• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Esuriun orang Bati

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Esuriun orang Bati"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI ETNOGRAFI ORANG BATI

di MALUKU

Pengantar

Fenomena Orang Bati di Maluku tergolong sangat khas. Ketika nama Orang Bati untuk pertama kali peneliti pertanggungjawabkan secara ilmiah melalui ujian terbuka Program Doktor Studi Pembangunan di Universitas Kristen Satya Wacana-Salatiga, menandai 27 tahun (1985-2012) adalah per-jalanan waktu yang dibutuhkan untuk menelusuri, menemukan, dan menulis secara ilmiah mengenai Orang Bati di Maluku. Tema utama Diserta ini adalah

Esuriun Orang Bati (Esu = Hutan dan Riun = Ribuan), adalah kisah turunnya leluhur Alifuru Bati atau Orang Bati dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) untuk melindungi hak milik (mabangat nai tua malindung) seluruh hak milik yang berharga meliputi manusia, tanah, hutan, identitas, adat, budaya, sumber daya alam, dan lainnya yang berada dalam etar (wilayah milik marga) dan terdapat dalam watas nakuasa (wilayah kekuasaan) orang Bati untuk bertahan hidup (survival strategy).

Penelitian ilmiah untuk mengungkap fenoeman Orang Bati dengan menggunakan metode kualitatif bersumber pada pengalaman lapangan dari peneliti sendiri. Bersumber pada pengalaman empirik ketika pertama kali peneliti memperoleh informasi awal, perjumpaan tidak sengaja, pengenalan ceritera ke minat, menelusuri Pulau Seram, studi budaya tutur, mencari dan menemukan tokoh kunci, menjalani inisiasi, mencari Negeri Orang Bati, perjumpaan pertama kali dengan Orang Bati, negosiasi meneliti dan menulis,

survai (penjajakan awal) ke lokasi pe-nelitian, masuk lapangan untuk men-dalami dunia dunia Orang Bati. Kondisi yang berlangsung demikian mem-butuhkan langkah tepat untuk melakukan penelitian ilmiah secara mendalam, sebab sampai masa kini fenomena Orang Bati di Maluku belum dijumpai informasi ilmiah yang benar.

(2)

(anggapan negatif) sehingga informasi mengenai Orang Bati terus mengalami paradoks (bertentangan) di kalangan Orang Maluku.

Perdebatan yang berlangsung di kalangan Orang Maluku mengenai fenomena Orang Bati tidak pernah berakhir. Orang Bati distigma sebagai orang atau manusia ilang-ilang (hilang-hilang), misteri, jahat, dan sebagainya. Penelitian ilmiah untuk memahami dan menjelaskan tentang fenomena yang dialami Orang Bati oleh peneliti dengan mengembangkan metode penelitian kualitatif yang dinamakan Studi Etnografi Orang Bati di Maluku dimaksudkan bahwa melalui pendekatan kebudayaan secara holistik dapat mengungkap persoalan eksistensi Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa, serta kekuatan untuk bertahan hidup (survival strategy) pada Orang Bati secara individu maupun kelompok melalui cara menelusuri informasi awal melalui cara yang dilakukan khusus oleh peneliti dalam menghadapi kasus seperti Orang Bati di Maluku.

Informasi Awal

Pertama kali peneliti memperoleh informasi awal mengenai Orang Bati yang lahir dari pengalaman empirik yaitu melalui informasi secara lisan be-rupa ceritera (penuturan) orang tua-tua di Negeri Siri Sori Serani, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah pada bulan Mei tahun 1973. Negeri Siri Sori Serani berada di Pulau Saparua, adalah pulau yang terletak di bagian se-latan Pulau Seram. Orang-orang yang mendiami Pulau Saparua, Haruku, dan Nusa Laut dinamakan Kepulauan Lease, yang berasal dari nama Uliaser. Se-cara umum dapat dikemukakan bahwa penduduk atau orang-orang yang mendiami setiap negeri adat di Pulau Saparua memiliki wilayah kekuasaan atau petuanan sendiri-sendiri.

Orang asli yang mendiami negeri adat tertentu menyebut diri sebagai “anak negeri”, sedangkan orang lain yang datang maupun menetap di suatu negeri adat dinamakan “orang dagang”. Secara struktural, setiap negeri adat di Pulau Saparua memiliki ciri sebagai Orang Pata Siwa dan Orang Pata Lima. Stuktur sosial paling dasar dalam kehidupan orang-orang yang men-diami negeri adat di Pulau Saparua yaitu “mata-rumah” dan soa. Mata-rumah senantiasa terikat dalam soa sebagai struktur yang lebih besar dari “mata-rumah”. Pada setiap negeri adat memiliki jumlah soa yang tidak sama, dan me-miliki nama soa yang berbeda-beda. Solidaritas sosial dalam lingkungan soa

pada umumnya sangat kuat, dan informasi awal mengenai nama Orang Bati peneliti peroleh dari orang tua-tua yang berada dalam lingkungan Soa Hawoni

di Negeri Siri Sori Serani.

(3)

ketika memperoleh informasi awal mengenai nama Orang Bati yaitu; (1) Pada bulan Mei 1973. Waktu itu pagi hari, peneliti sedang membersihkan rumput di halaman rumah atau kintal1

Fenomena yang dialami oleh warga menurut ceritera (penuturan) orang tua-tua, kemudian mereka mulai mengkaitkannya dengan nama Orang Bati. Sebab menurut anggapan mereka semua yang terlibat dalam berceritera bahwa orang yang dapat menghilang secara cepat ketika dilakukan pengejaran oleh warga adalah Orang Bati. Diskusi orang tua-tua makin seru namun alot. Mereka mulai mengkaitkan persoalan tersebut dengan waktu yang tepat (tanoar) di mana saat itu di Negeri Siri Sori Serani mulai bertiup angin timur

). Tiba-tiba berdatangan beberapa orang tua-tua.

Jumlah orang tua saat itu sebanyak enam orang. Ketika enam orang tua-tua ini berkumpul, kemudian salah seorang dari mereka mulai berceritera (menutur) tentang peristiwa atau kejadian yang berlangsung pada malam hari sebelumnya di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Peristiwa yang diceriterakan yaitu berkaitan dengan aktivitas warga yang mengejar sosok manusia atau orang yang diduga hendak mencuri (maling). Ada dugaan kuat dari orang tua-tua bahwa kehadiran orang yang tidak dikenal tersebut ber-kaitan dengan isu serangan pemenggalan kepala manusia (potong kepala), atau orang tersebut bermaksud mencuri, dan berbagai dugaan lainnya; (2) Setelah warga melakukan pengejaran, ternyata orang yang dikejar pada malam hari tersebut tidak ditemukan. Bahkan orang yang dikejar secara tiba-tiba dapat menghilang secara cepat, dan jejaknya tidak bisa ditemukan; (3) Orang tua-tua menyimpulkan bahwa fenomena itu ada hubungan dengan kehadiran orang atau manusia ilang-ilang (hilang-hilang) dalam wilayah petuanan (daerah ke-kuasaan) Negeri Siri Sori Serani; (4) Isu mengenai kehadiran orang atau manusia ilang-ilang (hilang-hilang) terus bergulir sehingga warga lainnya perlu mewaspadai situasi yang lagi genting.

2

1)Pekarangan rumah milik marga, adalah bidang tanah yang dapat digunakan sebagai

tempat menanam sayur-sayuran, buah-buahan, dan lainnya. Kintal juga terdiri dari tanah kosong yang dijadikan sebagai tempat bermain bagi anak-anak, dan sebagainya.

2)Kebiasaan orang tua-tua kalau sudah bertiupnya angin yang kencang dari arah timur

mereka sering menghubungkannya dengan kedatangan Orang Bati. Sebab ceritera turun-temurun yang masih dipercaya oleh mereka bahwa Orang Bati biasanya datang dengan cara terbang ketika angin timur mulai bertiup sangat kencang, dan Orang Bati akan kembali ke negeri asalnya ketika angin barat mulai bertiup sangat kencang. Atau pada saat matahari sedang cerah tiba-tiba turun hujan (hujan-panas) biasanya Orang Bati sedang ke luar, dan lainnya.

).

(4)

seru. Semua yang diceriterakan oleh orang tua-tua tersebut, peneliti berusaha untuk mengingatnya secara baik.

Pada tempat yang lain, ternyata ceritera seperti ini juga berkembang di kalangan orang tua-tua yang berbeda. Bahkan di negeri-negeri lain peneliti sering mendengar ceritera yang sama. Biasanya cerita (penuturan) orang tua-tua mengenai Orang Bati berhenti apabila di antara mereka tidak ada kata sepakat. Setelah kelompok orang tua-tua yang berceritera tadi bubar, ke-mudian timbul berbagai macam pertanyaan dalam pikiran dan hati peneliti. Tetapi pertanyaan mendasar yang muncul saat itu pada peneliti, apakah benar itu Orang Bati? Pertanyaan ini dijawab sendiri oleh peneliti sebagai dugaan sementara bahwa kalau itu benar, berarti Orang Bati itu adalah manusia yang sangat hebat. Apabila dugaan peneliti ini salah, maka ada sesuatu yang tidak benar dan secara sengaja informasi mengenai ceritera orang tua-tua mengenai Orang Bati ada yang disembunyikan. Dalam perjalanan waktu cukup panjang, peneliti berasumsi atau menduga bahwa; (1) Semua ceritera yang berkembang di kalangan Orang Maluku mengenai Orang Bati belum tentu benar; (2) Ceritera Orang Maluku mengenai Orang Bati ada unsur kesengajaan dan me-ngandung rahasia tertentu yang tidak diceriterakan; (3) Orang Maluku yang berceritera mengenai Orang Bati tetapi mereka sama sekali tidak mengetahui dan memahami persoalan Orang Bati yang sesungguhnya, tetapi berusaha menjelaskan sehingga informasi tersebut menjadi paradoks.

(5)

me-mahami dan menjelaskan suatu isu, maupun fenomena sosial yang di-hadapi oleh masyarakat untuk menemukan solusi yang benar; (9) Menguasai teknik verifikasi data lapangan secara benar karena setiap kondisi sosial senantiasa berbeda, sehingga tidak boleh mengabaikan tempat, waktu, dan biaya; (10) Memiliki kejujuran untuk mengungkap realitas seperti apa adanya, dan bukan apa maunya peneliti; (11) Memegang teguh etika penelitian kualitatif sehingga menjaga sikap dan perilaku pada seorang peneliti kualitatif selalu berada pada posisi indenpenden untuk menyuarakan kebenaran yang ditemukan; (12) Posisi seorang peneliti kualitatif yaitu ia datang untuk belajar dari masyarakat, dan bukan mengajarkan masyarakat; (13) Sikap dan perilaku dari seorang peneliti kualitatif adalah menghormati tradisi, adat-istiadat, kebudayaan, dan lainnya pada lingkungan masyarakat yang diteliti; (14) Untuk mendukung aktivitas di lapangan maka seorang peneliti kualitatif perlu mengembangkan metode berlajar bersama masyarakat (informan) sehingga informasi yang diperoleh dari lapangan dapat menjawab tujuan penelitian, sehingga informasi mengenai Orang Bati yang terus mengalami paradoks dalam masyarakat dapat ditelusuri, ditemukan, serta diungkapkan secara benar sesuai keadaan apa adanya, dan bukan apa maunya peneliti.

