• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH

6. Lingkungan Fisik Panta

Kenaikan air laut ke daratan (run-up) tertinggi akibat tsunami tahun 2006 terjadi di Pantai Barat Pangandaran adalah mencapai 7 meter, sehingga hal tersebut berdampak pada perubahan garis pantai (Sulistriani, 2009) dengan akresi rata-rata sebesar 23,03 meter, sedangkan abrasi rata-rata 1,4 meter. Hal ini berdampak pula terhadap perubahan luas greenbelt (Putra, 2015), yang berperan untuk meredam tsunami. Namun, berkurangnya luas hutan pantai tersebut tidak hanya karena dampak tsunami, melainkan juga oleh faktor pemanfaatan yang tidak terkontrol (Husrin et al., 2013). Husrin et al., (2013) mencatat bahwa hutan pantai Pangandaran memiliki keragaman jenis pohon atau vegetasi pantai yang tidak terlalu berbeda jenisnya di setiap lokasi. Beberapa jenis pohon ada yang selalu ditemukan di semua bagian pantai Pangandaran walaupun mungkin hanya tersisa satu pohon. Hal yang membedakan di tiap lokasi hanya pada jenis pohon yang mendominasi. Jenis pohon yang ditemukan di sepanjang sempadan pantai Pangandaran adalah sebagai berikut : a) Keben (Baringtonia sp.). b) Malapari (Pongamia pinnata). c) Nyamplung (Callophylum inophylum). d) Kelapa (Cocos nucifera). e) Pandan Laut (Pandanussp.). f) Ketapang (Terminalia catappa).

Kebudayaan

Masyarakat daerah pesisir Pangandaran umumnya menggunakan bahasa Sunda karena masih termasuk ke dalam wilayah Jawa Barat. Budaya dan keseniannya juga sangat erat dengan nilai-nilai adat Sunda, namun sebagian kecil masyarakat menggunakan bahasa campuran antara Bahasa Sunda dan Jawa karena Kabupaten Pangandaran merupakan Kabupaten perbatasan dengan Jawa Tengah.

Menurut Thorntonet al. (1997) dalam kegiatan pariwisata terdapat sepuluh elemen budaya yang menjadi daya tarik wisata, yakni: kerajinan, tradisi, sejarah dari suatu daerah atau tempat, arsitektur, makna lokal atau tradisional, seni dan musik, cara hidup suatu masyarakat, agama, bahasa, dan pakaian tradisional.

25

Kegiatan yang diselenggarakan di destinasi pariwisata Pantai Pangandaran sangat bervariatif, mulai dari yang bersifat nasional sampai internasional sehingga menarik minat wisatawan untuk berkunjung ke destinasi pariwisata Pantai Pangandaran (Wijayaet al., 2012).

Kegiatan yang pertama adalah Hajat Laut Pangandaran yakni upacara yang dilakukan nelayan di Pangandaran sebagai perwujudan rasa terima kasih mereka terhadap kemurahan Tuhan YME dengan cara melarung sesajen ke laut lepas (acara ini biasa dilaksanakan pada tiap-tiap bulan Muharam, dengan mengambil tempat di Pantai Timur Pangandaran). Menurut Syarifuddin (2015), daya tarik upacara tradisional hajat laut, merupakan tradisi yaitu peristiwa budaya yang diselenggarakan satu tahun sekali, yang diwariskan secara turun temurun. Disamping sebagai tradisi, juga sebagai peristiwa yang membutuhkan aktivitas kesenian, melalui pertunjukkan wayang, yang berfungsi sebagai sarana upacara, hiburan, tontonan, dan pendidikan.

