• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Esuriun orang Bati D 902008103 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Esuriun orang Bati D 902008103 BAB III"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

Eksistensi Berbagai Sukubangsa di

Seram-Maluku

Bumi Seram di Maluku

Pembahasan tentang eksistensi sukubangsa di Seram-Maluku di-maksudkan untuk menjelaskan tentang eksistensi Orang Bati atau Suku Bati sebagai salah satu sukubangsa di Pulau Seram-Maluku yang selama ini distigma orang luar sebagai orang atau manusia ilang-ilang (hilang-hilang). Orang Bati atau Suku Bati memiliki identitas maupun teritorial di Pulau Seram Bagian Timur. Dalam deretan suku-suku di Pulau Seram, Orang Bati atau Suku Bati belum diakui sebagai salah satu sukubangsa karena Orang Bati dianggap sebagai manusia ilang-ilang

(hilang-hilang). Studi tentang Esuriun Orang Bati dimaksudkan untuk menjelaskan tentang Esuriun Orang Bati sebagai kekuatan bertahan hidup (survival strategy) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan, dijumpai dalam mekanisme integrasi kultural yang dicapai oleh ke-lompok Patasiwa dan Patalima di Tana (Tanah) Bati untuk mewujud-kan integrasi eksistensial sehingga Orang Bati memiliki jati diri atau identitas sebagai manusia maupun sukubangsa dan tidak terbedakan dari sukubangsa lainnya di Pulau Seram maupun Maluku.

Kalimat kunci yang digunakan Orang Bati kalau tetap bersatu katong tetap kuat (kal ta buik tetap kuat). Dalam pandangan Orang Bati bahwa, membangun Maluku tanpa membangun Seram berarti tidak ada artinya. Sebab Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) yaitu ale

(2)

tersebut berada di wilayah Pulau Seram, berikut ini dikemukakan tentang keadaan geografis.

Kondisi Geografis

Pulau Seram merupakan pulau terbesar di wilayah Kepulauan Maluku. Pulau Seram terdiri dari wilayah pegunungan maupun dataran rendah. Wilayah pegunungan yang cukup tinggi berada di wilayah Seram Timur sampai dengan Seram Tengah bagian Selatan, sedangkan di wilayah bagian Barat terdapat pegunungan yang tidak begitu tinggi seperti di Seram bagian Timur maupun Seram Tengah. Sebutan Seram!1

1)Katong taku pi ka sana (kami takut untuk datang ke sana). Ungkapan ini sering

muncul di kalangan Orang Ambon dan Orang Lease (Saparua, Haruku, dan Nusa Laut) ketika berinteraksi. Makna dari ungkapan tersebut yaitu Seram dan Manusianya menakutkan, menyeramkan. Melalui ungkapan seperti ini Orang Ambon dan Orang Lease bisa melupakatan bahwa leluhur mereka berasal dari Pulau Seram atau Nusa Ina

). Seperti itu adalah persepsi sebagian besar Orang Maluku

(ter-utama Orang yang mendiami negeri-negeri adat di Pulau Ambon, Saparua, Haruku, dan Nusa Laut (Kepulauan Lease). Pulau Seram se-bagai pulau terbesar di Kepulauan Maluku yang terletak di sebelah utara Pulau Ambon, Pulau Tiga (Nusa Lain, Nuasa Hatala, Nusa Ela), Kepulauan Lease (Saparua, Haruku, dan Nusa Laut), sebelah Timur dari Pulau Buru, Manipa, Kelang, dan Buano, dan sebelah Barat dari Pulau Geser, Gorom, Keving, Seram Laut, Varan dan Akad.

(3)

Peta 1

Pulau Seram

Pengelompokan

Patasiwa

dan

Patalima

di Maluku

Pengelompokan berbasis asal-usul dan budaya tersebut di Maluku Utara dinamakan Urisiwa dan Urilima, di Maluku Tengah (Ambon, Lease, dan Seram) dinamakan Patasiwa dan PataLima, dan di wilayah Maluku Tenggara dinamakan Ursiu dan Lorlim. Arti dari

Patasiwa (Pata = Bagian dan Siwa = Sembilan), (Pata = Bagian dan Lima

= lima). Kelompok sosial Patasiwa dan Patalima dapat dijumpai pada masyarakat yang mendiami negeri-negeri (adat) di Pulau Seram maupun wilayah Maluku Tengah secara umum.

Sejak masa lampau kehidupan Alifuru Seram terdapat kelompok sosial Patasiwa dan Patalima. Kelompok sosial Patasiwa terdiri dari

Patasiwa Hitam (Patasiwa Mete) dan Patasiwa Putih. Kelompok

(4)

se-panjang Teluk Teluti (Cooley, 1961 : 119). Masing-masing kelompok

pata mendiami teritorial, menganut bahasa, adat-istiadat, kebudayaan, dan lainnya yang berbeda-beda. Dalam kehidupan Alifuru Seram, ke-dua kelompok pata tersebut selalu bermusuhan karena pada zaman itu sangat kuat tradisi mengayau. Untuk itu pada masa lampau serangan pemenggalan kepala manusia (mengayau) atau potong kepala manusia yang dilakukan oleh satu kelompok terhadap kelompok lain yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan ritual adat tertentu yang di-lakukan pada rumah adat atau Baileu atau Baileo. Aktivitas mengayau tidak ditujukan pada kelompok sosial yang sama, tetapi ditujukan pada kelompok sosial yang berbeda. Untuk itu keberadaan (eksistensi) rumah adat (baileu) sebagai simbol pemersatu kelompok sangat penting dalam kehidupan kelompok Patasiwa maupun Patalima sejak masa lampau sampai saat ini, dan simbol tersebut dapat dijumpai pada semua negeri adat di Maluku Tengah atau Ambon, Lease, dan Seram maupun tempat lainnya yang diwujudkan melalui suatu bangunan sakral yang di tempatkan pada di tengah-tengah negeri atas desa. Baileu sebagai tempat sakral benar-benar dijaga dan dilindungi oleh pendukung tradisi dan kebudayaan.

Pada umumnya rumah adat (baileu) pada Orang Patasiwa dan

Patalima berupa bangun fisik yang berada di tengah-tengah negeri. Rumah adat atau baileu benar-benar dilindungi karena memiliki nilai kesakralan, dan digunakan untuk maksud-maksud tertentu dalam ritual adat. Colley (1961 : 113) mengemukakan bahwa baileu itu disebut atau dilihat sebagai rumah adat. Baileu adalah manifestasi fisik dari desa sebagai persekutuan adat. Baileu merupakan rumah tua desa, rumah pusaka dari klen sebagai tempat untuk menyimpan semua pusaka dan alat-alat yang mereka percaya memiliki arti dan kekuatan khusus (gaib) karena pusaka dan alat-alat tersebut ada kaitannya dengan para leluhur, dan tempat orang membicarakan, memutuskan, dan melaksanakan hal-hal yang ada kaitannya dengan kesejahteraan klan atau pribadi di dalam kelompok.

(5)

baileu tetap hidup. Dalam realitasnya setiap kelompok pata memiliki rumah adat atau baileu sendiri-sendiri. Agar baileu tetap hidup, dan manusia ada yang meninggal (mati) maka serangan pemenggalan kepala manusia untuk kebutuhan ritual, harta kawin, dan sebagainya yang harus dipersembahkan di baileu menyebabkan kedua kelompok

pata tersebut sering terlibat dalam konflik maupun pertikaian, sehingga kedua kelompok pata (Patasiwa dan Patalima) selalu hidup dalam permusuhan.

Struktur Sosial Masyarakat Maluku

Dalam kehidupan Orang Maluku sajak zaman dahulu sampai saat ini masih teridentifikasi berbagai stuktur sosial. Keragaman struktur sosial dapat dikemukakan sebagai berikut:

Rumatau atau Lumatau (Mata Rumah)

Rumatau atau lumatau (mata rumah) merupakan ciri umum yang dapat dijumpai pada setiap lingkungan masyarakat negeri (adat) di Maluku. Dalam rumatau atau lumatau (mata rumah) terdapat keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat, sehingga dapat dikatakan sebagai struktur sosial dasar. Oleh Effendi (1987 : 25) rumatau atau

lumatau adalah kesatuan kelompok genealogis yang lebih besar sesudah keluarga. Kata pokoknya adalah “ruma atau rumah”. Sebutan untuk rumah ini berbeda di beberapa tempat, sesuai dengan dialek setempat. Menurut dialek Saparua disebut lumal, dialek Nusalaut rumah, dialek Haruku ruma, dialek Hila dan Asilulu luma. Sebutan luma juga di-kemukakan oleh Streseman. Dalam bahasa daerah asli atau “bahasa tanah” huruf “r” dibaca “l”. Secara harfiah, ruma berarti “rumah dan tau berarti isi”. Rumatau berarti rumah yang didiami bersama-sama oleh orang-orang yang seketurunan dan keanggotaannya tersusun menurut garis bapak. Nama lain yang populer di kalangan rakyat untuk

rumatau ini adalah mata-mata. Mata berarti “asal” atau “induk”.

(6)

(Saparua, Haruku, dan Nusalaut), karena setiap orang mesti berada dalam salah satu rumatau. Orang yang tergabung dalam rumatau ada-lah orang asal, yang lawannya adaada-lah orang dagang atau bukan orang asli yang berasal dari salah satu rumatau. Dikemukakan lebih lanjut oleh Effendi (1987 : 26) bahwa setiap orang senantiasa tergabung ke dalam salah satu rumatau. Mereka yang tidak tergabung ke dalam salah satu rumatau sukar untuk turut serta di dalam lalu lintas hukum dan kurang mendapat perlindungan hukum, karena tidak masuk hitungan sebagai orang asli dari negeri yang bersangkutan. Rumatau adalah kebanggaan dari anggotanya, dan berada di luarnya berarti kehilangan kebanggaan dan martabat serta lain-lain hak yang dapat dibanggakan sebagai orang asli. Untuk mengatur suatu rumatau, baik dalam hu-bungan ke dalam rumatau, maupun terhadap pihak luar seperti ruma-tau lain, maka diangkatlah salah seorang dari anggota rumatau yang bersangkutan menjadi pemimpin dengan gelar “upu”. Biasanya dipilih yang tertua atau yang dituakan di antara anggota rumatau itu. Seniori-tas generasi seseorang memegang peranan penting untuk dapat di-angkat menjadi upu. Ini dimaksudkan supaya diperoleh seorang pemimpin yang berwibawa.

