• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : METODE ITERASI UNTUK MENYELESAIKAN PERSAMAAN

A. Persamaan Diferensial Parsial

A.Persamaan Diferensial

Persamaan diferensial (differential equation) adalah persamaan yang melibatkan variabel-variabel tak bebas dan derivatif-derivatifnya terhadap variabel-variabel bebas. (Didit Budi Nugroho, 2011)

Persamaan Diferensial (PD) dapat ditulis dalam dua bentuk: 1. Bentuk derivatif (bentuk turunan)

Contoh:

= 2+ +1.

2. Bentuk diferensial

Contoh dari bentuk derivatif di atas, jika ditulis dalam bentuk diferensial adalah:

( 2+ 1) = +

( 2+ 1) − + = 0.

Contoh-contoh persamaan diferensial: 2 2+ ( )2 = 0, (2.1) 4 4+ 5 22 + 3 = sin , (2.2) + = , (2.3) �2 2+22+22 = 0. (2.4) Derajat persamaan diferensial adalah derajat tertinggi dari derivatif fungsi dalam persamaan diferensial. Pada persamaan (2.1) memiliki derajat tertinggi yaitu dua dapat dilihat dari derivatif tertinggi dari sebagai turunan kedua. Persamaan (2.2) memiliki derajat tertinggi yaitu empat dapat dilihat dari derivatif tertinggi dari sebagai turunan keempat. Persamaan (2.3) memiliki

derajat tertinggi yaitu satu dapat dilihat dari derivatif tertinggi dari

sebagai turunan pertama. Persamaan (2.4) memiliki derajat tertinggi yaitu dua dapat dilihat dari derivatif tertinggi dari �2

Persamaan diferensial berdasarkan banyaknya variabel bebas dibagi menjadi dua macam yakni Persamaan Diferensial Biasa (PDB) dan Persamaan Diferensial Parsial (PDP). Solusi persamaan diferensial adalah suatu fungsi yang memenuhi persamaan diferensial. Persamaan diferensial memiliki dua kemungkinan solusi yakni tidak mempunyai solusi dan mempunyai solusi tunggal ataupun mempunyai solusi lebih dari satu.

Contoh 2.1 = 2 ⇔ = 2 = 2 + 1 = 2+ 2 = 2 + 21 = 2 +�.

Jadi, = 2+� membentuk suatu keluarga solusi dari persamaan

diferensial = 2 .

Contoh 2.2

Apakah 2 + 2−25 = 0adalah solusi dari PD + = 0?

Jawab:

2+ 2−25 = 0

2 = 25− 2

= ± 25− 2.

Kasus pertama

= 25− 2 =2 251

2 −2 = − 25 2

+ = + 25− 225 2 = − = 0. Jadi, solusi PD terpenuhi.

Kasus kedua =− 25− 2 =− 1 2 25− 2 −2 = 25− 2 + = + (− 25− 2) 25− 2= − = 0. Jadi, solusi PD terpenuhi.

Kesimpulan yang diperoleh dari kedua kasus tersebut yakni 2+ 2−25 = 0

adalah solusi implisit PD + = 0.

Contoh 2.3

Apakah 2 + 2+ 25 = 0adalah solusi dari PD + = 0?

Jawab:

2+ 2+ 25 = 0

2 = − 2−25

Kasus pertama

= − 2−25

= 1

2 − 2−25 −2 =− 2−25

+ = + − 2−25 − 2−25 = − = 0.

Jadi, solusi PD terpenuhi.

Kasus kedua = − − 2−25 = −212−25 −2 = 2−25 + = + − − 2−25 ( 2−25) = − = 0. Jadi, solusi PD terpenuhi.

Kesimpulan yang diperoleh dari kedua kasus tersebut yakni 2+ 2+ 25 = 0

adalah solusi formal PD, karena secara formal penurunan PD terpenuhi tetapi tidak ada bilangan real dan yang benar-benar memenuhi persamaan solusi.

Solusi dari PD dapat berbentuk eksplisit maupun implisit, sebagai berikut:

1) = 2+�adalah solusi eksplisit dari = 2 .

