• Tidak ada hasil yang ditemukan

13)Wawancara dengan Oyang Suriti (74 Tahun), Tuan Tanah, Kepala Adat Dusun

Banggoi, Maweng, pada tanggal 2 Januari 2009.

14)Pada saat ini Gunung Mawoti disebut dengan nama Gunung SS. Maknanya yaitu

jalan disekitar gunung ini Mawoti berliku-liku seperti huruf S, dan selain itu juga suhu udara di sekitar Gunung Mawoti sangat dingin seperti es karena sering ditutupi kabut

kelahirannya bersamaan dengan evolusi daratan Seram. Manusia Batti sebagai leluhur (Tata Nusu Si) bermakna kesemestaan atau merupakan

makrokosmos bagi Orang Bati. Sebab melalui perjalanan kosmos telah terjadi pertemuan antara Gunung Laki-Laki dan Gunung Perempuan secara rahasia. Untuk itu Gunung Bati merupakan makrokosmos, dan

Alifuru Bati atau Orang Bati merupakan mikrokosmos. Orang Bati sangat yakin bahwa “Manusia Batti” tidak pernah meninggal dunia, dan ia tetap berada sampai saat ini. Bahkan Manusia Batti sebagai leluhur (Tata Nusu Si) senantiasa berada dengan mereka sebagai anak-cucu atau keturunannya setiap saat, di mana mereka berada. Antara

makrokosmos dan mikrokosmos maka Orang Bati melaksanakan

Esuriun, karena di dalam Esuriun Orang Bati ada fakur atau mohon doa restu pada leluhurnya agar mereka dapat bertahan hidup di Bumi Seram.

Manusia Batti adalah leluhur Orang Bati yang mereka agung- agungkan selama ini karena keberadaannya tidak pernah berubah se- panjang zaman. Dalam pandangan Orang Bati mengenai alam semesta (kosmos) maka semua gunung, terutama Gunung Bati (Gunung Laki- Laki dan Gunung Perempuan), Sungai (Alsul) Masiwang, Sungai Bobot dan lainnya, batu, pasir, pohon, hewan, dan segala yang berada dalam lingkungan alam (kosmos) merupakan sumber kehidupan utama bagi manusia yang harus mereka jaga (kajaga), lindungi (kalindong) se- hingga setiap Orang Bati memiliki kewajiban untuk pelihara, rawat, dan dilestarikan guna mewujudkan kelangsungan hidup dari anak cucu pewaris tradisi dan kebudayaan Bati agar gunung dan tanah atau

Gunung Tanah sebagai tampa putus pusa (tempat kelahiran, tempat asal, tanah kelahiran) tetap memberi penguatan dalam diri (spirit) dalam menjalani kehidupan sepanjang masa. Orang Bati sebagai ben- teng terakhir Orang-Orang Seram yang tidak dapat ditembusi dari masa ke masa senantiasa berperan sebagai penjaga Pulau Seram atau

Nusa Ina (Pulau Ibu) di Tanah Maluku selalu mengingatkan bahwa

Wanuya namata dotuk kita tei, tapi kita tamata tatotuk wanuya

(kampung tidak mati buang katorang, tetapi katorang yang mati buang kampung).

Dalam kosmologi Orang Bati, makna terdalam dari pandangan tersebut di atas yaitu Gunung Tanah, tempat asal, tanah kelahiran, tanah tumpah darah. Sebagai tampa putus pusa tidak pernah mati atau meninggal. Tetapi kita sebagai manusia (mancia) yang mati atau me- ninggal dunia dan pergi meninggalkan Gunung Tanah, tempat asal, tanah kelahiran, tanah tumpah darah selama-lamanya. Konsep Gunung Tanah menyatu dengan kosmologi Orang Bati adalah abadi sepanjang masa, dan menjadi bagian dari dunia Orang Bati sehari-hari sehingga memberi kekuatan pada Orang Bati secara individu, kelompok, mau- pun komunitas untuk bertahan hidup (survival strategy).