Uku

Perkembangan yang terus berlangsung dalam kehidupan ruma-tau antara lain pertambahan anggota karena kelahiran sehingga jumlah mereka makin banyak. Anggota-anggota keluarga yang berasal dari

rumatau yang jumlahnya besar kemudian mendirikan rumah disekitar

rumatau induk dan terus mengalami perkembangan sehingga menjadi banyak sehingga terbentuk pesekutuan hidup yang lebih besar yang dinamakan Uku atau Huku. Oleh Effendi (1987 : 28) bahwa uku atau

(7)

Soa

Persekutuan dalam soa lebih luas. Suatu soa biasanya terdiri dari mata rumah atau rumatau (lumatau). Artinya di dalam satu soa

terdapat marga-marga atau fam (family) yang berbeda-beda. Effendi (1987 : 29) mengemukakan bahwa soa adalah suatu persekutuan teritorial genealogis. Di dalam administrasi pemerintahan, sekarang ini

soa merupakan suatu wilayah yang menjadi bagian dari suatu petuanan atau negeri. Dalam kenyataannya rumatau-rumatau dalam soa tidak seketurunan. Mereka berasal dari keturunan yang berbeda, yang secara kebetulan menempati wilayah yang sama. Unsur teritorial yang menyebabkan mereka bergabung, dan bukan unsur genealogis.

Dalam suatu soa terdapat satu rumatau asli, tetapi dapat dijumpai juga bahwa dalam satu soa terdapat beberapa rumatau, maupun marga-marga pendatang. Pada umumnya pemimpin yang terdapat dalam satu

soa berasal dari rumatau asli yang dinamakan “Kepala Soa”, dan me-miliki fungsi dan peran untuk mengkoordinir seluruh anggota yang terdapat dalam soa tersebut. Nama soa yang terdapat dalam suatu negeri berbeda-beda, serta jumlah soa pada setiap negeri tidak sama. Anggota yang terdapat dalam soa tersebut dinamakan “Anak Soa”.

Hena dan Aman

Hena dan Aman merupakan persekutuan hidup yang lebih besar dari soa. Artinya gabungan dari beberapa soa kemudian terbentuknya

Hena atau Aman. Menurut G A Wilken dan van Ossenbruggen dalam Effendi (1987 : 30) menuliskan Hena dengan “Henna” yang bentuknya sama dengan yang di Pulau Buru “Fenna”. Henna atau Fenna berarti daerah atau wilayah (landstreek) atau daerah suatu suku (stamgebied). Dalam arti terbatas bisa berarti “kampung” (dorp). Jadi Hena adalah suatu kesatuan masyarakat yang berunsurkan teritorial. Menurut dialek Saparua disebut “Amanno”, dialek Nusalaut Amanyo, dialek Hila

Amano dan amane, dan dialek Asilulu “Hena”. Di Ambon Lease, Hena

aslinya adalah sebuah persekutuan yang lebih besar dari Uku. Sebuah

(8)

Hena terbentuk oleh Uku-Uku, dan Uku-Uku ini adalah kesatuan-kesatuan genealogis, namun sudah harus diperhitungkan unsur teri-torialnya oleh Uku-Uku yang bersangkutan karena sudah menempati daerah yang luas. Hena itu dinyatakan sebagai suatu persekutuan “genealogis teritorial” yang lebih menitik beratkan kepada unsur genealogisnya atau di mana unsur genealogis yang dominan. Jadi kebalikan dari soa di mana unsur teritorial yang dominan atas rumatau-rumatau yang berunsurkan genealogis itu dan bersama-sama membentuk sebuah persekutuan genealogis teritorial.

Negeri

Negeri merupakan penamaan yang saat ini umumnya digunakan oleh Orang Maluku untuk mengidentifikasi tempat asal-usul, tanah ke-lahiran, tampa putus pusa, dan lainnya yang identik dengan itu pada seseorang. Menurut Effendi (1987 : 31) istilah negeri bukan berasal dari bahasa asli daerah ini atau bahasa tanah. Suatu negeri adalah per-sekutuan teritorial yang terdiri atas beberapa soa yang pada umumnya berjumlah paling sedikit tiga. Kepala Negeri yang disebut Pamerentah dan sehari-hari dipanggil “Raja”. Dalam Ordonansi S. 1824-19a disebut

regent. Sekarang ini susunan wilayah pemerintahan negeri adalah wilayah yang membentuk negeri. Di bawahnya terdapat wilayah-wilayah soa yang terbentuk dari beberapa rumatau sebagai per-sekutuan genealogis.

Uli dan Pata

Penamaan Uli dan Pata dapat dijumpai pada Orang-Orang yang mendiami Ambon, Lease (Saparua, Haruku, Nusalaut), dan Seram. Mengenai pengertian Uli itu sendiri menurut Effendi (1987 : 31) adalah suatu persekutuan yang terbentuk atau tersusun atas beberapa

(9)

diantara para penulis. Selanjutnya menurut Effendi, mengenai arti Uli

itu sendiri terdapat perbedaan pendapat di antara para penulis. Valentijn mengartikannya dengan “persekutuan” (gespanschap). Holleman mengartikan Uli adalah “perikatan atau gabungan suku-suku” (stammenbond) yang terdiri atas lima atau sembilan aman, hena atau soa. Dalam uraian selanjutnya Holleman menyebutkan Uli adalah “Volk”. Melihat kepada terbentuknya Uli ini, maka volk di sini bukan berarti bangsa atau nation, tetapi sebagai kelompok rakyat yang terikat satu sama lainnya karena mempunyai bahasa, adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan wilayah pemukiman yang sama. Jansen sebagai Residen terakhir dari pemerintahan penjajahan Belanda di Maluku sampai datangnya kekuasaan Jepang, tidak memberikan pengertian mengenai

Uli, dan beliau kurang setuju kalau Uli diartikan dengan perikatan (gespanschap) atau bangsa (volk).

Namun di dalam realitasnya, cara pengelompokan sosial di Ambon Lease banyak berpengaruh dari konsep Uli karena sistem ini membagi masyarakat ke dalam kelompok Ulisiwa dan Ulilima. Artinya, Orang Ambon Lease mesti berada dalam satu Uli tertentu. Kalau tidak Ulisiwa tentu Ulilima. Di Pulau Seram untuk Uli dikenal istilah Pata.

Patasiwa untuk Ulisiwa, dan Patalima untuk Ulilima. Menurut Effendi (1987 : 32) walaupun antara Uli dan Pata terdapat kesamaan, namun ada perbedaannya yaitu Uli lebih cenderung bersifat genealogis, sedangkan Pata lebih cenderung kepada pengertian teritorial. Uli

sebagai persekutuan yang murni atau secara menyeluruh genealogis dapat dikatakan tidak ada. Kalau disebut cenderung genealogis

bukanlah berarti bahwa seluruh anggota atau rakyat yang tergabung di dalam Uli itu berasal dari satu moyang atau satu leluhur, karena Uli

(10)

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan mengenai penamaan

Uli tampak bahwa ciri yang terdapat pada Uli yaitu berupa sistem pengelompokan sosial berdasarkan teritorial, dan bukan genealogis

karena orang-orang yang tergabung dalam satu Uli belum tentu memiliki asal-usul leluhur yang sama. Orang-orang yang tergabung dalam satu Uli memiliki hena atau aman, atau saat ini dinamakan negeri yang bertetangga pada satu pulau tertentu, tetapi bisa berbeda pulau. Misalnya sebutan Orang Uliaser (Uliasa) atau saat ini dikenal dengan nama Lease ditujukan pada orang-orang yang mendiami negeri atau Hena atau Aman yang terdapat di Pulau Saparua, Haruku, dan Nusalaut. Sistem pengelompokan sosial tersebut dapat dijumpai pada orang-orang yang mendiami negeri-negeri (adat) di Ambon Lease yang menampakan ciri sebagai Ulisiwa maupun Ulilima. Ada juga yang me-nyebut Patasiwa dan Patalima yang memiliki ciri khas berbeda pada bentuk kedudukan negeri, rumah adat (baileu), perahu, lilitan rotan pada parang (golok) dan sebagainya. Artinya orang-orang yang ter-gabung dalam satu Uli tertentu (Ulisiwa maupun Ulilima) menyebut diri sebagai Orang Patasiwa atau Negeri Patasiwa maupun Orang

Patalima atau Negeri Patalima.

Menurut Effendi (1987 : 32) Uli terbagi atas dua macam atau jenis yaitu Ulisiwa dan Ulilima. Siwa berarti sembilan dan Lima adalah lima. Bagaimana asal mulanya sampai ada yang sembilan dan ada yang lima ini tidaklah jelas. Ada pendapat yang mengatakan bahwa terbentuknya

Uli yang berbeda itu berdasarkan jumlah Hena atau Aman atau kampung yang membentuk Uli itu, pada Ulisiwa jumlahnya sembilan dan pada Ulilima jumlahnya lima. Apakah benar-benar dasar per-bedaannya itu adalah jumah Hena atau Aman yang sekarang menjadi

Soa yang tergabung ke dalam suatu Uli masih diragukan. Setidak-tidaknya masih harus dibuktikan lagi2

2)Mengenai makna sembilan dan lima dapat dilihat dalam bahasan pada Bab Empat

pada sub pokok bahasan tentang Kosmologi Alifuru Bati atau Orang Bati tentang Siwa-Lima.

(11)

berdasarkan kenyataan yang ada sekarang ini pada tiap-tiap negeri di Ambon Lease, tidak satu negeri yang Ulisiwa mempunyai atau ter-bentuk atas 9 Soa atau lebih, tetapi sebaliknya ada negeri yang Ulilima

mempunyai lebih dari 5 Soa, bahkan ada yang lebih dari 9 Soa. Negeri-negeri Ulisiwa jumlah soa tidak sampai 9 diantaranya Negeri Nalahia di Pulau Nusalaut hanya mempunyai empat Soa yaitu Soa Lewerissa, Rikumahu, Leiwakabessy, dan Berhitu. Negeri Hatiwe Besar di Pulau Ambon terdiri dari 3 Soa yaitu Soa Lata, Batulubang, dan Masing. Negeri Asilulu di Pulau Ambon mempunyai 4 Soa yaitu Soa Ely, Kalauw, Mahu, dan Moni.