1. Persamaan Diferensial Biasa

Persamaan Diferensial Biasa (Ordinary Differential Equation), disingkat PDB, adalah suatu persamaan diferensial yang melibatkan satu variabel bebas. Contoh-contoh persamaan diferensial (2.1), (2.2), (2.3), dan (2.4) terdiri dari bermacam-macam variabel dan melibatkan derivatif-derivatifnya maka yang termasuk ke dalam Persamaan Diferensial Biasa (PDB) adalah persamaan (2.1) dan (2.2). Pada persamaan (2.1) varibel adalah variabel tunggal yang bebas dan variabel adalah variabel tak bebas (tergantung). Pada persamaan (2.2) terdapat variabel bebas yaitu variabel , sedangkan variabel adalah variabel tak bebas. (Shepley L Ross , 2004)

Setelah dibahas mengenai persamaan diferensial biasa, maka terdapat klasifikasi persamaan diferensial linear. Referensi diambil dari buku karangan Shepley L Ross (2004) dan diktat Lina Aryati, dkk (2013).

a. Persamaan Diferensial Linear

Persamaan diferensial linear adalah persamaan diferensial yang semua sukunya linear terhadap fungsi maupun derivatifnya. Persamaan diferensial tidak memuat bentuk nonlinear dari fungsi maupun derivatifnya. Ciri-ciri persamaan diferensial linear yakni tidak ada perkalian y dengan derivatif-derivatifnya, tidak ada perkalian derivatif dengan derivatif, tidak ada suku yang merupakan bentuk nonlinear dari y atau derivatifnya. Bentuk nonlinear memuat perpangkatan fungsi tak bebas, perkalian fungsi tak bebas dan derivatifnya serta perpangkatan derivatifnya. Contoh persamaan diferensial linear sebagai berikut

2

2+ 2 22+ 5 = 0. Contoh persamaan diferensial nonlinear sebagai berikut 33+ + = 1.

Persamaan diferensial linear orde satu dengan variabel tak bebas y dan variabel bebas x, dapat ditulis dalam bentuk

+ = . (2.5) Diberikan persamaan sebagai berikut

+ ( + 1) = 3,

adalah persamaan diferensial linear orde satu, dapat ditulis menjadi

+ (1 +1) = 2,

dimana bentuk (2.5) = 1 +1 dan = 2.

Persamaan (2.5) dapat ditulis dalam bentuk diferensial menjadi

− + = 0. (2.6) Persamaan (2.6) berasal dari bentuk

, + , = 0, dimana , = − dan , = 1. Maka ( , ) = ≠0 = ( , ) .

Persamaan (2.6) bukan persamaan persamaan diferensial eksak kecuali kalau = 0, dimana persamaan (2.5) adalah persamaan diferensial separabel sederhana. Persamaan (2.6) hanya memuat variabel x saja,

maka dapat diasumsikan mempunyai faktor integral yang hanya bergantung pada x saja. Persamaan (2.6) dikalikan dengan ( ) menjadi − + ( ) = 0. (2.7) Berdasarkan definisi, ( ) adalah faktor integral dari persamaan (2.7) jika dan hanya jika persamaan (2.7) adalah eksak sehingga diperoleh

− =

. Kondisi tersebut diturunkan, sehingga menjadi

= . (2.8) Pada persamaan (2.8), P adalah suatu fungsi yang diketahui variabel bebas x, tetapi adalah suatu fungsi yang tidak diketahui berasal dari x dan akan kita tentukan. Kemudian, kita tuliskan persamaan diferensial (2.8) menjadi bentuk seperti berikut

= , (2.9) dimana variabel terikatnya adalah dan variabel bebasnya adalah x. P adalah suatu fungsi yang diketahui dari x. Persamaan (2.9) merupakan persamaan diferensial separabel, variabel dipisahkan menjadi berikut

= . (2.10) Kemudian persamaan (2.10) diintegralkan sehingga diperoleh solusi khusus

Persamaan diferensial linear (2.5) memiliki faktor integral dari persamaan (2.11). Sekarang, kita mengalikan persamaan (2.5) dengan persamaan (2.11)

+ = ( ) , (2.12) dengan menggunakan integral parsial maka diperoleh

= ( ) . (2.13) Sekarang kita integralkan bentuk di atas menjadi

= + . (2.14)

Persamaan (2.14) adalah solusi dari persamaan diferensial linear (2.5) dimana c adalah suatu konstanta yang nilainya dapat berubah-ubah. Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan dalam suatu teorema berikut Teorema 2.1

Diberikan persamaan diferensial linear berikut

+ = ( )

mempunyai bentuk faktor integral . Solusi umum persamaan diferensialnya

= .

Contoh 2.4

Diberikan persamaan diferensial berikut

+ 2 +1 = 2 . (2.15) Persamaan diferensial tersebut adalah linear dengan

= 2 +1= 2 +1 dan = 2 .

