Esuriun
Orang Bati: Kekuatan Bertahan
Hidup (
Survival Strategy
) dengan
Cara-Cara Hidup Sesuai Kebudayaan
Analisis temuan penelitian (sintesa) tentang Esuriun1
Proses integrasi merupakan unsur penting dalam sistem sosial Orang Bati sehingga erdasarkan data empirik bahwa teori AGIL (Adaptation to the environment, Goal attainment, Integration, and Latenty) relevan untuk melakukan analisis fenomena Orang Bati. Dalam teori fungsionalisme Parson dengan konsep “fungsi pokok” (fungtional imperative) menggambarkan empat macam tugas utama yang harus dilakukan agar masyarakat tidak “mati”. Teori Parsons (dalam Suwarno dan Alvin, 2006 : 10-11) memahami masyarakat tidak ubahnya seperti memahami organ tubuh manusia yaitu ; Pertama,
struktur tubuh manusia memiliki bagian yang saling berhubungan satu
) Orang Bati
sebagai kekuatan bertahan hidup (survival strategy) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan untuk mengungkapkan fenomena Orang Bati yang selama ini terus bertentangan atau paradoks dalam masyarakat. Sampai masa kini Orang Bati dipersepsikan orang luar (Orang Maluku) sebagai orang ilang-ilang (hilang-hilang), orang terbang-terbang, orang misteri, orang yang menakutkan, menyeramkan, dan sebagainya. Se-bagian besar Orang Maluku beranggapan bahwa penuturan mengenai Orang Bati adalah mitos. Analisis kekuatan bertahan hidup (survival strategy) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan untuk menjelaskan integrasi yang dicapai Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa (ethnic group) untuk bertahan hidup (survival strategy).
1)Nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati memiliki multi fungsi dan peran
sama lain, artinya masyarakat mempunyai berbagai kelembagaan yang saling terkait dan tergantung satu sama lain. Untuk menggambarkan koordinasi yang harmonis antar kelembagaan tersebut, Parsons menggunakan konsep “sistem”; Kedua, setiap bagian tubuh manusia memiliki fungsi yang jelas dan khas (spesifik). Demikian pula setiap bentuk kelembagaan dalam masyarakat melaksanakan tugas tertentu untuk stabilitas dan pertumbuhan masyarakat, yang dianalogikan se-bagai tubuh manusia sehingga konsep “keseimbangan dinamis-stationer” (homeostatic equilibrium). Menurut Parson satu bagian tubuh manusia berubah, maka bagian lain akan mengikutinya. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi ketegangan intern dalam mencapai keseimbangan baru dan perubahan tidak dapat dilakukan secara cepat karena dapat menggoncangkan fungsi-fungsi dari tubuh manusia itu sendiri.
sistem kehidupan; (5) Fokus atau landasan sentral masyarakat adalah kecenderungan terhadap equilibriun dan homeostatik.
Proses sentral megenai hubungan empat subsistem aksi yaitu
interpenetrasi, internalisasi masyarakat, fenomena budaya ke dalam kepribadian, dan institusionalisasi komponen-komponen normatif se-bagai struktur konstitutif. Sistem sosial ini kemudian dipandang sese-bagai sistem yang berorientasi integrasi dan equilibrium secara kuat; (6) Sistem tidak dipandang statis dari pada suatu kapasitas yang dimiliki-nya untuk evolusi yang adaptif. Proses sentral perubahan evolusi me-ngandung pembedaan (differentiation) pada (pembagian lebih jauh atau spesialisasi struktur fungsional) penyesuaian bimbingan (me-ningkatkan kebebasan unit-unit sosial dari sumber kekerasan). Analisis temuan penelitian dengan menggunakan teori Parson untuk meng-analisis Esuriun Orang Bati: kekuatan bertahan hidup (survival strategy) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan diawali dengan pencapaian integrasi kultural oleh kelompok Patasiwa dan Patalima
Esuriun Orang Bati: Kisah Turunnya Alifuru Bati atau Orang Bati dari Hutan dan Gunung (Madudu Atamae Yeisa Tua Ukara)
Ketika menjalani hidup secara bersama pada tempat kediaman awal di Pulau Seram Bagian Timur yang bernama Samos di sekitar Gunung Bati terdapat dua kelompok sosial yaitu Patasiwa dan Pata-lima. Selama menjalani hidup secara bersama di Samos kelompok Pata-siwa dan Patalima bersepakat (mafakat sinabu) untuk hidup secara damai di atas falsafah saling menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) di antara sesama Orang Bati. Kehidupan tersebut telah dijalani oleh leluhur Orang Bati di Samos sampai dengan kedatangan kelompok suku Alifuru yang mendiami Soabareta di sekitar Gunung Bati menyatu (terintegrasi) dengan kelompok Alifuru yang mendiami
Samos melalui mekanisme adat Esuriun Orang Bati. Secara sosio-kultural, kehidupan dari kedua kelompok sosial tersebut berbeda. Ber-dasarkan sejarah lisan (oral story) yang disampaikan Orang Bati bahwa sejak awal kehidupan di Samos maupun Soabareta terdapat kelompok sosial Patasiwa dan Patalima. Masing-masing kelompok pata mendiami teritorial, menganut bahasa, adat-istiadat, kebudayaan, dan lainnya yang berbeda-beda. Apabila anak cucu keturunan Alifuru tersebut se-lalu hidup bermusuhan seperti kelompok suku lainnya di Seram di-pastikan bahwa kehidupan mereka terancam dan bisa mengalami ke-punahan. Usaha menyatukan kekuatan untuk bertahan hidup (survive) melalui adat Esuriun Orang Bati, berarti tercipta keseimbangan dalam sistem kehidupan komunitas. Dapat dikatakan bahwa peristiwa Esu-riun Orang Bati merupakan awal dari suatu kesuksesan agar anak cucu keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati dapat bertahan hidup (survive) dengan lingkungan.