Lebih lanjut dikemukakan oleh Effendi (1987 : 35-37) Berbagai

Uli yang terdapat di Ambon antara lain di Jazirah Hitu terdapat 7 Uli

yaitu Uli Helawan di Negeri Hitumesing, Uli Seilessy di Negeri Mamala, Uli Sawani di Negeri Wakal, Uli Hatunuku di Negeri Kaitetu,

Uli Ala di Negeri Seith, Uli Nau Bainau di Negeri Lima, dan Uli Solemata yang meliputi Negeri Tulehu, Tial, dan Tenga-Tenga. Ketujuh

Uli tersebut membentuk lagi Uli gabungan bernama Uli Hitu, dan Uli Yala Hitu Hua Barkate yang menundukan diri kepada Uli Helawan. Selanjutnya di Jazirah Leitimor terdapat empat Uli yaitu Uli Nusaniwe

di Negeri Latuhalat, Uli Urimesing di Negeri Urimesing, Uli Terangbulan meliputi Negeri Kilang, Hatalai, dan Naku, dan Uli Sirimau di Negeri Soya. Di Pulau Haruku terdapat 2 Uli yaitu Uli Hatuhaha di pantai utara dan barat dari Pulau Haruku, dan Uli Buangbessy di pantai selatan. Uli Hatuhaha adalah Uli yang masih hidup dan paling menonjol dari semua Uli di Ambon Lease sekarang ini. Uli Hatuhaha berpusat di Negeri Pelauw dan anggota-anggotanya adalah Negeri Hulaliu, Rohomoni, Kailolo, dan Kabau. Di Pulau Saparua Uli ini hampir tidak bisa dikesani. Walaupun ada disebut-sebut Uli Hatawano dan Uli Honimua. Uli Hatawano meliputi daerah Teluk Hatawano di pantai utara Pulau Saparua, dan Uli Honimua

meliputi daerah selatan di Pulau Saparua. Di Pulau Nusalaut terdapat 2 Uli yaitu Uli Inahaha di bagian atas yang terbentuk oleh Hena-hena Lesinusa, Kakerisa, Henasiwa, dan Hatalepa-pawae, dan Uli Inaluhu

(12)

AlifuruPatasiwa dan Patalima di Seram-Maluku

Sebutan Suku Alifuru atau Orang Alifuru tidak populer di Maluku, karena selama ini sebutan tersebut dipersepsikan oleh orang luar (Maluku) sendiri sebagai kehidupan manusia yang primitif, kotor, jahat, dan sebagainya. Untuk itu dalam interaksi sosial sebutan Alifuru

senantiasa dianggap berkonotasi negatif. Dalam kehidupan sehari-hari di kalangan Orang Maluku, teristimewa dalam ritual adat untuk maksud tertentu yang berkaitan dengan adat dalam upacara pelantikan Raja (Latu), mengerjakan rumah adat (baileu), upacara adat panas

gandong, pela, dan lainnya selalu menggunakan adat-istiadat khas

Alifuru seperti tarian adat cakalele. Dalam kehidupan Alifuru di Pulau Seram, ternyata mereka terdiri dari berbagai kelompok yang menganut tradisi, adat-istiadat, bahasa, identitas, kebudayaan, teri-torial, dan lainnya yang berbeda-beda. Sejak awal kelompok Patasiwa dan

Patalima selalu bersaing. Bahkan kedua kelompok pata tersebut sering terlibat dalam konflik dan pertikaian.

Kedua kelompok sosial tersebut sering hidup bermusuhan. Struktur sosial Orang Maluku sajak zaman dahulu sampai sekarang masih teridentifikasi dalam sistem pengelompokan sosial yang berbasis

Patasiwa (sembilan bagian) dan Patalima (lima bagian ) dapat dijumpai pada berbagai tempat. Menurut Colley (1961 : 118-122) kata pata

berasal dari bahasa asli seperti juga kata setaraf uli, dan keduanya berarti kelompok atau bagian. Siwa berarti sembilan dan Lima berarti lima. Jadi Patasiwa atau Ulisiwa berarti kelompok sembilan, sedang-kan Patalima atau Ulilima adalah kelompok Lima. Tiap desa di Maluku Tengah tergolong ke dalam salah satu kelompok, dan biasanya para ahli dalam soal adat akan mengetahui pada kelompok mana sesuatu desa tergolong. Lebih lanjut dikemukakan Colley bahwa Patasiwa-Patalima

(13)

atau Patalima. Kedua sistem adat seperti ditemukan di desa-desa di Ambon dan Lease dapat dihubungkan dengan daerah asalnya atau daerah-daerah adat di Pulau Seram.

Dalam hal ini ada persesuaian pendapat bahwa pembagian

Patasiwa-Patalima pada mulanya ditentukan di Seram, juga mengenai cara memberikan garis pembatasannya. Patasiwa adalah kelompok

Alifuru yang menghuni bagian Pulau Seram, yang sebagian terletak di sebelah barat dari Sungai Mala yang bermuara ke dalam Teluk Elpaputih di sebelah selatan. Orang-Orang Patalima menghuni daerah yang terletak di sebelah timur perbatasan Sungai Mala. Kelompok

Patasiwa terdiri dari dua subkelompok yaitu kelompok Patasiwa Hitam

(Patasiwa Mete) yang menempati wilayah Pulau Seram bagian barat dengan batas di Sungai Mala, dan Patasiwa Putih yang menempati daerah sempit sepanjang pantai selatan di sebelah timur Sungai Mala, sampai dengan wilayah sepanjang Teluk Teluti.

Lebih lanjut dikemukakan oleh Colley (1961) bahwa terdapat pandangan lain yang mengatakan bahwa kelompok siwa (sembilan) dan kelompok lima (lima) itu sesungguhnya bukan asli Seram, tetapi berasal dari Kesultanan Tidore dan Ternate. Patasiwa ada pertaliannya dengan Ternate dan Patalima dengan Tidore. Alasan yang dikemuka-kan untuk pembagian itu dengan maksud dari Sultan Ternate untuk memecah-belah Orang-Orang Seram, sehingga lebih mudah me-naklukan mereka. Banyak contoh dalam sejarah bahwa Kesultanan Ternate dan Tidore terus-menerus bersaing, paling tidak semenjak tahun 1450. Juga diketahui perluasan kekuasaan politik ke selatan setelah pendirian kesultanan-kesultanan yang kuat di Ternate dan Tidore, terjadi dalam paruh kedua abad ke-15. Bahwa kelompok-kelompok Patasiwa dan Patalima saling bermusuhan, itu sesuai dengan pendapat bahwa pengelompokan itu adalah pengaruh dari kekuatan-kekuatan yang saling bersaing di sebelah utara.

(14)

dikemukakan lebih lanjut oleh Colley (1961) terdapat data yang harus diperhatikan dalam hubungan ini yaitu tentang pembagian kelompok penduduk di Seram yang berasal dari zaman sebelum pengelompokan

Patasiwa dan Patalima itu diperkenalkan. Di Seram Barat sebelum abad ke-15 terdapat dua golongan Suku Alifuru yaitu Pata Aloene (Halune) dan Pata Wemale (Memale). Aloene menghuni daerah Sungai Sapalewa, sedangkan Wemale menempati daerah selatan di sekitar Sungai Tala dan terus ke arah timur. Wemale tampaknya terpencar lebih luas ke daerah yang kemudian diduduki oleh Patalima. Ada per-bedaan-perbedaan kebudayaan tertentu di antara kedua kelompok suku ini akibat pengaruh Kerajaan Ternate dan Tidore yang menjadi penyebab dari pengelompokan kembali Orang-Orang Seram yang lebih besar akhirnya dinamakan Patasiwa dan Patalima.

Memasuki abad ke-17 keadaan berubah akibat tekanan-tekanan “Hongi” yang dilancarkan Belanda menjelang tahun 1655 telah mengosongkan penduduk daerah Hoamual, Seram Barat, yaitu daerah milik kelompok Patasiwa. Mereka yang tidak gugur dalam serangan-serangan itu melarikan diri ke Seram Selatan dan pasti banyak dari antara mereka yang sampai ke Ambon-Lease. Melalui cara ini pengaruh Patasiwa (dari Seram Barat) tertanam pada kebudayaan, ter-utama pada adat Ambon-Lease, sementara pengaruh itu adalah ke-budayaan yang telah diwarnai oleh keke-budayaan dari utara. Perubahan-perubahan yang terjadi menjelaskan adanya kenyataan bahwa pe-ngetahuan tentang Patasiwa-Patalima pada saat ini hanya terdapat garis-garis besar yang kabur sehingga pemahaman pengertiannya sudah hampir hilang sama sekali.

Suku Alune atau Orang Alune di Seram-Maluku

(15)

Seram seperti Ambon, Saparua, Haruku, Nusa Laut, Buru, Manipa, Kelang, Buano, dan lainnya kemudian muncul sub sukubangsa lainnya dengan sebutan nama masing-masing.

Untuk itu pada saat ini Pulau Seram terdapat berbagai subsuku-bangsa baik itu suku-suku asli maupun suku-suku pendatang. Selain itu juga telah terjadi perkawinan campur antara suku asli dan suku-suku pendatang. Proses ini telah berlangsung cukup lama. Dapat dikemuka-kan bahwa suku-suku pendatang yang saat ini terdapat di Pulau Seram antara lain Suku Tobelo, Jailolo, Ternate, Tidore, Bacan, Taliabu, Sanana, Obi, Kei (Kai), Buton, Bugis, Makasar, Bone, Jawa, Padang, Papua, Arab, Cina, dan lainnya3

Sampai saat ini sebutan Alifuru masih dianggap negatif di kalangan Orang Maluku sendiri karena menunjukkan kehidupan pada orang liar, kotor, bodoh, menakutkan, menyeramkan, dan sebagainya. Sebutan ini sering dihindari ketika berlangsungnya interaksi di ka-langan masyarakat Maluku. Untuk itu sebutan suku Alune atau Orang Alune atau Pata Halune dan suku Wemale atau Orang Memale atau

Pata Wemale menjadi populer dalam interaksi sosial dikalangan Orang Seram dan Orang Maluku (Subiyakto dalam Koentjaraningrat, 1999). Selain itu juga masih terdapat suku-suku lainnya seperti Suku Nuaulu di Seram Selatan (Ellen, 2002), Suku Huaulu di Seram Utara (Valeri, 1988; Panjaitan dan Topatimasang, 1993). Tradisi, adat, bahasa, mau-pun kehidupan sosial dari suku-suku tersebut di atas pada hakikatnya berbeda-beda namun kebiasaan makan sirih, pinang, tembakau, kapur, kemudian memiliki adat istiadat yang berbasis pada suku Alifuru

seperti tarian adat Cakalele Alifuru terdapat pada semua suku, sehingga . Umumnya suku-suku pendatang mendiami pesisir pantai. Suku asli Pulau Seram adalah keturunan Suku

Alifuru atau Orang Alifuru yang mendiami tempat-tempat di sekitar pegunungan (Jansen, 1948; Mausa, 1987; Matulessy, 1988; Sachse, 2002).

3)Saat ini sebutan Orang Seram telah digunakan oleh suku-suku pendatang maupun

(16)

dapat dipastikan bahwa suku-suku tersebut baik langsung maupun tidak langsung memiliki hubungan dengan Suku Alifuru di Pulau Seram. Berkaitan dengan keadaan dari suku-suku yang mendiami Pulau Seram, dikemukakan tentang profil dari suku-suku dimaksud pada gambar 1 dan 2 berikut ini:

Gambar 1

Profil Laki-laki Suku Alune atau Orang Alune di Seram

Sumber: Janse, doc,1948.