Menurut Sartini (2012) eksistensi ritual bahari mempunyai beraneka fungsi religius, etis, dan sosial. Ritual bahari mengungkapkan keyakinan akan eksistensi kekuatan supra inderawi, rasa syukur, permohonan keselamatan, dan upaya konservasi mempertahankan kehidupan. Aktivitas upacara tradisional baik yang bersifat tradisi maupun bernilai seni, dapat menarik para pengunjung untuk menyaksikan seluruh aktivitas kegiatan dalam upacara tradisional hajat laut. Ini menggambarkan bahwa upacara tradisional hajat laut memiliki daya tarik wisata bagi para calon pengunjung. Daya tarik upacara tradisional hajat laut, memiliki nilai budaya yaitu nilai religi yang ditunjukkan dengan pembacaan ayat suci Al qur’an dan sholawat; nilai penghormatan, yaitu menghormati dan mengenang jasa khalifah, pahlawan, keluarga yang meninggal di laut; nilai ketaatan, yang ditunjukkan dengan larangan tidak melaut, nilai gotong royong, kebersamaan dalam mempersiapkan perlengkapan, nilai kesenian melalui pertunjukkan seni dan musik, nilai kebersamaan, nilai cinta tanah air, serta nilai ekonomis, yang kedua adalah festival layang-layang yang rutin diadakan oleh Persatuan Layang-Layang Pangandaran (PERLAP) dalam rangka memperingati kemerdekaan Republik Indonesia yang didukung oleh Pemerintah Daerah setempat dan partisipasi masyarakat (DPPPK-UMKM Kabupaten Pangandaran, 2015).

Bobot Skor Nilai Skor Nilai Skor Nilai Skor Nilai Skor Nilai Skor Nilai Skor Nilai Skor Nilai 1 Kedalaman perairan (m) 5 3 15 3 15 3 15 3 15 3 15 3 15 3 15 3 15 2 Tipe pantai 5 3 15 3 15 3 15 3 15 1 5 1 5 2 10 3 15 3 Lebar pantai (m) 5 3 15 3 15 3 15 3 15 1 5 3 15 0 0 3 15 4 Material dasar perairan 3 3 9 3 9 3 9 3 9 0 0 2 6 1 3 3 9

5 Kecepatan arus (m/dt) 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 6 Kemiringan pantai (o) 3 3 9 3 9 3 9 3 9 3 9 3 9 0 0 3 9 7 Kecerahan perairan (m) 1 3 3 3 3 3 3 3 3 0 0 2 2 3 3 2 2

9 Biota berbahaya 1 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 10 Ketersediaan air tawar

(jarak/km) 1 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 3 3 3 3 3 3 78 78 78 78 43 63 43 74 93 93 93 93 51 75 51 88 S1 S1 S1 S1 N S2 N N Kelas Cikambulan TOTAL %

8 Penutupan lahan pantai 1 3 3

Sukaresik Cibenda Ciliang

3 3 1 Karangjaladri 3 3 0 0 1 2 2 3 3 3 3 No Parameter

Pangandaran Pananjung Wonoharjo

Wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan pemanfaatan sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai untuk tujuan seperti rekreasi, olahraga, menikmati pemandangan dan iklim. Kesesuaian wisata pantai dapat dilihat dengan melakukan analisis indeks kesesuaian wisata. Pantai di Kabupaten Pangandaran apabila dilihat berdasarkan kategori wisata pantai seperti berkembang sekarang maka dapat digolongkan ke dalam kategori rekreasi. Adapun untuk dapat melihat kesesuaiannya sebagai kawasan wisata maka perlu diperhatikan parameter-parameter kesesuaian wisata dengan memperhatikan beberapa klasifikasi penilaian. Berdasarkan hasil klasifikasi maka dapat diketahui bagaimana kondisi wisata yang diamati. Berikut Indeks Kesesuaian Wisata Pantai Kabupaten Pangandaran yang ditampilkan pada Tabel 9.

Tabel 9. Indeks Kesesuaian Wisata Pantai

Sumber : Hasil Analisis

Berdasarkan Tabel 11, terdapat 4 (empat) desa yang dikategorikan sesuai (S1) untuk wisata rekreasi pantai, yaitu Pantai Barat Desa Pangandaran, Desa Pananjung, Desa Wonoharjo, dan Desa Cikambulan, serta 1 (satu) desa yang dikategorikan cukup sesuai (S2) yaitu Desa Cibenda.

Hal ini terlihat dari nilai kedalaman air yaitu 3 meter dengan rata-rata kecepatan arus di lima desa tersebut adalah 0.3-0.5 m/s. Parameter untuk tipe pantai di setiap desa tersebut ialah pantai berpasir kecuali Desa Cibenda yang memiliki pantai berkarang. Selain itu secara keseluruhan (pada lima desa tersebut) tidak terdapat biota berbahaya. Lebar pantai berkisar 50-150 meter sampai ke batas infrastruktur daratan, seperti rumah, warung, dan jalan. Oleh karena itu, ke lima desa tersebut memiliki ketersediaan air tawar pada jarak kurang dari 500 meter dari garis pantai. Kecerahan perairan di pantai-pantai tersebut adalah 81% kecuali Desa Cibenda yang memiliki kecerahan perairan 70% dengan material

27

dasar perairan ialah pasir yang berukuran mulai dari halus sampai sangat halus kecuali di Desa Cibenda yaitu karang berpasir. Parameter kemiringan pantai di 5 (lima) desa ini termasuk ke dalam kategori landai dengan rata-rata 4o-8o dan penutupan lahan pantai berupa kebun kelapa dan lahan terbuka kecuali Desa Cibenda yaitu berupa semak belukar.