Orang Bati turun dari hutan dan gunung berkaitan dengan kosmologi di mana relasi antara alam semesta dan manusia berada dalam suatu siklus yang senantiasa berputar di mana makna tentang “Manusia Batti” sebagai manusia berhati bersih adalah leluhur yang tercipta melalui evolusi daratan Seram, dan tana (tanah) merupakan unsur penting yang berkaitan dengan penciptaan. Tana (tanah) adalah bernyawa sama se-perti manusia, sehingga dalam kosmologi Alifuru Bati atau Orang Bati makna tana (tanah) menjadi sumber kehidupan untuk mewujudkan kelangsungan hidup jangka panjang.
Tana (tanah) memiliki kaitan dengan proses mengeringnya darat-an Seram ydarat-ang saat itu tergendarat-ang oleh air laut. Maka usaha mewujud-kan hidup secara damai di antara sesama anak cucu keturunan Alifuru
atau Alifuru Ina dengan konsep saling menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) di antara mereka yaitu berkaitan dengan tanah agar tetap lestari. Untuk itu wilayah kediaman Orang Bati di-namakan Tana (Tanah) Bati. Usaha Orang Bati untuk menjaga dan me-lindungi identitas Bati yang dilakukan melalui adat Esuriun Orang Bati adalah final, dan terus dilembagakan. Melalui fungsi dan peran dari lembaga adat Esuriun Orang Bati, kemudian Orang Bati melakukan aktivitas turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) untuk menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) seluruh hak milik yang berharga seperti manusia, tanah, gunung, identitas, tradisi, adat-istiadat, kebudayaan, dan lainnya.
Kisah Alifuru Bati atau Orang Bati turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) untuk menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) seluruh hak milik yang berharga (ber-nilai) adalah strategi mewujudkan kelangsungan hidup (survival strategy) dilakukan secara damai karena tidak menimbulkan konflik maupun pertikaian dengan orang lain. Dalam lembaga adat Esuriun
Orang Bati terdapat nilai dasar (basic value) mengenai “manusia ber-hati bersih” atau “Batti”. Nilai dasar (ngavin) tentang “manusia berhati bersih” terdapat dalam pandangan Alifuru Bati atau Orang Bati tentang kekuatan yang bersifat kesemestaan.
se-dangkan Alifuru Bati atau Orang Bati adalah mikrokosmos, kemudian dihubungkan dengan Esuriun Orang Bati sebagai mezokosmos yang di-implementasikan melalui cara-cara hidup berdasarkan kebudayaan Orang Bati yang dilestarikan dalam kehidupan individu, keluarga, kerabat, dan komunitas sampai saat ini untuk memberi citra bahwa Orang Bati memiliki jati diri (identitas).
Persepsi Orang Bati mengenai nilai dasar (ngavin) yang terdapat dalam ideologi Batti yang bersifat kesemestaan menjadi dasar dalam kisah Esuriun Orang Bati di mana kelompok Patasiwa dan Patalima
yang terintegrasi di Tana (Tanah) Bati memiliki baileu di alam terbuka, dan cirinya tidak sama dengan konsep baileu yang terdapat pada ke-lompok Patasiwa dan Patalima pada masyarakat lainnya di Pulau Seram maupun Maluku yaitu berupa bangun fisik (rumah) yang dibuat dan ditempatkan secara khusus pada setiap lingkungan negeri (adat). Baileu
merupakan tempat yang sakral, karena itu dimanfaatkan untuk me-menuhi kebutuhan hidup sesuai adat. Tempat yang dijadikan sebagai
baileu bagi Orang Bati yang terdapat di alam terbuka adalah tempat yang sangat sakral karena mereka percaya bahwa tempat tersebut senantiasa dijaga dan dilindungi oleh roh para leluhur (Tata Nusu Si) yaitu “Manusia Batti” yang sangat ditakuti, dihargai, dihormati, dan sebagainya oleh generasi pewaris tradisi dan kebudayaan Bati.
Apabila kisah Esuriun Orang Bati dipahami sebagai peristiwa nyata yang dilakukan Orang Bati secara sengaja untuk menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) seluruh hak milik berharga. Kisah kehidupan yang dijalani dalam Esuriun Orang Bati memiliki khasan tertentu, yang dimaknai oleh Betrand dalam Wisadirana (2005 ; 41) bahwa setiap masyarakat mempunyai suatu sejarah dan sebagian besar produk dari suatu proses evolusioner. Kisah nyata Esuriun Orang Bati apabila dipahami menurut teori Parson, berarti melalui Esuriun
diinginkan yaitu hidup secara damai, sehingga keturunan (generasi penerus) tradisi dan kebudaya Bati dapat bertahan hidup pada setiap lingkungan, dan lebih jauh dari itu adalah spesis Orang Bati tidak punah dalam lingkungannya sendiri.
Kisah Esuriun Orang Bati dapat dimaknai sebagai suatu proses perubahan cara hidup yang khas dari kelompok sosial Patasiwa dan
Patalima yang awalnya berbeda-beda kemudian menyatu, kemudian menyebut diri sebagai Alifuru Bati atau Orang Bati. Artinya perubahan pada unsur apapun dalam suatu sistem ditentukan oleh unsur-unsur lainnya. Demikian pula setiap unsur merupakan unsur determinan unsur lainnya (Berry dalam Wirutomo (2003 ; 15). Mekanisme pe-rubahan yang berlangsung dalam struktur sosial Alifuru Bati atau Orang Bati dilakukan secara sengaja melalui suatu proses yang panjang sehingga tahapan perubahan tersebut telah memperkuat ikatan-ikatan sosial di antara sesama orang satu asal yaitu dari anak cucu keturunan
Alifuru atau Alifuru Ina. Dampak perubahan yang berlangsung terut menguatkan aspek kelembagaan adat Esuriun Orang Bati sehingga menjadi mata-rantai kehidupan dalam sistem sosial Orang Bati. Esuriun
Orang Bati yang diwujudkan melalui kisah turunnya Alifuru Bati atau Orang Bati dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara), kemudian mekanisme tersebut dilembagakan dalam adat berarti fungsi kelembagaan pada sistem sosial menjadi hidup. Mekanisme perubahan tersebut oleh Jarvie (dalam Sztompka, 2005 : 260) karena kehidupan sosial memiliki kekhasan kesatuannya, karena mengandung proses dan hubungan timbal-balik dari, dan dibentuk oleh tindakan anggotanya. Seperti itu adalah gambaran tentang cara-cara hidup sesuai kebudayaan yang dimiliki Orang Bati dari waktu ke waktu sehingga melalui Esu-riun Orang Bati sebagai basis nilai untuk bertahan hidup (survival strategy).
