• Tidak ada hasil yang ditemukan

Orang Bati yang Terabaikan Dalam Proses Pembangunan Sampai saat kehidupan suku-suku di Pulau Seram termasuk

Orang Bati atau Suku Bati mengalami hambatan pembangunan. Untuk itu fenomena yang menyebabkan hambatan yang dialami Orang Bati dalam proses pembangunan karena mereka dipersepsikan sebagai orang

ilang-ilang (hilang-hilang). Dalam kehidupan bermasyarakat, ternyata Orang Bati atau Suku Bati menghadapi tekanan hidup yang luar biasa. Tekanan hidup tersebut bersumber dari lingkungan internal atau dari dalam seperti isolasi, keterasingan, alam yang tidak ramah, dan lainnya maupun lingkungan eksternal atau dari luar seperti stigma (anggapan negatif) dari orang luar, tidak ada bantuan negara, dan sebagainya.

23)Wawancara dengan bapak SeSia (74 Tahun), Kepala Adat Dusun Rumbou (Bati

infrastruktur transportasi, komunikasi, informasi, dan lainnya menyebabkan manusia yang mendiami wilayah ini mengalami persoalan ke-manusiaan yang sangat krusial. Melalui studi ini diketahui bahwa, tenggang waktu di mana keadaan laut di Seram Timur bergelombang besar yang berlangsung cukup lama yaitu sembilan bulan dalam satu tahun menjadi kendala bagi Orang Bati untuk berakses secara baik. Berdasarkan pengalaman yang disampaikan Orang Bati maupun yang dialami sendiri oleh peneliti yaitu selama sembilan bulan terhitung mulai dari bulan Desember sampai dengan bulan Agustus setiap tahun, kawasan Pulau Seram Bagian Timur di mana Orang Bati berada me-ngalami musim paceklik atau musim susah (pinakuta danggu).

Hal ini menunjukkan bahwa setiap tahun Orang Bati terisolasi selama sembilan bulan akibat kondisi wilayah geografis mereka mengalami ombak besar, angin yang kencang dan arus laut yang kuat dapat terjadi setiap saat. Persoalan utama yang dihadapi oleh Orang Bati yang mendiami kawasan tersebut ketika dilanda oleh gelombang laut yang besar di mana jarak antara pesisir pantai menuju ke laut dalam terdapat batu di sepanjang wilayah tersebut. Ketika musim gelombang laut yang besar, biasanya ombak pecah pada bibir pantai yang berjarak 150 sampai 200 m menuju ke laut.

Kondisi tersebut menyebabkan air laut disekitar kawasan ini terlihat putih, dan diselunuti oleh kabut tebal sehingga tidak kelihatan secara jelas (tersamar) sehingga orang luar mempersepsikannya sebagai ilang-ilang. Kondisi tersebut sangat berpengaruh langsung terhadap aktivitas pelayaran di sekitar kawasan ini karena kapal, maupun jenis sarana angkuan laut tradisional yaitu perahu (wona) dengan menggunakan mesin atau motor tempel yang digunakan untuk mengangkut manusia dan barang. Apabila tiba musim gelombang, kondisi perahu (wona) tersebut sangat membahayakan keselamatan pelayaran.

Musim laut tenang hanya berlangsung selama tiga bulan ter- hitung mulai dari bulan September, Oktober, dan November setiap tahun. Sebagai Manusia Gunung atau Orang Gunung (Mancia Ata-

yesu), ternyata Orang Bati mengalami kesulitan melakukan adaptasi dengan keadaan laut yang sedang bergelora. Kondisi ini yang me- nyebabkan Orang Bati tidak dapat ke luar dari kawasan tersebut se- lama laut bergelombang besar karena di wilayah ini tidak tersedianya sarana perhubungan laut seperti pelabuhan dan transportasi laut seperti kapal, atau motor laut secara memadai, dan memiliki daya tahan terhadap ombak laut yang besar, dan arus laut yang cukup kuat di se- kitar wilayah Pulau Seram Bagian Timur pada Selat Keving dan Selat Geser.

