• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Parasit Pembangunan D 902007008 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Parasit Pembangunan D 902007008 BAB II"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP

M EM BURU RENTE

“Apa sebenarnya pengertian tentang Perilaku M emburu Rente (PM R) itu?, tanya seorang peserta seminar.

“Krueger (1974) menyebutkan bahwa pembatasan pemerintah dalam kegiatan ekonomi memunculkan rente dalam berbagai bentuk, dan orang-orang berlomba untuk mendapatkannya. Kadang-kadang kompetisinya legal, tetapi dalam banyak kasus memburu rente berbentuk suap, korupsi, penyelundupan dan pasar gelap”, jawab saya.

“Lalu, bagaimana menerapkan definisi itu dalam rencana penelitian bapak?” Lanjut si penanya.

“Definisi Krueger itu saya perlakukan sebagai definisi teoritis, sedangkan untuk kepentingan penelitian ini, saya memodifikasinya menjadi definisi empiris”, sambung saya lebih lanjut.

“M engapa demikian pak?”.

“Definisi Krueger itu, menurut saya sangat tepat untuk menggambarkan PM R dalam aras makro, tetapi kurang tepat untuk diterapkan dalam penelitian di aras mikro seperti yang saya lakukan”.

“Lalu, definisi empiris yang bapak buat itu apa?”

“Berbagai upaya yang dilakukan oleh individu, kelompok, atau pun lembaga untuk memperoleh keuntungan atau manfaat bagi dirinya sendiri, kelompoknya, atau pun lembaganya dengan merugikan orang lain, kelompok lain, lembaga lain, atau kepentingan yang lebih luas atau lebih besar”.

(Disarikan dari dialog dalam Seminar bertema: “Unproductive Enterpreneur” 30 M ei 2009 di Jurusan EP-FE-UNS Surakarta).

(2)

pribadi, keluarga, kelompok, suku dan bahkan negara, dari jaman purba sampai sekarang. Oleh karena itu, perkelahian antar pribadi, konflik antar kelompok dan atau suku, bahkan kudeta terhadap pemimpin di banyak negara telah berulang kali terjadi. Ketegangan dan serangan provokatif antar negara untuk memperebutkan kekuasaan politik dan ekonomi telah melahirkan dua Perang Dunia di paruh pertama abad 20.

Berbagai agama juga telah ada di dunia dan semuanya bertujuan untuk menghadirkan ‘kehidupan surga di bumi’, kehidupan yang oleh Ife (2002) digambarkan sebagai “living in harmony with each other and living in harmony with their environment”- hidup secara harmoni antara satu dengan yang lain (liyan) dan hidup secara harmoni dengan lingkungan. Tetapi persaingan, bahkan konflik antar kelompok di dalam agama yang sama, apalagi antar penganut agama, telah, sedang dan tampaknya akan terus terjadi, sebagai akibat dari fanatisme sempit para penganut agama-agama (egosentrisme) yang mau memaksakan keyakinannya kepada penganut agama lain. Secara politik ekonomi agama bahkan tidak jarang (apabila tidak boleh disebut selalu) dimanfaatkan oleh para elitnya sebagai denominator (identitas pemersatu) untuk merebut kekuasaan politik (dan ekonomi), di dalam suatu organisasi masa, baik sosial dan politik. Akibatnya, organisasi masa, khususnya Partai Politik cenderung berwajah ganda; tampak memiliki landasan dasar (flatform) atau ideologi dalam kelahiran dan keberadaannya, tetapi pragmatis dalam tingkah laku riilnya, yaitu lebih memburu kekuasaan politik dan ekonomi daripada memperjuangkan kesejahteraan masyarakat melalui ideologi partainya.

(3)

negara tidak hanya bersifat prosedural seperti sekarang ini, tetapi sudah bersifat substansial, telah menjadi budaya.

SEJARAH KELAHI RAN STUDI TENTANG MEM BURU RENTE

Awal dimulainya studi tentang perilaku memburu rente ini terjadi ketika tiga orang ekonom dari Amerika Serikat menerbitkan artikel masing-masing dalam tiga jurnal ilmiah yang berbeda. Gordon Tullock adalah ekonom pertama yang menerbitkan artikelnya berjudul “W elfare Costs of Tariffs, M onopoly, and Theft” dalam W estern Economic Journal (sekarang bernama Economic Inquiry) pada tahun 1967. Kemudian, Anne O Krueger adalah ekonom kedua yang menulis paper berjudul “The Political Economy of the Rent Seeking Society” dalam American Economic Review pada tahun 1974. Akhirnya, Richard Posner adalah ekonom ketiga yang memublikasikan karyanya berjudul “Social Costs of M onopoly and Regulation” dalam Journal of Political Economy pada tahun 1975.

Tulisan Tullock1 berisi tiga pesan penting bagi mereka yang

tertarik meneliti biaya sosial dari berbagai jenis pengaturan perdagangan. Pertama, konsep tentang biaya sosial (welfare costs) yang diukur dengan ‘deadweight loss’ atau ‘welfare triangle’ yang dipopulerkan oleh Harberger (1959) dalam artikel berjudul “Using the Resources at Hand more Effectively” dan diterbitkan dalam American Economic Review itu terlalu kecil (underestimate). Ia menunjukkan bahwa untuk membuat supaya suatu kebijakan pembatasan perdagangan, seperti tarif, itu bisa efektif, maka berbagai pihak harus mengeluarkan biaya ekstra yang bisa dimasukkan ke dalam kelompok ‘biaya penagihan’ (collection costs). Dalam ungkapannya sendiri, Tullock mengatakan:

1 Tulisan ini melawan arus utama pemikiran para ekonom yang sedang mapan, maka

(4)

“There are a considerable number of costs that are ignored by this procedure. As a starter, collection of a tariff involves expenditure on customs inspectors and others who do the actual collection and on coast guards who prevent smuggling. Further, costoms brokers are normally hired by the shipper to expediate the movement of their goods through customs. Normally we pay little attention to collection costs because they are small, but in this case they may be larger than the welfare triangle, which is also small. Thus, by simply adding in collection costs, we significantly increase the “social cost” of the tariff” (1967: 225).

Kedua, campur tangan negara di dalam pasar, baik dalam bentuk tarif, apalagi pemberian hak monopoli kepada pelaku pasar tertentu, menghasilkan biaya sosial (biaya kesejahteraan) tidak hanya sebesar deadweight loss (D dalam gambar 2.1), tetapi masih harus ditambah dengan penerimaan atau keuntungan atau rente pemegang monopoli (L dalam gambar 2.1), yang sesungguhnya dipandang sebagai transfer kesejahteraan dari masyarakat luas kepada pemegang monopoli. Itu pun masih harus ditambah dengan berbagai biaya yang dikeluarkan oleh berbagai pihak yang bersaing untuk memperoleh hak monopoli itu. Biaya itu, merupakan biaya oportuniti, yang dari sudut pandang masyarakat dianggap sebagai sumberdaya yang diboroskan, yang sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produk nasional dan kesejahteraan masyarakat.

(5)

untuk mengamankan properti, adalah biaya sosial. Semua sumberdaya yang dibelanjakan itu bisa dimanfaatkan dalam bidang lain yang lebih produktif untuk menghasilkan barang dan jasa yang membuka lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Paper yang ditulis Anne O Krueger pada tahun 1974 tidak tampak mengindikasikan adanya motivasi penulis untuk menanggapi atau mengembangkan tulisan Tullock, meskipun secara implisit melakukannya. Dalam alinea pertama artikelnya, Krueger menulis:

“In many market-oriented economies, government restrictions upon economic activity are pervasive facts of life. These restrictions give rise to rents in a variety of forms, and people often compete for the rents. Sometimes such competition is perfectly legal. In other instances, rent seeking takes other forms, such as bribery, corruption, smuggling and black markets” (1974: 291).

Kutipan ini menggambarkan beberapa kontribusi penting bagi studi tentang tema ini. Pertama-tama, Krueger memperkenalkan istilah yang belum pernah muncul dalam literatur ekonomi (maupun ilmu sosial lain) sebelumnya – yaitu memburu rente (rent seeking) – yang tidak sekali pun disebut dalam artikel Tullock di tahun 1967. Pengakuan ini juga disampaikan secara eksplisit oleh Buchanan, Tollison & Tullock (1980) dengan menyebutkan:

“Rent seeking is a term that was introduced to economics by Anne O Krueger” (1980: ix).

Kedua, Krueger memperluas cakupan riset tentang rent seeking

(6)

Ketiga, Krueger juga mengembangkan suatu model formal tentang memburu rente di bawah rezim kebijakan pembatasan kuantitatif (quantitativerestrictions) dalam perdagangan internasional. M odel yang dikembangkan ini kemudian digunakan untuk mengestimasi besarnya rente di India tahun 1964 dan menghasilkan angka 7,3% dari pendapatan nasionalnya. Demikian juga penerapan model itu di Turki menghasilkan angka 15% dari produk nasional bruto dalam mengukur besarnya rente dari lisensi impor pada tahun 1968. Penerapan model yang dikembangkan oleh Krueger di dua negara ini menguatkan, secara langsung maupun tidak langsung, pendapat Tullock bahwa volume biaya sosial dari tarif maupun pembatasan pemerintah lainnya dalam perdagangan internasional lebih besar daripada kuantitas

deadweight loss yang sebelumnya digunakan sebagai acuan.