Faktor pengintegralan dari persamaan diferensial linear (2.15) adalah = = 2+ 1 = (2 + ) = 2 . = 2 . (2.16) Sekarang kita mengalikan persamaan diferensial linear (2.15) dengan bentuk (2.16) menjadi 2 +2 +1 2 = 2 2 2 + (2 + 1) 2 = [ 2 ] = 2 = 1 2 2+ = 1 2 2 2 + 2 = 1 2 −2 + 2

dimana c adalah suatu konstanta yang nilainya dapat berubah-ubah. Setelah dibahas mengenai persamaan diferensial linear, maka terdapat klasifikasi persamaan diferensial linear homogen maupun linear nonhomogen. Referensi diktat karangan Lina Aryati, dkk (2013).

b. Persamaan Diferensial Linear Homogen

Teorema 2.2

Jika 1, 2,…, merupakan m solusi dari persamaan diferensial linear homogen

0 + 1 11+⋯+ 1 + = 0 (2.17)

maka kombinasi linear 1, 2,…, yaitu

1 1+ 2 2 +…+

juga solusi persamaan diferensial (2.17). Teorema 2.3

Persamaan diferensial linear homogen order n

0 + 1 11+⋯+ 1 + = 0 (2.18)

selalu memiliki n solusi yang bebas linear. Selanjutnya jika 1, 2,…,

adalah n solusi persamaan diferensial (2.18) yang bebas linear maka setiap solusi persamaan diferensial (2.18) dapat dinyatakan sebagai kombinasi linear

1 1+ 2 2+…+

dengan pemilihan konstanta-konstanta 1, 2,…, yang sesuai.

c. Persamaan Diferensial Linear Nonhomogen

Sebelum dibicarakan metode untuk mencari solusi umum persamaan diferensial linear nonhomogen, berikut ini diberikan dahulu

pengertian solusi umum untuk persamaan diferensial linear nonhomogen, yang didahului dengan membicarakan dua teorema yang akan membawa ke pengertian solusi umum. Diberikan persamaan diferensial linear nonhomogen

0 + 1 11+⋯+ 1 + =� (2.19) dengan persamaan homogen yang berkorespondensi

0 + 1 11+⋯+ 1 + = 0.

(2.20) Teorema 2.4

Jika v sebarang solusi persamaan diferensial (2.19) dan u sebarang solusi persamaan diferensial (2.20) maka + juga merupakan solusi persamaan diferensial (2.19).

Contoh 2.5

Mudah diselidiki bahwa = 3 merupakan solusi persamaan diferensial 2

2− = 6 − 3. (2.21)

Selain itu, mudah pula dilihat bahwa y = solusi persamaan homogen yang berkorespondensi dengan (2.21),

2

2− = 0.

Karena itu menurut teorema (2.2), y = + 3 juga merupakan solusi persamaan diferensial (2.21).

Teorema 2.5

Diberikan 0 suatu solusi persamaan diferensial linear nonhomogen (2.19) yang tidak memuat sebarang konstanta. Jika = 1 1+ 2 2+ …+ solusi umum persamaan diferensial linear homogen (2.20) maka setiap solusi persamaan diferensial (2.19) dapat dinyatakan sebagai

+ untuk suatu pemilihan konstanta 1, 2,…, yang sesuai.

Teorema 2.5 membawa ke pengertian solusi umum persamaan diferensial linear nonhomogen, yang didefinisikan sebagai berikut

Definisi 2.1

Diberikan persamaan diferensial linear nonhomogen

0 + 1 11+⋯+ 1 + =� (2.22) dan persamaan diferensial linear homogen yang berkorespondensi dengan (2.22)

0 + 1 11+⋯+ 1 + = 0. (2.23)

1. Solusi umum persamaan diferensial (2.23) disebut fungsi komplemen persamaan diferensial (2.22), dan selanjutnya ditulis dengan .

2. Suatu solusi khusus persamaan diferensial (2.22) yang tidak memuat sebarang konstanta disebut integral khusus persamaan diferensial (2.22), dan selanjutnya akan ditulis dengan .

3. Solusi + dari persamaan (2.22) dengan integral khusus (2.22) dan fungsi komplemen (2.22) disebut solusi umum persamaan

Contoh 2.5 Telah diketahui bahwa y = 3 merupakan suatu solusi persamaan diferensial

2

2− = 6 − 3 (2.24) sehingga = 3 adalah integral khusus persamaan (2.24). Solusi umum persamaan homogen yang berkorespondensi dengan (2.24) adalah

= 1 + 2 dengan 1 dan 2 sebarang konstanta. Karena itu solusi umum persamaan diferensial (2.24) adalah

= 1 + 2 + 3

dengan 1 dan 2 sebarang konstanta.