Esuriun Orang Bati: Nilai Dasar (Basic Value) untuk Bertahan Hidup (Survival Strategy)
Bati atau Orang Bati tentang “Manusia Batti” atau “manusia berhati bersih” yang bersifat kesemestaan adalah manusia yang sempurna dan hidup sepanjang masa. Makna yang terdapat dalam manusia berhati bersih adalah penguasa jagat raya yang setiap saat menyertai mereka sebagai anak cucu keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati. Nilai dasar (ngavin) tersebut merupakan simpul pengikat yang kuat, kokoh, dan ulet (berketahanan), sehingga menjadi idealisme dan sekaligus menjadi tujuan hidup bersama dari keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati, maupun orang yang menganut ideologi Batti, dan yakin pada kebenar-an nilai tersebut oleh keturunkebenar-an Alifuru Seram di Pulau Seram atau
Nusa Ina (Pulau Ibu), maupun orang-orang yang mendiami pulau-pulau lainnya di Maluku.
di-hindari karena secara tidak sadar simbol Bati telah berperan dalam me-wujudkan perdamaian.
Nama Batti yang melekat pada “Manusia Batti” memberikan ke-yakinan kuat pada keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati sehingga menjadi kekuatan bertahan hidup (survival strategy) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan yang dianut Orang Bati. Strategi bertahan hidup (survival strategy) pada Orang Bati melalui cara hidup yang sesuai dengan kebudayaan diimplementasikan pada tingkat individu, kerabat, kelompok, maupun komunitas. Walaupun Orang Bati men-diami lingkungan terisolasi, namun mereka tidak mengalami ke-punahan karena nilai dasar mengenai manusia berhati bersih “Bati” atau “Batti” memberikan kekuatan hidup pada Orang Bati agar memegang kuat falsafah hidup untuk saling menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) seluruh hak milik yang berharga (ber-nilai). Falsafah hidup ini memberikan kekuatan bertahan hidup ( sur-vival strategy) pada tingkat individu, kerabat, kelompok, maupun komunitas karena ratusan tahun Orang Bati hidup dalam keadaan terisolasi dan terabaikan tepat tidak mengalami kepunahan. Nilai dasar mengenai manusia berhati bersih atau “Batti” terus dilakukan melalui proses pelembagaan (institusionalisasi). Dalam menjalani hidup ke-seharian sesuai kebudayaan, ternyata basis nilai Batti yang telah ter-lembaga melalui adat Esuriun Orang Bati terus digunakan untuk ber-tahan hidup (survival strategy), terutama mengelola lingkungan sosial dan lingkungan alam (fisik).
dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) mengikuti rute per-jalanan “Manusia Batti” sampai di lokasi bernama Kampung atau Dusun (Wanuya) Bati Kilusi (Bati Garuda) atau Bati Awal.
Pemahaman terhadap nilai Esuriun Orang Bati yang sifatnya abstrak apabila dikaitkan dengan pemikiran Clyde Kluckhon berupa suatu konsepsi, eksplisit atau implisit, khusus bagi seseorang atau me-rupakan ciri suatu kelompok yang diinginkan, yang mempengaruhi pemilihan cara, alat dan akhir yang diharapkan dari suatu tindakan (Posser, 1978 : 176). Timbul pertanyaan bahwa nilai itu bersumber dari mana? Dalam tradisi dan kebudayaan Bati, nilai Esuriun Orang Bati bersumber dari hati manusia yang bersih. Makna Batti sebagai ”manusia berhati bersih” senantiasa menjadi penuntun untuk me-munculkan pikiran manusia yang bersih, perilaku hidup individu maupun kelompok yang bersih, dan sebagainya. Nilai dasar tersebut bersumber dari nurani manusia yang bersih karena berisi ”suara ke-baikan” (famumuk ngavin) sehingga menjadi pedoman hidup tertinggi pada Orang Bati.
Nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati dipersepsikan benar menurut paradigma Orang Bati dan telah merasuk dalam alam pikiran maupun nurani (hati) atau batin manusia yang bersih (Batti) sehingga menjadi sumber dan sekaligus sebagai penumbuh nilai yang benar untuk menjalani kehidupan dengan lingkungan di mana mereka berada. Dalam pandangan Orang Bati tentang hakikat Esuriun Orang Bati bersifat kesemestaan, menjadi kunci kehidupan yang sangat penting yang dimaknai sebagai “matikan eksistensi alam semesta”. Apabila nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati tersebut di-kaitkan dengan pendapat Posser (1978 : 303) karena seseorang me-lakukan tindakan yang tampaknya tidak rasional bagi orang yang tidak menganut sistem nilai yang sama.
Artinya kandungan nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun
Dalam perspektif Orang Bati, nilai tentang Bati atau manusia berhati bersih senantiasa berisi suara kebaikan, dan suara kebaikan ini muncul dari ”niat” (lamino) dari setiap orang. Niat (lamino) yang baik maupun buruk yang terdapat dalam hati manusia tidak dapat disembunyikan pada Orang Bati. Niat yang baik di mata Orang Bati bukan saja terletak pada pembicaraan seseorang yang indah-indah, tetapi yang terpenting adalah wujud dari perbuatan yang sesuai dengan pembicaraan.
Nilai tentang baik dan buruk setiap saat dapat dipengaruhi oleh kondisi yang bersumber dari dalam diri manusia maupun kelompok, dan juga bisa datang dari luar lingkungan yang berwujud suara ke-baikan (famumuk ngavin) dan suara keburukan (famumuk galotak). Nilai yang dianut oleh individu maupun kelompok dapat saja di-pengaruhi oleh suatu kondisi yang berada di luar maupun dari dalam lingkungan sehingga perlu ada filter (penyaring). Tetapi nilai dasar se-bagai kekuatan bertahan telah memberikan ketahanan diri (self defence) pada Orang Bati. Sebab batas antara pengaruh suara kebaikan dan suara keburukan pada manusia sangat tipis. Untuk itu pada katika
(ruang, waktu, kondisi, dan situasi) tertentu yang tepat seseorang mau-pun sekelompok orang dapat melakukan hal yang baik, tetapi dapat juga melakukan hal yang buruk. Hal itu sangat tergantung pada nilai dasar yang dianutnya.