Bertolak belakang dengan artikel Krueger yang tidak mengacu atau pun menyebut artikel Tullock secara langsung dalam tulisannya, Richard A Posner (1975) mengembangkan tulisannya berdasarkan paper yang ditulis oleh Tullock secara terus terang. Hal itu sudah tampak jelas dalam alinea pertama esainya. Dalam alinea pembukaan artikelnya itu Posner mengatakan:

(7)

Sumber: Posner, 1975: 808.

Gambar 2.1. Biaya Sosial dari M onopoli & Pencurian

Kecuali menekankan bahwa besaran atas deadweight loss itu terlalu kecil (underestimate) dalam memperhitungkan kerugian sosial dari monopoli seperti tercantum dalam kutipan, Posner juga mendukung Tullock tentang pencurian. Dia menggarisbawahi tentang bagaimana transfer kekayaan yang terjadi dan berpindah dari rumahtangga korban ke pencuri (apabila aktivitas pencurian itu berhasil) merupakan biaya sosial. Kesempatan untuk mendapatkan transfer kekayaan itu telah memakan sumberdaya ke dalam karir pencurian (bagi pencuri) dan juga perlindungan kekayaan terhadap pencurian (bagi rumahtangga). Biaya oportuniti dari seluruh sumberdaya yang digunakan oleh kedua pihak (pencuri dan rumahtangga) adalah biaya sosial dari aktivitas pencurian itu.

(8)

berdasarkan berbagai skenario yang dibahas dalam artikelnya, Posner memperkirakan bahwa kerugian sosial dari monopoli di Amerika Serikat pada pertengahan abad 20 itu berkisar antara 1,7% – 3,5% dari produk nasional brutonya.

Ketiga tulisan itu kemudian menginspirasi The Center for Study of Public Choice, Universitas Virginia untuk menyelenggarakan Seminar di tahun 1978 dan menerbitkan paper-papernya ke dalam satu buku berjudul “Toward a Theory of the Rent Seeking Society” yang diedit oleh Buchanan, Tollison dan Tullock (1980). Buku ini menjadi sumber keempat dan menjadi semacam proklamator untuk studi tentang memburu rente (rent seeking) sebagai bidang studi baru dalam ilmu ekonomi. Para kontributor dari buku itu kebanyakan merupakan kolega dan mahasiswa Gordon Tullock di Universitas Virginia, yang berafiliasi pada Pusat Studi tersebut.

Dua puluh dua artikel dalam buku itu, yang ditampilkan secara ringkas dalam lampiran 2.1, dikelompokkan menjadi lima bagian. Bagian pertama adalah Pendahuluan, berisi dua artikel baru yang ditulis oleh Buchanan (1980a) dan Tullock (1980a). Bagian pertama ini pada prinsipnya merupakan upaya dari para editor untuk menjelaskan pengertian tentang perilaku memburu rente (rent seeking behavior). Untuk tujuan ini, mereka membedakan antara konsep mencari keuntungan (profit seeking) dan memburu rente (rent seeking), seperti akan dikupas pada alinea berikut. Dalam menjelaskan arti dari perilaku ini, Tullock (1980a) menyebutnya sebagai ‘permainan yang berakhir negatif’ (negative-sum game). Karena secara keseluruhan, perilaku memburu rente itu menghasilkan pemborosan atau kerugian, bukan keuntungan atau surplus sosial.

(9)

itu memberi keuntungan kepada sedikit agensi, dari banyak agensi yang menginginkannya. Oleh karena itu, biaya yang dikeluarkan oleh berbagai agensi untuk memperoleh privilege dari negara ini juga termasuk biaya sosial dari pengaturan perdaganagn itu.

Bagian ketiga bertajuk Kontribusi Berikutnya ini berisi 4 artikel baru yang ditulis oleh Tullock (1980b) tentang memburu rente efisien, Lee & Orr (1980) hukum kebertahanan hidup, dan Congleton (1980) proses kompetisi, pemborosan kompetitif, dan kelembagaan, serta Cowling & M ueller (1978) tentang biaya sosial dari kekuasaan monopoli. Bagian ini, seperti judulnya, merupakan pengembangan lebih lanjut dari pemikiran dasar tentang konsep atau teori memburu rente yang diuraikan oleh ketiga orang pionir sebelumnya, yaitu seputar aturan main.

Bagian empat berlabel Aplikasi Teori M emburu Rente, menjadi bagian paling besar, terdiri dari 12 artikel, yang secara lengkap bisa dilihat dalam lampiran 2.1. Bagian ini merupakan aplikasi dari konsep perilaku memburu rente pada berbagai bidang di luar perdagangan, seperti perpajakan (Goetz, 1978), akademik (Brennan & Tollison, 1980), penduduk tua (Orr, 1980), merkantilisme (Baysinger, Ekelund Jr., & Tollison (1980), dan sebagainya.

Bagian terakhir dari buku ini merupakan Kesimpulan, berisi satu artikel baru yang ditulis oleh Buchanan (1980c) berjudul “Reform in the Rent-Seeking Society”. Dalam bagian ini Buchanan berpendapat bahwa kalau ada suatu keadaan yang dianggap sebagai ‘tidak efisien’, maka pasti bisa ditemukan cara untuk membuatnya ‘efisien’. Tujuan itu sering memerlukan perubahan kelembagaan, di dalam mana kesepakatan antara para pihak mutlak diperlukan, terutama untuk mengompensasi pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh perubahan kelembagaan itu. M enurutnya, konsep dilema tahanan (prisoner’s dilemma) sebagai dasar dari teori permainan (game theory2) menjadi

2 Bagi mereka yang ingin mempelajari tentang Game Theory bisa membaca buku yang

(10)

salah satu alat yang bisa digunakan untuk menyimulasikan keputusan yang paling efisien.

PENGERTI AN TENTANG PERI LAKU MEM BURU RENTE

Lalu, sebenarnya apa yang dimaksud dengan perilaku memburu rente itu? M emburu rente atau rent seeking adalah sutu kata majemuk yang terbentuk dari dua kata – memburu (seek) dan rente (rent). M emburu atau seek berarti “a try or want to find or get or reach”

(M oore, 1996: 981. Sedangkan rente atau rent didefinisikan, secara klasik, sebagai “tenant’s periodical payment to an owner for the use of land or premises” (M oore, 1996: 917). M enurut ekonom neoklasik Alfred M arshall (The New Encyclopaedia Britannica 1993, 17: 935) rent

diartikan sebagai “the income derived from the ownership of land and other free gifts of nature”.

Dalam buku teks mikroekonomi kontemporer pengertian tentang rente sudah lebih luas daripada definisi menurut ilmu ekonomi klasik. M ansfield (1980: 343), misalnya, menyebutkan bahwa rente adalah “a payment above the minimum necessary to attract this amount of the input”. Pengertian ini diperkuat oleh Buchanan (1980a: 3) dengan menguraikan bahwa rente adalah “that part of the payment to an owner of resources over and above that which those resources could command in any alternative use. Rent is receipt in excess of opportunity costs.

Lalu, pengertian memburu rente atau rent seeking itu sendiri bermacam-macam, dan dari ketiga pionir yang telah disebutkan sebelumnya, hanya Krueger lah yang secara terbuka menyebut kata

rent seeking dan secara tidak langsung memberi pengertian tentangnya, seperti telah dikutip sebelumnya. Upaya untuk memberikan definisi tentang rent seeking ini tampak jelas dalam buku yang diterbitkan tahun 1980. Buchanan, Tollison & Tullock (1980) memberikan definisi memburu rente sebagai:

(11)

Bagi para individu pemburu rente, biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh transfer ini, tentu saja, tidak dianggap sebagai pemborosan tetapi sebagai investasi. Hanya saja, secara sosial, tindakan itu dipandang sebagai pemborosan, karena tidak menambah produk nasional. Penekanan pada pemborosan sosial ini diulangi lagi oleh Buchanan (1980a) dalam mendefinisikan memburu rente ini. M enurutnya, memburu rente adalah:

“Behavior in institutional settings where individual efforts to maximize value generate social waste rather than social surplus” (1980a: 4)

Literatur yang lebih kontemporer, seperti Coolidge & Rose-Ackerman (1996) menawarkan definisi tentang memburu rente ini secara lebih luas. Penekanan bahwa perilaku ini menghasilkan pemborosan sosial tetap menjadi kata kunci yang ditonjolkan. M ereka menulis:

“The effort to acquire access to or control over opportunities for earning rents. These efforts are not necessarily illegal or even immoral. They include much lobbying and some forms of advertising. Some can be efficient, such as an auction of scare and valuable assets. However, economists and public sector management specialists are concerned with what Jagdish Bhagwati (1982) termed ‘directly unproductive’ rent seeking activities, because they waste resources and can contribute to economic inefficiency” (1996: 3).