Paradoks Orang Bati

Sampai masa kini informasi mengenai Orang Bati di Maluku sungguh paradoks (bertentangan) karena setiap anggota maupun kelompok masyarakat di Maluku yang memiliki pengalaman berjumpa, bergaul, dan sebagainya dengan Orang Bati tetapi sering dirahasiakan pada orang lain. Pengalaman setiap anggota maupun kelompok masyarakat di Maluku yang berbeda-beda menyebabkan informasi yang benar mengenai Orang Bati sulit ditemukan. Fenomena Orang Bati di Maluku terus mengalami paradoks karena sampai masa kini belum ditemukan studi ilmiah mengenai mereka. Untuk itu se-bagian anggota maupun kelompok masyarakat yang mendiami negeri-negeri adat di Maluku beranggapan bahwa Orang Bati adalah manusia atau orang

ilang-ilang (hilang-hilang), manusia atau orang terbang-terbang, manusia atau orang jahat, dan sebagainya. Persepsi dari sebagian orang luar (Orang Maluku) terhadap Orang Bati seperti ini sebenarnya adalah stigma (anggapan negatif).

(6)

Maluku. Aktivitas ini mulai dilakukan peneliti sejak bulan Oktober 1985. Tetapi belum ditemukan pintu masuk yang tepat oleh peneliti karena in-formasi yang berasal dari masyarakat mengenai keberadaan tokoh kunci yang sedang dicari oleh peneliti masih simpang-siur. Kondisi tersebut makin berat ketika daerah atau lokasi yang ditunjuk oleh masyarakat pada peneliti untuk mencari keberadaan tokoh kunci masih sulit sarana transportasi darat dan laut. Selain itu juga keadaan geografis maupun sarana jalan dan jembatan yang tidak memadai karena terdapat sungai-sungai besar di Pulau Seram sehingga langkah ke lapangan dilakukan secara bertahap. Langkah ini kemudian di-lanjutkan dengan studi ilmiah bertema Studi Budaya Tutur Orang Ambon-Maluku Tentang Orang Bati tahun 2005.

Ternyata isu Orang Bati terus berkembang dalam berbagai ceritera oleh anggota maupun kelompok masyarakat di Maluku terus mengalami paradoks, terutama yang berkaitan dengan isu Orang Bati pada lingkungan masyarakat adat di Maluku. Orang Maluku yang mendiami negeri-negeri adat menjadikan isu Orang Bati sebagai ceritera turun-temurun, tanpa ada kejelasan. Ceritera atau penuturan sebagian besar Orang Maluku mengenai Orang Bati sampai saat ini terus krusial, dan informasinya makin paradoks3

3)Pertentangan pendapat yang muncul dalam setiap perdebatan dari sebagian besar

Orang Maluku mengenai Orang Bati itu ada dan Orang Bati itu tidak ada, Orang Bati itu manusia dan Orang Bati itu bukan manusia seperti kita, dan sebagainya sehingga pertentangan yang berada pada dua kutub yang berbeda tersebut tidak pernah berakhir.

). Fenomena yang

me-nimbulkan pertentangan pendapat di kalangan sebagian besar Orang Maluku mengenai Orang Bati terutama berkaitan dengan eksistensi Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa (ethnic group) atau kelompok etnik. Hal ini dapat saja terjadi karena setiap anggota maupun kelompok masyarakat di Maluku memiliki pengalaman hidup yang berbeda-beda.

(7)

Paradigma mengenai sebutan orang yang digunakan dalam interaksi sosial di kalangan Orang Maluku memiliki makna berbeda-beda sehingga menimbulkan niat yang kuat bagi peneliti untuk menemukan siapa sebenar-nya yang dimaksudkan dalam konsep Orang Bati. Apa beda antara peng-gunaan sebutan orang yang ditujukan pada Orang Bati dengan sebutan Orang Ambon, Orang Saparua, Orang Haruku, Orang Nusa Laut, Orang Buru, dan lainnya di Maluku. Sebutan yang ditujukan pada Orang Bati senantiasa di-kaitkan dengan nama Orang Seram, dan selama ini dimaknai negatif atau

stigma4

Waktu itu bapak DaKe baru datang dari Seram. Pengalaman merantau yang dimiliki oleh bapak DaKe kemudian diceriterakan pada peneliti. Penuturan bapak DaKe waktu itu menurut peneliti bahwa maknanya sangat berbeda dengan penuturan orang tua-tua yang sama sekali tidak memiliki pengalaman merantau. Pada waktu itu dalam hati dan pikiran peneliti terus bertanya-tanya setelah mendengar ceritera (penuturan) bapak DaKe mengenai kehidupan Orang Seram, terutama kehidupan yang ia jalani dengan

teman-). Berkaitan dengan paradoks Orang Bati melalui ceritera (penuturan)

orang tua-tua yang senantiasa berputar-putar dengan makna ceritera yang sama dan tidak pernah tuntas. Idealisme peneliti untuk menelusuri fenomena Orang Bati secara mendalam karena nama Orang Bati seringkali menimbulkan rasa takut pada sebagian besar Orang Maluku.

Kisah ini terus berlangsung sampai dengan saat di mana peneliti ber-jumpa secara tidak sengaja dengan orang tua bernama bapak DaKe yang memiliki pengalaman hidup dan bergaul dengan Orang Seram di Pulau Seram selama 39 tahun. Waktu ini cukup lama bagi peneliti untuk menilai bapak DaKe sebagai sosok Orang Maluku yang memiliki pengalaman berharga dan bisa dijadikan sebagai titik star untuk menelusuri fenomena Orang Bati di Maluku. Perjumpaan pertama kali yang berlangsung secara tidak sengaja antara peneliti dengan Orang Ambon-Maluku yang bernama bapak DaKe. Pengalaman hidup dan bergaul antara bapak DaKe dengan Orang Seram, termasuk Orang Bati dipandang berharga oleh peneliti untuk menelusuri, memahami, dan menjelaskan secara benar mengenai fenomena yang sementara ini dialami oleh Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa. Kisah perjumpaan tidak sengaja antara peneliti dengan bapak DaKe sejak bulan September 1976 dapat dikemukakan lebih lanjut.

Perjumpaan Tidak Sengaja

4)Anggapan umum orang luar (Orang Maluku) ketika menyebut nama Orang Bati

sebagai Orang Seram mengandung makna sebagai orang yang me-nyeramkan,

(8)

temannya yang disapa dengan nama Orang Bati. Pengalaman peneliti ketika berjumpa dengan bapak DaKe5

5)Waktu kami bertemu tahun 1976, bapak DaKe sudah berumur 58 tahun. Pada saat itu

ia baru datang dari Puau Seram. Menurut informasi yang disampaikan bahwa ia berdiam di Pulau Seram 39 tahun pada saat itu, dan baru datang pertama kali ke Negeri Siri Sori Serani pada tahun 1976. Pada waktu itu sebagian besar Orang Siri Sori Serani tidak mengenal bapak DaKe karena mereka tidak melihatnya cukup lama, tetapi keluarga dekat masih mengenalnya secara baik.

) sebagai Orang Ambon-Maluku yang memiliki

informasi mengenai Orang Bati yang diceriterakan pada tanggal 26 September 1976 ketika kami berjumpa pertama kali memiliki kesan kuat bahwa Orang Bati itu ada, terus bagaimana cara bapak DaKe bisa berjuma, bahkan bergaul dengan Orang Bati. Jawaban bapak DaKe pada peneliti bahwa, ceritera tersebut cukup panjang. Tetapi hal yang pasti bahwa perjumpaan antara bapak DaKe dengan Orang Bati bukan suatu kebetulan karena ia berusaha sendiri untuk datang dan menemui Orang Bati di tempat kediamannya di Pulau Seram.

Waktu itu bapak DaKe mengatakan pada peneliti bahwa ia telah berusia 58 tahun. Ia mendiami Pulau Seram selama 39 tahun, berarti pada usia 19 tahun bapak DaKe hidup terpisah dari keluarganya. Sewaktu kami berjumpa, bapak DaKe sering menceriterakan kehidupannya di Pulau Seram. Terutama yang berkaitan dengan pergaulan hidup yang ia jalani dengan Orang Seram, termasuk Orang Bati. Ketika bapak DaKe menyebut nama Orang Bati, ke-mudian peneliti membandingkan cara penuturannya dengan cara penuturan dari orang tua-tua mengenai kehidupan Orang Seram terutama Orang Bati terdapat perbedaan yang sangat besar. Dalam hati dan pikiran peneliti yaitu mesti penuturan dari bapak DaKe lebih masuk akal karena ia lama tinggal di Pulau Seram. Artinya menurut peneliti bahwa kaitan antara pengalaman yang dijalani oleh bapak DaKe sendiri ketika hidup dengan Orang Seram mesti berbeda dengan Orang Ambon Maluku yang sama sekali tidak memiliki pe-ngalaman bergaul Orang Seram, khususnya Orang Bati.

Melalui perjumpaan tidak sengaja dengan bapak DaKe, motivasi peneliti makin kuat untuk me-nelusuri kehidupan Orang Bati yang dianggap oleh se-bagian besar Orang Maluku sebagai sosok kehidupan manusia yang penuh dengan misteri, maupun sebutan terhadap mereka sebagai manusia ilang-ilang

(9)

Sebagai orang tua yang memiliki pengalaman merantau ke Pulau Seram, pada saat itu bapak DaKe cukup disegani oleh orang tua-tua di Negeri Siri Sori Serani, karena nama Seram yang menakutkan, menyeramkan tetapi bapak DaKe pergi ke sana dan bisa kembali dengan selamat dan utuh. Dalam pan-dangan orang tua-tua bahwa kondisi yang dijalani oleh bapak DaKe di Seram mesti berbeda dengan kondisi di Negeri Siri Sori Serani. Kalau bapak DaKe ini tidak hebat berarti ia tidak mungkin kembali. Berdasarkan penuturan orang tua-tua di Negeri Siri Sori Serani pada peneliti saat itu bahwa bapak DaKe pergi ke Seram karena ada masalah dengan saudaranya bernama bapak JaKe. Itu berarti bapak DaKe ketika berada di Seram, mesti ia banyak belajar tentang ilmu-ilmu yang dimiliki Orang Seram. Sebab waktu 39 tahun lamanya bapak DaKe berada di Pulau Seram, mesti banyak sekali yang dipelajarinya. Apalagi bapak DaKe sering menyebut bahwa teman-temannya yang berasal dari Bati atau Orang Bati cukup banyak.