2. Persamaan Diferensial Parsial

Persamaan Diferensial Parsial (Partial Differential Equation), disingkat PDP, adalah suatu persamaan diferensial yang melibatkan lebih dari satu variabel bebas. Persamaan diferensial dapat pula diartikan sebagai persamaan diferensial biasa kecuali keadaannya diperjelas bahwa yang dimaksud adalah persamaan diferensial parsial. Persamaan (2.3) dan (2.4) termasuk ke dalam contoh-contoh Persamaan Diferensial Parsial (PDP). Pada persamaan (2.3) variabel dan adalah variabel bebas dan variabel adalah variabel tak bebas (tergantung). Pada persamaan (2.4) terdapat variabel bebas yaitu variabel , , dan , sedangkan variabel adalah variabel tak bebas. (Shepley L Ross, 2004)

Suatu persamaan diferensial dikatakan linear jika tidak ada perkalian antara variabel-variabel tak bebas dan derivatif-derivatifnya. Dengan kata

lain, semua koefisiennya adalah fungsi dari variabel-variabel bebas. Suatu persamaan diferensial yang tidak linear dalam beberapa variabel tak bebas dikatakan tidak linear dalam variabel tersebut. Suatu persamaan diferensial yang tidak linear dalam himpunan semua variabel tak bebas secara sederhana dikatakan tak linear. (Didit Budi Nugroho, 2011)

3. Solusi khusus dan solusi umum

Solusi adalah sebuah fungsi yang memenuhi persamaan diferensial. Sebuah fungsi = ( ) yang terdefinisi atas domain dari fungsi disebut solusi untuk persamaan diferensial jika untuk sembarang nilai dari variabel bebas yang diijinkan, identitas persamaan dapat dipenuhi ketika nilai-nilai yang bersesuaian untuk = ( ) dan derivatif-derivatifnya disubstitusikan ke dalam persamaannya. Jika mengenakan syarat awal atau syarat batas maka akan diperoleh solusi khusus, artinya konstanta sembarang yang termuat dalam solusi umum akan mempunyai nilai tertentu.

Dari sini, dapat dibedakan antara solusi umum dan solusi khusus. Solusi umum untuk persamaan diferensial biasa orde ke-n adalah sebuah solusi (yang dinyatakan secara eksplisit atau implisit) yang memuat semua solusi yang mungkin atas suatu domain dari fungsi . Solusi umum ini memuat suatu suku konstanta sembarang n, sedangkan solusi khusus adalah solusi yang tidak memuat konstanta sembarang. Dari beberapa kasus terdapat solusi lain dari persamaan yang diberikan oleh solusi tersebut ternyata tidak dapat diperoleh dengan memberikan nilai tertentu pada

sembarang konstanta dari solusi umum, solusi yang demikian dinamakan solusi singular dari persamaan tersebut. (Kartono, 2012)

4. Masalah Nilai Awal dan Masalah Nilai Batas

Suatu persamaan diferensial dengan syarat tambahan pada fungsi yang tidak diketahui derivatif-derivatifnya, semua diberikan pada nilai yang sama untuk variabel bebas, merupakan suatu masalah nilai awal (initial-value problem). Syarat tambahan tersebut dinamakan syarat awal (initial conditions). Jika syarat tambahan diberikan pada lebih dari satu nilai variabel bebas, dinamakan masalah nilai batas (boundary-value problem) dan syaratnya dinamakan syarat batas. (Didit Budi Nugroho, 2011)

Masalah Nilai Awal (MNA) adalah suatu persamaan diferensial yang dilengkapi dengan suatu data di titik awal dari domain.

Contoh solusi masalah nilai awal sebagai berikut

= 2 , 0 = 1.

Solusi :

= 2 mempunyai keluarga solusi = 2 +�

0 = 1

1 = 02+�

Jadi, solusi MNA tersebut adalah = 2 + 1.

Catatan:

Untuk PD = 2 , maka = 2+ 1disebut solusi khusus.

Untuk PD = 2 , maka = 2 +� disebut solusi umum.

Masalah Nilai Batas (MNB) adalah suatu persamaan diferensial yang dilengkapi dengan data pada titik-titik batas dari domain. Titik-titik batas tersebut terdapat lebih dari satu batas. Jika syarat tambahan diberikan pada lebih dari satu nilai variabel bebas, dinamakan masalah nilai batas (boundary-value problem) dan syaratnya dinamakan syarat batas (boundary conditions).