Lagi, bandingkan definisi Coolidge & Rose-Ackerman (1996) itu dengan literatur ekonomi kontemporer lain yang ditulis oleh Frank (2000). Dalam bab 18 tentang Pemerintahan (government) ia menyinggung sedikit tentang rent seeking dalam buku teks ilmu mikroekonomi sebagai berikut:

(12)

Terlepas dari kata-kata yang digunakan atau pun kalimat yang dirumuskan secara berbeda-beda itu, Buchanan (1980a) mencoba menjelaskan arti memburu rente ini dengan memaparkan suatu ilustrasi yang saya sederhanakan ke dalam diagram 2.1. Di situ tercermin bahwa siapa pun yang memiliki sumberdaya, cenderung menginginkannya menjadi lebih banyak daripada tetap, apalagi menjadi berkurang. M aka, mereka selalu berupaya untuk memikirkan dan melakukan banyak cara untuk menanamkan sumberdayanya itu di berbagai kesempatan yang menghasilkan keuntungan. M ereka yang menemukan cara atau alat baru dan menerapkannya dalam produksi barang dan jasa itu kemudian disebut sebagai wiraswasta inovator (innovating entrepreneur), dan keuntungan dari upayanya itu disebut sebagai keuntungan ekonomi atau rente ekonomi (economic rent).

PROFI T SEEKERS RENT SEEKERS

INNOVATI NG ENTERPRENEURS INNOVATI NG ENTERPRENEURS

CREATI ON OF VALUE DI VERSI ON OF VALUE

FREE ENTRY MONOPOLY RI GHT

OUTPUT INCREASE,PRI CE DECREASE OUTPUT CONSTANT,PRI CE CONSTANT

INI TIAL MONOPOLY POSI TI ON & ECONOMI C RENT ERODED TO THE

BENEFI T OF CONSUMERS GENERALLY

RENTS SECURED REFLECT THE

DI VERSI ON OF VALUE FROM

CONSUMERS GENERALLY TO THE

FAVORED RENT SEEKERS, W I TH A NET

LOSS OF VALUE I N THE PROCESS

Sumber: Digambar dari Buchanan (1980a).

(13)

Lambat laun keberhasilan wiraswasta inovator itu mendorong munculnya wiraswasta peniru (immitating enterpreneur). Para peniru ini menghasilkan barang dan jasa yang sama atau substitusinya, kadang-kadang juga membajak branding-nya, sehingga menurunkan harga barang dan jasa itu di pasar. Akibat lanjutannya sudah bisa ditebak, yaitu keuntungan monopoli yang diperoleh oleh wiraswasta inovator dalam jangka pendek semakin lama semakin berkurang dan akhirnya tidak menguntungkan sama sekali. Sampai titik itu wiraswasta inovator, secara teoritis, telah siap untuk meninggalkan bisnis lamanya yang sudah tidak menguntungkan itu dan bersiap untuk menanamkan modalnya dalam bidang ekonomi lainnya. Perilaku para wiraswasta kelompok ini dalam memaksimalkan keuntungan berdasarkan kemampuan sendiri atau pun kesempatan yang tersedia di dalam struktur pasar yang mapan disebut sebagai memburu keuntungan (profit seeking).

Sementara itu, ada wiraswasta inovator jenis lainnya. Ada banyak orang, yang karena kedudukannya atau hubungan persaudaraannya, pertemanannya, atau lainnya, merasa bahwa dirinya atau pihaknya pantas untuk memperoleh hak istimewa (privilese) dari negara untuk menyediakan barang dan jasa tertentu. Karena itu, mereka kemudian melakukan lobi kepada negara, melalui para aparatnya, untuk memperoleh privilese yang umumnya berbentuk lisensi. Proses lobi itu, sering kali membutuhkan manuver yang bermacam-macam, dan tentu saja memerlukan biaya yang tidak sedikit, mulai dari jutaan, miliaran bahkan sampai triliunan rupiah. Tetapi karena prospek keuntungan yang diharapkan sangat besar dan berlangsung terus selama kekuasaan pemerintahan tidak berubah, maka proses lobi beserta biaya yang dikeluarkan itu, mereka anggap layak untuk dilakukan. Semua biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh lisensi itu, sekali lagi, mereka anggap sebagi investasi.

(14)

Unproductive Profit Seeking) atau oleh Angeletos & Kollintzas (2000) sebagai wiraswasta tidak produktif (unproductive enterpreneur).

Setelah lisensi diterbitkan, apakah berbentuk kekuasaan monopoli, oligopoli ataukah monopsoni, di situ, tentu saja, tidak ada prinsip kebebasan untuk masuk (free entry). Keuntungan besar yang diperoleh para wiraswasta inovator jenis ini juga mendorong munculnya para peniru, yang menginginkan privelese yang sama. Tetapi mereka tentu saja tidak bebas untuk masuk ke dalam pasar. Kakuasaan monopoli, oligopoli atau monopsoni yang dipegang oleh para wiraswasta inovator jenis ini diperoleh dari negara dan dipaksakan kepada pasar. Karena keuntungan dari pemegang lisensi ini sangat menggiurkan dan berlangsung terus menerus, maka para wiraswasta peniru juga melakukan berbagai manuver agar supaya mereka memperoleh lisensi yang sama atau, paling tidak, bagian dari lisensi itu.

Para wiraswasta kelompok ini yang berupaya supaya memaksimalkan keuntungan melalui lembaga negara kemudian disebut sebagai pemburu rente (rent seekers). Di sini keuntungan yang mereka peroleh sesungguhnya hanya merupakan transfer dari konsumen secara umum kepada mereka. Oleh Tullock (1967) perilaku memburu rente ini dipadankan dengan perilaku pencurian, yang tidak menghasilkan barang dan jasa, tetapi hanya memindahkan barang dari pemilik awal (atau konsumen) ke tangan pencuri (atau para monopolis). Perilaku para agensi (individu, kelompok, organisasi, bisnis, dan sebagainya) yang tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi justru menghisap inilah yang menjadikan para pemburu rente itu, dalam studi ini, kemudian disebut sebagai “Parasit Pembangunan”.

EM PAT PULUH TAHUN STUDI TENTANG MEM BURU RENTE

(15)

Berbagai upaya untuk menjawab tiga pertanyaan dasar yang sama ini telah mendorong para ekonom dan ilmuwan sosial lain di seluruh dunia melakukan studi, simulasi dan eksperimen untuk mengembangkan konsep (teori) memburu rente dan sekaligus menerapkannya dalam berbagai bidang kehidupan. Perkembangan lebih lanjut studi tentang berbagai aspek dari perilaku memburu rente ini bisa dicermati, salah satunya, dari buku yang diterbitkan oleh Congleton, Hillman & Konrad pada tahun 2008.

Tahun 2006, ketika sedang menyiapkan penerbitan buku kumpulan artikel tentang memburu rente, Congleton, Hillman & Konrad melakukan riset elektronik untuk mengetahui berapa judul artikel yang mengandung kata rent seeking telah diterbitkan. Hasilnya,

JStor telah menerbitkan 74, Scopus 170, dan EconLit 401. Google Scholar telah menerbitkan lebih banyak lagi, yaitu lebih dari 1.500 artikel (Congleton, Hillman & Konrad, 2008a: 2) 3. Dari riset itu mereka

memilih dengan cermat 94 artikel yang berasal dari 32 jurnal ilmiah dan 2 buku. Kemudian, seluruh artikel terpilih itu diterbitkan ulang ke dalam buku yang diberi judul “40 Years of Research on Rent Seeking” pada tahun 2008.

Teori M emburu Rente dalam “40 Years of Research on Rent Seeking”

Seluruh artikel yang telah dipilih, kemudian dipilah menjadi dua kelompok besar. Kelompok besar pertama dikumpulkan ke dalam volume 1 diberi judul Teori M emburu Rente. Dalam volume 1 ini teori (pertanyaan #1 dan #2) dikelompokkan menjadi 5 tema, yaitu ‘Rente’, ‘Dimensi Kolektif’, ‘Pengembangan M odel’, ‘Struktur Kontes’, dan ‘Eksperimen’, seperti digambarkan oleh diagram 2.2. Abstraksi artikel secara lengkap ditampilkan dalam Lampiran 2.2.

3 Saya melakukan riset virtual yang sama di akhir Februari 2009 dan mendapatkan data

yang sangat menarik berikut. Google Scholar memunculkan 121.000 entri, dan Yahoo

lebih banyak lagi, yaitu 5.750.000 entri. Dari perpustakaan elektronik Proquest

(16)

Seperti tampak dalam diagram 2.2, tema pertama tentang Rents terdiri dari 4 subtema, yaitu,‘Biaya Sosial dari Perilaku M emburu Rente’, ‘Kontesnya Tullock’, ‘Kontes sebagai Lelang Berbayar Lunas’, dan ‘Fungsi Sukses Kontes’. Subtema pertama tentang ‘biaya sosial dari perilaku memburu rente’ berisi 4 artikel yang ditulis oleh Tullock (1967), Buchanan (1980a), Congleton (1980), dan Hillman & Katz (1984). 2 penulis pertama pada dasarnya menjelaskan pengertian tentang perilaku memburu rente yang diawali dari pengamatan, atau tepatnya kritik, Tullock terhadap konsep biaya sosial dalam perdagangan internasional, yang terlalu rendah. Sedangkan Buchanan lebih fokus untuk menguraikan perbedaan antara pemburu rente (rent seekers) dan pemburu keuntungan (profit seekers), seperti telah ditunjukkan dalam diagram 2.1. 2 penulis terakhir mengembangkan konsep (teori) memburu rente ini dengan berfokus pada aturan main. Yang pertama (Congleton) memopulerkan model lelang berbayar lunas (all-payauctions), sedangkan yang kedua (Hillman & Katz) mengangkat suatu fungsi sukses kontes umum (a general contest success function).