Makna nilai dasar dalam Esuriun Orang Bati seperti dikemuka-kan telah menjadi pedoman hidup bersama Orang Bati dan menjadi sumber kekuatan untuk bertahan hidup (survival strategy) meng-hadapi tekanan (presure) baik yang bersumber dari dalam maupun yang berasal dari luar. Dapat dikatakan bahwa nilai dasar yang ter-dapat dalam Esuriun Orang Bati menjadi basis untuk mengembangkan kekuatan bertahan hidup (survival strategy) pada teritorial genealogis
Aktualisasi dari nilai dasar (ngavin) yang terdapat dalam konteks
Esuriun Orang Bati yaitu diwujudkan melalui “niat” dari orang atau manusia secara individu, kelompok, maupun komunitas karena fungsi dan peran dari Esuriun Orang Bati berkaitan dengan religi, mitologi Gunung Bati, mitologi Seram Gunung Manusia, maupun kosmologi Orang Bati (Tata Nusu Si-Esuriun-Alifuru Bati) yang menjadi sumber kekuatan untuk bertahan hidup (survive) sampai saat ini. Persepsi Orang Bati seperti dikemukakan, apabila dikaitkan dengan pendapat Pursen (1988 : 37) bahwa mitologi itu memberikan arah kepada ke-lakuan manusia, dan merupakan semacam pedoman kebijaksanaan manusia. Lewat mitos manusia dapat turut serta mengambil bagian dalam kejadian-kejadian sekitarnya, dapat menanggapi daya-daya ke-kuatan alam. Turut ambil bagian dinamakan partisipasi.
Berdasarkan makna kehidupan nyata yang didambakan melalui
Esuriun Orang Bati yang sengaja dilakukan untuk menjaga dan me-lindungi (mabangat nai tua malindung) terhadap seluruh hak milik yang berharga (bernilai) dalam watas nakuasa (wilayah kekuasaan) se-bagai ruang hidup adalah cara memaknai kosmologi Alifuru Bati atau Orang Bat. Perbedaan makna tersebut oleh Pursen (2006 : 38-39) karena fungsi mitologi untuk menyadarkan manusia bahwa ada ke-kuatan-kekuatan ajaib. Mitos itu tidak memberikan bahan informasi mengenai kekuatan-kekuatan itu, tetapi membantu manusia agar dia dapat menghayati daya-daya itu sebagai suatu kekuatan mempengaruhi dan menguasai alam dan kehidupan sukunya. Mitos bertalian erat dengan fungsinya yang pertama memberikan jaminan masa kini.
teguh Esuriun Orang Bati sebagai adat dan kebudayaan Orang Bati yang dihormati dan dijunjung tinggi sehingga norma-norma adat yang telah disepakati secara bersama agar dipatuhi.
Kesepakatan yang berhasil dibangun melalui Esuriun Orang Bati memberikan kekuatan moril atau spirit sehingga dapat dikategorikan sebagai budaya spiritual (spiritual cultur) untuk bertahan hidup ( sur-vival strategy) dalam menghadapi tekanan (presure). Konsep kunci tentang “manusia berhati bersih atau Batti” terletak pada “niat” dan
katika (saat yang tepat). Paradigma tentang “niat” yang terdapat dalam hati atau nurani manusia sesungguhnya bersih dan berisi suara ke-baikan. Paradigma mengenai katika (saat yang tepat) dalam perspektif Orang Bati merupakaan aspek penting yang berkaitan langsung dengan manusia secara individu, kelompok, maupun komunitas dalam men-jalani hidup dengan sesama makhluk hidup, lingkungan, dan sebagai-nya. Relasi yang tercipta antara manusia dengan lingkungan yang ber-dasarkan niat dimaksudkan agar manusia yang melakukan hal baik, buruk, dan sebagainya akan tampak nyata melalui “niat” (lamino). Wujud nyata dari niat yang ada pada diri manusia secara individu, ke-lompok, maupun komunitas yaitu tampak melalui sikap dan peri-laku. Niat merupakan hakikat dasar dalam hidup manusia karena niat manusia bersumber dari hati atau nurani manusia yang bersih.
Dalam perspektif Orang Bati, niat baik maupun buruk hanya ada dalam hati manusia sangat dipengaruhi oleh dua suara yang dimaknai sebagai suara kebaikan dan suara keburukan. Jarak antara suara ke-baikan dan keburukan sangat tipis. Kedua suara tersebut senantiasa tarik menarik sehingga pada katika (waktu yang tepat), manusia dapat melakukan kebaikan, tetapi pada katika (saat atau waktu yang tepat) atau saat yang lain manusia dapat melakukan hal yang buruk, sehingga bertentangan dengan nilai. Kondisi tersebut sangat tergantung pada daya yang terdapat pada relasi yang tercipta melalui simpul nilai dasar. Relasi saling tergantung yang ada pada niat manusia ditentukan oleh
katika (waktu yang tepat) untuk melakukannya terhadap diri sendiri, orang lain, maupun dengan lingkungan di mana ia berada.
dengan alam semesta dan leluhur tidak pernah mati. Suatu hal yang mungkin terjadi yaitu perkembangannya pada katika (waktu atau saat yang tepat) di mana nilai bisa merosot, tetapi pada katika yang lain nilai bisa menjadi marak kembali. Simpul pengikat tersebut memiliki kekuatan yang kokoh, kuat, ulet (berketahanan) dimaksudkan untuk membedakan Orang Bati dengan sukubangsa lainnya di Pulau Seram maupun Maluku. Nilai dasar tentang manusia berhati bersih yang di-wujudkan melalui Esuriun Orang Bati menghubungkan Alifuru Bati atau Orang Bati yang terdiri dari berbagai kelompok sosial (Patasiwa
dan Patalima) dapat terintegrasi dengan satu identitas yaitu Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa (ethnic group).
