mengikuti pola untuk menjaga dan melindungi wilayah Tana (Tanah) Bati meliputi penempatan manusia dan perkampungan mulai dari pesisir pantai, lereng bukit, sampai di pegunungan untuk kepentingan keamanan komunitas dan Tana (Tanah) Bati yang dianggap sakral. Setelah peneliti masuk dalam Dunia Orang Bati, maka relasi sosial yang dikembangkan sejak awal yaitu menelusuri jejak leluhur untuk menerapkan pendekatan genealogis. Maksud dalam mengembangkan cara ini selain untuk mendudukan posisi peneliti dalam kehidupan Orang Bati atau masyarakat Bati, tetapi lebih jauh dari itu adalah membangun hubungan sosial berdasarkan relasi saling percaya dan saling memberi. Melalui relasi saling percaya, saling memberi menciptakan ruang yang indenpenden bagi Orang Bati atau masyarakat Bati dengan peneliti
).
Namun ditemui oleh peneliti bahwa persepsi negatif yang selama ini berkembang dikalangan Orang Maluku terhadap Orang Bati ternyata memberikan ruang yang sempit bagi mereka dalam melakukan interaksi sosial dengan orang luar. Hal ini tampak ketika Orang Bati berhadapan dengan orang luar di mana mereka senantiasa berhati-hati, dalam komunikasi sehingga identitas mereka tidak diketahui oleh orang luar. Apabila terjadi demikian, Orang Bati mesti berada pada posisi yang tidak menguntungkan mereka sama sekali. Orang Bati melakukan interaksi sosial dengan orang luar secara leluasa karena keberadaan tidak diketahui. Bahkan ada diantara pen- duduk yang melihat orang Bati sedang berjalan, mereka kemudian masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rapat-rapat, sambil mengintip dibalik pintu atau jendela. Dalam realitasnya, sebenarnya Orang Bati memiliki sikap ter- buka. Interaksi sosial bisa berlangsung lebih lancar apabila telah terjalin hubungan saling mengenal. Walaupun dalam kenyataannya, Orang Bati tidak mudah menaruh kepercayaan penuh pada orang yang baru mereka kenal.
Lingkungan dan Kebudayaan Orang Bati
Orang Bati menempati lingkungan fisik maupun sosial menurut kebudayaan yang diwariskan oleh leluhur mereka. Berikut ini dapat dilihat makna menghuni lingkungan fisi dan sosial sebagai berikut:
Lingkungan Permukiman Orang Bati
17)Wawancara dengan bapak ASia (73 tahun) Wakil Kepala Dusun Watu-Watu (Bati
untuk terlibat dalam berbagai aspek kehidupan sosial kemasyarakatan. Pintu masuk adalah ruang sosial yang mampu menciptakan situasi sosial untuk saling menghargai, menghormati, menyayangi, dan lainnya yang diwujudkan dalam kehidupan sosial secara nyata.
Perlu dikemukakan bahwa penamaan Orang Bati Pantai bukan berarti orang yang menghuni perkamupngan daerah pantai, tetapi Bati Patai adalah orang yang mendiami lereng bukit maupun dataran rendah yang terdapat dalam kawasan hutan pedalaman. Hasil observasi lapangan diketahui bahwa rumah kediaman Orangan Bati memiliki konstruksi, bahan dasar, dan lainnya yang tidak jauh berbeda antara mereka yang mendiami pesisir pantai maupun di lereng gunung, serta pegunungan dipahami sebagai ruang hunia. Konsep utama Orang Bati mengenai ruang hunian adalah lokasi bermukim dan menghuni berdasarkan konteks budaya Orang Bati di dalam menenmpati wilayah kekuasaan (watas nakuasa). Wilayah ini harus mereka awasi, kelola, pelihara, dan lainnya. Untuk itu konsep tentang Tana atau Tanah yang dimaksudkan oleh Orang Bati adalah Tanah Bati yaitu wilayah adat yang terbentang dari Kampung atau Dusun Madak sampai Kampung atau Dusun Uta, dan wilayah adat yang terbentang dari Kampung atau Dusun Kileser sampai dengan Kampung atau Dusun Bati Kilusi (Bati Awal) di-namakan Tanah Bati adalah wilayah sakral yang harus dilestarikan oleh mereka sebagai pewaris tradisi Bati.
Dalam perspektif Orang Bati atau masyarakat Bati, Tana (Tanah) Bati adalah wilayah yang memiliki nyawa. Maknanya yaitu, nyawa seseorang tidak dapat dimiliki oleh orang lain. Nyawa yang dimiliki oleh seseorang tidak dapat tergantikan dengan nyawa dari orang lain, apalagi dibeli. Sebab kehidupan manusia dan tanah adalah senyawa sebagaimana dikemukakan oleh Orang Bati bahwa:
Manusia, tanah, dan segala isinya memiliki nilai mendasar dan ini sudah dimiliki sejak dahulu kala ketika leluhur mereka mendiami kawasan ini. Orang Bati atau masyarakat Bati sangat percaya bahwa Manusia Bati yang mendiami Tanah Bati itu tidak pernah mati. Ia selalu ada dengan mereka sebagai anak cucu yang mendiami kampung (wanuya) atau dusun-dusun di Tanah Bati, baik dusun yang terletak di pesisir pantai, lereng bukit, maupun pegunungan adalah wilayah
kekuasaan (watas nakuasa) Orang Bati yang punya nyawa. Sebenarnya
watas nakuasa yang meliputi keturunan Orang Bati di Seram Timur
cukup luas karena mencakup wilayah adat Weuartafela yang berpusat
di Kian Darat, Kelbarin yang berpusat di Waru, dan Kuwairumaratu
yang berpusat di Kelmuri. Saat ini wilayah adat tersebut masuk dalam wilayah administrasi Pemerintahan Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT). Orang Bati mendiami wilayah administrasi Kecamatan Seram Timur dan Kecamatan Tutuk Tolo. Orang Bati atau masyarakat Bati terbanyak berada dalam wilayah adat Kian Darat, Kecamatan Seram Timur. Untuk itu yang dimaksud dengan Tanah Bati adalah wilayah
kekuasaan yang terbentang dari Madak sampai Uta atau Utafa, dan dari Kileser sampai dengan Bati Kilusi (Bati Awal) adalah Atamae Batu18
Lokasi bermukim dari Orang Bati yang terdapat disekitar wilayah pegunungan pada umumnya mereka memilih tanah yang datar, dekat aliran sungai, dan. Pada umumnya rumah yang ditempati oleh Orang Bati terbuat dari kayu, berdinding papan, maupun pelepah sagu (gaba-gaba), kasu rumah dari bambu, dan beratap rumbia (daun sagu). Tali untuk mengikat kayu maupun bambu terbuat serat yang diambil dari pohon enau atau ijuk (gamutu). Kondisi Orang Bati yang mendiami wilayah pegunungan, lereng bukit karena hal ini dilakukan sesuai dengan hak milik mereka masing-masing yang dinamakan wilayah kekuasaan milik marga (etar). Untuk itu dikemukakan oleh Orang Bati bahwa:
).