Subtema kedua tentang ‘kontesnya Tullock’ memaparkan 4 esai yang dikarang oleh Tullock (1980), Higgins, Shughart II & Tollison (1985), Perez-Castrillo & Verdier (1992), dan Nti (1999). Subtema ini diawali oleh Tullock yang mengangkat kembali artikel yang pernah dia tulis sebelumnya, katanya:

(17)

RENTE

Sumber: Congleton, Hillman & Konrad, 2008: Buku 1.

Diagram 2.2. Teori M emburu Rente dalam Buku “40 Years of Research on Rent Seeking menurut Tema dan Subtema.

(18)

Subtema ketiga tentang ‘kontes sebagai lelang berbayar lunas’ menampilkan 4 esai yang ditulis oleh Hillman & Samet (1987), Hillman & Riley (1989)), Baye, Kovenock & de Vries (1996), dan Anderson, Goeree & Holt (1998). 4 artikel dalam subtema ini berpusat pada kontes sebagai lelang berbayar lunas seperti yang telah dimulai oleh Hillman tahun 1984 (dalam subtema pertama), dengan berbagai pengembangan atau variasi. Hillman & Somet (1987) menawarkan fungsi sukses kontes dengan mengeluarkan partisipan yang berusaha paling keras sebagai pemenang mutlak. Lalu, Hillman & Riley (1989) dalam kesempatan berikutnya memperkenalkan kontes diskriminatif, yaitu semua peserta memasang taruhan dan pemasang tertinggi dinyatakan sebagai pemenang, sedangkan semua taruhan yang telah dipasang menjadi milik pemenang. Baye, Kovenock & de Vries (1996) memperkenalkan jenis kontes ketika semua kontestan memiliki semua informasi yang diperlukan di dalam proses lelang itu. Sedangkan Anderson, Goeree & Holt (1998) memperkenalkan jenis kontes ketika terjadi rasionalitas terbatas.

Subtema keempat tentang ‘Fungsi Sukses Kontes’ terdiri dari 3 artikel yang disiapkan oleh Hirshleifer (1989), Skaperdas (1996), dan Szidarovszky & Okuguchi (1997). Ketiga artikel ini pada prinsipnya merupakan pengembangan dari subtema ketiga, yang tentu saja memperbanyak varian untuk pemodelan kontes sebagai lelang berbayar lunas, yang diperkenalkan oleh Tullock.

(19)

ditulis oleh Shmuel (1991) memperhitungkan masalah penumpang gelap (free rider) dalam permainan kelompok. Artikel 4 yang ditulis oleh Baik, Dijkstra, Lee & Lee (2006) menyintesiskan berbagai model kontes sebelumnya untuk menunjukkan kesamaan antara kelompok yang bersaing untuk rente bersama dengan anggota kelompok pemenang yang bersaing antara anggota di dalam kelompoknya.

Untuk subtema ‘M emburu Rente untuk Barang Publik’ ini diperkaya dengan 5 artikel. Ursprung (1990) memasukkan memburu rente untuk suatu barang publik dalam suatu model kompetisi politik. Di sini persoalan penumpang gelap juga diperhitungkan, bahwa insentif penumpang gelap melalui efek substitusi antara pengeluaran sendiri dengan pengeluaran orang lain itu menurunkan usaha memburu rente kelompok. Selanjutnya Baik (1993) menganalisis kelompok yang terdiri dari bermacam orang dengan penilaian berbeda terhadap suatu barang publik. Penumpang gelap sempurna terjadi ketika setiap kelompok hanya diwakili oleh 1 orang anggota. Gradstein (1993) membedakan antara barang publik yang disediakan oleh swasta dengan yang diadakan oleh pemerintah. Keduanya mengandung unsur ketidakefisienan karena masalah pemburu rente di pihak pemerintah dan penumpang gelap di pihak swasta. Riaz, Shogren & Johnson (1995) menunjukkan bahwa efek besarnya rente cenderung meningkatkan usaha kelompok ketika ukuran kelompoknya membesar. Esteban & Ray (2001) menggunakan model Riaz et al (1995) dengan mencampur antara komponen privat dan komponen publik atas hadiahnya.

(20)

menunjukkan bahwa kompetisi untuk mengegolkan kebijakan alternatif (keuntungan yang diharapkan) mengurangi sumberdaya yang digunakan dalam memburu rente.

Subtema kedua tentang ‘pilihan waktu’ menyajikan 2 artikel yang ditulis oleh Dixit (1987) dan Baik & Shogren (1992). Dixit mengamati insentif bagi para pemain untuk secara tegas memilih suatu strategi di luar keseimbangan Nash, jika seorang pemain bisa bertindak sebagai pemimpin Stackelberg. Dia juga mengamati bagaimana komitmen yang dipilih itu ditentukan oleh pembobotannya terhadap hadiah.

Subtema ketiga tentang ‘waktu’ berisi 3 artikel yang disiapkan oleh Stephan & Ursprung (1998), Khana & Nitzan (1999), dan Hehenkamp, Leininger & Possajennikov (2004). Stephan & Ursprung menggambarkan proses memburu rente dalam kontes sekuensial dengan ketidaksempurnaan penting. Satu pihak bisa kalah dalam satu kontes, tetapi masih boleh ikut pada kontes berikutnya. Sedangkan satu pihak lain yang kalah tidak boleh ikut bermain lagi pada kontes berikutnya. Kahana & Nitzan menggambarkan suatu birokrasi pemerintah yang menunda atau bahkan tidak membayar kewajibannya. Ketidakpastian itu mempengaruhi nilai rentenya. Sedangkan Hehenkamp, Leininger & Possajennikov menggunakan suatu analisa dinamis kontesnya Tullock menggunakan konsep strategi stabil evolusioner (evolutionary stable strategy – ESS).

Subtema keempat tentang ‘informasi’ berisi 2 artikel yang ditulis oleh W arneryd (2003) dan M alueg & Yates (2004). W arnerys memperhitungkan suatu kontes di mana nilai hadiahnya itu sama untuk kedua belah pihak, tetapi hanya diketahui oleh satu pihak. Ternyata, pihak yang tidak tahu justru memiliki probabilitas untuk menang lebih besar. M asih tentang informasi, M alueg & Yates mendemonstrasikan suatu kasus di mana setiap penilaian pemain terhadap hadiah dianggap sebagai informasi privat, dan pemenangnya diputuskan melalui distribusi probabilitas binari yang sama.

(21)

‘Struktur Hadiah’. Subtema pertama tentang ‘hirarki dan kontes bersarang’ didukung oleh 3 artikel yang ditulis oleh Hillman & Katz (1987), Katz & Tokatlidu (1996), dan Konrad (2004). Hillman & Katz menggambarkan proses memburu rente dalam hirarki di mana suap ditransfer ke atas di dalam hirarki. Kemudian Katz & Tokatlidu menggambarkan suatu kontes bersarang yang dimulai dari anggota suatu kelompok bermain untuk memenangkan kontes. Setelah menang, ia harus bersaing dengan sesama anggota kelompoknya untuk memperebutkan hadiahnya. Lalu, Konrad menunjukkan bahwa komposisi kelompok itu sangat penting di dalam kontes bersarang, jika jumlah anggota kelompok itu tidak sama.

Subtema kedua tentang ‘desain kontes’ diisi oleh 3 artikel yang dikarang oleh Appelbaum & Katz (1987), Gradstein & Konrad (1999), dan Nti (2004). Appelbaum & Katz menunjukkan peran aktif dari pihak ‘rent setter’ dalam menentukan rule of the game dalam memburu rente. Gradstein & Katz memodelkan suatu kontes dalam struktur ronde, yang dimulai dari ronde pertama dan pemenangnya baru maju ke ronde berikutnya. Nti menghubungkan antara pilihan fungsi sukses kontes yang memaksimalkan usaha dengan kontestan yang memiliki penilaian berbeda terhadap hadiah.

(22)

meningkatkan upaya keseluruhan jika salah satu pihak diunggulkan untuk memenanginya.

Tema kelima tentang Experiments menampilkan 3 artikel yang ditulis oleh Shogren & Baik (1991), Potters, de Vries & van W inden (1998), dan Vogt, W eimann & Yang (2002). Shogren & Baik bereksperimen tentang perilaku dalam permainan memburu rente efisiennya Tullock dan menemukan hasil yang konsisten dengan perilaku yang diduga maupun disipasi rentenya. Potters, de Vries & van W inden bereksperimen menggunakan fungsi sukses kontes probabilistik maupun lelang berbayar lunasnya Tullock. Dalam kontesnya Tullock, disipasi rente mula-mula lebih besar daripada terduga 50% untuk 2 penantang, tetapi berkurang seperti hasil yang diprediksi ketika permainan berikutnya dimainkan. Sedangkan Vogt, W eimann & Yang melaporkan hasil eksperimen mereka tentang perilaku rasional para partisipan dalam berbagai variasi aturan main dari kontesnya Tullock.

(23)

Tujuan studi ini, dengan demikian, tidak bisa dijawab oleh berbagai teori yang ditawarkan oleh buku ini.