Gunung Bati sebagai Gunung Tanah adalah makrokosmos bagi kehidupan Orang Bati, karena di tempat ini berdiamnya roh para leluhur mereka yang dinamakan Tata Nusu Si. Untuk itu Gunung Bati dipandang sakral (keramat) karena memiliki makna sebagai Gunung Manusia di mana pada tempat ini Manusia Awal atau Alifuru Bati dilahirkan. Pandangan seperti ini identik dengan masyarakat Seram pada umumnya mengenai hakikat Seram Gunung Manusia sehingga Gunung Murkele Kecil dan Gunung Murkele Beser dianggap sakral (keramat) dan dipercaya pada tempat tersebut berdiamnya roh para leluhur dari Manusia Awal atau Alifuru atau Alifuru Ina diciptakan oleh Mahakuasa Pencipta Alam Semesta dan Manusia yang dimaknai Orang Bati sebagai Tata Nusu Si. Pemaknaan yang diberikan Orang Bati sebagai penghormatan tertinggi berdasarkan kosmologi Orang Bati identik dengan pemaknaan dari suku-suku atau subsuku lainnya di Pulau Seram maupun Maluku yang mendiami negeri-negeri adat dengan kepercayaan asli pada Upu Lanite, Kapua Upu Ila Kahuresi,

Upu Kuahatana, Ina Puhun Ama Lahatala, Aupu Lahatala.

Pada tataran mikrokosmos, yang berperan mengisi kehidupan di alam semesta ini dengan hati yang baik, bersih, jujur, dan sebagainya sebagai basis nilai yang mendasar dan sangat penting ketika menjalani kehidupan ini. Manusia dipandang tidak ada apa-apanya apabila ke- hidupan ini tidak diisi dengan nilai-nilai dasar sebagai sumber utama keyakinan diri, norma, perilaku dan sebagainya yang dapat diwujud- kan selama ia hidup di dunia ini. Kehidupan manusia maupun masya-

rakat menjadi hampa, dan berada di ruang yang kosong apabila hakikat tentang nilai ini jauh dari mikrokosmos tersebut di atas. Untuk itu jangan heran apabila Orang Bati tetap mengagung-agungkan nilai yang melekat pada “Manusia Batti” karena merupakan sumber dan pancaran hakikat hidup manusia tentang benar dan salah, baik dan buruk, langit dan bumi, dingin dan panas, lautan dan daratan, gunung dan pantai, dan seterusnya ketika mereka menanggapi lingkungannya setiap saat.

Berdasarkan pemahaman Orang Bati tentang makrokosmos yang menempatkan leluhur atau Tata Nusu Si yaitu Manusia Batti bersifat kesemestaan, dan mikrokosmos adalah Alifuru Bati atau Orang Bati. Esuriun Orang Bati berfungsi dan berperan sebagai mezokosmos. Nilai- nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati meliputi falsafah, sejarah, tradisi, adat-istiadat, budaya, dan sebagainya yang menjadi inti kebudayaan Orang Bati di Seram Timur teraktualisasi melalui perilaku hidup kesehariannya. Untuk itu dalam interaksi sosial, sebutan Anak Esuriun merupakan implementasi nilai-nilai kultural yang menjadi basis utama pembentukan identitas maupun perilaku Orang Bati se- bagai manusia, sukubangsa untuk bertindak menanggapi lingkungan atau kosmos di mana mereka berada.

Sampai saat ini di Tana (Tanah) Bati, basis nilai yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati menjadi bagian penting dari hakikat hidup atau orientasi nilai budaya Orang Bati dengan lingkungan di mana mereka berada, dan menjadi mata-rantai penghubung antara

makrokosmos dan mikrokosmos untuk mengintegrasikan struktur sosial dalam kehidupan Orang Bati. Struktur ini fungsional dalam sistem kehidupan socio-cultural di Tana (Tanah) Bati karena masing- masing orang yang berada dalam marga maupun antar marga di Tana (Tanah) Bati memahami eksistensi masing-masing untuk menciptakan keseimbangan hidup dalam sistem sosial yang mereka anut.

Dikatakan bahwa Esuriun Orang Bati merupakan akar budaya karena terdapat nilai, norma, dan lainnya sebagai pranata yang benar- benar hidup dan terlembagakan dalam adat sehingga terus berperan sebagai pembentuk maupun turut membentuk perilaku Orang Bati secara individu maupun kelompok sosial dalam pergaulan hidup di-

antara sesama Orang Bati maupun antara Orang Bati dengan orang luar. Menanggapi setiap lingkungan di mana mereka berada. Sampai saat ini budaya Esuriun di Tana (Tanah) Bati senantiasa dilakukan melalui ritus-ritus penting dalam hidup yang berkaitan dengan makna kelangsungan hidup Orang Bati yang mendiami kawasan hutan hujan di Pulau Seram Bagian Timur.