Gambar 2

Profil Perempuan Suku Alune atau Orang Alune di Seram

(17)

Dewasa ini kehidupan Orang Alune atau Suku Alune di Pulau Seram-Maluku telah mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan karena Orang Alune atau Suku Alune sudah melakukan kontak dengan orang luar cukup lama sehingga terjadi perubahan dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Interaksi sosial yang berlangsung antara Orang Alune atau Suku Alune makin intensif, dan mereka sangat mudah menyesuaikan diri dengan perubahan yang berlangsung dengan lingkungan sekitarnya.

Suku Wemale atau Orang Wemale di Seram-Maluku

Orang Wemale atau Suku Wemale di Pulau Seram merupakan salah satu sukubangsa yang besar. Pada hakikatnya Orang Wemale atau Suku Wemale di Pulau Seram memiliki tingkat perkembangan yang identik dengan Orang Alune atau Suku Alune karena mereka telah melakukan kontak dengan orang luar cukup lama. Interaksi sosial yang berlangsung antara Orang Wemale atau Suku Wemale telah ber-langsung cukup lama, dan Orang Wemale atau Suku Wemale memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sehingga mudah menyesuaikan diri dengan proses perubahan yang terus berlangsung.

(18)

Gambar 3

Profil Laki-Laki dan Perempuan Suku Wemale atau Orang Wemale di Seram

Sumber: dari Jansen, doc,1948, kemudian dilukis ulang

(19)

hidup mereka pada wilayah hutan masih sangat kuat. Mereka tidak dapat dikategorikan sebagai masyarakat nelayan yang profesional, karena sebagian besar kehidupan mereka lebih mengandalkan per-tanian atau membuat kebun.

Perspektif kehidupan yang sangat nyata dari keturunan Orang Alune atau Suku Alune maupun Orang Wemale atau Suku Wemale yaitu mengakui diri sebagai Keturunan Alifuru, yang dikenal oleh Orang Maluku dengan sebutan keturunan Alifiru Ina kemudian men-jadi sebutan yang digunakan sampai saat ini adalah Alifuru Seram. Tradisi Alifuru pada kedua suku ini masih kuat dipertahankan sampai saat ini seperti dijumpai dalam upacara adat Cakalele (tarian perang). Menurut peneliti kedua kelompok sukubangsa ini pada awalnya memiliki asal-usul leluhur yang sama.

Apabila Alifuru merupakan ciri khas yang dimiliki oleh kedua suku tersebut, dapat dikatakan bahwa mereka berasal dari keturunan Suku Alifuru. Untuk itu studi lebih mendalam mengenai asal-usul

Alifuru Seram perlu didalami sehingga dapat diungkapkan lebih riil keterkaitan. Selama ini informasi mengenai suku Alifuru berupa penuturan, sedangkan informasi ilmiah mengenai suku Alifuru sangat terbatas melalui studi-studi ilmiah yang lebih mendasar.

Bumi Seram Bagian Timur dan Manusianya

Untuk memahami tentang Bumi Pulau Seram Bagian Timur dan Manusianya, dikemukakan sebagai berikut :

Identifikasi Geografi

Geografis Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) yang terdapat dalam buku Seram Bagian Timur Dalam Angka4

4)Data tentang identifikasi geografi, luas wilayah, batas wilayah, iklim dan curah hujan terdapat dalam Seram Bagian Timur Dalam Angka Tahun 2007, Hal 3-44.

), terdiri dari

(20)

pendu-duk Seram Bagian Timur yaitu 17, sedangkan 14 pulau lainnya masih kosong karena tidak berpenghuni. Ibu Kota Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) adalah Bula yang terdapat di daratan Pulau Seram Bagian Timur.

Luas Wilayah

Luas wilayah Seram Bagian Timur seluruhnya kurang lebih 15.887,92 km², yang terdiri dari luas wilayah laut yaitu 11.935,84 km², dan luas wilayah daratan yaitu 3.952,08 km², dengan perincian sebagai berikut: (1) Kecamatan Seram Timur yang beribukota di Geser (Pulau Geser) memiliki luas 603,65 km²; (2) Kecamatan Pulau-Pulau Gorom memiliki luas 171,53 km²; (3) Kecamatan Werinama memiliki luas 175,58 Kkm²; (4) Kecamatan Bula memiliki luas 3001,32 km².

Batas Wilayah

Batas wilayah Kabupaten Seram Timur (SBT) yaitu: (1) Di sebe-lah utara dengan Laut Seram; (2) Di sebesebe-lah selatan dengan Laut Banda; (3) Di sebelah timur dengan Laut Arafura; (4) Di sebelah Barat dengan Kabupaten Maluku Tengah.

Iklim dan Curah Hujan

(21)

Suhu dan curah hujan berdasarkan perhitungan klimatologi pada Stasiun Meteorologi Geser menunjukkan bahwa iklim di Kabupaten Seram Bagian Timur adalah: (1) Geser dalam tahun 2006 Kecamatan Seram Timur temperatur rata-rata 27,5ºC, di mana temperatur maksimun rata-rata 31,40C dan minimum rata-rata 230C. Jumlah curah

hujan tertinggi terjadi pada bulan Juni yaitu 632,8 mm, kemudian pada bulan Pebruari 229,9 mm. Jumlah hari hujan terbanyak terjadi pada Juni sebesar 26 hari, dan bulan Januari 19 hari. Rata-rata hari hujan selama tahun 2006 sebanyak 14 hari. Penyinaran matahari rata-rata 67,3% dengan tekanan udara rata-rata dalam satu tahun yaitu 1011,2 milibar, dan kelembaban nisbi rata-rata 81,2%.

Kecepatan angin di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) rata-rata 6,4 knot, dengan arah angin terbanyak dari arah selatan. Kece-patan angin terbesar terjadi pada bulan Januari dan bulan Desember sebesar 30 knot. Arah angin terbanyak pada saat kecepatan angin terbesar adalah dari arah Tenggara. Lokasi Kabupaten Seram Bagian Timur dapat dilihat pada peta 2 berikut ini:

Peta 2

(22)

Keadaan Penduduk Kabupaten Seram Bagian Timur

Jumlah penduduk Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) ber-dasarkan data tahun 2007 sebanyak 117.142 jiwa yang terdiri dari pendu-duk laki-laki sebanyak 55.983 jiwa, dan penduduk perempuan seba-nyak 61.159 jiwa. Perincian penduduk di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) menurut kecamatan yaitu; (1) Kecamatan Seram Timur yaitu 40.141 jiwa yang terdiri dari laki-laki 18.907 jiwa dan perempuan 21.234 jiwa; (2) Kecamatan Pulau-Pulau Gorom jumlah penduduk sebanyak 46.362 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki 23.440 jiwa dan perempuan 23.433 jiwa; (3) Kecamatan Werinama jumlah penduduk sebanyak 12.36 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki 6.129 jiwa dan perempuan 6.233 jiwa; (4) Kecamatan Bula jumlah penduduk sebanyak 17.766 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki 7.507 jiwa dan perempuan 10.259 jiwa.

Apabila dibandingkan antara jumlah penduduk dan luas wilayah daratan yaitu 3.952,08 km2 di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT)

maka kepadatan penduduk yaitu sebanyak 21 jiwa, dan jumlah rata-rata anggota rumah tangga yaitu lima orang. Untuk itu dapat dikatakan bahwa penyebaran penduduk di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) tidak merata, baik dari kepadatan dan rata-rata penduduk per rumah tangga5

Perlu dikemukakan bahwa Kecamatan Seram Timur yang kedudukan di Geser, dan Kecamatan Pulau-Pulau Gorom yaitu ber-kedudukan di Pulau Gorom dengan Ibukota Kecamatan di Kataloka berada pada pulau tersendiri dan terpisah dari daratan Pulau Seram. Kecamatan Bula dengan Ibukota Kecamatan yaitu Bula, dan Kecamatan Werinama dengan Ibukota Kecamatan yaitu Werinama adalah ke-camatan yang berada di daratan Pulau Seram Bagian Timur. Setelah pe-mekaran Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) pada tahun 2002, telah dimekarkan Kecamatan Tutuk Tolo dari Kecamatan Seram Timur. Secara geografis, Kecamatan Tutuk Tolo dengan Ibukota Kecamatan

).

5)Data tentang identifikasi geografis Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) ini

(23)

berada Tutuk Tolo yang terletak daratan Pulau Seram Bagian Timur, atau dikenal dengan nama Daratan Hunimua.

Tana (Tanah) Bati di Kabupaten Seram Bagian Timur

Orang Bati yang mendiami Pulau Seram Bagian Timur menyebut daerah kediamannnya dengan nama Tana (Tanah) Bati yang terletak di wilayah adat Weurartafela di Negeri Kian Darat, Kecamatan Seram Timur dan Desa Kilimoi, Kecamatan Tutuk Tolo, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT). Berikut ini dikemukakan aspek terkait yaitu:

Identifikasi Geografis

(24)

Untuk memberikan akses pada Orang Bati yang mendiami wilayah di lereng-lereng bukit dan pegunungan, maka Pemerintah Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) pada tahun 2009 telah membuka jalan penghubung lingkungan untuk menghubungkan kampung atau dusun di Tana (Tanah) Bati. Jalan penghubung lingkungan ini arahnya dari Kampung atau Dusun Aertafela yang letaknya di pesisir pantai, untuk menuju ke kampung atau dusun yang ditempati Orang Bati di lereng bukit dan pegunungan. Sejak bulan November 2009 jalan yang baru dibangun telah mencapai Kampung atau Dusun Rumoga (Bati Pantai), Kampung atau Dusun Rumbou (Bati Tengah), dan kampung atau dusun yang letak paling akhir di pegunungan yaitu Kampung atau Dusun Bati Kilusi (Bati Awal). Posisi jalan yang baru dibangun tidak masuk dalam kampung, tetapi berada di pinggiran kampung. Hal ini dilakukan sesuai dengan etar (wilayah milik marga) dan tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral sehingga tidak merusak lokasi tersebut.

Orang Bati yang termasuk kelompok sosial Bati Dalam mendiami Kampung atau Dusun Sayei, Tokonakat, dan Aerweur. Untuk menuju ke lokasi Orang Bati Dalam yang terdapat di pegunungan, masih menggunakan jalan setapak yang melewati wilayah hutan di lereng-lereng bukit. Jalan penghubung lingkungan untuk menjangkau kampung atau dusun (wanuya) di Tana (Tanah) Bati saat ini baru ber-ada pber-ada tahap awal pekerjaan, sehingga belum di aspal. Untuk itu sarana transportasi darat (mobil) belum dapat melintasi jalan tersebut karena permukaan tanah tidak datar. Jalan yang baru dibangun di-namakan jalan Esuriun dan hanya dapat ditempuh dengan cara berjalan kaki.