Penerapan Teori M emburu Rente dalam “40 Years of Research on Rent Seeking”

Kelompok besar kedua dimasukkan ke dalam volume 2 berjudul Penerapan M emburu Rente dalam Praktik (Applications: Rent Seeking in Practice). Seperti volume 1, volume 2 ini juga memilah-milah berbagai artikel terapan (pertanyaan #3) ke dalam 6 tema dan 15 subtema. Tema pertama adalah penerapan konsep memburu rente dalam kebijakan publik, khususnya monopoli dan proteksi perdagangan internasional (Regulation and Protection). Tema kedua adalah penerapan konsep memburu rente dalam bidang pembangunan ekonomi, hak kepemilikan dan korupsi, dan migrasi (Economic Development and Growth). Tema ketiga adalah penerapan konsep memburu rente ini dalam kelembagaan politik dan hukum, seperti pemilihan umum, dan peradilan (Political and Legal Institutions). Tema keempat mengadopsi konsep memburu rente untuk menganalisis kelembagaan dan sejarah masa lampau, seperti merkantilisme, dan pemerintahan otoriter (Institutions and History). Tema kelima berisi berbagai artikel yang menerapkan teori memburu rente di dalam perusahaan, seperti sistem anggaran perusahaan, memburu rente dalam perusahaan, dan kepemilikan perusahaan (the firm), dan tema keenam menggunakan teori memburu rente untuk menganalisis berbagai hubungan sosial, seperti status, dan masyarakat sipil (Societal Relations). Abstrak atas semua artikel dalam Buku 2 itu bisa dilihat dalam Lampiran 2.3, dan garis besarnya ditunjukkan dalam diagram 2.3.

(24)

(1981) dianggap terlalu tinggi. 3 artikel berikutnya menunjukkan bahwa proteksi terhadap industri itu cenderung menurun sebagai akibat dari perubahan motif yang dipakai oleh pelaku politik untuk mempertahankan atau menaikkan popularitasnya di dalam pemilihan.

(25)

REGULASI DAN

Sumber: Congleton, Hillman & Konrad, 2008: Buku 2.

Diagram 2.3. Terapan dari Teori M emburu Rente dalam Buku “40 Years of Research on Rent Seeking menurut Tema dan Subtema.

(26)

produktif. Hillman & Ursprung (2000) mendukung temuan M urphy, Shleifer & Vishny, dengan menyatakan bahwa kebebasan politik telah membuka akses bagi orang luar untuk bersaing memperebutkan rente sehingga menaikkan biaya sosial secara keseluruhan. Budaya politik ini justru menurunkan pembangunan ekonomi. Demikian juga M ehlum, M oene & Torvik (2006) mengkonfirmasi bahwa kelembagaan yang kondusif terhadap perilaku memburu rente menjadi penyebab kegagalan berbagai masyarakat kaya sumber daya alam untuk menjadi makmur.

Dua artikel terakhir dalam bidang pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ditulis oleh Epstein, Hillman & Ursprung (1999) dan Nannestad (2004). Epstein et al menggambarkan bagaimana seorang raja atau penguasa menciptakan dan menentukan rente dengan memajaki bagian dari penduduknya untuk keuntungannya sendiri dan kelompok privilese tertentu. Orang-orang kemudian bersaing supaya menjadi orang dekat raja untuk menjadi anggota kelompok istimewa yang memperoleh untung dari penciptaan rente itu. Sedangkan Nannestad menunjukkan bahwa anggaran pemerintah Denmark di bidang kesejahteraan telah mendorong terjadinya imigrasi sebagai satu bentuk memburu rente.

Aplikasi konsep memburu rente berikutnya adalah di bidang lembaga politik dan hukum. Seperti tampak dalam diagram 2.3, tema ketiga ini meliputi ‘kebijakan pemilihan legislatif’, dan ‘proses peradilan’. Semuanya menguraikan berbagai skenario yang digunakan oleh para calon legislatif (caleg) dan anggota legislatif petahana untuk terpilih (lagi) menjadi anggota legislatif pada periode jabatan berikutnya. Bagi para pihak yang berperkara di pengadilan, berbagai skenario juga diadopsi untuk memenangkan pihak mereka dalam persidangan.

(27)

menggambarkan bahwa merkantilisme di masa lalu adalah salah satu bentuk nyata masyarakat pemburu rente. Karena, penguasa melakukan berbagai kebijakan, khususnya pajak, untuk melanggengkan rente yang mereka peroleh dari masyarakat. Demikian juga di dalam rezim otoriter, skenario yang diterapkan untuk keuntungan para penguasa secara jelas menjadi penyebab terjadinya kejayaan atau pun keruntuhan suatu penguasa otoriter.

Tema kelima adalah penerapan konsep memburu rente di perusahaan. Bagian ini dikelompokkan lagi menjadi 3 subtema, yaitu ‘budget longgar (soft budget) dan moral hazard’, ‘memburu rente di dalam perusahaan’, dan ‘kepemilikan perusahaan’. 3 artikel dalam subtema pertama secara umum menganalisis berbagi situasi yang berhubungan dengan BUM N. Yang pertama, Kornai (1980) menunjukkan kondisi BUM N di dalam pasar yang tidak ‘bisa’ bangkrut, karena kerugian yang mungkin diderita dijamin oleh negara. Yang kedua menggambarkan situasi di mana keberatan politik atas PHK dan pengangguran justru mendorong perilaku memburu rente para manajer dalam perusahaan-perusahaan yang diproteksi negara dari persaingan dengan barang impor yang murah. Kemudian, Boccola & M cCandish (1999) mengangkat suatu studi kasus di Afrika di mana perusahaan swasta harus bersaing dengan perusahaan swasta mantan BUM N yang tetap menggunakan koneksi dan privelesenya dengan pemerintah.

(28)

Subtema terakhir pada memburu rente dalam perusahaan berhubungan dengan ‘kepemilikan perusahaan’. Lindbeck & Snower (1987) menekankan bahwa pemberian upah lebih tinggi daripada upah pasar kepada para pekerja dimaksudkan sebagai insentif bagi mereka tidak ceroboh (shirk) di dalam bekerja. Congleton (1989) menggambarkan bahwa para pemilik mau mengorbankan keuntungan perusahaan secara total, selama keuntungan dirinya bisa dinaikkan secukupnya melalui monitoring pekerja. Kemudian M uller & W arneryd (2001) menunjukkan bahwa menambah pemilik perusahaan dari luar itu berdampak pada penciptaan permainan hirarkis yang menurunkan biaya memburu rente relatif terhadap permainan tunggal di dalam perusahaan. Karena ‘orang dalam’ cenderung menjadi penumpang gelap, maka ‘orang luar’ hanya menyisakan sedikit di atas meja untuk diperebutkan oleh ‘orang dalam’ di perusahaan.

(29)

Secara aplikatif, tujuan kedua dari bab 2 ini adalah mengeksplorasi berbagai perspektif yang kiranya mampu menjelaskan perilaku memburu rente di ranah mikro, meso, dan makro yang dikonsepsikan oleh teori modal sosial. Buku 2 yang diedit oleh Congleton et al (2008), yang diringkas dalam diagram 2.3, menyajikan tema keenam tentang ‘hubungan sosial’ yang kiranya bisa menjadi inspirasi terbaik untuk direplikasikan dalam studi ini. Tema ini, sesuai dengan berbagai kasus yang melatari studi ini, telah menunjukkan adanya berbagai hubungan antar agensi di dalam dan antar ranah (sphere) di tengah masyarakat sipil yang dikonsepsikan oleh Janoski (1998). Sedangkan, tema, subtema, dan seluruh artikel yang disinggung secara sepintas dalam seksi ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa setelah 40 tahun berlalu, konsep memburu rente ini telah diterapkan secara luas di berbagai ranah dan berbagai bentuk masyarakat.

STUDI TENTANG MEM BURU RENTE DI INDONESI A

Kunio pada tahun 1988 menulis buku berjudul “The Rise of Ersatz Capitalism in South-East Asia” dan diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1991 dengan judul ‘Kapitalisme Semu Asia Tenggara’. Ia memberi judul tulisannya demikian untuk menunjukkan bahwa kapitalisme yang berkembang di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, bersifat semu atau tidak sungguh-sungguh, tidak bersifat dinamis seperti yang terjadi di Inggris, Eropa, Amerika maupun Jepang. Di halaman 5 (alinea 1), Kunio menulis:

(30)

Sebagai akibatnya, telah tumbuh dengan subur segala macam penyelewengan”.

Hubungan antara 4 ranah atau domain (sphere) dalam setiap bangsa antara negara, pasar, publik, dan privat seperti yang digambarkan oleh Janoski (1998) dan sudah disinggung dalam bab 1, tidak sesuai dengan kutipan dari pengamatan Kunio itu. Sebab, apabila negara dan pasar berkolusi (salah satu bentuk penyelewengan dalam kutipan Kunio), maka pemerintahan yang bersifat predatoris cenderung menonjol, seperti juga dilihat oleh Kang (2003), Hadiz & Robison (2005), dan Robison (1986) di beberapa negara Asia Timur, termasuk Indonesia.

(31)

Peneliti lain yang mengamati masalah politik ekonomi Indonesia adalah Kang (2003). Ia membahas kapitalisme kroni di Asia Timur, dengan membedakan berbagai bentuk hubungan antara negara dengan pengusaha (bisnis) di tiga negara, yaitu Korea Selatan, Philippines, dan Indonesia. Di Korea Selatan, Kang menggambarkan hubungan keduanya sebagai ‘saling tertawan’ (mutual hostages), di Philippines sebagai ‘berjenjang’ (cascades), dan di Indonesia sebagai ‘efisien dan kaotik’ (efficiency and chaos).