Persoalan hidup yang dialami Orang Bati di wilayah yang alamnya tidak ramah menyebabkan akses Orang Bati maupun pen- duduk lain yang mendiami kawasan tersebut pada musim-musim ter- tentu di mana keadaan laut mengalami obak besar. Terutama persoalan yang berkaitan dengan usaha untuk mencapai wilayah tertentu seperti Pulau Geser, Bula, maupun Ambon untuk mencari barang-barang ke- perluan hidup, terutama bahan kebutuhan pokok. Selain itu juga tidak terdapat sarana angkutan darat untuk mencapai pusat pelayanan, mau- pun tempat-tempat untuk melakukan aktivitas guna memenuhi ke- butuhan hidup secara individu, keluarga, maupun masyarakat. Per- soalan keterasingan yang dialami Orang Bati atau Suku Bati dengan lingkngan karena tekanan dari lingkungan fisik, sosial, dan lainnya perlu diawali dengan pernyataan ilmiah bahwa “Orang Bati atau Suku Bati itu adalah manusia maupun sukubangsa”. Sebab fakta empirik bahwa, Orang Bati atau Suku Bati bukan manusia atau orang ilang- ilang (hilang-hilang) sebagaimana distigmatisasi oleh orang luar (Orang Maluku) pada Orang Bati selama ini.

Penelusuran terhadap sejarah lisan (oral story) tentang asal- usul leluhur Orang Bati atau Suku Bati yang mengakui diri bahwa mereka memiliki asal-usul yang sama dengan Orang Maluku yaitu dari anak cucu keturunan Manusia Awal (Alifuru) atau Alifuru Ina. Orang Bati atau Suku Bati mengakui bahwa mereka memiliki asal-usul dari keturunan Manusia Awal (Alifuru) atau Suku Alifuru di Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) untuk menegaskan eksistensi Orang Bati atau Suku Bati dalam pembangunan menjadi penting karena melalui

hubungan sosial atau secara genealogis Orang Bati memiliki asal-usul yang sama dengan suku-suku lainnya atau suku-suku asli di Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) karena menyebut diri sebagai Orang Seram yang berasal dari keturunan Suku Alifuru.

Berdasarkan sejarah lisan (oral story) diketahui bahwa Orang Bati memiliki eksistensi sebagai manusia maupun sukubangsa di Pulau Seram Bagian Timur-Maluku-Indonesia. Orang Bati atau Suku Bati mengakui diri (identitas) adalah anak cucu keturunan Alifuru atau

Alifuru Ina atau keturunan Manusia Awal di Pulau Seram dan menempati wilayah kekuasaan (watas nakuasa) mereka di Pulau Seram Bagian Timur. Akibat menguatnya stigma menyebabkan Orang Bati mengalami hambatan dalam proses pembangunan. Kehidupan Orang Bati sampai saat ini terabaikan sama sekalai oleh pemerintah (negara) dan masyarakat karena menguatnya stigma (anggapan negatif) yang ditujukan pada Orang Bati atau Suku Bati. Tekanan (presure) yang ber- sumber dari dalam lingkungan mereka sendiri seperti isolasi geografis akibat kondisi alam yang tidak ramah, keterasingan, dan lainnya. Tekanan (presure) yang berasal dari luar lingkungan yaitu tidak ada bantuan, menguatnya stigma dan lainnya sehingga kehidupan mereka sampai saat ini terabaikan dari pelayanan pemerintah, swasta, maupun masyarakat.

Dalam menghadapi tekanan hidup, Orang Bati terus berusaha dengan kekuatan sendiri agar dapat bertahan hidup (survival strategy) sehingga ratusan tahun Orang Bati mendiami kawasan hutan hujan di Pulau Seram Bagian Timur tidak mengalami kepunahan. Esuriun

Orang Bati benar-benar berfungsi dan berperan menyelenggarakan kehidupan secara individu, keluarga, kelompok, maupun komunitas sehingga tekanan yang berasal dari dalam maupun yang datang dari luar lingkungan dapat diatasi sendiri oleh mereka sesuai dengan ke- arifan lokal (local wisdom) yang dimiliki. Cara mengatasi tekanan (pre- sure) dengan cara menyembunyikan identitas Bati agar tidak diketahui oleh orang luar dimaknai sebagai kearifan hidup agar keberadaan Orang Bati pada suatu lingkungan masyarakat tertentu tidak me- nimbulkan kepanikan pada orang lain.