Iklim dan Suhu Udara

(25)

sen-(Bati Awal) yang terletak di pegunungan pada pagi hari jam 06.00 WIT yaitu 19,50 C, siang hari pada jam 12.00 WIT yaitu 220 C, dan malam

hari jam 19.00 WIT yaitu 180 C6

Puncak hari hujan terjadi pada bulan Mei, Juni, dan Juli. Artinya pada bulan-bulan ini Orang Bati tidak dapat melakukan aktivitas di luar rumah seperti ladang atau kebun secara leluasa. Orang Bati beranggapan bahwa pada bulan-bulan ini merupakan masa yang sangat sulit bagi mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup bagi rumah tangga

). Curah hujan tertinggi di Tana

(Tanah) Bati berlangsung pada bulan April sampai dengan bulan Agustus setiap tahun. Pada bulan Mei, Juni, dan Juli hujan turun terus-menerus. Orang Bati menyebutkan bahwa:

7

6)Data tentang identifikasi geografi, iklim, dan suhu udara di Tana (Tanah) Bati

dilakukan sendiri oleh peneliti berdasarkan pengalaman studi selama 3 musim (musim kemarau atau musim barat, musim penghujan atau musim timor, dan musim pancaroba atau musim peralihan) dengan menggunakan peralatan pengukur suhu (termometer).

7)Wawancara dengan bapak AKil (68 Tahun) Kepala Kampung atau Dusun Bati Kilusi

(Bati Awal), Negeri Kian Darat, pada tanggal 3 Mei 2010.

).

Keadaan Penduduk

(26)

Tabel 1

Keadaan Penduduk di Dusun-Dusun Bati Tahun 2011

No Nama Dusun Kelamin Jumlah Ket

(27)

Kondisi Orang Bati di Pulau Seram Bagian Timur-Maluku

Orang Bati mendiami kawasan Pulau Seram Bagian Timur. Sebagian besar wilayah ini sampai sekarang masih terdiri dari hutan belantara di mana terdapat pohon-pohon besar yang rindang. Pada umumnya, wilayah kediaman Orang Bati di Pulau Seram Bgian Timur belum ditempati oleh manusia (penduduk), tetapi bukan berarti tanah yang terdapat dalam wilayah tersebut tidak ada pemiliknya. Semua tanah kosong yang terdiri dari hutan belantara ada pemiliknya yaitu marga tertentu yang mendiami Tana (Tanah) Bati. Setiap jengkal tanah di Pulau Seram, dan secara khusus di Pulau Seram Bagian, ada orang yang menguasai, bahkan memilikinya, termasuk tanah dalam wilayah kekuasaan (watas nakuasa) Orang Bati. Orang Bati hidup menyatu dengan tanah mereka, dan terus dijaga, dilindungi secara baik sampai saat ini untuk bertahan hidup (survive). Dalam interaksi sosial di kalangan Orang Bati, sebutan orang yang bermakna manusia dan di-sapa dengan sebutan mancia atayesu (orang gunung) dan mancia layena

(orang pantai) sesungguhnya mengikat mereka dengan dunia atau teri-tori di mana mereka berada baik itu secara fisik, sosial, budaya, eko-nomi, politik, dan lainnya.

Sebenarnya sebutan mancia8

8)Bahasa lokal yang digunakan Orang Gunung (Mancia Atayesu) di Tana (Tanah) Bati

dinamakan Bahasa Minakyesu atau Minakesi.

) yang digunakan dalam interaksi

(28)

diri mereka sendiri karena kehidupan yang dijalani tidak sesuai dengan adat maupun keselarasannya dengan kosmos.

Orang Bati adalah penduduk yang mendiami Tana (Tanah) Bati (Atamae Batu) di Pulau Seram Bagian Timur. Dalam interaksi sosial, sebutan Orang Bati sangat jarang ditemukan. Pada umumnya mereka menyebut diri yaitu Orang Gunung (Mancia Atayesu), untuk mem-bedakan diri mereka dengan penduduk yang mendiami perkampungan di daerah pantai atau Orang Pantai (Mancia Layena), yang termasuk saudara (roina kakal) yang memiliki asal-usul yang sama tetapi ter-masuk dalam kelompok Orang Bati Pantai. Dalam pergaulan hidup sehari-hari Orang Bati menyebut diri (identitas) mereka dengan sapaan orang dari Dara atau orang dari atas atas orang dari gunung untuk membedakan mereka dengan Orang Dari Pantai atau Orang Dari Lau. Maksud dari sebutan orang dari dara atau orang dari atas yaitu mereka yang mendiami wilayah pegunungan di Seram Timur. Sebutan orang dari dara atau orang dari atas tersebut berdasarkan bahasa lokal (bahasa

Minakyesu atau Minakesi) yang digunakan Orang Bati yaitu Silimaya

atau dalam adat-istiadat di Tana (Tanah) Bati dinamakan Esuriun

Orang Bati (Alifuru Bati atau Orang Bati dari dara yaitu hutan atau esu, dan gunung atau ukar).

(29)

Mitologi Gunung Bati

Dalam mitologi Gunung Bati, dikemukakan Orang Bati bahwa leluhur penghuni Gunung Bati yang dinamakan Oyang Bati adalah manusia yang lahir bersama dengan Pulau Seram. Untuk itu Orang Bati sangat percaya bahwa tindakan manusia yang merusak alam (hutan dan gunung) adalah sama dengan tindakan merusak tubuh manusia beserta kehidupan yang dijalaninya. Untuk itu Gunung Bati adalah sakral bagi Orang Bati karena mereka percaya sebagai tempat suci karena pada tempat tersebut hidup Leluhur Orang Bati (Tata Nusi Si) atau Manusia Batti. Sebagai anak cucu keturunan Orang Bati yang telah meninggal dunia akan dipanggil pulang ke Gunung Bati oleh leluhur mereka. Dalam mitologi Gunung Bati yang dipercaya oleh Orang Bati selama ini bahwa:

Gunung Bati ini terdiri dari Gunung Laki-Laki dan Gunung Perempuan. Pertemuan antara dua gunung (gunung laki-laki dan gunung perempuan) tersebut kemudian melahirkan manusia yang berhati bersih, baik, jujur, dan sebagainya, yaitu “Manusia Batti” sebagai manusia suci yang memiliki batin yang bersih9

Dunia Seram, termasuk Dunia Orang Bati sampai saat ini masih merupakan misteri yang sama sekali tidak diketahui oleh dunia luar secara benar. Untuk memasuki dunia Orang Bati renungkan niat itu dalam hati secara baik, baru mengambil keputusan, ke-mudian bicara dan melangkah. Jangan pernah salah dalam melakukan hal ini. Sebab kalau salah nanti seng bisa bikin batul, dan seng bisa dapat apa-apa yang dicari, bahkan katong bisa susah sendiri. Ingat bae-bae pesan ini kalau mau melangkah untuk memasuki dalam Dunia Orang Seram maupun Dunia Orang Bati

).

Kehidupan Orang Bati atau Suku Bati memiliki kaitan langsung sebagai keturunan Manusia Awal (Alifuru) dari Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) senantiasa menyatu dengan kosmos di mana mereka berada. Informasi yang disampaikan Orang Bati bahwa:

10

9)Wawancara dengan bapak SeSa (74 Tahun), Kepala Adat di Dusun Rumbou (Bati

Tengah), Negeri Kian Darat, pada tanggal 16 November 2009.

).

10)Wawancara dengan Oyang Suriti (73 tahun), Tokoh Adat, Maweng, di Dusun

(30)

Pengalaman hidup yang dijalani oleh Kepala Adat dan sekaligus Tuan Tanah Banggoi yang dijuluki oleh masyarakat setempat sebagai pengembara hutan Pulau Seram ini ketika mengutarakan pengalaman hidupnya selama 15 tahun dengan Orang Bati bahwa dunia Orang Seram dan khususnya Dunia Orang Bati yang penuh dengan rahasia sehingga menjadi misteri yang belum diungkapkan secara tuntas. Ungkapan misteri karena banyak sisi kehidupan manusia dan alam belum terungkap secara ilmiah. Sampai saat ini pandangan orang luar tentang fenomena kehidupan Manusia Seram dan Alam Semesta berupa penuturan (ceritera) turun-temurun.

Untuk itu usaha mendalami kehidupan Manusia Seram, dan secara khususnya dunia Orang Bati sangat penting. Sebab dunia Orang Bati memiliki kaitan erat dengan dunia Orang Seram karena dahulu le-luhur mereka mendiami tempat yang sama di Pulau Seram, yaitu di Gunung Murkele Kecil dan Gunung Murkele Besar sebagai gunung tertinggi. Dalam mitologi Seram, dituturkan bahwa dahulu leluhur Orang Bati mendiami tempat yang bernama Kepala Air Samal. Leluhur Orang Bati memiliki hubungan langsung dengan mata-rumah Tihulu, Henilau, dan lainnya. Ungkapan seperti ini mengandung makna:

Katong samua pung leluhur adalah sama. Jadi sebagai keturunan Manusia Awal (Alifuru) katong adalah Orang Basudara. Alifuru (Alif = Awal dan Uru = Manusia). Katong samua, termasuk kami Orang Bati ini punya nenek moyang dari suku Alifuru. Siapa yang menyangkal hal ini berarti jangan injak Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram. Nama saja Ceram atau Seram, artinya menyeramkan atau menakutkan11

Bagi Orang Bati titik startnya yaitu Samos (tanah kering pertama yang dijumpai) di Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram. Samos adalah tempat yang berarti penting bagi kelangsungan hidup generasi pewaris tradisi dan kebudayaan Bati. Makna dari tanah kering pertama yang

).

adat-istiadat, sikap, dan perilaku Orang Bati dalam pergaulan hidup. Pengalaman hidup dari Oyang Suriti (73 Tahun) selama 15 tahun hidup bersama dengan Orang Bati di Tana (Tanah) Bati ternyata berguna bagi peneliti pada saat mendalami Dunia Orang Bati di Pulau Seram melalui inisiasi.

11)Wawancara dengan Oyang Suriti (73 Tahun) Kepala Adat, Maweng, Dusun Banggoi

(31)

dijumpai yaitu berdasarkan penuturan lisan dari Orang Bati tentang kondisi Pulau Seram pada masa lampau ketika tergenang oleh air laut. Pada saat air surut secara perlahan-lahan ada bagian pulau tertentu yang mulai kering, terutama gunung, kemudian muncul daratan. Anak cucu keturunan Manusia Awal (Alifuru) yang dapat bertahan hidup pada waktu itu kemudian disebarkan untuk mendiami tanah kering di

Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram. Pada tempat yang kering inilah kehidupan dari keturunan Alifuru atau Alifuru Ina dimulai, termasuk juga leluhur Orang Bati yang menempati tanah kering pertama yang mereka jumpai di Pulau Seram yang dinamakan Samos.