Sedangkan Desa Sukaresik, Desa Ciliang, dan Desa Karangjaladri dikategorikan sebagai kawasan yang tidak sesuai (N) untuk dikembangkan menjadi wisata pantai. Hal ini dikarenakan pantai-pantai di 3 (tiga) desa tersebut memiliki faktor pembatas, yaitu (1) tipe pantai yang terdapat di Desa Sukaresik berupa pantai yang berlumpur dan kecerahan perairannya berkisar antara 20%- 50% yang diakibatkan karena adanya muara sungai yaitu Muara Karang Tirta, (2) lebar pantai di Desa Ciliang hanya bernilai kurang dari 3 meter dan kemiringan pantai terjal dengan kemiringan lebih dari 45oyang berada di kawasan wisata Batu Hiu, dan (3) penutupan lahan pantai berupa pelabuhan di Desa Karangjaladri. Dari hasil klasifikasi ini, lahan yang sesuai untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata pantai memiliki luas 71 ha (36%), cukup sesuai 41 ha (20%), dan tidak sesuai 88 ha (44%). Persebaran wilayah kesesuaian wisata pantai Kabupaten Pangandaran secara spasial disajikan pada Gambar 12 dan Gambar 13.

Gambar 12. Persebaran Wilayah Kesesuaian Wisata Pantai

Gambar 13. Kesesuaian Wisata Pantai Pada Skala yang Lebih Besar (Tiap Desa)

e. Desa Pangandaran d. Desa Cibenda

c. Desa Pananjung b. Desa Wonoharjo

Bobot Skor Nilai Skor Nilai Skor Nilai Skor Nilai Skor Nilai Skor Nilai Skor Nilai Skor Nilai

1

Pengembangan kawasan sebagai daerah tujuan wisata

1 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

2 Pengelolaan kawasan

wisata oleh masyarakat 1 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 Peran aktif masyarakat

dalam pariwisata 5 3 15 3 15 3 15 2 10 1 5 0 0 3 15 0 0 4 Keuntungan kegiatan wisata 5 3 15 3 15 3 15 2 10 1 5 0 0 3 15 0 0 5 Keberadaan wisatawan 3 3 9 3 9 3 9 3 9 3 9 3 9 3 9 3 9 45 45 45 35 25 15 45 15 100 100 100 78 56 33 100 33 S1 S1 S1 S1 S2 S3 S1 S3

Sukaresik Cibenda Ciliang Karangjaladri Pangandaran

Faktor

No Pananjung Wonoharjo Cikambulan

Total % Tingkat

Analisis Tingkat Penerimaan Masyarakat

Berdasarkan hasil survey dan wawancara dengan masyarakat, didapatkan bahwa masyarakat Kabupaten Pangandaran memberikan tanggapan yang positif terhadap pariwisata di wilayah mereka. Pada umumnya masyarakat sangat antusias jika daerahnya dikembangkan dan dijadikan daerah tujuan wisata, karena akan lebih banyak pembangunan yang dilaksanakan di kawasan tersebut. Akan tetapi masyarakat juga berharap bahwa pembangunan yang dilaksanakan harus memperhatikan dan melibatkan penduduk setempat. Dengan demikian diharapkan akan lebih banyak lagi tenaga kerja yang bisa terserap ke dalam industri pariwisata tersebut.

Hal ini sesuai dengan pendapat Buchbaum (2004) yang menyatakan bahwa masyarakat lokal dapat menerima kegiatan wisata apabila mereka percaya bahwa wisata dapat memberikan dampak positif dalam kehidupan mereka dengan memperbaiki usaha perdagangan lokal, menggunakan tenaga kerja lokal, dan meningkatkan pendapatan rumah tangga. Adapun beberapa ciri-ciri pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Davison et al.