Contoh solusi masalah nilai batas sebagai berikut

2 2+ = 0, 0 = 1, 2 = 5.

Pada masalah di atas, asumsikan bahwa saat nilai = 0 maka nilai = 1

dan saat nilai =

2 maka nilai = 5. Dari asumsi tersebut maka terdapat kondisi hubungan untuk dua nilai x yang berbeda yakni 0 dan

2. Kedua titik x tersebut yang dinamakan sebagai masalah nilai batas.

Contoh berikut adalah masalah nilai batas

2 2+ = 0, 0 = 1, � = 5.

Masalah di atas tersebut memiliki solusi yang unik yaitu karena tidak mempunyai solusi sama sekali. Fakta sederhana tersebut dapat menyebabkan salah satu kesimpulan yang benar dari masalah nilai batas sehingga kita tidak boleh menganggap mudah. (Shepley L Ross , 2004)

B.Limit Fungsi

Pada bahasan setelah ini akan dipaparkan tentang kekontinuan fungsi, oleh karena itu konsep dasar dari kekontinuan fungsi yakni mempelajari limit fungsi terlebih dahulu agar dapat memahami kekontinuan fungsi. Pada bahasan mengenai limit fungsi ini referensi utama diambil dari buku karangan Edwin J Purcell dan Dale Vanberg (1987).

Definisi 2.2

(Pengertian limit secara intuisi). Untuk mengatakan bahwa

lim = berarti bahwa selisih antara ( ) dan dapat dibuat sekecil mungkin dengan mensyaratkan bahwa cukup dekat tetapi tidak sama dengan

.

Membuat definisi persis dengan mengikuti sebuah tradisi panjang dalam memakai huruf Yunani (epsilon) dan (delta) untuk menggantikan bilangan-bilangan kecil positif. Kita bayangkan jika dan sebagai bilangan-bilangan-bilangan-bilangan kecil positif.

Definisi 2.3

(Pengertian tentang limit). Mengatakan bahwa lim = berarti bahwa untuk tiap > 0 yang diberikan (betapapun kecilnya), terdapat > 0

yang berpadanan sedemikian sehingga − < asalkan bahwa 0 < − < ; yakni

0 < − < ⇒ − < .

C.Kekontinuan Fungsi

Konsep dasar untuk mempelajari kekontinuan fungsi yaitu limit fungsi. Pada bahasan sebelumnya telah dibahas tentang arti dari limit fungsi yang akan digunakan pada bahasan kekontinuan fungsi berikut ini. Pada bahasan mengenai kekontinuan fungsi ini referensi utama diambil dari buku karangan Edwin J Purcell dan Dale Vanberg (1987). Dalam bahasa yang biasa, kata kontinu digunakan untuk memberikan suatu proses yang berkelanjutan tanpa perubahan yang mendadak. Gagasan tersebut berkenaan dengan fungsi.

lim ( ) = .

Definisi 2.4

Kekontinuan di satu titik adalah bahwa f kontinu di c jika beberapa selang terbuka di sekitar c terkandung dalam daerah asal f dan lim ( ) = . Maksud dari definisi tersebut adalah mensyaratkan tiga hal sebagai berikut

(1) lim ( ) ada,

f Y

(2) ( ) ada (yakni, c berada dalam daerah asal ), dan (3) lim ( ) = .

Jika salah satu dari ketiga fungsi tersebut tidak terpenuhi, maka tak kontinu (diskontinu) di .

Jadi, fungsi yang diwakili oleh kedua grafik di atas tak kontinu di . Tetapi kontinu -titik lain dari daerah asalnya.

D.Turunan Parsial

Pada bahasan mengenai turunan parsial ini referensi utama diambil dari buku karangan Edwin J Purcell dan Dale Vanberg (1987).

Andaikan bahwa f adalah suatu fungsi dua peubah x dan y. Jika y ditahan agar konstan, misalnya = 0, maka ( , 0) menjadi fungsi satu peubah x. Turunannya di = 0disebut turunan parsial f terhadap x di ( 0, 0) dan dinyatakan sebagai ( 0, 0). Jadi,

0, 0 = lim∆ →0 0+ , 0 ( 0, 0)

. (2.25) f

Y

C x

lim ( ) ada, tetapi lim ( )≠ . f

Y

C

Demikian pula, turunan parsial f terhadap y di ( 0, 0) dinyatakan oleh

( 0, 0) dan dituliskan sebagai

0, 0 = lim∆ →0 0, 0+∆ − ( 0, 0). (2.26)

Daripada menghitung ( 0, 0) dan ( 0, 0) secara langsung dari definisi (2.25) dan (2.26), secara khas kita mencari ( , ) dan ( , ) dengan menggunakan aturan baku untuk turunan; kemudian kita menyulihkan (mensubtitusikan) = 0 dan = 0.