Selama beberapa hari bapak DaKe berada dengan keluarga kami di Negeri Siri Sori Serani, kemudian peneliti berusaha menanyakan pengalaman hidupnya dengan Orang Seram, karena penuturan orang tua-tua tentang kehidupan Orang Seram senantiasa menakutkan, maupun menyeramkan terutama mengenai Orang Bati yang disebut sebagai orang ilang-ilang (hilang-hilang)? Bapak DaKe menjawab secara singkat pada peneliti bahwa jangan cepat percaya dulu pada semua penuturan (ceritera) orang tua-tua karena hal itu belum tentu benar. Mereka yang seringkali berceritera mengenai Orang Seram, tetapi tidak tinggal di Seram. Bahkan ada di antara mereka yang belum pernah ke Pulau Seram. Menurut bapak DaKe bahwa cara penuturan orang tua-tua tentang Orang Seram mau-pun Orang Bati sama dengan ungkapan umum Ambon-Maluku menyebutnya yaitu informasinya tersebut berasal dari telepon tali hulaleng6

Penuturan bapak DaKe bahwa Orang Seram sebenarnya tidak me-nakutkan, atau tidak menyeramkan. Informasi lisan yang disampaikan bapak DaKe pada peneliti waktu itu bahwa Orang Bati itu sebenarnya ada. Tetapi untuk menjumpai mereka cukup sulit. Artinya, mereka dapat dijumpai, namun perlu mencari waktu dan saat yang tepat. Ketika memperoleh penutur-an bapak DaKe muncul dalam hati dpenutur-an pikirpenutur-an peneliti waktu itu bahwa tam-paknya penuturan bapak DaKe lebih masuk akal. Peneliti makin yakin bahwa bapak DaKe tidak mungkin membohongi peneliti. Peneliti makin percaya

). Ada juga istilah khas yang digunakan Orang

Ambon-Maluku yaitu dorang (mereka) kalau tidak paham secara baik kemudian cara menutur mulai berkembang tidak terarah, tidak jelas, atau dong sinoli atau

kewel.

6)Jenis tali hutan yang digunakan untuk mengikat sesuatu barang. Jadi talinya ada tetapi

tidak dapat menyampaikan bunyi suara. Makna dari sinoli atau kewel yaitu penuturan

(10)

karena bapak DaKe yang memiliki pengalaman hidup selama 39 tahun dengan Orang Seram, termasuk Orang Bati, adalah sosok orang tua yang berkata jujur.

Waktu itu bapak DaKe mengemukakan bahwa, kalau tidak percaya nanti suatu waktu ia akan mengantarkan peneliti ke Negeri Orang Bati di Seram. Ungkapan bapak DaKe pada peneliti seperti itu menimbulkan rasa percaya diri yang lebih dalam. Kalau ia tidak sempat mengantarkan peneliti, nanti cari teman dekatnya yang bernama bapak Suriti. Ia tinggal di Seram. Kalau ketemu teman baik dari bapak DaKe yang bernama bapak Suriti, nanti minta tolong atau minta bantuan pada orang itu. Kalau kamu datang menemui dia, dan minta tolong pasti ia akan membantu kamu dengan senang hati untuk datang ke Negeri Orang Bati. Tetapi kami harus ingat kata-kata kuncinya yaitu ”Hote-Banggoi-Hatumari-Samaloni-Henaratu-Siwa Lima satu tangkai”

.

Perjumpaan dan pertemuan antara peneliti dengan bapak DaKe tidak lama karena dua hari kemudian ia berpamitan pada keluarga kami di Siri Sori Serani untuk pergi ke Pulau Ambon.

Setelah bapak DaKe pergi ke Ambon pada tahun 1976, kemudian tahun 1978 bapak DaKe datang lagi ke tempat kediaman kami di Negeri Siri Sori Serani. Pada saat kedatangan yang ke dua kali ini bapak DaKe tinggal bersama dengan keluarga kami selama tujuh hari. Selama bapak DaKe berada dengan keluarga kami tujuh hari, peneliti memanfaatkan waktu tersebut untuk ber-tanya mengenai banyak hal yang berkaitan dengan kehidupan Orang Seram. Peneliti dan bapak DaKe sering berdiskusi tentang banyak hal yang berkaitan dengan kehidupan Orang Seram, terutama mengenai kehidupan Orang Bati karena peneliti beranggapan bapak DaKe sangat paham terhadap persoalan tersebut. Ketika awal peneliti bertanya kepada bapak DaKe tentang alasan mengapa beliau pergi ke Seram? Mengapa beliau pergi ke Ambon? Untuk keperluan apa saja? Ia hanya menjawab bahwa ada urusan penting. Nanti pada suatu waktu kamu akan mengetahuinya sendiri. Jawaban seperti itu membuat peneliti tidak merasa puas. Pada waktu yang lain peneliti terus bertanya pada bapak DaKe sampai ia menjelaskan detail mengenai kisah hidupnya di Pulau Seram maupun di Pulau Ambon. Pada hari ke tujuh di mana kepergian bapak DaKe peneliti sempat mengantarnya ke perbatasan negeri. Sementara kami berjalan baru ia mengatakan yang sebenarnya bahwa ia ke Pulau Seram karena ia tidak senang pada saudaranya yang bernama bapak JaKe, sedangkan ia ke Pulau Ambon untuk menemui keluarganya yaitu isteri dan dua orang anak (satu laki-laki dan satu perempuan). Mereka berdiam di Negeri Tuni Pulau Ambon. Isteri bapak DaKe bernama PaA, dan anak-anak bernama DaA dan HeA.

(11)

Pe-nuturan bapak DaKe bahwa; (1) Teman-temannya yang berasal dari Bati adalah orang baik. Keadaan mereka selama bergaul dengan bapak DaKe tidak sama dengan ceritera orang tua-tua; (2) Perilaku Orang Bati selama bergaul dengan bapak DaKe adalah sopan, saling menghormati, toleransi, dan sebagainya. Informasi yang disampaikan oleh bapak DaKe pada peneliti ternyata tidak sama dengan ceritera (penuturan) yang berkembang selama ini di Maluku mengenai Orang Bati. Orang Ambon-Maluku selalu mengatakan bahwa Orang Bati itu jahat karena suka menyakiti orang lain dengan ilmu-ilmunya (maksudnya adalah ilmu hitam atau black magic). Mereka itu sebenarnya sama seperti kita Orang Ambon-Maluku, dan mereka mengetahui bahwa di luar sana (di luar lingkungan mereka) banyak sekali anggapan negatif (stigma) dari anggota maupun kelompok Orang Maluku yang di-tujukan pada diri mereka sebagai Orang Bati.

Selama ini Orang Bati tidak pernah memberikan tanggapan balik berupa apa pun apabila mendengar orang lain berceritera tentang diri mereka. Sebagai Orang Bati, mereka senantiasa memilih untuk diam agar identitasnya sama sekali tidak diketahui orang luar. Penuturan bapak DaKe mengenai Orang Bati kali ini makin menarik, jelas, dan seru karena berisi seluruh pe-ngalaman hidupnya. Pada saat bapak DaKe berceritera mengenai Orang Bati, peneliti berkesempatan untuk bertanya yaitu, apakah benar-benar Orang Bati itu ada? Bapak DaKe menjawab bahwa Orang Bati itu ada. Pernyataan bapak DaKe seperti ini memperkuat tekad peneliti untuk datang di Tana (Tanah) Bati guna bertemu dengan Orang Bati. Lebih lanjut peneliti menanyakan pada bapak DaKe mengenai ceritera yang pernah peneliti peroleh dari orang tua-tua, dan ia kembali bertanya pada peneliti bahwa mengapa bertanya begitu? Jawaban peneliti bahwa, selama ini penuturan yang peneliti peroleh dari orang tua-tua di Negeri Siri Sori Serani bahwa Orang Bati adalah orang ilang-ilang (hilang-hilang), orang yang bisa terbang, orang jahat, dan sebagainya. Untuk itu Orang Bati sulit, bahkan tidak bisa ditemui begitu saja. Kalau Orang Bati itu ada, tetapi mereka tidak kelihat-an, dan masih banyak anggapan lainnya yang berkonotasi negatif.

(12)

sangat asing bagi peneliti saat itu. Tetapi peneliti makin percaya pada pe-nuturan bapak DaKe karena pengalaman bergaul dengan Orang Seram, termasuk Orang Bati sejak bertahun-tahun sehingga ia menunjuk lokasi tidak mungkin salah. Penurutan bapak DaKe mengenai Orang Bati saat itu meliputi hal yang baik, maupun buruk selama mereka bergaul.

Menyimak semua penuturan bapak DaKe kemudian muncul kesan kuat pada peneliti bahwa, sebenarnya Orang Bati itu benar-benar ada atau tidak ada? Apakah benar mereka termasuk manusia yang baik hati. Mengapa orang lain menceriterakan Orang Bati senantiasa mengkaitkan kehidupan mereka sebagai orang jahat. Orang lain sering memojokkan Orang Bati pada hal-hal yang bersifat negatif. Pertanyaan seperti di atas kemudian peneliti mulai me-ngutarakan niat pada bapak DaKe kalau ada kesempatan apakah peneliti boleh ikut dengan bapak DaKe di tempat kediamannya di Seram. Bapak DaKe menjawab bahwa, boleh saja, yang penting kamu benar-benar berkeinginan atau berniat untuk pergi dengan beta (saya) ke Seram.

Akhirnya kami berdua sepakat bahwa suatu waktu peneliti mesti ber-usaha untuk datang ke tempat kediaman bapak DaKe di Pulau Seram. Makna dari penuturan bapak DaKe mengenai kehidupan Orang Seram, termasuk Orang Bati dianggap oleh peneliti lebih jelas, riil, dan masuk akal karena didukung oleh pengalaman hidup yang ia jalani sendiri selama 39 tahun di Pulau Seram. Pengalaman hidup bapak DaKe dengan Orang Seram, termasuk Orang Bati sangat berbeda dengan orang lain, sehingga menurut peneliti bahwa ceritera bapak DaKe mengenai kehidupan Orang Seram, khususnya Orang Bati benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Setelah kami berdua sepakat, kemudian bapak DaKe menyampaikan niat untuk pergi ke Pulau Ambon. Pengalaman perjumpaan tidak sengaja yang berlangsung antara bapak DaKe dengan peneliti yang kedua kalinya tahun 1978 telah memberikan motivasi dan inspirasi yang kuat pada peneliti untuk mencari dan menemukan Orang Bati. Apa yang terjadi kemudian setelah bapak DaKe berpamitan pada peneliti dan keluarga untuk pergi ke Ambon? Semuanya bersifat rahasia yang sama sekali tidak diketahui saat itu.

Kepergian Bapak DaKe

(13)

dan pikiran peneliti karena kesepakatan kami untuk datang ke Negeri Orang Bati tidak mungkin diwujudkan lagi. Bagi peneliti yaitu, niat untuk datang ke Negeri Orang Bati menjadi putus di tengah jalan. Kesepakatan peneliti dan bapak DaKe tinggal dalam pesan lisan. Isi pesan lisan yang pernah di-tinggalkan bapak DaKe pada peneliti waktu itu adalah “Kalau umur panjang kita akan datang ke Negeri Orang Bati. Apabila suatu waktu beta (saya) tidak dapat mengantar kamu ke Negeri Orang Bati, nanti kamu cari saja teman dekat yang bernama Suriti. Ia tinggal di Seram. Kalau ketemu pasti ia bersedia mengantar kamu ke atas (maksudnya ke Negeri Orang Bati)”.