Di Korea, hubungan antara pemerintah dan bisnis relatif seimbang, sehingga campur tangan pemerintah dalam banyak hal berakibat, di satu sisi, mengurangi aktivitas memburu rente ( rent-seeking) di pihak para pebisnis, dan, di lain sisi, menurunkan biaya transaksi (transaction costs) di pihak politisi dan birokrat dalam memonitor proses pembuatan kebijakan.

Di Philippines sangat berbeda; hubungan antara pebisnis dan birokrat itu berayun seperti pendulum, yang tergantung pada sistem politik pemerintahan. Ketika politik pemerintahan berbentuk demokrasi, para pengusaha dengan kekuatan sumberdayanya mampu mempengaruhi para politikus di parlemen dan para birokrat pemerintahan untuk menghasilkan kebijakan dan tata pemerintahan yang pro bisnis. Sebaliknya, ketika negara dipimpin oleh pemerintah otoriter, negara (khususnya dalam lingkaran pemerintah pusat) menjadi pemeras para pengusaha, dan, secara langsung atau tidak langsung, mengorbankan kesejahteraan rakyat.

Di Indonesia, Kang menggambarkan hubungan antara bisnis dan negara sebagai efisien tapi sekaligus kacau (efficiency & chaos). Terminologi ini mengacu pada periode stabilitas pemerintahan Soeharto dan akhir pemerintahannya. Dalam bahasanya, Kang menguraikan demikian:

(32)

dengan patronasi dan korupsi, tapi sekaligus jelas dan luwes.” (Kang, 2003: 10).

Tidak seperti Kunio yang hanya membuat kategorisasi para kapitalis kroni di Asia Tenggara, Kang menawarkan penjelas bahwa meskipun memiliki bentuk yang sama, yaitu kapitalisme kroni, tetapi dalam praktiknya konteks politik ekonomi di masing-masing negara telah menunjukkan proses dan hasil pembangunan yang berbeda pula. Konteks politik ekonomi di masing-masing negara itu menjadi salah satu penjelas bagi cepat atau lambatnya tingkat pembangunannya. Seperti diketahui, pendapatan per kapita menurut paritas daya beli (purchasing power parity) tahun 2007 di ketiga negara ini adalah $24.750, $3.730, dan $3.580 masing-masing untuk Korea, Philippines, dan Indonesia (W orld Bank, 2009). Pada hal lebih dari seperempat abad sebelumnya, yaitu di tahun 1990, rasionya baru sekitar sepertiga, yaitu $6.400, $2.300, dan $2.100 (UNDP, 1993).

Salah satu pengamat politik ekonomi Indonesia yang paling komprehensif barangkali Robison. Dalam bukunya berjudul “Indonesia: the Rise of Capital”, yang kini telah menjadi klasik, Robison (1986) mencermati perkembangan kapitalisme di Indonesia dengan menelusuri perkembangan politik ekonomi bangsa ini mulai dari masa feodalisme keraton, merkantilisme VOC dan kolonialisme Belanda, nasionalisme Orde Lama, sampai otorianisme Orde Baru.

Dalam menggambarkan transisi politik ekonomi di Indonesia (khususnya di Jawa) dari jaman kerajaan (pra-kolonial) sampai jaman penjajahan, Robison menekankan hasil penelitian Onghokham (1975) sebagai berikut:

(33)

sedikit perubahan dengan kedatangan Belanda karena VOC hanya memperkuat kekuasaannya pada sistem kerja paksa dan tanam paksa yang telah ada” (Robison, 1986: 5).

Kemudian, dari penelusurannya terhadap literatur yang telah mencoba untuk mendiskripsikan politik ekonomi Indonesia yang unik, khususnya, selama pemerintahan Orde Baru, dia mengidentifikasi adanya 4 model pendekatan, ditambah 1 olehnya sendiri, menjadi 5. Semua pendekatan itu tentu saja dibangun berdasarkan fakta empiris di lapangan pada konteks sosial politik saat itu. Kelima pendekatan itu adalah:

[1] Negara Teknokratik (Technocratic State - Glassburner, 1971). Indonesia dipandang sebagai negara teknokratik yang mengacu pada periode waktu transisi kekuasaan dari Orde Lama ke masa awal kekuasaan Orde Baru. Pada masa itu para teknokrat lulusan Amerika mula-mula diangkat menjadi perencana di BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional). Kemudian dalam implementasinya, para teknokrat diposisikan sebagai menteri-menteri bidang ekonomi dan pembangunan. Inilah dasarnya mengapa Indonesia waktu itu disebut sebagai negara teknokratik.

(34)

dipilih karena memang menjanjikan pertumbuhan di dalam konteks sosial ekonomi yang bisa diterima oleh penguasa.

[2] Negara Birokratik (Bureaucratic Polity - Jackson, 1978). Indonesia dipandang sebagai negara birokratik berdasarkan analisisnya pada pemisahan masyarakat menjadi elit dan rakyat jelata. Elit adalah orang-orang yang menjabat dalam birokrasi negara, yang berkuasa, dan yang kedua mengacu kepada masyarakat di luar birokrasi itu, yang dikuasai. Kemudian, aktivitas politik ditentukan oleh hubungan patron-klien (patrimonial), sehingga negara sesungguhnya dikuasai oleh birokrat yang memimpin demi kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, bentuk penyelenggaraan negara yang sedemikian itu disebut sebagai negara birokratik. Adam Schwartz (1994) dalam bukunya “A Nation in W aiting: Indonesia in 1990s” tampaknya juga menggunakan teori ini ketika menggambarkan bagaimana sebuah negara digambarkan sebagai abdi (pembantu) yang sedang menantikan titah elitnya (tuannya).

Robison juga skeptis dengan pendekatan ini, karena tidak sedikit proyek pembangunan di Indonesia yang tidak tampak berhubungan dengan jaringan patron-klien yang hanya mengejar keuntungan. Negara, kenyataannya, melakukan kewajiban minimum tertentu untuk menyediakan infrastruktur materiaal, legal dan ideologikal, demi suatu kestabilan sosial (1986: 111-113).

[3] Negara Komparador (Comprador State – Franke, 1972; Ransome, 1970). Indonesia dipandang sebagai negara komprador dengan menggunakan pandangan teori dependensi dalam pembangunan kapitalisme Indonesia. Teori ini melihat bahwa menyatunya kapitalisme Indonesia ke dalam sistem (kapitalisme) global membuat ekonomi Indonesia berada di bawah kepentingan modal internasional, demikian juga para borjuis domestik Indonesia menjadi subordinasi dalam kerjasamanya sebagai komprador.4

4 Memfasilitasi masuknya modal internasinal untuk memperoleh upah atau penyatuan

(35)

Robison berpendapat bahwa bukti untuk itu memang ada, khususnya pada masa transisi kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Tetapi sesudah kebangkitan ekonomi Indonesia sebagai akibat dari kenaikan harga minyak dunia mulai pertengahan 1970an, pendekatan ini sudah kehilangan kemampuan untuk menjelaskannya. M isalnya, kebijakan ekonomi Indonesia kemudian berubah dengan membatasi modal asing, melindungi, menyubsidi dan mendanai borjuis nasional dan mengakumulasikan modal negara, ketika terjadi kebangkitan ekonomi sebagai akibat kenaikan harga minyak mentah dunia. Akibatnya, modal nasional dan borjuis nasional juga berkembang, meskipun modal dan keuangan korporasi internasional tetap mendominasi, khususnya di sektor energi dan sumberdaya alam (1986: 114-116).

[4] Negara dalam Negara (State qua State - Anderson, 1982). Pendekatan ini melihat bahwa para birokrat politik di Indonesia adalah kekuatan sosial politik yang kohesif dan koheren di dalam aparatur negara. Tiga faktor yang menjadi basis tindakan mereka adalah [a] menjaga negara, [b] menjaga dominasi tentara, dan [c] menjaga posisi individu dan kelompok mereka dalam aparatur negara. Dengan dasar pemikiran seperti inilah Anderson memperkenalkan konsep state qua state untuk menunjukkan bahwa negara itu dikuasai dan seolah-olah dimiliki oleh para birokrat pemerintahan.

Robison mengakui bahwa dasar kelembagaan (negara, militer, dan faksi-faksi) yang ditunjukkan oleh Anderson merupakan hal penting dalam proses pengambilan keputusan penguasa Orde Baru. Tetapi konsep ‘negara di dalam negara’ yang dia tawarkan tidak cukup mampu untuk menjelaskan sendiri kondisi politik ekonomi negara ini tanpa memperhitungkan konteks sejarah dan sosial di mana kelas adalah faktor krusial (1986: 116-117). Oleh karena itu, Robison menawarkan satu konsep baru dengan kelas sebagai inti dari argumentasinya.

(36)

sejak pra-kolonial, kolonial, Orde Lama sampai Orde Baru. Ia menyatakan bahwa:

“Orde Baru tidak membawa suatu revolusi kapitalis. Ia mengatur ulang suatu pranata sosial dari para kapitalis yang ada dan mengkonsolidasikan struktur kelas yang ada maupun otoritas politik para aparatnya sendiri. Bentuk persisnya rekonstruksi kapitalisme bukan merupakan hasil kreasi para penguasa politik baru, tetapi didorong dari keseluruhan proses konflik maupun koalisi politik dan sosial yang tidak hanya melibatkan kelas domestik dan kekuatan politik tetapi juga kekuatan modal internasinal: IM F, Bank Dunia, IGGI, dan korporasi internasional (1986: 118).