Contoh 2.6

Carilah (1,2) dan (1,2) jika , = 2 + 3 3.

Solusi

Untuk mencari ( , ) kita anggap y sebagai konstanta dan kita diferensialkan fungsi ini terhadap x didapat

, = 2 + 0. Jadi, 1,2 = 2.1.2 = 4. Demikian pula, , = 2+ 9 2 sehingga 1,2 = 12 + 9. 22 = 37.

Jika z = , , kita gunakan cara penulisan lain.

0, 0 = [ ] 0, 0 , 0, 0 = [ ]( 0, 0).

Contoh 2.7

Jika z = 2sin( 2), cari dan . Solusi = 2 sin 2 + sin 2 ( 2) = 2cos 2 2 + sin 2 . 2 = 2cos 2 . 2+ 2 sin 2 = 2 2cos⁡( 2) + 2 sin 2 = 2cos 2 . 2 = 2 3 cos⁡( 2).

1. Turunan parsial tingkat tinggi

Secara umum, karena turunan parsial suatu fungsi x dan y adalah fungsi lain dari dua peubah yang sama ini, turunan tersebut dapat diturunkan secara parsial terhadap x atau y untuk memperoleh empat buah turunan parsial kedua fungsi :

= = �2 2, = = �2 2, = ( ) = �2 � � , = ( ) = �2 � � . Contoh 2.8

, = −sin( ) + 3 2. Solusi , = −1cos( ) + 3 2 2 , = + 2cos( ) + 2 3 , = 12sin + 6 2 , = + 24sin( )−23cos( ) + 2 3 , = − 3sin + 12cos + 6 2 , = − 3sin + 12cos + 6 2 . Pada contoh di atas , = , .

E.Integral Parsial

Pada materi sebelumnya telah dibahas mengenai turunan parsial, maka kita perlu mengetahui pula teknik-teknik dalam integral parsial ini referensi utama diambil dari buku karangan Nyoman Arcana dkk (1983).

1. Pengintegralan Parsial atau Pengintegralan Sebagian

Metode pengintegralan ini diperoleh dari rumus hitung diferensial dari perkalian dua fungsi, yaitu bila = . , dan keduanya fungsi dari x maka,

= . + . .

= . + . .

Jadi, jika salah satu dari integral pada ruas kanan diketahui, maka integral yang lain dapat dicari. Kita dapat memilih mengerjakan salah satu dari kedua integral tersebut, yang mungkin atau mudah diintegralkan.

Sebagai contoh, bila . dapat dengan segera diintegralkan, maka integral yang lain, yaitu u dv dapat dicari,

. = . − . .

Penggunaan metode ini akan menjadi lebih jelas setelah mengikuti contoh-contoh berikut.

Contoh 2.9

Integralkan cos .

Misal = dan = cos .

Maka = dan = cos = sin .

Sehingga

cos =

= . −

= sin − sin .

Jadi, daripada mengintegralkan cos tentu lebih mudah mengintegralkan sin , yang segera kita tahu, yaitu – cos x. Sehingga

cos = sin + cos + .

Jika u dan dv dipilih sebagai berikut:

Misal = cos dan = , maka = −sin dan = 1 2

Dengan mensubstitusikan kita peroleh: cos =1 2 2cos + 1 2 2(−sin ) .

Jadi, integral yang timbul lebih sulit dari integral semula.

Jadi, dalam pengambilan u dan dv harus demikian sehingga integral yang timbul kemudian menjadi lebih sederhana.

Contoh 2.10

Integralkan 2sin .

Seperti alasan yang diberikan pada contoh 1, kita pilih: = 2 dan = sin , maka = 2 dan = −cos .

Sehingga:

2sin =

= . − .

= 2 −cos − − cos . 2

= − 2cos + 2 cos .

Dalam contoh ini kita menemukan integral yang tidak dapat diintegralkan secara pengamatan tetapi telah dikerjakan pada contoh 2.10, yaitu:

cos = sin + cos + 1.