(2004) adalah sebagai berikut; (1) kegiatan pariwisata dijalankan dan berdasarkan persetujuan masyarakat lokal. Berkaitan dengan hal ini, masyarakat lokal harus berpatisipasi dalam perencanaan dan pengelolaan wisata, (2) diutamakan pelibatan masyarakat daripada pelibatan individu. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa pelibatan secara individu akan lebih memungkinkan terjadinya gangguan sosial, (3) adanya pembagian keuntungan yang adil bagi masyarakat lokal. Idealnya hal ini juga berkaitan dengan kepentingan-kepentingan sosial masyarakat seperti kesehatan dan pendidikan, (4) menghormati budaya tradisional dan struktur sosial setempat serta dilakukan dengan ramah lingkungan. Hasil analisis tingkat penerimaan masyarakat terhadap pariwisata diperlihatkan pada Tabel 10. Tabel 10. Indeks Tingkat Penerimaan Masyarakat

Sumber : Hasil Analisis

Berdasarkan hasil analisis tingkat penerimaan masyarakat (Tabel 12) terdapat 5 (lima) desa yang dikategorikan penerimaan tinggi (S1), yaitu Desa Pangandaran, Desa Pananjung, Desa Wonoharjo, Desa Cikambulan, dan Desa Ciliang. Hal ini sesuai dengan nilai hasil analisis dari kelima faktor penentu tingkat penerimaan masyarakat. Dengan demikian, secara keseluruhan masyarakat pesisir di desa-desa tersebut tergolong menghendaki daerah mereka dijadikan sebagai daerah tujuan wisata oleh pemerintah dan sangat setuju pengelolaan

29

wisata tersebut dilakukan bersama-sama dengan masyarakat dan masyarakat pesisir di kelima desa tersebut setuju dengan keberadaan wisatawan. Peran aktif masyarakat dari kelima desa tersebut ditunjukkan oleh adanya KOMPEPAR (Kelompok Penggerak Pariwisata) yang mengelola setiap ODTW (Objek Daerah Tujuan Wisata) di Kabupaten Pangandaran dan LWG (Local Working Group) (Gambar 14 a dan b).

Kategori penerimaan cukup tinggi (S2) diperoleh Desa Sukaresik. Sama seperti lima desa sebelumnya, masyarakat di sini juga sangat antusias dan setuju terhadap keberadaan wisatawan dan pengembangan kawasan sebagai daerah wisata yang dikelola oleh masyarakat. Namun, tidak dilibatkannya masyarakat dalam pengambilan keputusan serta tidak tergabungnya pemuda setempat (Gambar 14c) dalam KOMPEPAR mengakibatkan peran dan keuntungan kegiatan wisata di Pesisir Desa Sukaresik kurang terfasilitasi oleh pemerintah setempat. Padahal, di Desa tersebut terdapat Karang Taruna yang cukup antusias dalam mengelola daerah wisata yang sudah terkenal, yaitu Pantai Karang Tirta. Hal tersebut berbeda dengan Desa Cibenda yang dikategorikan ke dalam penerimaan rendah (S3) karena di desa ini selain tidak adanya kelompok masyarakat, juga belum dimanfaatkannya wilayah pesisir di desa tersebut untuk tempat wisata. Agak berbeda dengan Desa Karangjaladri, desa ini memiliki kategori tingkat penerimaan masyarakat yang rendah, tetapi penyebab utamanya Wilayah Pesisir di desa tersebut tidak dimanfaatkan sebagai daerah wisata pantai, melainkan dimanfaatkan sebagai pelabuhan internasional. Dari keseluruhan hasil analisis ini, maka tingkat penerimaan masyarakat di wilayah penelitian secara spasial dapat diperlihatkan pada Gambar 15, dengan menggunakan unit analisis batas desa.