Robison menekankan bahwa kekuasaan negara dalam masyarakat kapitalis Indonesia memang tidak bisa secara langsung disederhanakan menjadi kekuasaan kelas. Negara adalah suatu sistem dominasi politik yang secara relatif otonom dari kekuatan kelas. M eskipun, kenyataan di Indonesia saat itu menunjukkan bahwa negara ada dalam konteks yang khas dari suatu sistem hubungan kelas yang membatasi, membentuk dan menguji kekuasaan negara.

Dua puluh tahun kemudian, Hadiz & Robison (2005) masih melihat kondisi politik ekonomi Indonesia sesudah tumbangnya kekuasaan Orde Baru di tahun 1998. M ereka mencoba mencari penjelasan terhadap suatu paradoks tentang pembangunan di Indonesia, yaitu percampuran antara reformasi (neo)-liberal, pemerintahan otoriter, dan politik predator. M eskipun pemerintahan Orde Baru 1965-1997 telah lewat dan digantikan oleh Orde Reformasi dan Otonomi Daerah, tetapi mereka masih melihat dan percaya bahwa paradoks ini masih relevan hingga kini, seperti diungkap oleh Collins (2008) melalui pengamatannya di Provinsi Sumatera Selatan maupun Suwondo (2005) di Kota Salatiga (lihat seksi berikut). Hal ini, menurut analisis Hadiz & Robison, disebabkan oleh, sekurang-kurangnya, beberapa alasan berikut.

(37)

konservatif, sehingga mereka tidak tumbuh menjadi kekuatan politik yang menuntut reformasi. Kelas menengah pada masa itu adalah kelompok masyarakat yang paling diuntungkan oleh sistem, sistem yang diungkapkan oleh M ackie & M acIntyre (1994: 3) sebagai:

“The socio-political system that has emerged provides rewards to those who conform or at least do not rock the boat, but penalises dissidents or critics heavily”.

Kedua, para korporat internasional juga cukup senang bekerjasama dengan Soeharto dan berbisnis dengan para kroninya. Karena, yang penting bagi mereka adalah keamanan (social order), kejelasan (predictability), dan perlindungan hak kepemilikan (the protection of property rights). Bagi mereka, yang penting adalah suatu sistem yang menjamin kebebasan pasar, tapi sekaligus terkendali, sehingga oposisi potensial seperti Organisasi Buruh, Kelompok Pencinta Lingkungan, dan kelompok lain yang menentang ketimpangan sosial sebagai akibat dari pasar bebas, bisa dikendalikan.

Ketiga, basis sosial dan politik untuk mendukung pemerintahan yang efektif di Indonesia, seperti dituntut oleh alasan kedua, belum ada. Bukti atas argumentasi ini bisa dilihat, misalnya, dengan banyaknya partai politik yang muncul sejak Orde Reformasi, bukan berdasarkan flatform atau ideologi yang berbeda, bukan pula didukung oleh usulan kebijakan atau cara pendekatan yang berbeda, tetapi oleh kepentingan kelompok. Partai politik masih cenderung digunakan oleh para elitnya untuk memperoleh kekuasaan politik, dan akhirnya akses ekonomi bagi dirinya, keluarganya dan kelompoknya. Kedua, koalisi partai-partai politik menjelang pemilihan presiden-wakil presiden pada 8 Juli 2009, secara terbuka, mendukung pernyataan yang pertama, bahwa koalisi antar partai dibangun, utamanya, untuk menegosiasikan jumlah suara demi jabatan politik.

(38)

melahirkan demokrasi dan otonomi daerah, meskipun masih terbatas secara prosedural. Demokrasi yang dibarengi dengan kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi, telah membuat media, baik cetak maupun elektronik, mampu mengungkap berbagai praktik penyelenggaraan negara dari Sabang di Provinsi Nanggro Aceh Darussalam sampai M erauke di Provinsi Papua. Salah satu praktik yang mau diberantas oleh semangat reformasi adalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Tetapi, semangat itu ternyata tidak dibarengi dengan kinerja aparat penegak hukum (Polisi, Kejaksaan, dan Kehakiman) kita yang menjanjikan perbaikan. Berbagai kasus yang terungkap semenjak tahun 2000 justru menunjukkan bahwa aparat hukum kita tidak kebal terhadap rayuan suap.

Trias Politica – eksekutif, legislatif dan yudikatif, yang menjadi pilar dalam ranah negara ternyata telah bobrok sebagai akibat dari ‘budaya KKN’ yang telah mengakar di Jaman Orde Baru selama 30 tahun. Sekilas keadaan ini mendekati perspektif negara komprador seperti diutarakan oleh Franke (1972) dan Ransome (1970). Secara internasional, para aparat negara tidak jarang dininabobokan oleh nafsu untuk mengumpulkan rente dari kapitalisme global, dan, secara nasional, mereka sangat getol dalam menciptakan ‘mesin’ untuk menghisap berbagai sumberdaya bagi kemakmuran dirinya, keluarganya, dan kelompoknya sendiri. Saya berpandangan bahwa keadaan ini justru lebih tepat disebut sebagai ‘Negara Kleptokratik atau Negara Predator’, karena situasi riilnya lebih buruk daripada konsep Negara Komprador. Para elit di tiga pilar kekuasaan negara itu seperti ‘singa berbulu domba’. Dalam keadaan biasa tampak jinak dan baik-baik, tetapi berubah ganas ketika mereka menghadapi tahta, harta dan tentu saja kuasa. Para pemegang kuasa yang dipilih secara ‘demokratis’ untuk menyejahterakan rakyat justru menjadi parasit, yang sibuk dengan agenda egosentrismenya sendiri.

(39)

kekuasaan politik maupun ekonomi. Susan Rose-Ackerman (1998) mengidentifikasi terjadinya berbagai ‘suap sebagai bagian dari investasi’ yang muncul dalam beberapa kondisi struktural berikut, yang sayangnya tumbuh subur di Indonesia sampai sekarang.

Pertama, suap membersihkan pasar (bribes clear the market). Pemerintah mengalokasikan keuntungan langka kepada para individu atau beberapa perusahaan menggunakan kriteria legal, seperti INPRES, SK M enteri, dan sebagainya. Kunio (1991) dan Robison (1986) telah membuktikan dengan sangat meyakinkan atas kondisi struktural terjadinya suap jenis ini.

Kedua, suap berperan sebagai pembayaran insentif (bribes act as an incentive payment). Pegawai tidak memiliki cukup dorongan untuk bekerja dengan baik karena upah atau gaji yang rendah dan pengawasan yang kurang.

Ketiga, suap menurunkan biaya bagi mereka yang membayarnya (bribes lower the costs to those who pay them). Para individu dan perusahaan swasta berusaha menurunkan biaya dari pajak, kewajiban-kewajiban, dan aturan-aturan yang diterapkan kepada mereka.

Keempat, suap mempengaruhi tingkat rente monopoli dan alokasinya di antara para investor privat dengan pegawai pemerintah (bribes affect the level of monopoly rents and their allocation between private investors and public officials). Pemerintah bisa menyalurkan keuntungan finansial yang besar kepada perusahaan-perusahaan swasta melalui kontrak, privatisasi, dan konsesi.

Kelima, suap terhadap para politisi membeli pengaruh, dan suap dari para politisi membeli suara (bribery of politician buys influence, and bribery by politician buys votes). Suap bisa mengganti bentuk-bentuk legal pengaruh politik, dan

(40)

STUDI TENTANG MEM BURU RENTE DI ARAS LOKAL

Dalam bidang politik, Suwondo (2005) mengamati proses Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2004 di aras lokal, khususnya di Kota Salatiga. Dia menyatakan bahwa proses Pemilu Legislatif itu berlangsung seperti proses Pemilihan Kepala Desa (Pilkades), yang sarat dengan aroma politik uang (struktur #5 di atas). Politik uang ini, setelah dia pelajari, ternyata muncul sebagai produk samping dari Undang Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dengan tiga karakteristik penting. Pertama, pemilih tidak hanya memilih (gambar) Partai Politik, tetapi juga boleh memilih calon anggota legislatifnya (Caleg). Kedua, daerah pemilihan dipecah dari satu (untuk Provinsi Jawa Tengah) menjadi sepuluh daerah pemilihan (Dapil) menjadikan tingkat kompetisi antar Caleg dari Partai Politik yang berbeda maupun di dalam satu Partai Politik yang sama menjadi sangat ketat. Ketiga, diberlakukannya bilangan pembagi pemilih (BPP), yang memungkinkan seorang Caleg terpilih meskipun berada pada nomor urut rendah dalam Daftar Caleg dari Partai Politik yang diwakili asalkan dia memperoleh suara sekurang-kurangnya sebesar BPP. Inilah yang oleh Suwondo dianggap sebagai salah satu sebab merebaknya politik uang dalam Pemilu di Indonesia. Politik uang ini telah menjadi determinan penting bagi berhasilnya seorang Caleg dengan belanja besar menjadi anggota DPR(D).