Kosmologi Siwa-Lima di Tana (Tanah Bati)

Setiap masyarakat memiliki pandangan yang berbeda tentang bumi (alam semesta) di mana mereka berada. Begitu juga Orang Seram memiliki pandangan tentang alam semesta (kosmologi) yang berisi bumi dan manusia yang dikonsepsikan sebagai dunia mereka sehari- hari dan senantiasa menyatu. Pandangan Orang Seram tentang alam semesta (kosmologi) yang menempatkan Bumi Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) sebagai tampa putus pusa, atau tampa (tempat) asal, tanah asal, tanah kelahiran bagi anak cucu keturunan Manusia Awal atau Alifuru atau Alifuru Ina bersifat total.

Dalam kosmologi Orang Bati atau Suku Bati sebagai Orang Seram yaitu tampa putus pusa telah menjadi perekat dalam menelusuri kehidupan awal yang dijalani oleh keturunan Manusia Awal Alifuru

atau Alifuru Ina di Seram-Maluku. Untuk itu Pulau Seram dinamakan sebagai Gunung Manusia. Orang Bati atau Suku Bati adalah Orang Gunung. Bersumber pada falsafah Seram Gunung Manusia berdasarkan kosmologi Orang Seram, khususnya Orang Bati atau Suku Bati yang awalnya terdiri dari kelompok Patasiwa dan Patalima menyatu menjadi

Siwa-Lima di Tana (Tanah) Bati telah berlangsung di tempat kediaman awal di Samos yang berada sekitar Gunung Bati yaitu masing-masing kelompok sosial Siwa (Patasiwa) dan kelompok sosial Lima (Patalima)15

15)Lebih mendalam tentang kedua hal ini dapat dilihat pada bab V tentang Bumi Seram

mendiami tempat sendiri-sendiri. Esuriun Orang Bati kemudian menyatukan (mengintegrasikan) kelompok Patasiwa (Sembilan Bagian) dan kelompok Patalima (Lima Bagian) menjadi Siwa-Lima dengan

identitas Orang Bati adalah Suku Bati yang memiliki eksistensi sebagai manusia maupun sukubangsa, dan bukan orang ilang-ilang (hilang- hilang) adalah stigma (anggapan negatif) orang luar yang mencampur- adukan konsep Bati dan Batti ketika melakukan interaksi sosial. Dampaknya yaitu Orang Bati menjadi korban karena terjadi kesalahan interpretasi terhadap konsep Bati dan Batti yang selama ini tidak dimengerti maupun tidak dipahami oleh orang luar (Orang Maluku) sehingga penamaan Orang Bati menjadi suatu konsep yang dianggap misteri.

Proses integrasi sosial yang dicapai Orang Bati atau Suku Bati dapat dikatakan final, karena secara kultural hal itu dilakukan secara adat, dan seluruh anggota terlibat di dalam sehingga dinamakan adat

Esuriun. Adat Esuriun sangat mengikat kedua kelompok sosial (Siwa- Lima) yang awalnya berbeda menjadi satu melalui Esuriun Orang Bati. Model integrasi seperti dicapai Orang Bati atau Suku Bati adalah integrasi kultural, karena kelompok sosial (Patasiwa dan Patalima) tersebut pada awalnya berbeda dalam tradisi, adat-istiadat, budaya, dan lainnya. Tipe integrasi kultural yang dicapai Orang Bati seperti ini tidak dijumpai pada lingkungan masyarakat manapun di wilayah Kepulauan Maluku.

Dasar dari integrasi kultural yang dicapai Orang Bati bersumber dari faham roina kakal yang kuat, atau orang-orang yang memiliki pertalian darah atau hubungan darah (genealogis) dalam perspektif integrasi kultural dimaksudkan untuk mewujudkan integrasi eksistensial sebagai tujuan akhir dari Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa sehingga Esuriun Orang Bati yang telah me- nyatukan kelompok Patasiwa dan Patalima di Tana (Tanah) Bati sebagai satu identitas memberikan penguatan pada ide peneliti untuk mengemukakan bahwa Patasiwa dan Patalima adalah sistem pengelompok asli dan khas dari Alifuru Seram.