Menguatkan apabila nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun
Orang Bati terus dilestarikan dalam kehidupan keseharian. Melemah-kan apabila nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati di-abaikan oleh pewaris tradisi dan kebudayaan Bati. Esuriun Orang Bati sebagai jati diri atau identitas Orang Bati yang sesungguhnya, di-maksudkan untuk menunjukan pada orang lain bahwa Orang Bati tor-golong sebagai kelompok atau rumpun Patasiwa Putih di Pulau Seram memiliki eksistensi untuk bertahan hidup seperti diwujudkan melalui mekanisme pertahanan diri dan kelompok ketika melakukan upacara adat Esuriun Orang Bati yang sakral. Adat Esuriun Orang Bati di-jadikan sebagai benteng tanpa tembok karena konsep saling menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) dijadikan sebagai pagar (sirerun), dan bisa dimaknai sebagai strategi membangun benteng tanpa tembok di mana posisi manusia dan adat selalu menyatu. Artinya Orang Bati sengaja menciptakan rintangan yang tidak terkalahkan (invisible barriers) melalui strategi menempatkan manusia yang ber-bicara dengan bahasa yang sama berada pada batas wilayah kekuasaan atau watas nakuasa sebagai ruang hidup yang dilakukan melalui adat
Esuriun Orang Bati.
se-bagainya. Sebab ciri dari manusia berhati bersih ada pada niat (lamino di ngavin). Realitas tersebut apabila dianalisis dengan menggunakan teori Parson dapat dimaknai sebagai suatu sistem budaya tertentu me-miliki basis nilai yang sifatnya generalisasi dan digunakan sebagai pola pertahanan diri (self defence). Contohnya yaitu Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa mampu menahan diri terhadap berbagai
stigma (anggapan negatif) dari orang luar terhadap diri mereka di mana identitas Bati dipertaruhkan dalam interaksi, dan Orang Bati sering mendengarnya secara langsung dari mulut orang luar. Namun Orang Bati tidak pernah memberikan reaksi dalam bentuk apapun. Berarti Orang Bati paham sebagai penganut ideologi Batti harus sabar. Ke-sabaran yang sangat mendalam, dan tertanam pada diri,, kerabat, ke-lompok, maupun komunitas merupakan tingkat pemahaman terhadap falsafah yang tertinggi di mana manusia diajarkan untuk mencapai kebahagiaan hidup setelah kematian atau makna tentang kehidupan setelah kematian yang terdapat dalam sistem religi Alifuru Seram.
Esuriun Orang Bati: Implementasi Kosmologi untuk Bertahan Hidup (Survival Strategy)
adalah makrokosmos karena bersifat kesemestaan, dan Alifuru Bati atau Orang Bati sebagai mikrokosmos. Esuriun Orang Bati merupakan
mezokosmos untuk menghubungkan makrokosmos yaitu “Manusia Batti” atau leluhur dan mikrokosmos yaitu Alifuru Bati atau Orang Bati.
Implementasi Esuriun Orang Bati sebagai mezokosmos tampak melalui kisah nyata Alifuru Bati atau Orang Bati turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) dimaksudkan agar Orang Bati dapat bertahan hidup (survival strategy) sesuai nilai dasar (basic value) yaitu manusia berhati bersih atau Batti agar mereka saling menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung). Hakikat dari nilai Esuriun
Orang Bati telah digunakan untuk menyelenggarakan kehidupan ber-masyarakat seperti pembagian hak milik atas tana atau (tanah) pada masing-masing marga yang dinamakan etar, pengaturan pemeritahan adat oleh mata rumah perintah yang mengikuti garis lurus (garis laki-laki) menurut paham patrilinial, pengaturan mengenai sistem pe-ngelolaan wilayah hutan melalui tanggalasu, tradisi, adat-istiadat, ke-budayaan, norma sosial (tata krama pergaulan), dan sebagainnya. Esu-riun Orang Bati memiliki fungsi dan peran untuk mewujudkan eksis-tensi Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa. Esuriun Orang Bati adalah kisah nyata, dan bukan ilang-lang (hilang-hilang) se-bagaimana persepsi orang luar selama ini. Kunci untuk memahami dunia Orang Bati adalah “niat” yang baik dari nurani yang bersih pada diri manusia adalah hakikat tertinggi mengenai ideologi Batti yang ber-sifat kesemestaan.
bersama dalam konteks orang basudara (roina kakal) yang terintegrasi dalam satu identitas yaitu Orang Bati. Esuriun Orang Bati telah me-nyatukan (mengintegrasikan) kelompok sosial Patasiwa dan Patalima
yang berbeda menjadi kesatuan yang erat.
Dalam pandangan Orang Bati, nilai dasar (ngavin) yang ter-kandung dalam Esuriun Orang Bati merupakan suara hati manusia yang bersih (mancia lamino di ngavin), kemudian dijadikan sebagai prinsip hidup utama yang menjadi basis ideologi Batti. Hakikat ter-tinggi mengenai ideologi Batti bersifat kesemestaan atau matikan eksistensi alam semesta. Basis utama dari nilai “Bati” atau “Batti” telah mengalami proses pelembagaan (institusionalisasi) dalam tradisi, adat, dan kebudayaan Orang Bati. Artinya cara Orang Bati menanggapi ling-kungan di mana ia berada, senantiasa menjadi cerminan hati manusia yang bersih karena berisi suara kebaikan, dan dijadikan sebagai pe-doman hidup bersama dalam lingkungan kebudayaan Orang Bati yang tidak pernah berubah. Maknanya yaitu kehidupan Orang Bati sebagai manusia di alam nyata mesti berubah, tetapi kehidupan “Manusia Batti” tidak akan pernah berubah. Sumber nilai tersebut dipegang kuat oleh penganut tradisi dan kebudayaan Bati. Sebagai manusia biasa, Orang Bati memiliki cita-cita seperti itu, tetapi perwujudan sebagai “Manusia Batti” adalah hakikat hidup tertinggi, sehingga dimaknai se-bagai kesemestaan. Persepsi Orang Bati tentang nilai dasar (ngavin)
seperti dikemukakan, apabila dikaitkan dengan pendapat Sutrisno dan Putranto (2005 : 67) yaitu nilai dasar yang dijadikan sebagai pedoman hidup senantiasa ditumbuhkan dan dibatinkan lewat kebudayaan orang itu yang dihayatinya sebagai jagat makna hidup dan diwacanakan serta dihayati dalam jagat simbol.