Isi pesan tersebut senantiasa peneliti ingat. Setiap saat peneliti terus berusaha mengingat kembali semua penuturan dan pesan yang pernah bapak DaKe tinggalkan bagi peneliti selama ia masih hidup, dan nama Seram terus terbayang dalam ingatan peneliti. Waktu itu dalam pikiran peneliti bahwa Seram itu adalah suatu negeri atau kampung sehingga kalau ke sana dan me-nanyakan pada penduduk mesti bisa menemukan bapak Suriti secara mudah. Ternyata dugaan peneliti itu salah. Setelah peneliti menanyakan hal ini pada orang tua-tua di Negeri Siri Sori Serani, mereka menjawab bahwa Seram itu besar, bukan satu kampung tetapi Seram itu adalah suatu pulau. Di Pulau Seram terdapat banyak sekali kampung atau negeri yang ditempati oleh orang yang bermacam-macam. Orang tua-tua malah mencegah atau melarang pe-neliti agar jangan ke Pulau Seram. Ungkapan orang tua-tua pada pepe-neliti yaitu,

ose (kamu) jangan saloro (jangan coba-coba atau jangan main-main) untuk ke Seram, sebab sampai sekarang ini Seram masih gelap7

Pengalaman perjumpaan tidak sengaja yang berlangsung antara peneliti dengan bapak DaKe yang kaya pengalaman bergaul dengan Orang Seram, khususnya Orang Bati terus membangkitkan minat pada peneliti untuk mengetahui persoalan tersebut secara lebih mendalam karena dianggap oleh peneliti bahwa in-formasi yang disampaikan oleh bapak DaKe lebih aktual

).

Kepergian bapak DaKe pada pertengahan bulan Oktober 1978 ke Pulau Ambon adalah perjalanan yang terakhir kali karena minggu ke tiga bulan Oktober 1978 kami sekeluarga memperoleh informasi dari saudara di Ambon bahwa bapak DaKe telah meninggal dunia di Negeri Tuni-Pulau Ambon. Ketika peneliti memperoleh informasi mengenai kematian bapak DaKe saat itu, ibarat disambar petir. Makna perjumpaan pertama kali maupun kedua antara peneliti dengan bapak DaKe terus direnung setiap saat. Walaupun saat ini bapak DaKe (alm) sudah tidak ada lagi karena ia telah meninggal dunia, namun perjumpaan dengan bapak DaKe (alm) sungguh bermakna dan ber-manfaat untuk mengungkap sisi kehidupan Manusia Seram yaitu Orang Bati yang selama ini dianggap misteri oleh Orang Ambon-Maluku.

7)Makna dari kata gelap yaitu suatu kondisi atau keadaan yang sama sekali belum,

(14)

dan benar apabila dibandingkan dengan ceritera dari orang tua-tua. Pengalaman hidup yang di-jalani oleh bapak DaKe dengan Orang-Orang Seram, termasuk Orang Bati yang diceriterakan secara rinci pada peneliti telah memberikan dorongan kiat dan membangkitkan minat untuk menelusuri fenomena Orang Bati secara lebih mendalam. Dalam hal ini yang perlu dicermati oleh seorang peneliti kualitatif yaitu suatu fenomena sosial yang muncul melalui ceritera atau penuturan ada sisi benar, tetapi ada juga yang tidak benar, bahkan bisa menyesatkan.

Untuk itu mendalami ceritera atau penuturan memiliki berbagai makna, dan hal ini sangat tergantung pada isu apa yang dianggap relevan dan layak untuk dilakukan penelitian ilmiah. Sebab semua ceritera atau penuturan dari masyarakat belum tenttu menjadi isu menarik, maupun menjadi suatu masalah penelitian kualitatif yang perlu dicari solusinya. Fenomena Orang Bati di Maluku menurut pandangan peneliti adalah layak untuk dijadikan sebagai masalah penelitian ilmiah karena sifatnya paradoks antara isu dengan pengalaman hidup seseorang tentang Orang Bati seperti dijalani oleh bapak DaKe di Pulau Seram. Oleh peneliti, kehidupan yang dijalani oleh bapak DaKe dapat dijadikan sebagai pintu masuk untuk menelusuri, memahami, dan menjelaskan fenomena Orang Bati secara baik dan benar apabila fakta tersebut ditemukan melalui suatu penelitian ilmiah yang mendalam. Kisah ini oleh peneliti dimaknai sebagai pengenalan ceritera mengenai kehidupan Orang Seram, khususnya Orang Bati sehingga terus membangkitkan minat pada diri peneliti untuk mengetahui, memahami, dan menjelaskannya secara benar pada publik, terutama yang berkaitan dengan mitos orang atau manusia ilang-ilang (hilang-hilang), orang atau manusia misteri, dan sebagainya.

Dari Pengenalan Ceritera Orang Bati ke Minat

Setelah melanjutkan studi pada Jurusan Sosiologi Universitas Pattimura-Ambon, ternyata peneliti sering mendengar ceritera (penuturan) orang tua-tua di Ambon tentang Orang Bati. Bahkan di Ambon, ceritera tersebut lebih mengemuka, baik pada lingkungan permukiman, pekerjaan, sampai di rumah-rumah kopi. Ketika melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tahun 1984 peneliti mendapat lokasi di Waipia Seram Selatan, Kabupaten Maluku Tengah. Selama berada di lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN), peneliti sering mendengar informasi yang berkaitan dengan Orang Bati. Orang Waipia tidak menyebut nama Orang Bati tetapi mereka menyebutnya culet8

8)Maknanya yaitu sosok orang atau manusia yang sering melakukan serangan

pemenggalan kepala manusia untuk kepentingan ritual adat tertentu pada suku-suku tertentu di Pulau Seram pada masa lampau.

). Kesempatan tersebut

(15)

per-oleh dari masyarakat di sekitar wilayah ini sama sekali belum memberikan titik terang karena mereka bukan penduduk asli Pulau Seram. Mereka adalah penduduk yang berasal dari Pulau Teon, Nilai, dan Serua yang dievakuasi oleh Pemerintah Provinsi Maluku sekitar tahun 1970-an karena bencana alam gunung berapi.

Setelah peneliti menyelesaikan studi pada Jurusan Sosiologi Universitas Pattimura bulan September 1985, maka peneliti mengambil keputusan untuk menelusuri Pulau Seram. Langkah pasti dari peneliti untuk memasuki Pulau Seram yang sudah dicanangkan kemudian dilaksanakan. Ceritera (penuturan) dari sebagian besar penduduk yang mendiami Pulau Seram Tengah bagian selatan yang dijumpai peneliti cukup marak mengenai fenomena Orang Bati. Anggapan mereka semua yang dijumpai oleh peneliti adalah sama karena Orang Bati dianggap sebagai orang atau manusia ilang-ilang (hilang-hilang), orang jahat, dan sebagainya. Berdasarkan pengalaman tersebut, kemudian pe-neliti memutuskan untuk kembali menelusuri informasi pada penduduk di Pulau Seram Tengah bagian selatan.

Langkah Awal Peneliti Menelusuri Pulau Seram

Pada tanggal 15 Oktober 1985 peneliti mulai melangkah menuju Pulau Seram Tengah bagian selatan dengan tujuan kedatang yaitu Negeri Amahai, kemudian menuju ke Dusun Yalahatan dan Hatumari di Negeri Tamilou. Lokasi ini dijadikan tujuan pertama peneliti waktu itu karena selama hidup dari bapak DaKe ia sering datang ke daerah tersebut. Setelah peneliti datang ke lokasi tersebut, ternyata informasi yang diperoleh dari masyarakat bahwa bapak DaKe tidak datang di tempat itu saja. Tokoh adat yang berhasil dijumpai oleh peneliti di daerah ini menyarankan agar peneliti mencari informasi lebih jauh pada orang-orang di Negeri Tehoru, Lapa, Laiumu, Werinama, Wahai, dan juga di wilayah Seram Barat di Negeri Buria, Kairatu, Piru, dan lainnya sebab bapak DaKe sering datang ke tempat-tempat tersebut.

Pertimbangan untuk datang di Negeri Tamilou karena bapak DaKe (alm) pernah mengingatkan peneliti bahwa di Pulau Seram ini ada katong

(16)

pagi dan tiba di Hatumari (Hatu = batu, dan Mari = panggil atau game) jam 18.00 Wit.

Setelah melewati sore hari di Hatumari, kemudian peneliti kembali di Dusun Yalahatan. Waktu itu peneliti menyebut diri adalah bongso dari Negeri Siri Sori Serani, kemudian peneliti diantar oleh bapak IbPa ke rumah Kepala Dusun Yalahatan. Ketika berada di Dusun Yalahatan, peneliti diminta untuk menginap di rumah kediaman Kepala Dusun Yalahatan yaitu bongso W karena hari makin larut malam. Peneliti mengiyakan permintaan bongso W. Waktu itu hari makin gelap, dan malam segera tiba. Peneliti diundang untuk makan malam bersama dengan keluarga bongso W. Selesai makan malam,

bongso W menanyakan maksud kedatangan peneliti ke Hatumari di Negeri Tamilou. Peneliti menjelaskan tentang maksud untuk mencari seorang teman (sahabat) yang bernama bapak Suriti. Ia berteman baik dengan saudara pe-neliti yang bernama bapak DaKe (alm). Bongso W menjelaskan kalau nama bapak DaKe (alm) mereka sangat mengenalnya, karena itu katong pung basudara (kita punya basudara) dari Siri Sori Serani. Tetapi kalau nama bapak Suriti, mereka belum mengenal. Tetapi bongso W menyampaikan bahwa nanti ia tanyakan pada basudara lain di Negeri Tamilou mungkin saja ada orang yang pernah mengenalnya.

Keesokan harinya peneliti berpamitan untuk datang ke Negeri Tamilou. Setelah berada di Negeri Tamilou, ternyata nama bapak Suriti juga tidak ada warga yang mengenalnya. Hanya ada informasi yaitu, tanyakan pada bongso

Asa, sebab ia adalah orang yang sering pergi di tempat-tempat lain di Seram, mungkin ia bisa membantu. Namun pada saat itu bongso Asa sementara tidak berada di Negeri Tamilou. Warga di Negeri Tamilou menyebutkan bahwa, nama ini mesti nama yang dimiliki oleh orang-orang yang mendiami wilayah pegunungan atau mereka yang mendiami wilayah pedalaman di Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu). Anggota masyarakat di Negeri Tamilou menjanji-kan nanti mereka mencari informasi mengenai nama tersebut. Apabila mereka sudah menemukan orang tersebut baru mereka sampaikan pesannya. Lama sudah tidak ada berita sama sekali dari basudara di Negeri Tamilou.

(17)

selain kondisi tersebut di atas, kemudian bertambah berat ketika wilayah Maluku dilanda konflik sosial yang cukup lama.

Studi Budaya Tutur Orang Ambon-Maluku Tentang Orang Bati

Usaha melakukan identifikasi informasi awal mengenai fenomena Orang Bati di Maluku penting dan tergolong krusial. Melalui Studi Budaya Tutur Orang Ambon-Maluku tentang Orang Bati yang dilakukan oleh peneliti sejak tahun 2005 pada lingkungan masyarakat adat Ambon-Maluku yang mendiami Pulau Ambon, Saparua, Nusa Laut, Buru, Banda, dan Seram (Seram Barat dan Seram Tengah Bagian Selatan). Tokoh spiritual (maweng) yang dijumpai di Ambon-Maluku maupun Seram sering mencegah peneliti agar tidak melakukan studi pada Orang Bati. Hal yang sama juga dialami oleh pe-neliti ketika berkonsultasi dengan Prof. DR. J. W. Ayawaila, DEA (pa Jop) pada bulan September 2008. Pa Jop (adalah nama inisial) untuk Prof. DR. J. W. Ayawaila, DEA di mana beliau sendiri menyarankan pada peneliti agar jangan mengambil tema mengenai Orang Bati. Menurut pak Jop, karena tema itu sulit, karena ia memiliki pengalaman di mana ada orang yang pernah gagal ketika melakukan studi ini pada masa lampau. Namun pa Jop tidak menyebutkan siapa sebenarnya yang pernah gagal menulis ilmiah tentang Orang Bati.

