam Metode Iterasi Variasional. Pada bahasan mengenai metode Lagrange ini, referensi utama di ambil dari buku karangan Edwin J Purcell dan Dale Vanberg (1987).

Teorema 2.6

(Metode Lagrange). Untuk memaksimumkan atau meminimumkan

(�) terhadap kendala � = 0, selesaikan sistem persamaan ∇ � = ∇ (�) dan � = 0.

untuk p dan λ. Tiap titik p yang demikian adalah suatu titik kritis untuk masalah nilai ekstrem terkendala dan λ yang berpadanan disebut pengali Lagrange.

Contoh 2.11

Tentukan minimum , , = 3 + 2 + + 5, terhadap kendala

Solusi

Gradien f dan g adalah ∇ , , = 3 + 2 + dan ∇ , , = 18 + 8 − . Untuk menemukan titik-titik kritis, kita pecahkan persamaan-

persamaan

∇ , , = ∇ , , dan , , = 0

untuk , , , dengan λ pengali Lagrange. Ini setara, dalam soal ini, dengan

memecahkan sistem empat persamaan simultan berikut dalam empat peubah x, y, z, dan λ.

(2.27) 3 = 18

(2.28) 2 = 8

(2.29) 1 = −

(2.30) 9 2+ 4 2 = 0.

Dari (2.29), = −1. Dengan mensubstitusikan hasil ini ke dalam (2.27) dan (2.28), kita dapatkan = −1

6 dan =− 1

4. Dengan memasukkan nilai-nilai ini untuk x dan y dalam persamaan (2.30), kita peroleh = 1

2. Jadi solusi sistem empat persamaan simultan tersebut adalah (−1

6,− 1 4,

1

2,−1), dan satu-satunya titik kritis adalah (−1

6,− 1 4,

1

2). Maka minimum , , terhadap kendala , , = 0 adalah −1 6,− 1 4, 1 2 = 4 1 2.

Bilamana ada lebih dari satu kendala yang diberlakukan pada peubah- peubah suatu fungsi yang harus dimaksimumkan atau diminimumkan, maka digunakan pengali-pengali Lagrange tambahan (satu untuk setiap kendala).

Misalnya, jika kita mencari ekstrem suatu fungsi f tiga peubah, terhadap dua kendala , , = 0 dan , , = 0, kita pecahkan persamaan- persamaan.

∇ , , = ∇ , , + ∇ , , , , , = 0, , , = 0

untuk x, y, z, λ, dan , dengan λ dan adalah pengali-pengali Lagrange. Ini setara terhadap pencarian solusi sistem lima persamaan simultan dalam peubah-peubah x, y, z, λ, dan . (2.31) , , = , , + ( , , ), (2.32) , , = , , + , , , (2.33) , , = , , + , , , (2.34) , , = 0, (2.35) , , = 0.

Dari solusi sistem ini kita peroleh titik-titik kritis.

G.Metode Newton-Raphson

Pada bahasan mengenai penurunan rumus metode Newton-Raphson secara geometri, referensi utama di ambil dari buku karangan Agus Setiawan (2006) dan Eko Budi Purwanto (2008).

Metode Newton-Raphson merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk menentukan akar dan menyelesaikan persamaan diferensial. Dari tebakan nilai akar awal , (dengan nilai fungsi ( )), maka dapat ditarik suatu garis singgung yang melewati titik ; ( ) . Garis singgung ini akan

memotong sumbu dan ini merupakan penafsiran akar bagi iterasi berikutnya. Secara geometris hal ini ditampilkan dalam gambar di bawah ini.

Gambar 2.1. Pelukisan grafis dari metode Newton-Raphson.

Gambar 2.1 merupakan gambaran dari pelukisan grafis dari metode Newton- Raphson.

Diambil nilai awal , dan kemiringan (slope) adalah gradien dari fungsi atau: = ′ = ( )− +1

− +1 , (2.36) jika diasumsikan bahwa +1 sama dengan akar persamaan maka ( +1) = 0.

= ′ = Δ Δ =

−0

− +1. (2.37) Persamaan (2.37) dapat disusun kembali menjadi:

+1 = −

. (2.38) Persamaan (2.38) inilah yang disebut rumus Newton-Raphson.

H.Metode Euler

Pada bahasan mengenai metode Euler ini, referensi utama di ambil dari buku karangan Agus Setiawan (2006).

}

+1 ( ) ( ) Kemiringan = ′( ) −0 − +1

Gambar 2.2. Tafsiran grafis persamaan +1 = +�. . Bentuk umum persamaan diferensial biasa

= ( , ). (2.39) Permasalahan penerjun payung yang diselesaikan secara numerik dalam bentuk

= + ( × ),

yang dalam notasi matematika dituliskan sebagai

+1 = +�. (2.40) Menurut persamaan (2.40), kemiringan � digunakan untuk mengekstrapolasi (memperhitungkan) nilai baru +1 dari nilai lama .

Gambar 2.3 Pelukisan grafis dari metode Euler.

Gambar 2.3 merupakan gambaran dari pelukisan grafis dari metode Euler. +1 asli prediksi error

}

=� +1 +1 = +�. ,

Turunan pertama memberikan estimasi (taksiran) langsung kemiringan pada lihat gambar 2.3.

� = ( , ). (2.41) Dengan ( , ) adalah evaluasi dari persamaan diferensial , . Substitusi persamaan (2.41) ke (2.39) menjadi

+1 = + ( , ) . (2.42)

Persamaan di atas merupakan persamaan umum metode Euler.

I. Little-Oh dan Big-Oh

Untuk membantu melengkapi bahasan tentang konsep dasar metode Newton dan deret Taylor maka diperlukan penjelasan singkat mengenai notasi Little-Oh dan Big-Oh. Referensi ini diambil dari buku karangan Eko Budi Purwanto (2008).

Definisi fungsi ( ) merupakan Little-Oh dari fungsi ( ) dengan notasi = ( ( )) jika dan hanya jika terdapat dua buah konstanta bulat positif

C dan 0 sedemikian sehingga berlaku lim 0 ( ) ( )= 0.

Notasi Big-Oh didefinisikan bahwa ( ) merupakan Big-Oh dari ( )

dan dinotasikan = ( ) jika dan hanya jika terdapat dua buah konstanta bulat positif C dan 0 sedemikian sehingga berlaku ( )

40

Dokumen terkait