Berarti Esuriun Orang Bati adalah simbol tertinggi dalam jagat makna di mana “manusia berhati bersih atau Batti” merupakan kon-sepsi abstrak yang ideal agar Orang Bati dapat mencapainya ketika menjalani hidup dalam dunia keseharian. Esuriun Orang Bati sebagai
mezokosmos merupakan simpul untuk menghubungkan makrokosmos
(Manusia Batti) atau manusia berhati bersih dan mikrokosmos yaitu
semesta. Esuriun Orang Bati memiliki fungsi dan peran sentral sebagai mata-rantai untuk mengatur relasi antara manusia dengan Maha Kuasa Pencipta Alam Semesta dan Manusia, relasi antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan alam, manusia dengan katika
atau waktu, manusia dengan perbuatan atau karya. Hakikat Esuriun
Orang Bati digunakan oleh individu, kelompok, maupun komunitas untuk mewujudkan kelangsungan hidup (survive) dalam menghadapi tekanan (presure) yaitu menegaskan bahwa penganut ideologi Batti mampu bertahan hidup (survive) tanpa campur tangan orang luar. Kondisi ini telah teruji di mana Orang Bati mendiami wilayah yang terisolasi selama ratusan tahun di Pulau Seram Bagian Timur, tetapi mereka tidak punah. Realitas yang dialami Orang Bati membuktikan bahwa komunitas yang taat dan menjunjung tinggi nilai dasar, adat-istiadat, kebudayaan, dan sebagainya memiliki perkembangan dalam peradaban yang jauh lebih maju karena menghargai nilai kemanusiaan, lingkungan, dan sebagainya.
Esuriun Orang Bati bersumber dari kebenaran nilai yang harus diwujudkan, dan bukan suatu kebetulan. Artinya Esuriun Orang Bati jadi karena fakta kebenaran, dan bukan suatu kebetulan. Sebab hati manusia yang bersih itu ada pada “batin” setiap orang atau individu maupun kelompok adalah hakikat kebenaran sejati yang harus di-sosialisasikan dalam kehidupan nyata. Dalam realitasnya, nilai yang melekat pada Esuriun Orang Bati terus ditularkan pada generasi pe-nerus tradisi dan kebudayaan Bati agar mereka dapat mewujudkannya melalui cara berpikir dan bertindak. Hati manusia yang bersih atau “Batti” merupakan sumber dan sekaligus menjadi penumbuh nilai dengan kendali yang sinergi dari pikiran (ratio) atau akal manusia. Hakikat dalam memahami nilai seperti ini apabila dikaitkan dengan teori Parson, maka dimaksudkan adalah pencapaian tujuan di mana sistem kepribadian menjadi basis pembedaan sehingga tampak nyata dengan orang luar yang tidak menganut ideologi Batti.
Esuriun Orang Bati: Simpul Pengikat Kelompok Sosial yang Kokoh untuk Bertahan Hidup (Survival Strategy)
Dikatakan Esuriun Orang Bati sebagai simpul pengikat karena pengukuhan dilakukan melalui adat. Penguatan melalui adat esuriun
dijadikan sebagai "budaya spiritual" pada Orang Bati. Wujud nyata dari
Esuriun Orang Bati yang lahir dari latar belakang kehidupan berbagai kelompok sosial yang berbeda (Patasiwa dan Patalima) di Samos
(tempat kering pertama yang dijumpai) dan Soabareta (tanjung kering pertama yang dijumpai) ketika mengorganisi diri dan kelompok, ke-mudian mereka mencapai kesepakatan (mafakat sinabu) secara bersama untuk turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) guna menguasai wilayah kekuasaan (watas nakuasa) sebagai ruang hidup guna menjaga dan melindungi seluruh hak milik berharga se-perti manusia, hutan, gunung, identitas, adat, budaya, lingkungan alam, dan lainnya dari serbuan orang luar adalah strategi survive.
Alifuru atau Alifuru Ina yang mendiami teritorial genealogis di Pulau Seram Bagian Timur, merupakan strategi bertahan hidup (survive) jangka panjang. Agar Orang Bati tetap memiliki kekuatan bertahan hidup (survival strategy) maka nilai Esuriun Orang Bati dijadikan se-bagai tali pengikat (buas) yang kokoh, kuat, ulet (berketahanan). Lembaga adat Esuriun Orang Bati menjadi kehormatan tertinggi yang senantiasa dijunjung, dihormati, dihargai oleh generasi pewaris tradisi dan kebudayaan Bati.
Simpul pengikat yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati terus mengalami proses sosialisasi pada setiap individu maupun kelompok sehingga proses pelembagaan nilai (institusinalisasi) dalam budaya dan stukur sosial Orang Bati dapat dipelihara dan terus berfungsi sebagai pengikat integrasi yang telah dicapai secara bersama. Wujud nyata untuk bertahan hidup (survival strategy) melalui relasi antara sesama Orang Bati, antara Orang Bati dengan orang lain, lingkungan, dan se-bagainya adalah menegaskan "Eksistensi Orang Bati" sebagai manusia maupun sukubangsa yang memiliki identitas. Untuk itu nilai dasar yang terkandung dalam Esuriun Orang Bati senantiasa dijadikan se-bagai spirit untuk menjalani hidup bermasyarakat, sehingga dapat dianggap sebagai budaya spiritual (cultural spiritual) di kalangan Orang Bati. Apabila Esuriun Orang Bati dipahami melalui teori Parson, dapat dikatakan bahwa simpul pengikat karena berada dalam suatu sistem sosial atau suatu sistem kehidupan bersama, dan terus dilestarikan maupun dibudidayakan bagi generasi penerus tradisi dan kebudayaan Bati karena memiliki fungsi integrasi yang didasarkan pada norma-norma yang mengikat individu dan komunitas melalui integrasi normatif, fungsional, dan kultural.