Kata-kata peneliti yang disampaikan pada pak Jop waktu itu ada-lah

beta (saya) akan berusaha masuk dalam Dunia Orang Bati melalui pintu rumah, bukan lewat jendela atau tempat lain, pak Jop. Kata pak Jop, ini pendapat menarik. Pa Jop juga bertanya pada peneliti bahwa, apakah orang yang pernah gagal menulis tentang Orang Bati masuk melalui jendela Piet. Peneliti menjawab bahwa, mungkin saja begitu pa Jop, sehingga pemilik rumah marah tidak memberikan restu, bahkan orang yang bersangkutan bisa diusir untuk ke luar dari rumah. Waktu itu peneliti belum memberitahukan pada pa Jop bahwa peneliti sudah bertemu dengan leluhur Orang Bati (Manusia Batti) maupun dengan Orang Bati yang mendiami Kampung atau Dusun (Wanuya) Bati Kilusi (Bati Garuda), Rumbou, Rumoga, Kian Darat, Kufarbolowin, dan Madak.

Unntuk memasuki Dunia Orang Bati di Pulau Seram sesungguhnya tidak bisa menggunakan surat izin dari instansi pemerintah terkait. Orang Bati tidak mengenal itu sama sekali. Apalagi “Manusia Batti” tidak mengenal izin semcam itu. Izin untuk memasuki Dunia Orang Bati yang sesungguhnya yaitu melakukan ritual atau fakur. Ritual khusus untuk keperluan ini hanya bisa dilakukan oleh Maweng (ahli spiritual) yang paham tentang dunia riligi

(18)

restu untuk masuk dalam Dunia Orang Bati adalah Piet-Bati. Sebab restu ini diperoleh melalui pertarungan nyawa, dan ada tanda khusus yang dimiliki oleh Piet-Bati. Untuk itu jangan main-main atau coba-coba menulis mengenai Orang Bati kalau tidak memiliki restu dari leluhur Orang Bati. Hakikatnya bisa fatal karena nyawa setiap orang hanya satu, dan tidak bisa tergantikan. Melalui kesempatan ini peneliti sekali mengingatkan bahwa untuk menemui Orang Bati itu mudah, tetapi menemui leluhur Orang Bati yang bernama “Manusia Batti” tidak mudah karena rahasia perjalanannya harus dipahami secara benar, dan itu hanya ada di Piet-Bati.

Ungkapan pa Jop lebih lanjut yaitu, kalau tekad dan niat Piet sudah bulat, torang tra bisa bikin apa-apa (kita tidak bisa berbuat apa-apa). Piet memang wataknya begitu. Mau apa lagi torang. Beta (saya) mendoakan saja semoga Piet dapat menjalani rencana ini secara baik, tetapi berhasil. Kalau ini berhasil Piet, ngoni (kamu) terus sekolah sudah Piet. Peneliti menjawab pasti, yang penting pa Jop bersedia membantu peneliti. Pa Jop menjawab yaitu pasti saya membantu selama bisa saya bantu. Pertimbangan peneliti untuk me-lakukan Studi Budaya Tutur sebenarnya untuk memenuhi kebutuhan sendiri dalam menyiapkan studi yang lebih mendalam. Hasil studi budaya tutur pada Orang Ambon-Maluku teridentifikasi sebagai berikut; (1) Ada anggota masya-rakat yang pernah bertemu dengan Orang Bati secara tidak sengaja; (2) Ada anggota masyarakat yang pernah datang dan tinggal untuk sementara waktu di perkampungan Orang Bati, kemudian kembali lagi; (3) Ada anggota masya-rakat yang mendengar tentang Orang Bati melalui ceritera secara turun-temurun dari orang tua mereka sendiri; (4) Ada anggota masyarakat yang memperoleh informasi tentang Orang Bati dari tetangga; (5) Ada anggota masyarakat yang memperoleh informasi tentang Orang Bati dari teman, tetangga, saudara, dan sebagainya.

(19)

mangsa; (12) Jangan berurusan dengan Orang Bati karena mereka adalah manusia aneh; (13) Jika bertemu dengan Orang Bati sebaiknya menghindari mereka; (14) Orang Bati adalah manusia terbang-terbang; (15) Orang Bati adalah manusia ilang-ilang (hilang-hilang); (16) Orang Bati adalah manusia primitif, kasar, kejam, dan bodoh; (17) Orang Bati adalah manusia yang me-miliki ilmu hitam (black magic); (18) Bahkan sampai saat ini terdapat larangan dari orang tua-tua pada anak-anak untuk menyebut nama Orang Bati secara sembarangan karena tabu atau pamali (pantangan) dan bisa menyebabkan orang tersebut bisa sakit yang sulit disembuhkan, bisa di bahwa perkampung-an Orperkampung-ang Bati dperkampung-an tidak bisa kembali lagi.

Hasil studi budaya tutur Orang Ambon-Maluku tentang Orang Bati terdapat delapan belas stigma (anggapan negatif) yang ditujukan pada Orang Bati. Anggapan negatif seperti ini bagi peneliti berada di antara dua paradigma sangat mendasar yaitu antara benar dan betul. Jawaban sementara yang coba dipegang oleh peneliti kala itu apabila anggapan Orang Ambon seperti adalah benar, berarti saya harus benar-benar siap menghadapi semua kemungkinan yang dapat terjadi apabila berjumpa dengan Orang Bati. Sebaliknya kalau anggapan umum seperti betul, berarti itu adalah suatu kebetulan saja Orang Ambon-Maluku melakukan rekayasa ceritera yang tidak benar dengan kenyataan, sehingga fenomena Orang Bati menjadi lebih krusial, paradoks, dan sebagainya. Pada saat melakukan studi budaya tutur, peneliti memperoleh informasi dari bongso ASa di Negeri Tamilou mengenai ciri-ciri tokoh kunci yang sedang dicari-cari oleh peneliti. Langkah peneliti untuk menuju kawasan Seram Utara sampai dengan perbatasan Seram Timur mulai dilakukan untuk mencari keberadaan dari bapak Suriti yang dipandang oleh peneliti sebagai salah satu tokoh kunci.

Informasi Mengenai Keberadaan Tokoh Kunci

(20)

Selanjutnya perjalanan dilakukan melalui jalan darat darat dari Pulau Seram Bagian Barat menuju ke Pulau Seram Tengah bagian selatan, kemudian di-teruskan ke wilayah Pulau Seram Bagian Utara. Setelah melewati wilayah Pulau Seram Bagian Utara kemudian menuju Pulau Seram Bagian Timur. Perjalanan peneliti ke wilayah ini waktu itu masih berkaitan dengan aktivitas penelitian ilmiah bertema Studi Budaya Tutur Orang Ambon-Maluku Tentang Orang Bati. Proses pengumpulan data lapangan masih dilakukan oleh peneliti, termasuk juga di Pulau Seram. Aktivitas peneliti ketika melakukan penelitian di Pulau Seram untuk mencari tokoh kunci pada hari ke tiga melakukan per-jalanan dalam kawasan hutan pedalaman Banggoi, peneliti berhenti pada tempat kering yang terletak antara Sungai (Alsul) Bobi dan Sungai (Alsul) Manis yang terletak antara wilayah Banggoi dan Bula. Setelah menyeberang-kan motor melewati sungai tersebut, tampak dari jauh sosok laki-laki ber-badan tegak sedang mendekat pada posisi peneliti. Matahari sore hampir tebenam dibalik deretan bukit dan pegunungan yang menjulang tinggi sekitar kawasan Seram Utara. Laki-laki berbadan tegak ini sedang membawa sepotong kayu dan parang (golok). Peneliti terus berdiri dan mendekati laki-laki ter-sebut. Kami saling menyapa, dan memperkenalkan nama dan marga masing-masing. Laki-laki berbadan tegak ini menyebut namanya yaitu OkHe.

Ia bertanya pada peneliti yaitu hendak ke mana? peneliti menjawab bahwa, belum tahu, karena peneliti sedang mencari seorang teman lama dari saudara peneliti. Nama orang yang sedang peneliti cari yaitu bapak Suriti. Ia menjawab bahwa, belum pernah mendengar nama tersebut disekitar wilayah ini. Hari makin remang-remang. Laki-laki bernama OkHe ini kemudian mengajak peneliti untuk mampir ke rumah kedimannya di Banggoi pedalam-an. Letak rumahnya tidak jauh dari Sungai (Alsul ) Bobi. Ia mengungkapkan bahwa nanti di sana kita bisa bertanya pada bapaknya, mungkin ia bisa memberi informasi. Hari makin malam. Kami berdua jalan perlahan-lahan menuju rumah kediamannya. Ketika berada di rumah kediaman OkHe ia memperkenalkan peneliti pada keluarganya.

(21)

Bapak HaHe atau Tete Haya menyarankan agar peneliti menginap saja di rumahnya.

Nanti besok pagi baru pergi mencari temannya. Mengingat wilayah itu terdiri dari kawasan hutan belantara, peneliti memenuhi ajakan bapak HaHe atau Tete Haya untuk bermalam di rumahnya. Isteri dari bapak HaHe atau Tete Haya dan anak perempuannya yang masih kecil sibuk menyiapkan makan malam. Ia paham kalau peneliti belum makan sejak siang. Bapak HaHe atau Tete Haya menanyakan pada peneliti, apakah bisa makan papeda (bubur sagu) atau tidak? Peneliti mengatakan bisa makan papeda (bubur sagu). Malam itu saya dengan keluarga bapak HaHe atau Tete Haya makan bersama-sama. Setelah selesai makan malam, peneliti masih bercakap-cakap dengan bapak HaHe atau Tete Haya. Waktu itu arloji ditangan peneliti menunjukkan jam 24.00 Wit, kemudian kami menyudahi percakapan untuk beristirahat malam.

Keesokan hari peneliti bangun pagi-pagi sekali. Ternyata bapak HaHe atau Tete Haya sudah berada di rumah kecil yang terletak di tengah kebun ubi-ubiannya. Peneliti datang menghampiri bapak HaHe atau Tete Haya di rumah kebun (aana) atau paparisa. Bapak HaHe atau Tete Haya bertanya pada peneliti tentang keadaan tidur malam di rumahnya yang banyak nyamuk. Peneliti mengatakan bahwa, semalam tidur saya lelap sekali. Isteri bapak HaHe atau Tete Haya datang ke rumah kebun (paparisa) sambil menyuguhi kopi dan kasbi (singkong) goreng untuk kami sarapan pagi. Pada saat kami sedang sarapan pagi, bapak HaHe atau Tete Haya menyampaikan bahwa, se-telah selesai sarapan, kemudian langsung pergi mencari teman atau bagai-mana? Peneliti menjawab iya. Bapak HaHe atau Tete Haya juga mem-beritahukan bahwa, kalau ia memperoleh informasi mengenai keberadaan bapak Suriti nanti ia memberi kabar. Untuk itu kalau melewati daerah ini sering mampir ke rumahnya sehingga bisa mengecek informasi dari beliau. Peneliti menjawab terima kasih banyak kalau bapak HaHe atau Tete Haya bersedia untuk membantu peneliti guna menemukan bapak Suriti.