(41)

Temuan Suwondo di Kota Salatiga ini tentu saja bisa ditemukan di mana pun di Indonesia. Collins (2008), misalnya, melakukan studi politik ekonomi di Provinsi Sumatera Selatan dan menemukan bagaimana para elit daerah telah mempraktikkan politik predator seperti yang dicontohkan oleh rezim Orde Baru. Para elit lokal itu menghisap sumberdaya daerah dan potensi daerah melalui sekurangnya tiga modus operandi. Pertama, skenario yang mereka ciptakan sendiri, yaitu membuat dan menerapkan kebijakan yang menguntungkan mereka, para elit. Collins memberi sub-judul “M emanen Sumberdaya Setempat” melalui dua contoh kasus Lebak Lebung di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan Kabupaten M usi Banyuasin (M uba) serta

Sarang Burung W alet di tiga desa di Kabupaten Lahat, untuk mendukung modus yang pertama ini.

Kedua, mengakali aturan yang ada dengan bahasa ‘uang’. Collins (2008) mengamati bagaimana para elit Kabupaten M usi Rawas (M ura), misalnya, memanfaatkan momentum pemilihan Bupati yang telah jatuh tempo dengan Undang-Undang baru, yang belum mulai diberlakukan, yaitu UU No 22 dan No 25 Tahun 1999. M enurut UU itu Bupati dipilih oleh DPRD. Setelah melalui seluruh proses yang telah ditetapkan, akhirnya seorang kandidat memenangkan pemilihan, meskipun ditolak oleh dua kandidat lainnya dengan alasan (1) pensiunan tentara, (2) bukan putra daerah, dan (3) melakukan politik uang. Setelah melalui penyelidikan, ternyata justru para kandidat yang kalah lah yang terbukti melakukan politik uang. Sampai salah seorang kandidat yang kalah menyampaikan alasan (excuse) “bahwa para anggota DPRD itu sangat rakus; mereka menerima uang dari semua calon, tetapi akhirnya memilih calon menurut kemauan mereka sendiri”.

(42)

Laporan Pertanggung-jawaban tahunannya. Terbukti, proposal itu disetujui Gubernur juga sebagai langkah untuk memperoleh persetujuan atas Laporan Pertanggungjawabannya. Skandal itu terbongkar dan mendorong LBH membentuk Tim Advokasi untuk Penyelamat Uang Rakyat (Tempur) dan membawa kasus itu ke Pengadilan Pidana dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Namun sekali lagi Collins menulis bahwa politik uang telah mampu membujuk Tempur untuk menjadi pembela Gubernur sebelum perkara itu disidangkan di Pengadilan dan akhirnya kasus itu didrop menjadi

happy ending bagi para kleptokrat.

Kasus-kasus memburu rente lain di Provinsi Sumatera Selatan juga diungkap oleh Collins, seperti Proyek PON XVI tahun 2004, LSM Pelat M erah, Sistem Pengadilan yang Korup, M asalah Beking (Koneksi Preman), Preman dan Politik, dan M afia Palembang. Semuanya menjadi bukti bahwa meskipun pemerintahan predator Orde Baru telah tumbang digantikan oleh rezim demokrasi dan otonomi daerah, tetapi kebiasaan parasitik para elit, yang semula hanya tampak dilakukan di tingkat nasional, telah menjalar ke daerah-daerah otonom. Bibit KKN yang ditanam oleh pemerintahan Orde Baru kini tumbuh subur di daerah-daerah melalui sebuah eksperimen demokrasi yang disebut Otonomi Daerah ala Indonesia.

RANGKUM AN

Bab 2 ini secara garis besar telah menggambarkan sketsa tentang sejarah perkembangan studi (literatur) perilaku memburu rente, mulai dari kelahiran yang dibidani oleh Tullock tahun 1967, dibaptis oleh Krueger pada tahun 1974, dan dikonfirmasi di Virginia pada tahun 1980. Sketsa, yang bagi sebagian pembaca mungkin masih samar-samar, itu kiranya bisa dirangkum ke dalam beberapa pokok pikiran berikut.

(43)

‘pinggiran’ waktu itu, mengkritisi suatu konsep yang dianggap mapan, yaitu ‘deadweight loss’ yang dipopulerkan oleh seorang ekonom dari universitas prestisius. Bisa dimengerti kalau pada awalnya, kritiknya itu dianggap seperti seseorang yang berteriak di tengah hutan belantara. Suaranya, sekeras apa pun, pasti tersamar oleh keriuhan suara satwa liar yang lebih keras, dan tidak akan tertangkap oleh kebanyakan orang. Hanya orang-orang yang peka dan waspada yang mampu menangkap adanya suara yang berbeda di tengah keriuhan suara di hutan itu. Adalah Krueger dan Posner yang mengenali suara Tullock di tengah belantara itu, kemudian ikut berteriak tentang ‘keberadaan mereka’, dan akhirnya perhatian pun diperoleh dari para aktivis penjelajah belantara itu.

Kedua, Krueger tidak hanya mengenali kebenaran atas suara yang berbeda dari Tullock di tengah belantara ilmu ekonomi, tetapi bahkan membaptisnya dengan nama memburu rente atau rent seeking. Ia juga menawarkan model untuk menghitung kerugian sosial sebagai akibat dari perilaku para agensi pemburu rente itu. Tidak kalah penting dari semua itu, Krueger menunjukkan bahwa banyak kebijakan negara yang berakibat pada mengalirnya keuntungan bagi beberapa agensi (perseorangan, perusahaan, atau lembaga) dan merugikan pihak lainnya. Aliran keuntungan inilah yang telah menarik banyak agensi untuk bersaing, baik secara legal maupun ilegal, dalam mempengaruhi negara untuk menghasilkan kebijakan yang memihak kepada mereka.

Ketiga, Krueger juga menginspirasi beberapa ilmuwan, khususnya yang berafiliasi dengan The Center for Study of Public Choice, Universitas Virginia, untuk mengadakan seminar di tahun 1978 bertema “Toward a Theory of the Rent Seeking Society”. Output seminar ini adalah penerbitan 22 artikel dalam sebuah buku berjudul sama di tahun 1980. Apabila Krueger membaptis bidang studi baru ini dengan nama Rent Seeking atau memburu rente, maka seminar di tahun 1978 dan penerbitan buku di tahun 1980 ini menjadi penguatan atau konfirmasinya.

(44)

kebijakan yang memihak kepada mereka. Di dalam proses ini metode eksperimen menjadi salah satu pendekatan paling penting. Di situ berbagai asumsi tentang jumlah berbagai sifat agensi (swasta maupun negara), berbagai variasi aturan permainan, berbagai sifat persaingan (atau kerjasama), berbagai skenario pembagian keuntungan, bahkan waktu disimulasikan dalam model eksperimen untuk menghasilkan pendekatan yang paling sahih.

Kemudian, seperti proses yang sudah mentradisi, rasionalitas yang berkembang dalam ilmu ekonomi hampir selalu memiliki tingkat penerapan yang tinggi di dalam ilmu sosial lainnya. Analisis memburu rente ini tidak terkecuali; dalam waktu yang hampir bersamaan pendekatan ini telah diterapkan secara luas di berbagai bidang ilmu khususnya politik, hukum dan pemerintahan, misalnya untuk memperkaya analisis tentang politik predator atau pemerintahan kleptokratik di banyak negara sedang berkembang, seperti Indonesia.

(45)

maupun lokal, telah menjadi parasit bagi pembangunan bangsa, menjadi pengkhianat bagi kemakmuran bangsa Indonesia.

Akhirnya, semua literatur yang sudah disinggung dalam bab 2 ini telah mengindikasikan, langsung maupun tidak langsung, bahwa studi tentang memburu rente, hampir seluruhnya dilakukan pada aras makro. Tidak satu studi pun yang telah diuraikan berupaya untuk menganalisis perilaku memburu rente secara mikro, meso, dan makro sekaligus, seperti dilakukan oleh studi ini. Studi ini memandang atau tepatnya berhipotesis bahwa perilaku agensi di ranah mikro itu menular, membesar, dan berakumulasi di ranah meso dan makro. Sehingga, kerugian kecil di ranah mikro yang disebut kriwikan menjadi lebih besar dan semakin besar untuk menjadi grojogan di ranah makro.

Gambar

Gambar 2.1. Biaya Sosial dari Monopoli & Pencurian

Referensi

Dokumen terkait

Perilaku salah kaprah yang didukung oleh mentalitas terabas dengan motto “cepat, enak, dan mudah”, apalagi ditambah dengan “murah” itu telah menjadi nilai-nilai baru

Menggunakan suatu model fungsi sukses persaingan ( a general contest success function ) di mana kemungkinan untuk sukses itu meningkat sejalan dengan usaha memburu

dialami baik dirinya sendiri, keluarga atau orang yang dianggap kerabat oleh orang Jawa, orang Jawa umumnya memiliki sikap atau pandangan mengenai masalah yang dialami sebagai

Pada lingkungan masyarakat desa yang masih tradisional, bahkan terabaikan dari pengakuan masayrakat dan berbagai pihak lainnya ternyata lembaga adat merupakan mata-rantai yang

Sedangkan prinsip yang kedua adalah untuk melindungi transaksi-transaksi perdagangan 44 : yaitu asas bahwa seseorang yang memperoleh suatu barang atau hak secara

Setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, sandang, papan,

Empati adalah kemampuan diri yang membuat diri seseorang merasa atau mengidentifikasikan dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang

perilaku orang dewasa yang minum minuman keras. disekitarnya, perilaku remaja tersebut merasa