Gambar 14. Wawancara dengan Responden

(a) Wawancara dengan ketua LWG. (b) Wawancara dengan ketua KOMPEPAR Kabupaten Pangandaran. (c) Wawancara dengan ketua Karang Taruna Desa

Sukaresik

(a) (b)

Gambar 15. Tingkat Penerimaan Masyarakat Kabupaten Pangandaran Rekomendasi Lokasi Pengembangan Wisata Pantai

Suatu kebijakan esensinya akan menerapkan strategi, prioritas, tujuan, sasaran, dan hasil yang diharapkan. Agar kebijakan berfungsi efektif, diperlukan “instrumen/alat” kebijakannya (policy tools/ instruments). Instrumen kebijakan tersebut merupakan alat untuk melangkah atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam merealisasikan kebijakan yang ditetapkan. Pemerintah Kabupaten Pangandaran dengan visinya ”Pangandaran Sebagai Kabupaten Pariwisata Dengan Destinasi Wisata Alam Dan Budaya Yang Mendunia Dan Tempat Tinggal Yang Nyaman Berlandaskan Nilai-Nilai Agama”, bermaksud mengembangkan perekonomian regionalnya berbasis pariwisata yang pengembangannya akan lebih terfokus pada pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dengan menetapkan kawasan-kawasan pengembangan terpilih yang akan dijadikan kawasan pariwisata bahari.

Rekomendasi lokasi pengembangan wisata pantai di Kabupaten Pangandaran ini disusun berdasarkan ketentuan bahwa desa mempunyai variabel kesesuaian wisata pantai yang sesuai (S1) dan tingkat penerimaan masyarakat yang tinggi (S1), hasilnya diperoleh 4 (empat) desa yang dapat dikembangkan sebagai daerah wisata pantai, yaitu ; Desa Pangandaran, Desa Pananjung, Desa Wonoharjo, dan Desa Cikambulan (Gambar 15).

31

Keselarasan Penggunaan Lahan Sempadan Pantai

Identifikasi untuk keselarasan antara kesesuaian wisata pantai dengan penggunaan lahan aktual akan sangat bermanfaat dalam pengembangan penggunaan lahan di masa yang datang yang dapat digunakan sebagai acuan untuk pemanfaatan lahan secara optimal. Keselarasan keduanya merupakan faktor penting untuk pengendalian pemanfaatan ruang mengingat Kabupaten Pangandaran merupakan Daerah Otonom Baru (DOB). Tabel 11 menunjukkan perbandingan klasifikasi kesesuaian penggunaan lahan aktual tahun 2015 dan lokasi wisata pantai di Kabupaten Pangandaran berdasarkan hasil analisis kesesuaian wisata pantai.

Tabel 11. Matriks Keselarasan Penggunaan Lahan Sempadan Pantai

No Kesesuaian Wisata Pantai (Desa)

Penggunaan Lahan Eksisting (Ha) Luas Total (Ha) Lahan Terbuka Perkebunan Lahan Terbangun Jalan 1 Pangandaran 8.4 0.35 3.65 2.65 15.05 2 Pananjung 6.09 5.89 0.59 0.55 13.12 3 Wonoharjo 17.07 1.53 1.9 0.26 20.76 4 Cikambulan 19 0.87 0.48 1.82 22.13 Luas Total 50.56 8.64 6.62 5.28 71 Sumber : Hasil Analisis

Kesesuaian penggunaan lahan sebagai kawasan wisata pantai pada kondisi aktual didominasi oleh lahan terbuka dengan luas 50.56 Ha atau 71.1% dari total luas sempadan pantai yang direkomendasikan untuk lokasi wisata pantai yaitu 71 Ha, adapun ketidakselarasan penggunaan lahan sebagai kawasan wisata pantai didominasi oleh peruntukan lahan terbangun dengan luas 6.62 Ha atau 9.3%, padahal berdasarkan Pasal 100 PP 26/2008 pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan rekreasi pantai, agar tidak menurunkan luas dan estetika kawasan. Sementara itu penggunaan lahan berupa vegetasi dan peruntukan jalan masing-masing memiliki luas 8.64 Ha atau 12.1% dan 5.28 Ha atau 7.5%.

Menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, masyarakat dapat menggunakan wilayah pesisir untuk kepentingan pemukiman sepanjang tidak melewati garis sempadan pantai. Apabila akan memanfaatkan kawasan tersebut, maka pihak yang berkepentingan harus mendapat persetujuan dari pemerintah daerah dan hak yang diperoleh adalah hanya Hak Pakai (HP) atau Hak Pengelolaan (HPL) sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Hal ini tentu dengan catatan bahwa penilai memperhatikan keterbatasan daya dukung, pembangunan berkelanjutan, serta kelestarian fungsi lingkungan karena inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang dapat menimbulkan permasalahan seperti degredasi lingkungan dan bencana. Oleh karena itu, keselarasan tersebut perlu mempertimbangkan semua kebijakan yang berlaku di wilayah tersebut, yaitu kawasan wisata pantai, alokasi pola ruang, penggunaan lahan, dan aspek kebencanaan, khususnya tsunami di wilayah studi. Penyelarasan ini tidak lain

bertujuan untuk meminimalkan dampak kerusakan dan korban jiwa jika tsunami terjadi lagi di waktu yang akan datang. Jenis penggunaan lahan tersebut diperlihatkan pada Gambar 17.