Substitusikan ini ke dalam hasil pengintegralan di atas, kita peroleh: 2sin = − 2cos + 2{ sin + cos + 1}

Perulangan seperti ini, yaitu kita kembali mempergunakan integral parsial akan sering kita temukan dalam soal-soal yang lain. Sebagai contoh, jika

3sin kita cari, proses pengintegralan akan berlangsung tiga kali.

F. Metode Lagrange

Setelah membahas tentang turunan parsial dan integral parsial, akan dibahas pula mengenai metode Lagrange karena syarat tersebut terpenuhi di dalam Metode Iterasi Variasional. Pada bahasan mengenai metode Lagrange ini, referensi utama di ambil dari buku karangan Edwin J Purcell dan Dale Vanberg (1987).

Teorema 2.6

(Metode Lagrange). Untuk memaksimumkan atau meminimumkan

(�) terhadap kendala � = 0, selesaikan sistem persamaan ∇ � = ∇ (�) dan � = 0.

untuk p dan λ. Tiap titik p yang demikian adalah suatu titik kritis untuk masalah nilai ekstrem terkendala dan λ yang berpadanan disebut pengali Lagrange.

Contoh 2.11

Tentukan minimum , , = 3 + 2 + + 5, terhadap kendala

Solusi

Gradien f dan g adalah ∇ , , = 3 + 2 + dan ∇ , , = 18 + 8 − . Untuk menemukan titik-titik kritis, kita pecahkan

persamaan-persamaan

∇ , , = ∇ , , dan , , = 0

untuk , , , dengan λ pengali Lagrange. Ini setara, dalam soal ini, dengan memecahkan sistem empat persamaan simultan berikut dalam empat peubah x, y, z, dan λ.

(2.27) 3 = 18

(2.28) 2 = 8

(2.29) 1 = −

(2.30) 9 2+ 4 2− = 0.

Dari (2.29), = −1. Dengan mensubstitusikan hasil ini ke dalam (2.27) dan (2.28), kita dapatkan = −16 dan =−14. Dengan memasukkan nilai-nilai

ini untuk x dan y dalam persamaan (2.30), kita peroleh = 1

2. Jadi solusi sistem empat persamaan simultan tersebut adalah (−16,−14,1

2,−1), dan satu-satunya titik kritis adalah (−1

6,−1 4,1

2). Maka minimum , , terhadap kendala

, , = 0 adalah −1 6,−1

4,1

2 = 41 2.

Bilamana ada lebih dari satu kendala yang diberlakukan pada peubah-peubah suatu fungsi yang harus dimaksimumkan atau diminimumkan, maka digunakan pengali-pengali Lagrange tambahan (satu untuk setiap kendala).

Misalnya, jika kita mencari ekstrem suatu fungsi f tiga peubah, terhadap dua kendala , , = 0 dan , , = 0, kita pecahkan persamaan-persamaan.

∇ , , = ∇ , , + ∇ , , , , , = 0, , , = 0

untuk x, y, z, λ, dan , dengan λ dan adalah pengali-pengali Lagrange. Ini setara terhadap pencarian solusi sistem lima persamaan simultan dalam peubah-peubah x, y, z, λ, dan . (2.31) , , = , , + ( , , ), (2.32) , , = , , + , , , (2.33) , , = , , + , , , (2.34) , , = 0, (2.35) , , = 0.

Dari solusi sistem ini kita peroleh titik-titik kritis.

G.Metode Newton-Raphson

Pada bahasan mengenai penurunan rumus metode Newton-Raphson secara geometri, referensi utama di ambil dari buku karangan Agus Setiawan (2006) dan Eko Budi Purwanto (2008).

Metode Newton-Raphson merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk menentukan akar dan menyelesaikan persamaan diferensial. Dari tebakan nilai akar awal , (dengan nilai fungsi ( )), maka dapat ditarik suatu garis singgung yang melewati titik ; ( ) . Garis singgung ini akan

memotong sumbu dan ini merupakan penafsiran akar bagi iterasi berikutnya. Secara geometris hal ini ditampilkan dalam gambar di bawah ini.

Gambar 2.1. Pelukisan grafis dari metode Newton-Raphson.

Gambar 2.1 merupakan gambaran dari pelukisan grafis dari metode Newton-Raphson.

Diambil nilai awal , dan kemiringan (slope) adalah gradien dari fungsi atau: = = ( ) +1

+1 , (2.36) jika diasumsikan bahwa +1 sama dengan akar persamaan maka ( +1) = 0.

