• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

BAB 4 KONDISI UMUM

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Masyarakat Kecamatan Blanakan 1 Karakteristik sosial budaya

5.1.3 Rona lingkungan hidup

Untuk mengetahui rona lingkungan hidup di lokasi penelitian dilakukan dengan wawancara yang kemudian diperkuat dengan pengamatan. Rona lingkungan hidup ini diperlukan untuk mengetahui kondisi lingkungan hidup terkini (pada saat penelitian) di wilayah pesisir tersebut terkait dengan asepek berkelanjutannya usaha perikanan pantai setempat. Responden yang diwawancarai adalah masyarakat pesisir yang meliputi nelayan, pedagang ikan dan pengolah ikan, baik lelaki dan perempuan. Pertanyaan yang diajukan meliputi cara pemanfaatan sumberdaya perikanan laut dan pantai, pengetahuan responden tentang lingkungan hidup sekitar mereka baik darat dan laut, pendangkalan sungai, pengalihan fungsi lahan dan pencemaran lingkungan.

Salah satu alat tangkap ikan yang digunakan oleh nelayan kecil setempat adalah jaring arad yaitu sejenis jaring trawl kecil. Penggunaan jaring arad sesungguhnya telah dilarang oleh pemerintah, karena dapat merusak habitat laut karena semua biota laut, baik yang berukuran kecil hingga besar dapat ikut terseret dan terjaring. Walaupun nelayan sudah mengetahui hal ini dari sosialisasi yang dilakukan oleh Dislutkan tentang pelarangan penggunaan jaring arad, ternyata masih banyak nelayan lokal yang tetap menggunakannya. Bahkan menurut pengakuan responden, lelaki dan perempuan hampir semua nelayan di lokasi penelitian masih mempunyai jaring arad ini. Pengakuan ibu E dan bapak M:

“Pakai (menggunakan) jaring arad, nelayan sudah pasti akan mendapat ikan (tangkapan) tapi hasil penjualannya lebih kecil (rendah) daripada hasil tangkapan dengan menggunakan jenis jaring lain. Yang jelas, pakai (jaring) arad pasti dapat ikan.”

Dengan penggunaan jaring arad, kualitas ikan tangkapan yang diperoleh rendah jika dibandingkan dengan kualitas ikan tangkapan dengan menggunakan jaring rampus dan jaring udang (jaring kantong). Kualitas ikan tersebut dilihat dari jenis ikan dan ukuran ikan yang ditangkap. Jaring arad termasuk jaring yang non selektif, jadi semua jenis biota dengan ukuran berapapun yang mampu ditampung akan terjaring.

Pada tahun 2005 di Desa Muara Ciasem sudah pernah ada pelaksanaan program pemerintah daerah berupa penggantian jaring arad dengan jaring yang

ramah lingkungan yaitu jaring rampus termodifikasi (rampus sirang). Jaring arad memiliki ukuran petak jaring 1x1 inci, jaring rampus memiliki ukuran petak jaring 2x2 inci, sedangkan jaring rampus termodifikasi memiliki ukuran petak jaring 1,75x1,75 inci. Hasil yang diperoleh nelayan dengan jaring rampus termodifikasi relatif banyak dan dengan kualitas tangkapan ikan yang juga baik sehingga dapat dijual ke TPI dengan harga yang cukup tinggi, selain itu jaring ini bersifat ramah lingkungan karena tidak merusak habitat laut. Sayangnya, program Pemda Kabupaten Subang hanya mengganti sebagian dari jumlah jaring arad yang dimiliki nelayan. Kekecewaan diutarakan oleh bapak M:

“Pemerintah hanya ganti lima pis jaring arad saja, padahal nelayan butuh 40 pis untuk menangkap ikan, jelas tidak cukup. Dari mana uang untuk ganti 35 pis lainnya? Nelayan balik (kembali) pakai jaring arad.”

Bantuan jaring rampus sebanyak lima pis (pieces) untuk tiap Juragan perahu yang menjadi anggota KUD atau kelompok nelayan, sedangkan jumlah yang dibutuhkan oleh nelayan adalah sebanyak 40 pis. Dengan demikian, nelayan masih memerlukan tambahan modal untuk memenuhi kebutuhan jaring, sekitar Rp.5.000.000 hingga Rp.6.000.000 untuk pembelian 35 pis jaring. Nelayan yang menjadi anggota KUD dapat memperoleh pinjaman dana dari KUD untuk pembelian jaring tersebut, tetapi akibat penghasilan yang sedikit dari penjualan ikan tangkapannya maka nelayan tidak dapat meminjam uang sesuai kebutuhan, akibatnya nelayan masih tetap menggunakan jaring arad sebagai alat penangkap ikan.