Pembagian wilayah untuk Orang Bati oleh penguasa Pulau Seram saat itu adalah Hulamasa yaitu berada di sebelah timur dari Pulau Seram. Perspektif yang ditemui pada saat ini bahwa sistem pem-bagian wilayah kekuasaan menurut adat masih dipegang kuat oleh keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati sampai sekarang. Masing-masing kelompok sukubangsa atau Orang Seram harus dapat menjaga, melindungi, mengolah, dan memelihara wilayah kekuasaan mereka secara baik. Orang Bati sebagai Orang Seram mereka sangat memahami bahwa pada awalnya mereka menempati wilayah yang sama. Hal ini diungkapkan lebih lanjut bahwa:

Orang-orang asli Seram atau masyarakat Seram termasuk keturunan Orang Bati pada awalnya tinggal bersama dengan suku-suku lainnya di sekitar Gunung Murkele. Leluhur Orang Bati menempati lokasi di sekitar Kepala Air Samal bersama deng dong pung basudara. Wilayah ini berada sekitar Gunung Murkele Besar12

12)Lihat dalam bahasan tentang Mitologi Penciptaan Alam Semesta dan Penciptaan

Manusia Awal (Alifuru) telah dikemukakan bahwa Orang Bati memiliki hubungan Orang Basudara dengan orang-orang dari mata-rumah Tihulu, Henilau, dan lainnya. Mata-rumah yang mendiami Kepala Air Samal antar lain Laisamaulu. Kepala Air Samal berada dekat Gunung Murkele Besar.

(32)

se-hingga tidak bisa menjelaskan dong yang melakukan perjalanan13

Dalam mitologi Bati, leluhur penghuni Gunung Bati yang dinamakan Manusia Bati lahir bersama dengan Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram. Persepsi Orang Bati mengenai Gunung Bati me-miliki nyawa karena terkait dengan makna Seram Gunung Manusia, di mana kepalanya berada di sebelah barat Pulau Seram, badan tengah membentang dari utara ke selatan di mana Gunung Mawoti (tulang belakang manusia) sebagai penopang utama tubuh manusia. Pada bagian depan dari tulang belakang manusia (mawoti)

).

14

Berdasarkan kosmologi Orang Seram tersebut di atas, ternyata pandangan Orang Bati mengenai Gunung Bati yang terdiri dari Gunung Laki-Laki dan Gunung Perempuan adalah kesemestaan. Setelah perkawinan antara kedua gunung tersebut kemudian perut gunung perempuan makin besar karena mengandung, dan kemudian lahir “Manusia Batti” yang dipahami oleh Orang Bati sebagai proses

) terdapat perut

yang dimaknai sebagai sumber ekonomi Orang Seram. Bagian bawah tubuh manusia berada di timur dan berfungsi sebagai penyangga utama, kemudian melahirkan Manusia Awal (Alifuru) di Gunung Murkele Kecil dan Gunung Murkele Besar yang dipahami sebagai leluhur dari Alifuru Seram atau Manusia Seram maupun Manusia Maluku. Tempat ini sampai sekarang dipercaya oleh Alifuru Seram atau Orang Seram bahwa sebagai wilayah bernyawa sehingga masya-rakat yang mendiami kawasan ini sering melakukan ritus kepada Mahakuasa Pencipta Alam Semesta dan Manusia Awal melalui pe-rantaraan leluhur menurut sistem religi yang dianut oleh keturunan

Alifuru Seram.

Kosmologi Orang Bati

13)Wawancara dengan Oyang Suriti (74 Tahun), Tuan Tanah, Kepala Adat Dusun

Banggoi, Maweng, pada tanggal 2 Januari 2009.

14)Pada saat ini Gunung Mawoti disebut dengan nama Gunung SS. Maknanya yaitu

(33)

kelahirannya bersamaan dengan evolusi daratan Seram. Manusia Batti sebagai leluhur (Tata Nusu Si) bermakna kesemestaan atau merupakan

makrokosmos bagi Orang Bati. Sebab melalui perjalanan kosmos telah terjadi pertemuan antara Gunung Laki-Laki dan Gunung Perempuan secara rahasia. Untuk itu Gunung Bati merupakan makrokosmos, dan

Alifuru Bati atau Orang Bati merupakan mikrokosmos. Orang Bati sangat yakin bahwa “Manusia Batti” tidak pernah meninggal dunia, dan ia tetap berada sampai saat ini. Bahkan Manusia Batti sebagai leluhur (Tata Nusu Si) senantiasa berada dengan mereka sebagai anak-cucu atau keturunannya setiap saat, di mana mereka berada. Antara

makrokosmos dan mikrokosmos maka Orang Bati melaksanakan

Esuriun, karena di dalam Esuriun Orang Bati ada fakur atau mohon doa restu pada leluhurnya agar mereka dapat bertahan hidup di Bumi Seram.

Manusia Batti adalah leluhur Orang Bati yang mereka agung-agungkan selama ini karena keberadaannya tidak pernah berubah se-panjang zaman. Dalam pandangan Orang Bati mengenai alam semesta (kosmos) maka semua gunung, terutama Gunung Bati (Gunung Laki-Laki dan Gunung Perempuan), Sungai (Alsul) Masiwang, Sungai Bobot dan lainnya, batu, pasir, pohon, hewan, dan segala yang berada dalam lingkungan alam (kosmos) merupakan sumber kehidupan utama bagi manusia yang harus mereka jaga (kajaga), lindungi (kalindong) se-hingga setiap Orang Bati memiliki kewajiban untuk pelihara, rawat, dan dilestarikan guna mewujudkan kelangsungan hidup dari anak cucu pewaris tradisi dan kebudayaan Bati agar gunung dan tanah atau

Gunung Tanah sebagai tampa putus pusa (tempat kelahiran, tempat asal, tanah kelahiran) tetap memberi penguatan dalam diri (spirit) dalam menjalani kehidupan sepanjang masa. Orang Bati sebagai ben-teng terakhir Orang-Orang Seram yang tidak dapat ditembusi dari masa ke masa senantiasa berperan sebagai penjaga Pulau Seram atau

Nusa Ina (Pulau Ibu) di Tanah Maluku selalu mengingatkan bahwa

Wanuya namata dotuk kita tei, tapi kita tamata tatotuk wanuya

(34)

Dalam kosmologi Orang Bati, makna terdalam dari pandangan tersebut di atas yaitu Gunung Tanah, tempat asal, tanah kelahiran, tanah tumpah darah. Sebagai tampa putus pusa tidak pernah mati atau meninggal. Tetapi kita sebagai manusia (mancia) yang mati atau me-ninggal dunia dan pergi meme-ninggalkan Gunung Tanah, tempat asal, tanah kelahiran, tanah tumpah darah selama-lamanya. Konsep Gunung Tanah menyatu dengan kosmologi Orang Bati adalah abadi sepanjang masa, dan menjadi bagian dari dunia Orang Bati sehari-hari sehingga memberi kekuatan pada Orang Bati secara individu, kelompok, mau-pun komunitas untuk bertahan hidup (survival strategy).

Gunung Bati sebagai Gunung Tanah adalah makrokosmos bagi kehidupan Orang Bati, karena di tempat ini berdiamnya roh para leluhur mereka yang dinamakan Tata Nusu Si. Untuk itu Gunung Bati dipandang sakral (keramat) karena memiliki makna sebagai Gunung Manusia di mana pada tempat ini Manusia Awal atau Alifuru Bati dilahirkan. Pandangan seperti ini identik dengan masyarakat Seram pada umumnya mengenai hakikat Seram Gunung Manusia sehingga Gunung Murkele Kecil dan Gunung Murkele Beser dianggap sakral (keramat) dan dipercaya pada tempat tersebut berdiamnya roh para leluhur dari Manusia Awal atau Alifuru atau Alifuru Ina diciptakan oleh Mahakuasa Pencipta Alam Semesta dan Manusia yang dimaknai Orang Bati sebagai Tata Nusu Si. Pemaknaan yang diberikan Orang Bati sebagai penghormatan tertinggi berdasarkan kosmologi Orang Bati identik dengan pemaknaan dari suku-suku atau subsuku lainnya di Pulau Seram maupun Maluku yang mendiami negeri-negeri adat dengan kepercayaan asli pada Upu Lanite, Kapua Upu Ila Kahuresi,

Upu Kuahatana, Ina Puhun Ama Lahatala, Aupu Lahatala.

(35)

masya-rakat menjadi hampa, dan berada di ruang yang kosong apabila hakikat tentang nilai ini jauh dari mikrokosmos tersebut di atas. Untuk itu jangan heran apabila Orang Bati tetap mengagung-agungkan nilai yang melekat pada “Manusia Batti” karena merupakan sumber dan pancaran hakikat hidup manusia tentang benar dan salah, baik dan buruk, langit dan bumi, dingin dan panas, lautan dan daratan, gunung dan pantai, dan seterusnya ketika mereka menanggapi lingkungannya setiap saat.

Berdasarkan pemahaman Orang Bati tentang makrokosmos yang menempatkan leluhur atau Tata Nusu Si yaitu Manusia Batti bersifat kesemestaan, dan mikrokosmos adalah Alifuru Bati atau Orang Bati. Esuriun Orang Bati berfungsi dan berperan sebagai mezokosmos. Nilai-nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati meliputi falsafah, sejarah, tradisi, adat-istiadat, budaya, dan sebagainya yang menjadi inti kebudayaan Orang Bati di Seram Timur teraktualisasi melalui perilaku hidup kesehariannya. Untuk itu dalam interaksi sosial, sebutan Anak Esuriun merupakan implementasi nilai-nilai kultural yang menjadi basis utama pembentukan identitas maupun perilaku Orang Bati se-bagai manusia, sukubangsa untuk bertindak menanggapi lingkungan atau kosmos di mana mereka berada.

Sampai saat ini di Tana (Tanah) Bati, basis nilai yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati menjadi bagian penting dari hakikat hidup atau orientasi nilai budaya Orang Bati dengan lingkungan di mana mereka berada, dan menjadi mata-rantai penghubung antara

makrokosmos dan mikrokosmos untuk mengintegrasikan struktur sosial dalam kehidupan Orang Bati. Struktur ini fungsional dalam sistem kehidupan socio-cultural di Tana (Tanah) Bati karena masing-masing orang yang berada dalam marga maupun antar marga di Tana (Tanah) Bati memahami eksistensi masing-masing untuk menciptakan keseimbangan hidup dalam sistem sosial yang mereka anut.