Gambar 17. Jenis Penggunaan Lahan di Sempadan Pantai Kebijakan Kawasan Wisata Pantai

Salah satu konsekuensi penting dalam sebuah kebijakan adalah implementasinya, karena pada tahap ini memperlihatkan bagaimana suatu kebijakan diterapkan (Anggraeni et al, 2013). Menurut Syahruddin (2010) suatu implementasi kebijakan akan efektif dan berdayaguna apabila pelaksanaannya konsisten, yakni pelaksanaan kebijakan tidak saling bertentangan. Implementasi kebijakan tersebut dapat diukur salah satunya menggunakan analisis kebijakan retrospektif (Dunn, 1998), agar dapat melihat penerapan kebijakan berjalan dan mengevaluasi hasil implementasi kebijakan yang ada (Sylviani dan Suryandari 2013). Retrospektif implementasi kebijakan kawasan pariwisata pantai di Kabupaten Pangandaran diuraikan sebagai berikut ;

1. Pengelolaan Pariwisata Kabupaten Pangandaran

Sarana dan Prasarana

Kelengkapan prasarana dan sarana akan menjadi faktor penunjang perkembangan pariwisata karena berpengaruh terhadap pola pencarian arus wisatawan menuju ODTW. Juga jaringan transportasi menjadi hal yang penting untuk menunjang perkembangan kawasan wisata. Hal ini juga berdampak pada penyerapan tenaga kerja (Andayani et al,. 2012). Namun, pembangunan dan pengelolaannya harus memperhatikan aspek ekologi dan pelestarian lingkungan serta ekosistemnya agar pemanfaatan obyek wisata dapat berlangsung secara lestari. Selain itu, penempatan sarana dan prasarana harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan cermat karena jika tidak maka akan mempengaruhi mutu tampilan obyek wisata. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No 36 tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam Di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Hutan Raya Dan Wisata Alam, Peraturan Pemerintah No 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010- 2025 dan Peraturan Daerah Ciamis No 19 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan. Implementasi kebijakan tersebut diperlihatkan pada Tabel 12.

33

Tabel 12. Implementasi Kebijakan Sarana dan Prasarana Pariwisata Sarana dan Prasarana Pariwisata Implementasi Kebijakan

Berjalan Tidak Berjalan Dasar Peraturan 1. Jasa Wisata 1. PP No 36/2010 2. PP No 50/2011 3. Perda Ciamis No 19/2011 Pramuwisata V Transportasi V Cinderamata V Pemondokan V

Rumah Makan dan Minum V

2. Wisata Tirta

Gudang Penyimpanan Alat Rekreasi V Tempat Berlabuh Alat Transportasi Air V 3. Pelayanan Umum

pelayanan telekomunikasi V

pelayanan angkutan V

pelayanan penukaran uang V

pelayanan kesehatan; V pelayanan kebersihan V Fasilitas Ibadah V Informasi Pariwisata V 4. Fasilitas Penunjang Papan Petunjuk V Areal Parkir V Jaringan Listrik V

Jaringan air bersih V

jaringan telepon V

jaringan internet V

MCK V

Akses jalan V

Organisasi Kepariwisataan

Menurut Yoeti (2006), kegiatan kepariwisataan dapat menimbulkan masalah sosial dan budaya, terutama di tempat-tempat adanya perbedaan tingkat sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Partisipasi masyarakat (public participation) pada tatanan pemerintahan yang demokratis menghendaki adanya keterlibatan publik dalam proses pengambilan keputusan (decision-making process) yang semakin penting di era otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah membawa perubahan besar dalam setiap segmen penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Senada dengan hal tersebut melalui Undang-Undang no 26 Tahun 2014 tentang Desa, dalam menyusun kebijakan pembangunan wajib melibatkan masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 82 yang mengatur tentang mekanisme perencanaan pembangunan di Desa.