Saat diwawancarai mengenai kondisi lingkungan hidup setempat, responden yang berprofesi sebagai nelayan menyatakan bahwa sepanjang pantai masih banyak dijumpai hutan mangrove. Pengutaraan bapak K dan bapak D sebagai berikut:

“Pantai di daerah sini (wilayah Blanakan) masih banyak bakau-nya. Dulu pernah ada yang babat, tetapi sekarang sudah rimbun lagi.”

Memang pernah terjadi pembabatan hutan mangove menjadi tambak, tetapi kemudian dilakukan penanaman bakau kembali oleh pemerintah. Kawasan mangove tersebut yang sekarang telah menjadi jalur hijau (green belt) bagi pesisir setempat. Adanya hutan mangrove ini menjadi lokasi pemijahan hewan laut

sehingga biota laut akan mudah dijumpai dan akan menguntungkan untuk perikanan pantai.

Di wilayah kecamatan ini banyak terjadi tanah timbul akibat pendangkalan dari sungai besar yang mengalir ke laut. Daerah tanah timbul ini banyak yang ditumbuhi oleh tumbuhan mangrove, hutan mangrove ini banyak yang dibabat dan dijadikan tambak. Selain itu, daerah tanah timbul ini juga digunakan sebagai daerah permukiman nelayan dan pembuangan sampah padat. Bapak R dan bapak J menyatakan:

“Tanah timbul ada yang dipakai buat (lokasi) bangun (mendirikan) rumah, ada yang dibuat tambak ikan bandeng, ada yang dibiarkan kosong bisa untuk buang sampah.”

Adanya tanah timbul ini menyebabkan adanya konflik pemilikan antara pemerintah dan masyarakat. Menurut Dislutkan dan IPB (2003), di sekitar pantai Blanakan proses sedimentasi menyebabkan adanya tanah timbul seluas 400 ha dan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai lahan untuk pertambakan. Disamping itu, sedimentasi mengganggu aktivitas perikanan tangkap, salah satunya adalah mengakibatkan adanya pendangkalan di sekitar muara sungai yang dapat menghambat jalur transportasi kapal atau perahu. Menurut BPLHD Jabar dan ITB (2001), pendangkalan yang terjadi karena adanya banjir rutin dengan frekwensi yang cukup tinggi menghasilkan endapan limbah banjir tahun demi tahun dan berkembangnya muara-muara sungai yang cukup jauh ke arah laut. Menurut responden, banjir yang terjadi hampir setiap tahun ini sangat mengganggu mereka, karena dapat menghentikan kegiatan perikanan setempat apalagi kemudian disusul oleh pendangkalan sungai. Kapal motor dan perahu motor berukuran besar akan mengalami kesulitan untuk memasuki sungai Ciasem dan kali Blanakan akibat pendangkalan sungai.

Di lokasi penelitian tidak ada tempat pembuangan sampah padat yang tetap. Menurut responden, sampah padat umumnya dibuang ke sungai atau tambak dan dikumpul pada tanah kosong untuk kemudian dibakar. Ibu C dan ibu K menyatakan:

“Buang sampah ke tanah kosong, tambak atau ke kali (sungai). Tak tempat pembuangan khusus.”

Sampah yang dibuang ke badan air berupa sampah domestik atau limbah padat olahan ikan, disamping itu nelayan juga membuang sampah dari atas perahunya. Pembuangan sampah ke badan air ini mengganggu pelayaran di perairan sungai yang menuju ke laut akibat sampah yang menyangkut di kipas mesin perahu dan menyangkut pada jaring ikan.

Salah satu wilayah penangkapan ikan baru adalah di wilayah kerja Pertamina. Menurut beberapa responden yang berprofesi sebagai nelayan,

“Saya melaut sampai ke daerah Pertamina. Dulu di situ jarang ada ikan, tetapi sekarang banyak, setelah bangunan Pertamina itu ada. Hasilnya lumayan banyak.”.

Di perairan laut antara wilayah Kabupaten Karawang dan Kabupaten Subang terdapat pengeboran minyak lepas pantai (off-shore) yang dikelola Pertamina. Adanya bangunan eksploitasi minyak (platform) ini menguntungkan bagi nelayan, karena perairan di bawah platform ini menjadi habitat ikan sehingga daerah itu menjadi wilayah penangkapan ikan baru bagi nelayan lokal, memang sebelum platform dibangun, daerah tersebut bukan daerah wilayah penangkapan karena jarang dijumpai ikan di sana.