(22)

di-sampaikan pada bapak Suriti. Untuk itu peneliti terbeban pada pesan ini. Bapak HaHe atau Tete Haya langsung menjawab bahwa bapak DaKe sudah meninggal dunia lama sekali. Kecurigaan peneliti lebih dalam lagi pada bapak HaHe atau Tete Haya.

Mengapa ia mendiami tempat terisolasi di pedalaman Banggoi seperti ini bisa mengetahui kejadian yang menimpa bapak DaKe di Ambon. Alasanya yaitu ada teman dekatnya yang memberitahukan. Peneliti tidak yakin pada ucapannya. Untuk itu peneliti langsung mengatakan bahwa teman dekat ba-pak HaHe atau Tete Haya itu bernama KaHi atau Awr. Baba-pak HaHe atau Tete Haya langsung kaget, dan langsung bertanya pada peneliti apakah peneliti mengenal mereka? Peneliti mengatakan belum mengenal mereka, tetapi bapak DaKe pernah menceriterakan tentang keadaan mereka pada peneliti. Bapak HaHe atau Tete Haya mengungkapkan bahwa beta (saya) juga pernah bertemu mereka tetapi sudah lama sekali di sana, sambil menunjuk arah di mana mereka bertemu.

Orang gunung di Pulau Seram kalau mengatakan lama sekali itu bisa bermakna satu hari atau juga satu tahun, bahkan lebih. Peneliti langsung men-jawab bahwa, kalau begitu peneliti telat sedikit saja! Bapak HaHe atau Tete Haya mengungkapan bisa begitu. Jawaban dari bapak HaHe atau Tete Haya seperti ini memastikan pada peneliti bahwa orang yang sementara berada di depan peneliti ini sesungguhnya adalah bapak Suriti yang selama ini dicari-cari oleh peneliti. Pada saat itu peneliti langsung mengatakan bahwa ternyata di depan peneliti ini adalah Oyang Suriti. Seketika itu juga bapak HaHe atau Tete Haya langsung berbisik-bisik di telinga peneliti bahwa jangan menyebut nama tersebut (maksudnya nama Suriti) karena isterinya tidak pernah me-ngetahui nama tersebut. Beta (saya) ini adalah bapak Suriti yang sedang kamu cari. Nama ini tidak diketahui oleh orang lain. Hanya beberapa teman dekat saja yang mengetahui, temasuk bapak DaKe. Oyang Suriti atau Tete Haya langsung menyatakan kesediaan untuk membantu peneliti walaupun kon-disinya sudah makin tua, dan sekarang ia tidak kuat untuk melakukan perjalanan jauh.

(23)

Seram umumnya demikian. Oleh peneliti sendiri, perilaku mereka sebagai Orang Gunung di Pulau Seram adalah misteri. Kalau tidak memahami kondisi tersebut secara benar, maka seorang peneliti yang memasuki Pulau Seram tidak bisa menemukan sesuatu yang dicari. Perilaku Orang Seram seperti itu walaupun tidak umum, tetapi dalam menghadapi hal penting hal itu adalah nyata. Kondisi seperti ini telah diingatkan oleh bapak MuSa sebagai maweng

(ahli spiritual) yang berasal dari Negeri Amahai di Seram Tengah Bagian Selatan yang telah menuntun peneliti untuk datang ke Negeri Orang Bati.

Pesan bapak Haya atau Tete Haya pada peneliti saat itu adalah untuk memasuki Dunia Orang Bati perlu menyiapkan diri secara baik. Sebab pengalaman hidup bapak HaHe atau Tete Haya selama bergaul dengan Orang Bati kalau tidak kuat sebaiknya jangan ke sana. Bapak Haya atau Tete Haya bertanya pada peneliti yaitu, apakah kamu sudah siap untuk ke atas (mak-sudnya ke Negeri Orang Bati)? Sebab kehidupan orang di sana tidak banyak diketahui oleh orang lain. Peneliti menjawab sudah siap. Bapak Haya atau Tete Haya juga bertanya pada peneliti yaitu ”nyawa kamu ada berapa”? Sebab kalau nyawa hanya satu pikir dulu baik-baik. Apabila kamu pergi ke atas kalau bisa kembali berarti nyawa kamu yang satu itu tetap ada. Kalau nyawamu ada dua berarti satu mati (meninggal) dan satu masih ada, berarti kamu masig bisa hidup. Jawaban peneliti pada bapak Haya atau Tete Haya saat itu adalah ”bapak Suriti, Nyawa Beta (Saya) Hanya Satu”. Apabila nyawa beta (saya) yang satu ini mau diambil oleh Oyang Batti, beta (saya) sudah siap dan rela menyerahkan nyawa beta (saya). Bapak Suriti atau bapak Haya atau Tete Haya mengatakan bahwa, kalau begitu beta (saya) mau membimbing ose (kamu) untuk ke atas (maksudnya ke Negeri Orang Bati).

Mulai saat itu peneliti mulai dituntun oleh bapak Suriti atau bapak Haya atau Tete Haya untuk menyiapkan diri menuju Negeri Orang Bati yang dikenal sangat sakral di Pulau Seram. Peneliti mengikuti seluruh anjuran dari bapak Haya atau Tete Haya selama menjalani proses inisiasi. Bapak Suriti atau bapak Haya atau Tete Haya yang menyarankan pada peneliti untuk mempelajari9

9)Inilah saat di mana peneliti mulai menjalani proses inisiasi di bawa bimbingan

seorang Maweng yang sangat memahami Dunia Orang Bati.

) hal hal penting yaitu meliputi tradisi, adat-istiadat, dan bahasa

(24)

Sebab ”Manusia Batti” yang dipercaya oleh keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati yaitu ia lahir dengan evolusi daratan Seram, setelah induk dari

Nusa Ina (Pulau Ibu) yang sekarang dinamakan ”Seram” ini terlepas secara perlahanlahan setelah tergenang oleh air. Setelah saya, hanya kamu (ose) saja yang mengetahui hal ini. Artinya kamu (ose) harus mempelajari hal ini secara baik baru pergi ke sana (maksunya ke Tana atau Tanah Bati). Baru sekarang sya (beta) menemukan orang yang benar-benar cocok untuk mengetahui hal ini. Oyang akan menyerahkan salah satu dari pusaka Nusa Ina (Pulau Ibu) untuk kamu sebagai tanda. Peneliti kemudian menerima pusaka tersebut melalui ritual khusus, dan pusaka ini masih berada sampai sekarang di tangan peneliti.

Pengalaman peneliti ketika mem-peroleh pusaka tersebut adalah suatu wujud dari kebaikan hati dari seorang anak cucu keturunan Alifuru Ina atau

Alifuru Seram yang bernama Oyang Haya atau Tete Haya sebagai tanda di mana ia menaruh ”kepercayaan” penuh pada peneliti, sehingga semua pe-ngalaman hidup, kearifan, dan lainnya ditinggalkan pada peneliti sebelum ia meninggal dunia. Pengalaman melakukan Studi Budaya Tutur Orang Ambon-Maluku Tentang Orang Bati ternyata berguna bagi peneliti untuk menyiapkan penelitian ilmiah yang lebih mendalam karena dijumpai; (1) Pintu masuk untuk memahami tentang persoalan kemanusiaan yang sedang dialami Orang Bati, dan selama ini dianggap oleh Orang Maluku adalah misteri; (2) Dunia Orang Bati tidak terlepas dari hal-hal yang sakral (keramat).

Untuk itu menelusuri informasi tentang hal ini dari berbagai tokoh masyarakat, terutama ahli spiritual (Maweng)10

Komunikasi dua arah yang berlangsung secara harmoni (antara peneliti dan anggota masyarakat) menjadi kunci untuk membangun pendekatan sosial yang lebih sesuai guna menjawab kebutuhan penelitian ilmiah. Untuk itu

) pada lingkungan masyarakat

adat di Ambon-Maluku sangat penting. Ternyata semua fenomena sosial perlu dilakukan melalui pendekatan yang terkait dengan pemahaman terhadap situasi sosial. Mempelajari dan mendalami situasi sosial yang dilakukan oleh peneliti untuk menemukan Orang Bati karena informasi yang berkembang selama ini tentang mereka sifatnya tersembunyi dan umumnya dirahasiakan terhadap orang lain. Pemahaman terhadap setiap situasi sosial lebih me-nguatkan tekad peneliti untuk mengembangkan pendekatan sosial (social approach) secara tepat sehingga kehadiran peneliti harus lebih mengandalkan belajar bersama masyarakat, dan bukan mengajarkan masyarakat karena awal-nya ia tidak mengetahui tentang apa yang hendak dicari oleh peneliti.

10)Makna dari Maweng (ahli spiritual) karena tokoh ini memiliki kemampuan meramal.

Pada saat ini kata Maweng identik dengan Paranormal. Sebab penggunaan nama

Maweng berasal dari kata Mawe yang artinya “ramal” atau meramal suatu keadaan.

(25)

bapak Suriti atau Tete Haya menyampaikan pada peneliti kalau mau ke atas sebaiknya menyiapkan diri secara baik. Jawaban peneliti bahwa saya sudah siap. Bapak Suriti atau Tete Haya mengatakan kalau begitu kamu harus belajar dulu hal-hal penting baru ke sana (maksudnya ke Negeri Orang Bati). Proses belajar dari pengalaman hidup bapak Suriti atau Tete Haya dengan Orang Bati di Tana (Tanah) Bati inilah yang oleh peneliti dinamakan proses inisiasi.

Proses Inisiasi

Proses inisiasi yang dijalani oleh peneliti antara mempelajari adat-istiadat, tata cara pergaulan, bahawa Minakesi, ritual penyerahan diri untuk memasuki tempat-tempat sakral di Pulau Seram, dan khususnya di Tana (Tanah) Bati, maupun cara-cara untuk melakukan pendekatan ketika sudah berada di Tana (Tanah) Bati. Selama proses inisiasi ini dijalani oleh peneliti tidak ditentukan waktu kapan selesai. Informasi dari Oyang Suriti atau Tete Haya yaitu, nanti waktu yang tepat (tanoar) itu akan datang dengan sen-dirinya. Artinya peneliti mejalani suatu peristiwa penting tanpa penentuan batas waktu. Tetapi kesanggupan yang sudah dinyatakan oleh peneliti, ya harus dijalani. Itu adalah makna dari suatu janji lisan yang telah disepakati bersama. Setelah menjalani proses inisiasi selama dua tahun dari bulan Agustus 2006 sampai dengan bulan Juli 2008 di mana setiap bulan peneliti harus datang satu minggu di tempat kediaman Oyang Suriti atau Tete Haya dalam kawasan hutan pedalaman Banggoi, dan waktu yang tepat untuk me-lakukan perjalanan ke Negeri Orang Bati ditetapkan pada tanggal 1 Agustus 2008 peneliti harus bertolak dari Pulau Ambon, dan tepat tanggal 15 Agustus 2008 harus menginjak kaki di Tana (Tanah) Bati.