Keterlibatan masyarakat tidak hanya pada saat proses perencanaan, akan tetapi dalam undang-undang ini juga mensyaratkan keterlibatan masyarakat dalam tahap pelaksanaan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian desa dapat mengembangkan bagaimana monitoring dan evaluasi pembangunan partisipatif yang menekankan keterlibatan masyarakat. Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang bahwa tujuan dari penataan ruang adalah mewujudkan penataan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan yang pada akhirnya bermuara kepada kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang menjadi sangat penting dan perlu menjadi pertimbangan di dalam proses penataan ruang. Senada dengan peraturan tersebut, asas kepariwisataan diselenggarakan secara partisipatif, yang tertuang secara rinci dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan Pasal 2 Ayat 1 Huruf g.

Sementara itu, peran serta masyarakat dan memasyarakatkan kegiatan sadar wisata, melalui program sapta pesona dan pemanfaatan potensi kepariwisataan di Jawa Barat telah ditetapkan dalam aturan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor : 15 Tahun 1997 Tentang Kelompok Penggerak Pariwisata (KOMPEPAR). Kelompok masyarakat tersebut memiliki perannya masing-masing, KOMPEPAR berada di masing-masing obyek wisata dan mengakomodir kelompok-kelompok masyarakat yang lebih kecil di setiap ODTW seperti organisasi penyewa ban, papan surf, sepeda, PKL, dan lain-lain dan sebagai mediator antara pemerintah dan masyarakat. Adapun LWG hanya memiliki fokus terhadap pemeliharaan lingkungan yang berbasis di Desa Pangandaran.

Pada tahun 2010, konsep Destination Management Organization (DMO) diterapkan untuk memperbaiki Tata Kelola Destinasi Pariwisata (TKDP) Pangandaran yang menekankan pada bentuk kolaborasi antar pemangku kepentingan baik dari kelompok masyarakat, swasta, dan pemerintah dengan dipimpin oleh sebuah organisasi manajemen destinasi yang bertugas sebagai mediator, fasilitator, dan koordinator antara ketiga kelompok pemangku kepentingan tersebut sekaligus bertindak sebagai mitra pemerintah daerah melalui Dinas ParwisperindagkopUMKM. Namun, DMO yang seharusnya menjadi mediator ternyata belum dapat menjalankan perannya dengan optimal (Briliyanto dan Putro, 2015). Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 18, DMO Pangandaran tidak memiliki garis koordinasi dengan pihak masyarakat, baik dari LWG, Kompepar, maupun tokoh masyarakat. Padahal, secara teori mereka seharusnya memiliki garis koordinasi.

35

2. Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Pangandaran

Menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, masyarakat dapat menggunakan wilayah pesisir untuk kepentingan permukiman sepanjang tidak melewati garis sempadan pantai. Berdasarkan Undang-Undang No 1 tahun 2014 Pasal 1 ayat 21 dinyatakan bahwa pengertian Sempadan Pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

Pada dasarnya, penggunaan dan pemanfaatan lahan di wilayah pesisir diperbolehkan oleh undang-undang sepanjang masih tetap memperhatikan keterbatasan daya dukung, pembangunan yang berkelanjutan, keterkaitan ekosistem, keanekaragaman hayati, serta kelestarian fungsi lingkungan. Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, yaitu: Penggunaan dan pemanfaatan tanah pada pulau-pulau kecil dan bidang-bidang tanah yang berada di sempadan pantai, sempadan danau, sempadan waduk, dan atau sempadan sungai, harus memperhatikan : a) Kepentingan umum; b). keterbatasan daya dukung, pembangunan yang berkelanjutan, keterkaitan ekosistem, keanekaragaman hayati serta kelestarian fungsi lingkungan.

Namun demikian, implementasi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir di Kabupaten Pangandaran belum berjalan dengan baik seperti keberadaan pedagang asongan, pedagang kaki lima, perahu nelayan, pembangunan hotel yang menggunakan area sempadan pantai. Hal ini menyebabkan banyak terjadi permasalahan seperti kekumuhan area pantai, drainase, limbah sehingga mengganggu kenyamanan pengunjung. Menurut Lestyono (2010), drainase yang ada di Kawasan Wisata Pangandaran didominasi oleh kontruksi tanah/alami. Sebagian besar saluran tersebut kondisinya kurang baik, hal ini dikarenakan

Dokumen terkait