(36)

di-antara sesama Orang Bati maupun di-antara Orang Bati dengan orang luar. Menanggapi setiap lingkungan di mana mereka berada. Sampai saat ini budaya Esuriun di Tana (Tanah) Bati senantiasa dilakukan melalui ritus-ritus penting dalam hidup yang berkaitan dengan makna kelangsungan hidup Orang Bati yang mendiami kawasan hutan hujan di Pulau Seram Bagian Timur.

Kosmologi Siwa-Lima di Tana (Tanah Bati)

Setiap masyarakat memiliki pandangan yang berbeda tentang bumi (alam semesta) di mana mereka berada. Begitu juga Orang Seram memiliki pandangan tentang alam semesta (kosmologi) yang berisi bumi dan manusia yang dikonsepsikan sebagai dunia mereka sehari-hari dan senantiasa menyatu. Pandangan Orang Seram tentang alam semesta (kosmologi) yang menempatkan Bumi Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) sebagai tampa putus pusa, atau tampa (tempat) asal, tanah asal, tanah kelahiran bagi anak cucu keturunan Manusia Awal atau Alifuru atau Alifuru Ina bersifat total.

Dalam kosmologi Orang Bati atau Suku Bati sebagai Orang Seram yaitu tampa putus pusa telah menjadi perekat dalam menelusuri kehidupan awal yang dijalani oleh keturunan Manusia Awal Alifuru

atau Alifuru Ina di Seram-Maluku. Untuk itu Pulau Seram dinamakan sebagai Gunung Manusia. Orang Bati atau Suku Bati adalah Orang Gunung. Bersumber pada falsafah Seram Gunung Manusia berdasarkan kosmologi Orang Seram, khususnya Orang Bati atau Suku Bati yang awalnya terdiri dari kelompok Patasiwa dan Patalima menyatu menjadi

Siwa-Lima di Tana (Tanah) Bati telah berlangsung di tempat kediaman awal di Samos yang berada sekitar Gunung Bati yaitu masing-masing kelompok sosial Siwa (Patasiwa) dan kelompok sosial Lima (Patalima)15

15)Lebih mendalam tentang kedua hal ini dapat dilihat pada bab V tentang Bumi Seram

(37)

identitas Orang Bati adalah Suku Bati yang memiliki eksistensi sebagai manusia maupun sukubangsa, dan bukan orang ilang-ilang (hilang-hilang) adalah stigma (anggapan negatif) orang luar yang mencampur- adukan konsep Bati dan Batti ketika melakukan interaksi sosial. Dampaknya yaitu Orang Bati menjadi korban karena terjadi kesalahan interpretasi terhadap konsep Bati dan Batti yang selama ini tidak dimengerti maupun tidak dipahami oleh orang luar (Orang Maluku) sehingga penamaan Orang Bati menjadi suatu konsep yang dianggap misteri.

Proses integrasi sosial yang dicapai Orang Bati atau Suku Bati dapat dikatakan final, karena secara kultural hal itu dilakukan secara adat, dan seluruh anggota terlibat di dalam sehingga dinamakan adat

Esuriun. Adat Esuriun sangat mengikat kedua kelompok sosial (Siwa-Lima) yang awalnya berbeda menjadi satu melalui Esuriun Orang Bati. Model integrasi seperti dicapai Orang Bati atau Suku Bati adalah integrasi kultural, karena kelompok sosial (Patasiwa dan Patalima) tersebut pada awalnya berbeda dalam tradisi, adat-istiadat, budaya, dan lainnya. Tipe integrasi kultural yang dicapai Orang Bati seperti ini tidak dijumpai pada lingkungan masyarakat manapun di wilayah Kepulauan Maluku.

Dasar dari integrasi kultural yang dicapai Orang Bati bersumber dari faham roina kakal yang kuat, atau orang-orang yang memiliki pertalian darah atau hubungan darah (genealogis) dalam perspektif integrasi kultural dimaksudkan untuk mewujudkan integrasi eksistensial sebagai tujuan akhir dari Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa sehingga Esuriun Orang Bati yang telah me-nyatukan kelompok Patasiwa dan Patalima di Tana (Tanah) Bati sebagai satu identitas memberikan penguatan pada ide peneliti untuk mengemukakan bahwa Patasiwa dan Patalima adalah sistem pengelompok asli dan khas dari Alifuru Seram.

Realitas yang dijumpai di Tana (Tanah) Bati ini cukup beralasan karena sejak Orang Bati melaksanakan Esuriun Orang Bati pada masa lampau ternyata kelompok Patasiwa dan Patalima sudah ada di Samos

(38)

evolusi daratan Seram atau setelah daratan Seram mulai mengering. Apabila peristiwa Esuriun Orang Bati yang telah menyatukan kelompok Patasiwa dan Patalima menjadi Siwa-Lima yang terintegrasi secara kultural maupun eksistensial dengan identitas Bati dibandingkan dengan munculnya sistem pengelompokan yang memiliki makna sama dengan Patasiwa dan Patalima, maka dapat dikatakan bahwa Patasiwa

dan Patalima adalah sistem pengelompokan khas dari Suku Alifuru

yang mendiami Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu), kemudian sistem ini di bawa ke luar dari Pulau Seram ke tempat-tempat lainnya di Kepulauan Maluku oleh keturunan Alifuru atau Alifuru Ina dengan dua alasan yaitu; (1) Proses penyebaran generasi para kapitan yang ke luar dari Pulau Seram dengan misi untuk menjaga dan melindungi Pulau Seran atau Nusa Ina (Pulau Ibu) dari serbuan orang luar; (2) Proses migrasi penduduk keturunan Alifuru atau Alifuru Ina karena terjadi pergolakan, atau pertikaian antar kelompok pata di Pulau Seram pada masa lampau. Berdasarkan data lapangan yang dikemukakan Orang Bati, dalam sejarah lisan (oral story) di Tana (Tanah) Bati terjadi proses penyebaran Alifuru sampai dengan 7 generasi, proses ini me-miliki kaitan dengan kisah Esuriun Orang Bati.

Kisah Esiriun Orang Bati adalah peristiwa nyata yang benar-benar terjadi sehingga anak cucu yang menganut tradisi dan kebudayaan Bati terus melestarikannya dalam kehidupan mereka sampai dengan penelitian ini dilakukan, kemudian Orang Bati menjelaskannya secara detail karena berkaitan dengan kosmologi, maupun sejarah lisan (oral story) yang terpelihara secara baik dari satu generasi ke generasi berikutnya agar Orang Bati senantiasa mengenang perjalanan para leluhur mereka sejak evolusi daratan Seram sampai saat ini. Tempat berkumpul Orang Patasiwa dan Patalima di Tana (Bati) yang telah menyatu dalam identitas Orang Bati merupakan baileu

(39)

Gambar 4 a

Alam Terbuka yang Terdapat Dalam Kawasan Hutan (Esu) Adalah Tempat Bermusyawarah bagi Orang Bati

Gambar 4 b

(40)

Untuk mebicarakan persoalan penting yang berkaitan dengan adat, sosial kemasyarakatan, dan sebagainya dari Orang Bati yang terdiri dari kelompok Siwa-Lima yang telah menyatu di Tana (Tanah) Bati. Wilayah hutan di mana terdapat pohon pakis hutan tersebut merupakan tempat yang sakral karena itu tidak boleh di datangi secara sembarangan. Pada tempat ini semua keperluan yang berkaitan dengan aktivitas warga maupun dengan leluhur dibicarakan secara bersama, dan keputusan diambil pada tempat tersebut. Dalam kehidupan Orang Bati, konsep Baileu tidak berwujud suatu bangunan, tetapi alam ter-buka yang berada di tengah hutan (esu) dalam wilayah kekuasaan Bati Awal yang terdapat di Tana (Tanah) Bati.

Untuk itu kosmos hutan (esu) di mana baileu sebagai tempat sakral berada senantiasa digunakan untuk menbicarakan hal-hal yang penting bagi Orang Bati sampai saat ini. Sebab persepsi Orang Bati bahwa pengambilan keputusan dengan sesama warga harus diketahui dan disaksikan oleh leluhur. Untuk itu dalam pandangan kosmologi Orang Bati bahwa wilayah hutan adalah bernyawa atau hidup se-panjang masa. Begitu dekatnya kehidupan Orang Bati dengan hutan (esu) menjadi mata-rantai yang mengikat mereka berdasarkan kosmo-logi hutan, tanah, dan manusia (identitas) Orang Bati yang di-pahaminya sebagai rute perjalanan “Manusia Batti” atau Tata Nusu Si

(leluhur) yang bersifat kesemestaan.

Sejarah Asal-Usul Leluhur Orang Bati

(41)

Sejarah Orang Bati di Samos

Berdasarkan informasi yang dituturkan oleh tokoh adat di Negeri Kian Darat, kemudian ditelusuri secara mendalam pada informan yang mendiami Tana (Tanah) Bati dapat dikemukakan sebagai berikut:

Orang Bati mengemukakan bahwa leluhur mereka yang pertama adalah Ken Min Len (Ken = Laki-Laki, Min = Perempuan, dan

Len = Besar). Jadi arti dari Ken Min Len artinya laki-laki dan perempuan besar.16) Leluhur Orang Bati ke Seram Timur men-diami tempat bernama Samos (tempat kering pertama) sampai orang lain datang ke daerah ini. Samos terletak sekitar Gunung Bati. Mereka datang dengan kapal menyerupai burung Garuda atau Rajawali yang dinamakan (Lusi). Pada tempat ini mereka mulai membangun kehidupan yang pertama. Untuk itu nama dari tempat awal ketika Orang Bati melakukan Esuriun dinamakan Kilusi, dan sampai saat ini menjadi kesepakan bahwa nama kampung/dusun yang menggunakan Bati hanya Kampung/Dusun Bati Kilusi atau Bati Awal, sedangkan kampung/dusun lainnya tidak menggunakan nama Bati17

Pada saat itu di Samos (tanah kering pertama yang dijumpai) sama sekali belum ada kehidupan. Leluhur Orang Bati memulai ke-hidupan mereka yang pertama di tempat ini sampai kedatangan orang lain. Pendatang berikut ke Samos adalah moyang Boiratan, atau nama lengkapnya yaitu Boiratan Timbang Tanah. Putri Kerajaan Lomine di Gunung Murkele ini datang dan tidak menetap karena itu ia terus melakukan perjalanan menuju Kepulauan Kei. Kehidupan awal dari leluhur Orang Bati di Samos terus berlangsung sampai kedatangan orang lain di tempat ini, dan mereka mulai menjalan kehidupan awal di Samos. Keadaan mereka terus bertambah banyak karena kelahiran,

).