Realitas yang dijumpai di Tana (Tanah) Bati ini cukup beralasan karena sejak Orang Bati melaksanakan Esuriun Orang Bati pada masa lampau ternyata kelompok Patasiwa dan Patalima sudah ada di Samos

evolusi daratan Seram atau setelah daratan Seram mulai mengering. Apabila peristiwa Esuriun Orang Bati yang telah menyatukan kelompok Patasiwa dan Patalima menjadi Siwa-Lima yang terintegrasi secara kultural maupun eksistensial dengan identitas Bati dibandingkan dengan munculnya sistem pengelompokan yang memiliki makna sama dengan Patasiwa dan Patalima, maka dapat dikatakan bahwa Patasiwa

dan Patalima adalah sistem pengelompokan khas dari Suku Alifuru

yang mendiami Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu), kemudian sistem ini di bawa ke luar dari Pulau Seram ke tempat-tempat lainnya di Kepulauan Maluku oleh keturunan Alifuru atau Alifuru Ina dengan dua alasan yaitu; (1) Proses penyebaran generasi para kapitan yang ke luar dari Pulau Seram dengan misi untuk menjaga dan melindungi Pulau Seran atau Nusa Ina (Pulau Ibu) dari serbuan orang luar; (2) Proses migrasi penduduk keturunan Alifuru atau Alifuru Ina karena terjadi pergolakan, atau pertikaian antar kelompok pata di Pulau Seram pada masa lampau. Berdasarkan data lapangan yang dikemukakan Orang Bati, dalam sejarah lisan (oral story) di Tana (Tanah) Bati terjadi proses penyebaran Alifuru sampai dengan 7 generasi, proses ini me- miliki kaitan dengan kisah Esuriun Orang Bati.

Kisah Esiriun Orang Bati adalah peristiwa nyata yang benar- benar terjadi sehingga anak cucu yang menganut tradisi dan kebudayaan Bati terus melestarikannya dalam kehidupan mereka sampai dengan penelitian ini dilakukan, kemudian Orang Bati menjelaskannya secara detail karena berkaitan dengan kosmologi, maupun sejarah lisan (oral story) yang terpelihara secara baik dari satu generasi ke generasi berikutnya agar Orang Bati senantiasa mengenang perjalanan para leluhur mereka sejak evolusi daratan Seram sampai saat ini. Tempat berkumpul Orang Patasiwa dan Patalima di Tana (Bati) yang telah menyatu dalam identitas Orang Bati merupakan baileu

sebagai tempat yang terdapat dalam hutan (esu) di Bati kilusi (Bati Awal). Kawasan hutan (esu) yang digunakan sebagai tempat bermusyawarah bagi Orang Bati dapat dilihat pada gambar 4 a dan 4 b berikut ini:

Gambar 4 a

Alam Terbuka yang Terdapat Dalam Kawasan Hutan (Esu) Adalah Tempat Bermusyawarah bagi Orang Bati

Gambar 4 b

Untuk mebicarakan persoalan penting yang berkaitan dengan adat, sosial kemasyarakatan, dan sebagainya dari Orang Bati yang terdiri dari kelompok Siwa-Lima yang telah menyatu di Tana (Tanah) Bati. Wilayah hutan di mana terdapat pohon pakis hutan tersebut merupakan tempat yang sakral karena itu tidak boleh di datangi secara sembarangan. Pada tempat ini semua keperluan yang berkaitan dengan aktivitas warga maupun dengan leluhur dibicarakan secara bersama, dan keputusan diambil pada tempat tersebut. Dalam kehidupan Orang Bati, konsep Baileu tidak berwujud suatu bangunan, tetapi alam ter- buka yang berada di tengah hutan (esu) dalam wilayah kekuasaan Bati Awal yang terdapat di Tana (Tanah) Bati.

Untuk itu kosmos hutan (esu) di mana baileu sebagai tempat sakral berada senantiasa digunakan untuk menbicarakan hal-hal yang penting bagi Orang Bati sampai saat ini. Sebab persepsi Orang Bati bahwa pengambilan keputusan dengan sesama warga harus diketahui dan disaksikan oleh leluhur. Untuk itu dalam pandangan kosmologi Orang Bati bahwa wilayah hutan adalah bernyawa atau hidup se- panjang masa. Begitu dekatnya kehidupan Orang Bati dengan hutan (esu) menjadi mata-rantai yang mengikat mereka berdasarkan kosmo- logi hutan, tanah, dan manusia (identitas) Orang Bati yang di- pahaminya sebagai rute perjalanan “Manusia Batti” atau Tata Nusu Si

(leluhur) yang bersifat kesemestaan.

Dokumen terkait