Penentuan waktu tersebut harus dilakukan oleh peneliti tepat, walau-pun menghadapi keadaan apa walau-pun juga. Apabila tidak tepat waktu, maka sampailah di situ perjalanan peneliti untuk mencari, dan menemukan Orang Bati. Artinya tidak boleh diulangi untuk kedua kalinya. Suatu keputusan dari seorang Maweng yang berpengalaman mengembara di Pulau Seram yang tidak bisa dihindari, ditawar-tawar oleh peneliti. Berdasarkan pengalaman inisiasi tersebut, ternyata pendekatan sosial memagang peranan penting dalam melakukan suatu penelitian ilmiah. Artinya seorang peneliti kualitatif me-nempatkan diri jauh dari sumber informasi dipastikan ia tidak memperoleh apapun yang hendak dicarinya. Sebaliknya seorang peneliti kualitatif yang se-lalu menempatkan diri dengan sumber informasi dipastikan ia dapat mem-peroleh segala-galanya yang dicari.

(26)

Haya. Sapaan ini bagi penduduk asli di Pulau Seram atau Orang Seram yaitu bentuk sapaan untuk menghormati orang yang lebih tua karena mereka sangat dihargai. Tahapan dalam menyiapkan diri oleh peneliti dalam proses inisiasi untuk memahami wilayah dan manusia. Sebab Gunung Bati adalah Gunung Manusia (Gunung Laki-Laki dan Perempuan) yang selama ini oleh Orang Bati adalah sakral karena keturunan Alifuru atau Alifuru Ina berasal dari Gunung Bati. Oleh Tokoh Adat di Tana (Tanah) Bati, peneliti telah diingatkan bahwa, leluhur Orang Bati lahir dengan evolusi daratan ini. Kita semua adalah bagian dari wilayah yang terdiri dari tanah, hutan, pohon, batu, sungai, dan lainnya se-hingga harus saling menghargai dan menghormati tempat-tempat dimaksud.

Kehidupan yang senantiasa menghargai alam di mana manusia berada, berarti menghargai jiwa dari leluhur, karena kepercayaan kami Orang Bati yaitu leluhur kami itu tidak mati atau meninggal, tetapi mereka hanya ber-pindah tempat kediaman. Selama ini yang dipahami oleh kami Orang Bati yaitu leluhur mereka yang dinamakan Tata Nusu Si tidak pernah mati. Mereka selalu hidup dengan kami Orang Bati. Untuk itu semua tempat yang berada di Tanah Bati adalah sakral, dan menghargai itu berarti berkat. Orang Bati adalah masyarakat adat yang senantiasa menjunjung tinggi tradisi, adat-istiadat, dan kebudayaan. Esuriun adalah nilai, tradisi, adat-istiadat, dan kebudayaan Orang Bati yang dijunjung tinggi oleh mereka sebagai pewaris tradisi Bati. Untuk itu mengetahui adat-istiadat Esuriun adalah keharusan bagi seorang Anak Esuriun

sebagai anak cucu keturunan Manusia Awal (Alifuru) dari Gunung Bati. Proses inisiasi ini berakar dari latihan berkonsentrasi untuk pematangan hati atau jiwa agar tidak kaku ketika berada di Tanah Bati.

Dalam menjalani proses tersebut yang terpenting adalah penguatan diri pada alam semesta yang bersumber pada batin, yang bermakna bati. Selain itu juga dalam menjalani proses inisiasi tersebut, peneliti diperkenalkan tentang alam gaib yang memiliki tanda-tanda alam berupa angin, gemuruh, dan lainnya yang setiap saat dialami ketika berada di Tana (Tanah) Bati sebagai pertanda bahwa leluhur sedang baik hati atau sedang marah. Selama ini Orang Bati percaya bahwa dunia gaib adalah dunia yang berhubungan dengan dunia Bati yang sesungguhnya. Roh para leluhur adalah perantara antara dunia di mana manusia hidup berada atau alam nyata dan kelihatan, sedangkan dunia gaib adalah dunia yang tidak kelihatan, tetapi senantiasa manusia mem-butuhkannya untuk hidup.

(27)

mem-peroleh jawaban tentang sesuatu hal boleh dilakukan atau tidak boleh di-lakukan. Dunia ini dipahami oleh Orang Bati sebagai dunia para leluhur (Tata Nusi Si), dan Orang Bati adalah generasi penerus tradisi, adat-istiadat, budaya, dan sebagainya dari leluhur. Proses inisiasi yang dijalani oleh peneliti sejak awal memiliki makna yaitu sebelum mengahdapi suatu lingkungan masya-rakat yang khas butuh pengetahuan awal dan bisa dijadikan sebagai pedoman untuk menentukan langkah di lapangan.

Pendekatan Personal dan Pendekatan Sosial (Social Approach)

Pendekatan sosial (social approach) yang dibangun peneliti sejak awal ketika berjumpa dengan bapak HaHe atau Tete Haya yang sesungguhnya adalah bapak Suriti yang sedang dicari-cari, perlu diuji kebenarannya apakah sesuai dengan kenyataan atau tidak. Informasi yang diperoleh dari bongso Asa di Negeri Tamilou bahwa orang yang bernama bapak Suriti memiliki ciri-ciri fisik tertentu menjadi penting untuk memastikan keadaan sebenarnya di lapangan. Waktu itu bongso Asa mengungkapkan bahwa cicir-ciri dari orang tersebut antara lain; (1) Warna kulit agak hitam; (2) Postur badan sedang (tidak terlampau tinggi); (3) Berbadan tegap; (4) Orang tersebut agak gemuk; (5) Rambut ikal; (6) Mata hitam-putih. Ketika menatap, matanya sangat tajam;( 7) Raut muka agak lebar; (8) Sering menggunakan jenggot; (9) Makan siri dan pinang.

Setelah memperoleh penjelasan mengenai ciri-ciri fisik dari bapak Suriti maka bongso Asa menyebutkan bahwa orang ini sering terlihat disekitar kawasan Seram Utara sampai dengan perbatasan Seram Timur. Sekitar wilayah tersebut terdapat negeri atau kampung-kampung orang asli Seram antara lain Wahai, Zeti, Maneo Randa, Maneo Tinggi, Kabauhari, Kobisonta, Kobisadar, Tanah Merah, Ake Ternate, Pasahari, Hote, Banggoi, dan Bula. Ia juga sering terlihat disekitar kampung-kampung yang terdapat di pedalaman Pulau Seram seperti Balakeu, Atiahu, Tunsai, Dihil, Maraina, Kanike, Roho, Manusela, Salamena, Sinahari, dan Soleha. Sebenarnya nama bapak Suriti tidak populer, karena sehari-hari masyarakat menyapanya dengan nama bapak HaHe atau Tete Haya. Pada saat mendengar penjelasan bongso Asa, serentak itu juga saya menunjukan foto bapak HaHe atau Tete Haya atau bapak Suriti. Ia langsung menjawab bahwa ini benar adalah bapak HaHe atau Tete Haya atau bapak Suriti yang sedang dicari-cari. Peneliti mengemukakan bahwa perjumpaan antara bapak HaHe atau Tete Haya atau bapak Suriti dengan peneliti terjadi pada tanggal 5 Mei 2006 di rumah kediamannya yang terdapat di Kampung atau Dusun Banggio Pedalaman11

11)Ini adalah tahap awal ketika peneliti melakukan verifikasi informasi atau data

lapangan guna menemukan kebenaran.

(28)

Pertemuan pertama kali dengan bapak HaHe atau Tete Haya ternyata terus berlanjut. Kami memiliki hubungan saling percaya yang kuat. Mulai dari perjumpaan pertama sampai dengan perjumpaan ke enam relasi sosial yang tercipta antara bapak HaHe atau Tete Haya dengan peneliti makin baik. Pada perjumpaan ke 7 (tujuh) kali di rumah kecil (aana) yang terdapat dalam kebun kasbi (singkong), bapak HaHe atau Tete Haya menceritrakan kisah hidupnya bersama keluarga sebagai Orang Gunung. Ia juga berharap suatu waktu kalau meninggal dunia, jenazahnya harus dikembalikan di gunung untuk dimakam-kan. Kesempatan ini dianggap tepat oleh peneliti untuk menanyakan pada bapak HaHe agar bisa membantu peneliti dalam mewujudkan niat ke Tanah Bati. Setelah peneliti mengutarakan niat tersebut, bapak HaHe atau Tete Haya menjawab bisa saja.

Begini bapak, beta (saya) ini memiliki hubungan basudara dengan bapak DaKe (alm) dari Lease (maksudnya adalah Negeri Siri Sori Serani di Pulau Saparua). Deretan Kepulauan Lease terdapat Pulau Saparua, Haruku, dan Nusa Laut. Sebenarnya ada amanat dari bapak DaKe yang dititipkan pada beta (saya) untuk disampaikan ? Bapak HaHe atau Tete Haya menjawab bahwa, bapak DaKe (alm) yang berasal dari Negeri Sore Sore adalah teman baik yang pernah ia kenal selama hidup di Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu). Peneliti bertanya yaitu, mengapa oyang tidak mau menggunakan nama SuHe ? Ia menjawab bahwa, nama tersebut pada masa lampau, bahkan sampai saat ini sangat ditakuti oleh masyarakat yang mendiami kawasan pedalaman di Pulau Seram, terutama sekitar sini. Kalau nama itu oyang (kakek) pakai nanti tidak bisa memiliki teman. Jadi panggil saja beta (saya) dengan nama bapak HaHe atau Tete Haya. Setelah menemukan bapak Suriti atau bapak HaHe atau Tete Haya, maka niat untuk datang ke Tana (Tanah) Bati guna menemui Orang Bati mulai diutarakan secara lebih dalam.

(29)

Perjalanan Pertama Mencari Negeri Orang Bati

Selesai melakukan inisiasi, peneliti diberitahukan oleh maweng untuk melakukan perjalanan menuju Negeri Orang Bati atau Tana (Tanah) Bati. Per-jalanan bersejarah ini mulai dilakukan peneliti menurut perhitungan waktu atau saat yang tepat (tanoar) atau katika. Perjalanan menuju Pulau Seram melalui wilayah Seram Barat, kemudian menuju Seram Tengah Bagian Selatan, dan selanjutnya ke wilayah Seram Utara untuk ke wilayah Seram Timur. Rute ini termasuk jalan panjang yang harus dilakukan oleh peneliti karena ada ritual penyerahan diri pada tempat-tempat penting di Pulau Seram.

Untuk datang ke Negeri Orang Bati tidak boleh menggunakan jalan pendek sebab ini adalah jalan satu-satunya yang selama ini tidak pernah dilakukan oleh orang luar karena mereka tidak mengetahui sama sekali, dan mereka tidak pernah belajar tentang itu. Jalan pendek adalah pantangan atau

pamali (tabu)12

12)Langkah ini adalah keharusan yang dianjurkan oleh Maweng (ahli spiritual) kepada

peneliti untuk dijalani.

). Selain itu juga melakukan perjalanan panjang ke Negeri

Orang Bati atau Tana (Tanah) Bati harus di tengah kondisi Pulau Seram yang berada pada musim pancaroba (peralihan dari musim penghujan atau musim timor ke musim kemarau atau musim barat) dipastikan peneliti akan mengalami hambatan. Sebab bisa saja terjadi hambatan yang dapat menyebab-kan peneliti tidak bisa sampai di Negeri Orang Bati atau Tana (Tanah) Bati tepat sesuai waktu yang telah ditentukan oleh maweng yaitu tanggal 15 Agustus 2008. Untuk apa peneliti melakukan perjalanan bersejarah tersebut? Tidak lain untuk melakukan negosiasi untuk masuk ke lokasi penelitian guna melakukan aktivitas meneliti.