16)Wawancara dengan bapak Samaun Rumadaul (83 Tahun), anggota masyarakat

Negeri Kian Darat, pada tanggal 25 November 2009. Ia juga mengatakan bahwa ber-dasarkan sejarah lisan (oral story) yang dituturkan oleh pendahulu mereka bahwa ada juga leluhur Orang Bati yang datang dari Timur Tengah, dan bergabung di Samos. Mereka datang pertama kali dengan menggunakan Kapal Kodrat tetapi tidak berhasil, kemudian mereka kembali ke tempat asal. Setelah itu mereka datang lagi dengan Kapal

Safina Tun Najal, dan berhasil menemukan Samos di Pulau Seram Bagian Timur dan bergabung dengan leluhur Orang Bati yang sudah ada di Samos.

17)Wawancara dengan bapak AKil (68 Tahun), Kepala Dusun Bati Kilusi (Bati Awal),

(42)

dan ada juga penduduk keturunan Alifuru yang datang dari Tanjung

Sial di Pulau Seram Bagian Barat kemudian mendiami lokasi kediaman di Soabareta (tanjung kering pertama yang dijumpai).

Perkembangan yang terjadi kemudian yaitu Orang Bati me-nyatukan diri dan sepakat (mafakat sinabi) melalui Esuriun Orang Bati yaitu Alifuru Bati turun dari hutan dan gunung (madudu atamae ukara). Sejarah asal usul penduduk dari Gunung Bati menempatkan posisi dari Kampung atau Dusun Bati Kilusi (Bati Awal) di Tana (Tanah Bati) sangat penting bagi perkembangan kampung atau dusun lainnya di Tana (Tanah) Bati. Leluhur Orang Bati dikenal sebagai manusia yang baik hati, bersih, jujur, suci, dan lainnya yang identik dengan itu adalah Oyang Kilusi yang menjadi Kapitan Esuriun Orang Bati pada saat itu.

Sebutan terhadap manusia berhati bersih (batin yang bersih) ini kemudian melahirkan nama Bati, sebagai salah satu suku-bangsa di Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu)18

Penegasan tentang nama Tanah Besar karena Pulau Seram me-rupakan pulau terbesar di Kepulauan Maluku apabila dibandingkan

) adalah identitas setelah

kelompok sosial Patasiwa dan Patalima menyatu untuk melakukan

Esuriun Orang Bati pada masa lampau. Kisah Esuriun Orang Bati menegaskan eksistensi dari keturunan kelompok Alifuru Seram yang menyebut diri sebagai Alifuru Bati atau Orang Bati sebagai suku-bangsa. Kelompok sosial Patasiwa dan Patalima merupakan struktur dasar pembentukan identitas Orang Bati yang dikukuhkan melalui adat

Esuriun Orang Bati baru mereka melakukan aktivitas turun dari hutan dan gunung (madudu atame ukara) untuk menjaga, melindungi seluruh hak milik yang berharga seperti manusia, tanah, adat, budaya identitas dan lainnya. Dalam pergaulan hidup sehari-hari, Orang Bati menyebut Pulau Seram dengan nama Tanah Besar. Maknanya yaitu Pulau Seram adalah pulau terbesar di Kepulauan Maluku dan merupakan tempat asal dari keturunan Suku Alifuru atau Alifuru Ina.

18)Lihat bahasan yang telah dikemukakan tentang Mitologi Seram yang membahas

(43)

dengan pulau-pulau lain di Kepulauan Maluku. Pulau Seram dengan daratan (lembah, bukit, dan pegunungan) yang terbentang dari daratan

Hunimua di Sebelah Timur sampai dengan daratan Hunipopu di Seram Barat terdiri dari wilayah pegunungan yang silih berganti. Kawasan ini dalam kepercayaan Orang Seram ibarat manusia yang sedang tidur ter-lentang dan sedang memandang alam semesta. Seram dipercaya olah keturunan Alifuru sebagai Gunung Manusia berdasarkan mitologi yaitu wilayah ini masih menyimpan berbagai misteri, baik yang terkait dengan lingkungan alam maupun manusia. Orang Bati yang mendiami Gunung Bati adalah salah satu kelompok sukubangsa penghuni Gunung Manusia sehingga dalam interaksi sosial penamaan Orang Bati sebagai Orang Gunung (Mancia Atayesu) untuk mempertegas eksis-tensi kesukubangsaan Bati sebagai Manusia Gunung, dimaksudkan untuk memberikan perbedan dengan Orang Pantai (Mancia Layena) yang bukan termasuk (roina kakal) atau saudara Orang Bati.

Lokasi sekitar Gunung Bati terdapat dua gunung yang saling berhadapan yang dipercaya sebagai Gunung Laki-Laki dan Gunung Perempuan. Dalam mitologi Bati, posisi Gunung Laki-Laki dan Gunung Perempuan menjadi dasar dari kosmologi Orang Bati dalam memahami manusia, tanah, dan alam semestanya. Sampai saat ini Orang Bati sangat yakin bahwa leluhur mereka yang mendiami Gunung laki-laki dan Gunung Perempuan ini tidak pernah mati (meninggal dunia). Leluhur Orang Bati memiliki kehidupan yang abadi sepanjang masa. Sampai sekarang Orang Bati tetap yakin bahwa leluhur mereka yaitu Manusia Bati yang mendiami Gunung Bati ini senantiasa berada dengan mereka. Sebagai anak cucu keturunan Manusia Bati, mereka sangat percaya bahwa tempat kediaman dari leluhur mereka di Gunung Bati adalah sakral atau keramat. Berdasarkan kepercayaan pada leluhur (Tata Nusu Si) sebagai sistem religi bahwa roh para leluhur mereka yang mendiami Gunung Bati dinamakan Tata Nusu Si senantiasa menyertai anak cucunya. Informasi yang disampai-kan oleh Raja Kian Darat bahwa :

(44)

Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) atau saat ini dinamakan Pulau Seram atau Tanah Besar19

19)Wawancara dengan bapak AWe (56 Tahun), Raja (Mata Lean) atau Jou Negeri Kian ).

Sejarah Kedatangan Leluhur Orang Bati dari Tanjung Sial ke Soabareta

Sejarah lisan (oral story) yang mengisahkan tentang kedatangan leluhur Orang Bati dari Tanjung Sial, pertama-tama mereka mengakui bahwa asal-usul mereka dari keturunan Manusia Awal (Alifuru) atau keturunan Suku Alifuru atau AlifuruIna yang menamakan diri sebagai Orang Bati memiliki sejarah asal-usul dari kerurunan Alifuru yang datang dari Tanjung Sial di sebelah barat Pulau Seram. Mereka datang dari Tanjung Sial dengan kora-kora, dan menempati lokasi kediaman awal di Soabareta (tanjung kering pertama yang dijumpai). Waktu ke-datangan mereka dari Tanjung Sial dipimpin oleh Latu atau Ratu

Wawina atau Raja Tongkat Emas dan suaminya Kapitan Pattinama. Dalam perjalanan mereka mengumpulkan seluruh keturunan

Alifuru yang jumpai. Ketika sampai di Soabareta jumlah Alifuru yang di-himpun makin banyak. Kelompok ini kemudian mendiami

Soabareta dan terintegrasi dengan Alifuru yang sudah berada di Samos. Setelah menyatu, baru mereka melakukan Esuriun Orang Bati sehingga kelompok Patasiwa dan Patalima menjadi terintegrasi. Proses integrasi yang dicapai Orang Bati adalah final karena dilakukan melalui adat

Esuriun, dan termasuk integrasi kultural.

(45)

Tampak jelas bahwa lingkungan sosial telah membentuk mata-rantai yang sangat penting dalam siklus kehidupan mereka sebagai orang satu asal yang menyatu untuk saling menjaga, melindungi yang satu terhadap lainnya, dan telah berlangsung ratusan tahun. Studi untuk memahami tentang sejarah Orang Bati untuk menjaga, me-lindungi satu terhadap yang lain apabila dibandingkan dengan studi mengenai daur kehidupan dalam sistem kekerabatan Orang Bati di mana setiap orang sejak berada dalam kandungan ibu, masa bayi, anak-anak, remaja, dewasa, masa tua, meninggal dan kembali ke tanah, ber-arti nyawa manusia senantiasa menyatu dengan tanah kelahirannya sebagai suatu siklus hidup.

Makna tanah dalam sejarah Orang Bati adalah tempat asal-usul, tanah kelahiran, tampa putus pusa, atau “Gunung Tanah” yang me-miliki makna filosofis untuk menjelaskan tentang Tana (Tanah) Bati sebagai wilayah bernyawa, dan Dunia Orang Bati adalah dunia

Esuriun. Jadi berbicara mengenai wilayah Orang Bati berarti berbicara me-ngenai wilayah bernyawa. Dunia Orang Bati merupakan arena ke-hidupan manusia yang terkait dengan nyawa. Hakikatnya terletak pada

niat, di mana manusia yang memiliki niat baik, bersih, dan benar menunjukkan hakikat Bati.

Gambar

Gambar 1 Profil Laki-laki Suku
Gambar  3 Profil Laki-Laki dan Perempuan Suku Wemale atau Orang Wemale di
Tabel 1 Keadaan Penduduk di Dusun-Dusun Bati Tahun 2011
Gambar 4 a Alam Terbuka yang Terdapat Dalam Kawasan Hutan (Esu)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Ada banyak orang, yang karena kedudukannya atau hubungan persaudaraannya, pertemanannya, atau lainnya, merasa bahwa dirinya atau pihaknya pantas untuk memperoleh

Pada lingkungan masyarakat desa yang masih tradisional, bahkan terabaikan dari pengakuan masayrakat dan berbagai pihak lainnya ternyata lembaga adat merupakan mata-rantai yang

Ketika menatap, matanya sangat tajam;( 7) Raut muka agak lebar; (8) Sering menggunakan jenggot; (9) Makan siri dan pinang. Setelah memperoleh penjelasan mengenai ciri-ciri fisik

Untuk dapat mempermudah pendengar mengatur bati ekualiser dan volume suara yang diinginkan maka dirancanglah sebuah sistem terkendali yang dapat mengatur bati ekualiser dan

Istilah WNI Keturunan yang digunakan untuk menjelaskan kewarganegaraan mereka kini secara gradual mulai digantikan dengan “warga negara Indonesia,” yang mana orang-orang

Dengan kondisi geografis Rote Ndao sebagai daerah kepulauan (96 pulau, 6 pulau diantaranya adalah pulau yang dihuni), sudah saatnya orientasi pembangunan diarahkan

Uniknya gangguan jiwa yang terjadi di desa Dameka bukan saja disebabkan karena faktor keturunan atau bawaan sejak lahir, banyak beban pikiran, dan frustasi,

Di provinsi Nusa Tenggara Timur, pulau Timor terdapat berbagai jenis kacang-kacangan lokal yang tumbuh dengan liar atau dibudidayakan.. Kacang-kacangan lokal di