= = Δ Δ =

−0

+1. (2.37) Persamaan (2.37) dapat disusun kembali menjadi:

+1 = − . (2.38) Persamaan (2.38) inilah yang disebut rumus Newton-Raphson.

H.Metode Euler

Pada bahasan mengenai metode Euler ini, referensi utama di ambil dari buku karangan Agus Setiawan (2006).

}

+1 ( ) ( ) Kemiringan = ′( ) −0 − +1

Gambar 2.2. Tafsiran grafis persamaan +1 = +�. . Bentuk umum persamaan diferensial biasa

= ( , ). (2.39) Permasalahan penerjun payung yang diselesaikan secara numerik dalam bentuk

= + ( × ),

yang dalam notasi matematika dituliskan sebagai

+1 = +�. (2.40) Menurut persamaan (2.40), kemiringan � digunakan untuk mengekstrapolasi (memperhitungkan) nilai baru +1 dari nilai lama .

Gambar 2.3 Pelukisan grafis dari metode Euler.

Gambar 2.3 merupakan gambaran dari pelukisan grafis dari metode Euler. +1 asli prediksi error

}

=� +1 +1 = +�. ,

Turunan pertama memberikan estimasi (taksiran) langsung kemiringan pada lihat gambar 2.3.

� = ( , ). (2.41) Dengan ( , ) adalah evaluasi dari persamaan diferensial , . Substitusi persamaan (2.41) ke (2.39) menjadi

+1 = + ( , ) . (2.42)

Persamaan di atas merupakan persamaan umum metode Euler.

I. Little-Oh dan Big-Oh

Untuk membantu melengkapi bahasan tentang konsep dasar metode Newton dan deret Taylor maka diperlukan penjelasan singkat mengenai notasi Little-Oh dan Big-Oh. Referensi ini diambil dari buku karangan Eko Budi Purwanto (2008).

Definisi fungsi ( ) merupakan Little-Oh dari fungsi ( ) dengan notasi = ( ( )) jika dan hanya jika terdapat dua buah konstanta bulat positif

C dan 0 sedemikian sehingga berlaku lim 0 ( ) ( )= 0.

Notasi Big-Oh didefinisikan bahwa ( ) merupakan Big-Oh dari ( )

dan dinotasikan = ( ) jika dan hanya jika terdapat dua buah konstanta bulat positif C dan 0 sedemikian sehingga berlaku ( )

40

BAB III

METODE ITERASI UNTUK MENYELESAIKAN

PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA

Pada bab ini akan dibahas mengenai pengantar singkat Persamaan Diferensial Biasa, masalah syarat awal dan syarat batas, deret Taylor, metode iterasi Picard (The Method of Successive Approximations), hubungan antara deret Taylor dengan metode iterasi Picard, contoh-contoh solusi metode iterasi Picard, penjelasan metode iterasi variasional dan contoh-contoh solusinya, contoh pengali Lagrange metode iterasi untuk PDB serta metode iterasi variasional untuk PDB secara umum berderajat satu.

A.Persamaan Diferensial Biasa

Persamaan Diferensial (PD) adalah suatu persamaan yang menyatakan hubungan suatu fungsi dengan derivatif-derivatifnya. Jika fungsi yang dicari mempunyai satu variabel bebas, maka persamaannya disebut Persamaan Diferensial Biasa (PDB). (Shepley L Ross, 2004)

1. Masalah syarat awal dan syarat batas

Pada bagian ini akan disajikan teori tentang masalah syarat awal dan syarat batas yang mendukung pembahasan dari metode iterasi Picard dengan referensi dari buku karangan Kartono (2012).

2 ′′ +

1 +

0 = , (3.1)

dengan 2 , 1 , dan 0 dinamakan koefisien-koefisien yang dapat sebagai fungsi dari x atau konstanta dan ( ) merupakan fungsi-fungsi kontinu di dalam suatu interval dengan 2( )≠0. Jika persamaan (3.1) mempunyai syarat awal

0 = 0 dan ′ 0 = 1, (3.2)

maka persamaan (3.1) dan (3.2) dinamakan masalah syarat awal. Jadi masalah syarat awal sering disajikan dalam bentuk

2 ′′ +

1 +

0 = ,

0 = 0dan ′ 0 = 1. (3.3)

Jika persamaan (3.1) dilengkapi dengan kondisi di ujung-ujung pada interval , misalkan = dan = maka dinamakan masalah syarat batas. Jadi masalah syarat batas disajikan dalam bentuk

Dokumen terkait