Sebab nama Bati yang digunakan oleh orang luar (Orang Maluku) dapat dimaknai sebagai wacana untuk meredam konflik maupun pertikaian yang dapat saja terjadi antar kelompok dalam masyarakat apabila terjadi kasus orang hilang, diculik dan sebagainya. Dalam realitasnya, apabila terjadi kasus orang hilang atau ada orang yang diculik (anak kecil maupun orang perempuan), apabila anggota maupun kelompok masyarakat menyebutkan bahwa itu adalah per- lakuan Orang Bati, maka persoalan serius seperti di atas secara diam- diam menjadi reda dan hilang tanpa bekas. Hal ini dapat mengandung makna bahwa simbol Bati telah berperan untuk menciptakan per- damaian dalam kehidupan bermasyarakat di Maluku. Fenomena Orang Bati seperti dikemukakan di atas apabila dikaitkan dengan kasus-kasus tertentu yang dihadapi oleh masyarakat, berarti isu Orang Bati yang selama ini berkembang dalam kehidupan Orang Maluku dapat di- katakan memiliki makna posisitf untuk mencegah konflik, meredam bibit permusuhan di kalangan kelompok sosial agar tidak muncul se- bagai pertikaian. Walaupun ada kenyataan bahwa kasus yang sama sering dialami sendiri Orang Bati di Pulau Seram Bagian Timur, tetapi Orang Bati memahami dan memaknainya sebagai suatu takdir karena leluhur Orang Bati yaitu Manusia Batti atau Tata Nusu Si mengingin- kan orang yang bersangkutan untuk diambil atau diculik secara diam- diam dan tidak dikembalikan. Itulah fenomena sosial yang sering dihadapi oleh masyarakat di daerah Maluku, dan dimaknainya sebagai misteri Orang Bati, yang sesungguhnya bukan perlakuan Orang Bati secara langsung, tetapi hal ini dipercaya oleh Orang Bati berkaitan dengan kehidupan “Manusia Batti”. Selama ini Orang Bati sebagai Orang Maluku telah menjadi korban karena senantiasa dituduh oleh orang luar (Orang Maluku) sebagai orang jahat karena menyusahkan orang lain.

Fenomena seperti dikemukakan dalam pandangan Orang Bati yaitu merupakan kebiasaan dan hal ini terdapat dalam adat-istiadat yang dipercaya kebenarannya oleh Orang Bati karena arwah para leluhur yang tidak kelihatan tetapi senantiasa menyertai mereka se- bagai anak cucu telah mengambil orang yang bersangkutan. Dalam perspektif yang berbeda untuk memaknai fenomena seperti ini oleh

Colley (1961 : 110) karena arwah para leluhur adalah pengamat yang tidak kelihatan yang menjamin adat dilaksanakan. Fenomena seperti ini dapat dimaknai sebagai pengetahuan lokal (local knowledge) yang diperoleh dari leluhur Orang Bati untuk bertahan hidup (survive). Semua pengetahuan yang diperoleh didasarkan pada adat-istiadat yang berlaku di Tana (Tanah) Bati. Secara individu, kelompok, maupun komunitas, Orang Bati senantiasa menjalani hidup berdasarkan adat- istiadat yang telah dicanangkan oleh leluhur.

Bagi orang luar yang berkeinginan untuk datang di Tana (Tanah) Bati harus mengetahui hal ini secara benar sehingga harus tunduk, taat, dan menghormati adat-istiadat yang berlaku di Tana (Tanah) Bati. Jika tidak taat dan menghormati adat Orang Bati jangan heran kalau bencana seperti dikemukakan di atas dapat menimpa siapa saja. Tana (Tanah) Bati itu sakral karena menurut kepercayaan Orang Bati bahwa Tana (Tanah) Bati merupakan rute perjalanan Manusia Batti yang selama ini dijaga dan dilindungi oleh generasi penerus tradisi dan kebudayaan Bati untuk menganalisis data empirik yang berkaitan dengan pemahaman Orang Bati tentang Bumi Seram dan Manusia Batti.

Dokumen terkait