Negosiasi untuk Masuk Ke Lokasi Penelitian

Waktu terus berjalan. Proses negosiasi awal untuk masuk ke lokasi penelitian terus dilakukan oleh peneliti. Bapak SuHe atau bapak HaHe atau Tete Haya menganjurkan agar bulan Agustus 2008 peneliti dapat menyiapkan diri untuk melakukan perjalanan menuju Negeri Orang Bati atau Tana (Tanah) Bati. Hal ini juga identik dengan anjuran dari bapak MuSa sebagai maweng

(30)

Menentukan Tanoar (Waktu atau Saat yang tepat atau Katika)

Pandangan dari para maweng (ahli spiritual) yang disampaikan pada peneliti bahwa perjalan menuju Tana (Tanah) Bati perlu dilakukan menurut perhitungan waktu atau saat yang tepat (tanoar) atau katika. Berdasarkan pendapat dari maweng (ahli spiritual) dari Negeri Amahai yang turut membantu peneliti, dipastikan yaitu pada hari Jumat, tanggal 1 Agustus 2008 peneliti sudah harus melakukan perjalanan, dan pada hari jumat tanggal 15 Agustus 2008 harus tiba di Negeri Orang Bati atau Tana (Tanah) Bati. Langkah yang dijalani peneliti dari Mata Passo yang terdapat di Pulau Ambon untuk menuju Pulau Seram mulai di-jalani. Keberangkatan yang dilakukan dari Pulau Ambon dengan mengguna-kan kendaraan roda dua atau motor me-lintasi jalan darat menuju Pelabuhan Hunimua di Negeri Liang. Selanjutnya menyeberangi Laut Seram (Selat Seram) dengan Kapal Feri dari Pelabuhan

Hunimua yang terdapat di Negeri Liang Pulau Ambon untuk menuju Pelabuhan Waipirit yang terdapat di Negeri Kairatu Pulau Seram saat itu keadaan iklim di daerah Maluku sedang berada pada musim peralihan (pancaroba).

Waktu untuk peneliti agar sampai di Tana (Tanah) Bati sudah di-tentukan oleh Maweng (ahli spiritual) yaitu bapak MuSa maupun bapak Oyang Suriti atau Tete Haya yaitu tepat hari Jumat, tanggal 15 Agustus 2008, peneliti sudah harus menginjak Tana (Tanah) Bati13

13)Setelah peneliti berada di Kampung atau Dusun (wanuya) Rumbou (Bati Tengah)

kemudian diberitahu oleh Kepala Adat yaitu bapak SeSia bahwa semua hal yang berkaitan dengan ritual dalam tradisi, adat-istiadat Bati dipusatkan di tempat ini. Tradisi ini diberitahukan oleh Orang Bati bernama Tete SeSia di Kampung atau Dusun (wanuya) Rumbou (Bati Tengah) pada saat peneliti menginap malam hari pertama

dalam wilayah kekuasaan (watas nakuasa) Orang Bati.

). Peneliti secara sengaja

(31)

Waspadai Tempat Sakral Maupun Tempat Angker di Pulau Seram

Selain itu juga di dalam perjalanan perlu diingat tempat-tempat sakral yang terdapat di Pulau Seram. Pada setiap tempat sakral perlu dilakukan ritus penyerahan diri dan niat. Gunung Mawoti (tulang belakang manusia) adalah tempat sakral. Ketika berada di Gunung Mawoti saya harus melakukan ritual penyerahan diri dan niat agar leluhur Pulau Seram menyertai dalam per-jalanan. Berikut ini adalah situasi dari puncak Gunung Mawoti) yang terkenal sangat sakral pada gambar 1 berikut ini:

[image:31.468.78.397.193.416.2]

Gambar 1

Puncak Gunung Mawoti (Tulang Belakang Manusia) Sumber: Data Primer Hasil Penelitian.

Pada saat melakukan perjalanan menuju Tanah Bati di Seram Timur, keadaan cuaca saat itu berada pada musim peralihan (pancaroba) yaitu peralihan dari musim penghujan (musim timor) ke musim kemarau (musim barat). Sungai-sungai di Pulau Seram saat itu mengalami banjir bandang se-hingga menyebabkan 9 (sembilan) jembatan yang terdapat di Seram Barat sampai Seram Tengah Bagian Selatan terputus. Sungai Mata Kapu, Manis, Bobi, Bolivar, Beles, Dawang, Masiwang, Kai, dan Aertafela di Seram Timur sering banjir bandang. Jalan darat yang menghubungkan Negeri Ake Ternate di Kabupaten Maluku Tengah dengan Negeri Kian Darat di Kabupaten Seram Bagian Timur sedang mengalami kerusakan berat.

(32)

menghadapi dan mengatasi gejolak alam berarti niat untuk datang ke Tanah Bati menjadi terhentisampai di situ saja. Ungkapan ini sangat ngeri dan menantang. Hanya satu hal yang dipegang kuat oleh peneliti saat itu ketika menghadapi kondisi dan situasi alam yang tengah bergolak adalah Niat, untuk menemui masyarakat dan tokoh penting di Tanah Bati agar bisa meneliti, menulis, dan membangun Orang Bati agar kelak mereka bisa hidup lebih maju. Sampai saat ini niat tersebut tidak pernah berubah dalam seluruh aktivitas peneliti selama hidup dalam Dunia Orang Bati di Seram Timur.

Makna tentang tempat sakral, yaitu sebagai pendatang baru di suatu lokasi harus menghormati tempat-tempat yang dipandang oleh masyarakat setempat memiliki kekuatan tertentu yang bersifat gaib. Gunung Mawoti

adalah salah satu lokasi yang terdapat di Pulau Seram yang dianggap oleh masyarakat memiliki kekuatan gaib, sehingga sampai sekarang adalah sakral. Selain itu juga Sungai (alsul) Masiwang adalah tempat sakral karena memiliki kekuatan gaib yang berada di luar akal sehat manusia. Percaya atau tidak, tetapi pengalaman peneliti sendiri adalah demikian. Sebenarnya dalam wilayah ini bukan manusia yang harus ditakuti, tetapi tempat yang dilalui harus diwaspadai. Lakukan hal itu secara benar berdasarkan anjuran maweng

pasti bisa dilalui semuanya.

Jalan Panjang dan Jalan Pendek

Sungai Masiwang terdapat di wilayah Seram Timur adalah pintu masuk ke wilayah kekuasaan (watas nakuasa) Orang Bati. Melewati Sungai Masiwang untuk menuju ke Tanah Bati merupakan jalan panjang. Berdasarkan keperca-yaan masyarakat setempat, sebagai pendatang baru yang ingin datang di Tanah Bati sebaiknya menempuh jalan panjang. Jangan menempuh jalan pendek, sebab niat untuk ke Tanah Bati tidak dapat terwujud. Maksud jalan pendek yaitu melalui rute dari Pulau Ambon menuju Pulau Geser, kemudian me-nyeberangi Selat Keving untuk menuju ke Tanah Besar dengan menggunakan motor tempel (katinting). Cara ini lebih mudah, tetapi banyak sekali halangan yang dihadapi. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan tujuan untuk datang ke Tanah Bati mengalami hambatan.

(33)

me-milih dan menempuh rute yang panjang karena perlu melakukan ritual pe-nyerahan diri pada tempat-tempat khusus di Pulau Seram, dan khususnya dalam wilayah kekuasaan (watas nakuasa) Orang Bati.

Sebab rute perjalanan tersebut merupakan pengalaman dari maweng

ketika pertama kali datang di Tana (Tanah) Bati. ia percaya bahwa melalui rute ini peneliti dapat mewujudkan niat tersebut. Sebagai orang yang meng-hargai tradisi, adat-istiadat, dan lainnya, maka peneliti mengikuti anjuran tersebut secara baik, dan sekaligus juga mengenal wilayah geografis dari Pulau Seram Bagian Timur secara benar. Kawasan ini berkaitan dengan mitologi tentang Seram Gunung Manusia yang telah peneliti pelajari secara baik dari

Oyang Suriti atau bapak HaHe, atau Tete Haya. Posisi Sungai (Alsul)

Masiwang di Pulau Seram adalah kaki kiri. Orang Seram Timur beranggapan bahwa Sungai (Alsul) Masiwang me-miliki sejarah penting bagi kehidupan suku-suku di wilayah ini, terutama Suku Bati. Sungai (Alsul) Masiwang

merupakan pintu masuk ke wilayah kekuasan (watas nakuasa) Orang Bati. Kawasan ini terdiri dari hutan belantara. Hutan belantara bukan berarti tidak ada pemilik, tetapi semua yang berupa hutan belantara di Pulau Seram ada pemiliknya. Ternyata pemilik hutan belantara sekitar kawasan ini adalah Manusia Gunung (Mancia Atayesu) atau Alifuru dari Gunung Bati.

Masiwang artinya di gunung masih ada manusia. Maksudnya yaitu, suatu peringatan pada orang luar yang datang ke wilayah ini bahwa ingat di gunung masih ada orang. Dalam

Gambar

Puncak Gunung Gambar 1 Mawoti (Tulang Belakang Manusia)
Sungai (Gambar  2 Alsul) Masiwang Yang Menakutkan Sebagai Pintu Masuk yang Benar
Perahu (Gambar 3 Wona) Yang Digunakan Oleh Peneliti Untuk Menyeberangi Sungai
Gambar 4 Rumah Kediaman Keluarga Bapak SaRum di Kampung Atau Dusun Rumbou
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mbak Widia dan seluruh Staf Program Magister Ilmu Hukum UKSW Salatiga yang telah memberi bantuan berupa saran serta prasarana sehingga penulis dapat menyelesaikan

Entrepreneurship adalah sifat,watak dan ciri-ciri yang melekat pada seseorang yang mempunyai kemauan keras untuk mewujudkan gagasan inovatif ke dalam dunia usaha yang nyata

Ending Film saya justru menggambarkan Menuk menatap nama Soleh yang sudah menjadi nama Pasar … Darimana anda bisa menafsirkan bahwa Hendra pindah agama hanya

Pada lingkungan masyarakat desa yang masih tradisional, bahkan terabaikan dari pengakuan masayrakat dan berbagai pihak lainnya ternyata lembaga adat merupakan mata-rantai yang

Mancia Batu damian nai tana eya bukan tua watu, fafan, kay, tapi watas nakuasa tua ni mancia (Orang Bati tidak menempat- kan batas wilayah dengan batu, papan, pohon, dan sebagainya,

Untuk dapat mempermudah pendengar mengatur bati ekualiser dan volume suara yang diinginkan maka dirancanglah sebuah sistem terkendali yang dapat mengatur bati ekualiser dan

Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan pandangan jemaat GKS Waingapu mengenai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam makan sirih pinang bersama dan saling

Rumah makan merupakan tempat yang sering dicari oleh para pendatang dan wisatawan, namun sering kali para pendatang kesulitan dalam menemukan lokasi rumah makan yang