Esuriun Orang Bati: Budaya Spiritual untuk Bertahan Hidup (Survival Strategy)
Bersumber pada nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati merupakan wujud “budaya spiritual” yang dimiliki oleh kelompok maupun komunitas. Dalam prakteknya, nilai dasar yang terdapat dalam
keseharian mereka yang mendiami wilayah pegunungan, lereng bukit, lembah, dan pesisir pantai. Secara teoritik, makna Esuriun Orang Bati sebagai sistem nilai budaya karena terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup, karena itu, suatu sistem nilai-budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia lain yang tingkatannya lebih konkret, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma-norma, semuanya berpedoman pada sistem nilai-budaya itu (Koentjaraningrat, 2002 : 25).
Esuriun Orang Bati sebagai budaya spiritual karena etar sebagai teritorial genealogis memberikan penguatan pada usaha membangun benteng tanpa tembok yang kokoh, kuat, ulet (berketahanan) untuk menghadapi perkembangan masa depan guna mewujudkan ke-langsungan hidup (survival strategy) jangka panjang di mana wilayah kediaman Orang Bati sampai sekarang tidak dapat didatangi oleh orang luar sesuka hatinya tanpa restu dan izin dari mereka semua yang men-diami kampung atau dusun (wanuya) yang berada di pesisir pantai, lereng bukit, maupun pegunungan. Budaya spiritual yang muncul dari
Esuriun Orang Bati memperoleh penguatan melalui adat sehingga proses integrasi yang berlangsung pada kelompok sosial Patasiwa dan
Patalima meliputi 24 marga asli di Tana (Tanah) Bati yaitu 11 marga
Patasiwa dan 13 marga Patalima2
Budaya spiritual yang memberikan penguatan pada identitas Orang Bati muncul dalam konsep untuk menamakan wilayah mereka adalah sakral atau wilayah bernyawa merupakan pagar (sirerun) untuk menjaga dan melindungi seluruh kepentingan Orang Bati dari serbuan orang luar. Esuriun Orang Bati sebagai budaya spiritual merupakan totalitas, dan merupakan bagian dari sistem nilai-budaya Orang Bati karena segala hal yang berkaitan dengan hidup memiliki hulu dan muara pada nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati. Arti-nya Orang Bati sangat paham terhadap persoalan tersebut karena
ke-) mendiami teritorial, menganut
bahasa, adat-istiadat, identitas, dan kebudayaan yang sama.
arifan yang mereka miliki sebagai warisan leluhur masih kuat di-pertahankan sampai masa kini.
Kelangsungan hidup yang cakap (survival strategy) melalui
Esuriun Orang Bati berada dalam sistem nilai (ideologi) Batti sehingga dijadikan sebagai pedoman dalam menyelenggarakan kehidupan ber-sama. Sistem nilai, keyakinan yang mengakar biasanya dianggapa benar oleh pendukungnya. Dalam ideologi, pandang sesorang terhadap dunia yang dianggap sebagai hal penting bagi identitas diri dan gambaran citra dirinya sendiri, walaupun itu tampaknya tidak rasional bagi orang yang tidak menganut sistem nilai yang sama (Boulding, 1964: Posser, 1978; Agusyanto, 2007).
Bertolak dari pendapat tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa Esuriun Orang Bati memiliki basis nilai (ideologi) yang telah menyatukan kosmos Orang Bati atau Suku Bati dengan dunia ke-seharian mereka. Bagi orang lain yang tidak memahami dan mendalami dunia Orang Bati atau Suku Bati yang sesungguhnya dapat menganggap hal itu tidak rasional. Bagi Orang Bati atau Suku Bati, cara itu sangat rasional. Sebab cara Orang Bati atau Suku Bati memahami dunia mereka memang berbeda dari orang lain ketika memandang dunia Orang Bati. Esuriun Orang Bati melekat langsung sebagai identitas mereka, sehingga mereka mudah mengidentifikasi diri ketika ber-hadapan dengan orang lain yang tidak menganut tradisi esuriun. Fenomena seperti ini bagi Marguerite G Kraf (dalam Poser, 1978: 4) bahwa cara melihat dunia dan peranan dalam dunia itu sendiri yang mendasari tindakan dan reaksi dalam kelompok dan di luar kelompok, hubungan manusia dengan alam sekitarnya, sikap seseorang terhadap alam semesta, orientasi pada waktu dan ruang, nilai-nilai dan norma-norma.
Penjaga memiliki hak istimewa untuk masuk ke dalam kebenaran, dan kebenaran tidak dapat dibuktikan kecuali tampak dalam penafsiran dan praktek para penjaga. Dalam tradisi esuriun, mereka dapat membeda-kan antara “orang dalam dan orang luar”. Realitas tersebut secara teoritis dapat dikemukakan bahwa, partisipasi dalam ritual dan pe-nerimaan terhadap kebenaran formulatif adalah syarat bagi keberadaan tradisi (Giddens, 2003: 47). Teori Giddens yang digunakan untuk menganalisis Esuriun Orang Bati sebagai kekuatan bertahan hidup (survival strategy) karena dalam tradisi maupun ritual yang dilakukan Orang Bati setiap saat. Ritual yang berkaitan dengan Esuriun Orang Bati memiliki basis nilai yang berperan dalam kehidupan mereka dan digunakan untuk menjalani hidup keseharian. Dikatakan terdapat nilai sebagai lampu-lampu untuk mengarahkan manusia maupun masya-rakat ke mana dia harus pergi atau mengambil suatu tindakan. Nilai dasar yang terdapat dalam Esuriun Orang Bati seperti kebersamaan, relasi saling memberi, menjaga, melindungi, dan lainnya yang menjadi sumber kekuatan bersama sesuai dengan kosmos mereka, kemudian dijadikan sebagai standar hidup bersama karena memiliki orientasi nilai ke depan seperti terdapat dalam konsep menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) hak milik berharga yang terdapat dalam
watas nakuasa maupun etar sebagai ruang hidup.
Esuriun Orang Bati sebagai sistem nilai bersama karena berkaitan lang-sung dengan makna hidup Orang Bati sebagai orang satu asal (mancia so si woiso) yang mengandung nilai kebersamaan (solidaritas) dalam diri, kelompok, dan komunitas sebagai penguatan untuk bertahan hidup (survival strategy) jangka panjang.
Dapat dikatakan bahwa basis nilai budaya Esuriun Orang Bati adalah budaya spiritual (cultural spiritual) yang memiliki kekuatan untuk menempatkan posisi manusia dengan pencipta, manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta, manusia dengan lingkungan sekitarnya, manusia dengan karya sebagai kesatuan yang erat untuk saling menjaga dan melindungi di antara individu, kelompok, maupun komunitas adalah implementasi budaya spiritual (cultural spiritual) sebagai kekuatan bertahan hidup (survival strategy) untuk mewujud-kan kelangsungan hidup jangka panjang melalui usaha membangun sistem nilai bersama berdasarkan faham roina kakal atau orang satu asal (mancia so si woiso) dan dimaksudkan dalam teori Parson yaitu fungsi integrasi dalam sistem budaya memiliki basis nilai generalisasi dalam struktur sosial atau sub sistem masyarakat yang mendasarinya.
Esuriun Orang Bati: Identitas Bati Terbedakan dari Batti
“Bati” dan “Batti” karena tidak mengerti, tidak memahami, dan se-bagainya telah menyebabkan ceritera Orang Bati menjadi misteri. Sebagai contoh ibarat rambut yang berada di kepala manusia yaitu hitam warnanya. Pengalaman empirik dari peneliti yaitu makna misteri ada pada cara ceritera (penuturan) dari orang luar mengenai Orang Bati.
Tetapi fenomena yang berkaitan dengan “Manusia Batti” adalah misteri karena berkaitan dengan sistem relegi (kepercayaan) Alifuru
Seram yang sangat yakin pada ideologi Batti. Sebagai contoh untuk memahami makna “Bati” dan “Batti” di-kemukakan oleh peneliti dalam suatu ungkapan bahasa yaitu, apabila yang hitam warnanya di atas kepala manusia bernama rambut. Apabila warna hitam ini turun dari posisi kepala ke bawah masih tetap hitam warnaya, tetapi itu bukan bermakna rambut tetapi bernama alis. Apabila alis yang hitam warna-nya turun lagi ke bawah, tatap berwarna hitam, tetapi bukan bernama alis karena itu bernama kumis. Apabila kumis yang hitam warnanya turun lagi ke bawah, masih tetap hitam warnanya, tetapi bukan ber-nama kumis karena itu berber-nama jenggot, dan seterusnya.
Penggunaan konsep “Bati” dan konsep “Batti” hakikatnya tidak sama. Fenomena ini yang menyebabkan ketidak benaran yang terjadi dalam proses interaksi sosial selama ini di Maluku sehingga fenomena Orang Bati di Maluku terus mengalami paradoks. Perbedaan makna yang selama ini terjadi di kalangan orang luar (Orang Maluku) karena tidak mengetahui, mengerti, dan memahami tentang persoalan Orang Bati menyebabkan eksistensi “Orang Bati” sebagai manusia maupun sukubangsa menjadi terabaikan. Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa menjadi korban karena kesalahan persepsi orang lain. Dalam interaksi sosial, ternyata kedua konsep tersebut di atas yaitu “Bati” dan “Batti” sering disamakan. Hal ini disebabkan karena orang luar tidak memahami makna “Bati” dan “Batti” secara benar.
in-teraksi sosial yang kabur oleh sebagian besar orang luar (Orang Maluku) terhadap penggunaan konsep “Bati” dan “Batti” secara tepat kemudian menguatnya stigma (anggapan negatif) orang luar terhadap Orang Bati yang selama ini tidak pernah melakukan kesalahan pada orang luar (Orang Maluku). Studi mengenai Esuriun Orang Bati adalah fenomena nyata dari manusia atau orang atau satu sukubangsa yang mengakui identitas se-bagai anak cucu keturunan Alifuru atau Alifuru Ina dan menyebut diri sebagai Alifuru Bati atau Orang Bati yang mendiami Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) di Kepulauan Maluku-Indonesia. Kesalahan orang luar (Orang Maluku) dalam me-lakukan interpertasi terhadap konsep “Bati” dan “Batti” yang di-gunakan oleh Alifuru Seram sehingga menyebabkan nasib Orang Bati sebagai manusia atau atau sukubangsa di Pulau Seram Bagian Timur-Maluku menjadi terabaikan sampai masa kini karena mereka tidak memperoleh pengakuan dari masyarakat sehingga Orang Bati meng-hadapi persoalan kemanusiaan yang cukup krusial.
Esuriun Orang Bati menjadikan adat sebagai benteng tanpa tembok memberikan peringatan pada orang luar bahwa adat sebagai aturan main dalam menjalani kehidupan di Tana (Tanah) Bati harus di-taati, dihormati, dan dijunjung tinggi oleh siapapun yang memasuki wilayah kekuasaan (watas nakuasa) Orang Bati. Pelanggaran terhadap nilai, adat-istiadat, dan lainnya dapat menimbulkan persoalan lain yang jauh lebih krusial. Artinya di mata Orang Bati yang selama ini hidup damai dalam wilayah kediaman mereka secara damai berarti terjadi integrasi teritorial yang dipahaminya sebagai teritorial genealogis atau wilayah roina kakal. Apabila ada usaha pihak luar yang ingin me-nguasai hidup Orang Bati dengan cara yang bertentangan dengan falsafah, nilai, adat-istiadat, identitas, budaya, dan lainnya dapat me-nyebabkan urusan menjadi krusial dengan orang-orang penghuni hutan dan gunung tersebut di atas. Konsep “Bati” yang digunakan dalam studi ini yaitu berkaitan dengan identitas kesukubangsaan yang memiliki kisah nyata melalui Esuriun Orang Bati sebagai strategi me-nempatkan manusia sebagai pagar (sirerun) berarti sejak awal Orang Bati telah berusaha membangun benteng tanpa tembok di Pulau Seram Bagian Timur-Maluku.
Esuriun Orang Bati: Strategi Menempatkan Manusia Sebagai Pagar (Sirerun) untuk Membangun Benteng Tanpa Tembok
se-luruh kepentingan Orang Bati dapat terjaga, terlindungi dari serbuan orang luar.
Kisah nyata dari Alifuru Bati atau Orang Bati turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) yang jumlahnya ribuan orang guna menjaga, melindungi hak milik untuk menjaga, melindungi hak milik yang berharga (protection for survival strategy) antara lain meliputi manusia, tanah, hutan, gunung, tradisi, adat-istiadat, budaya, identitas, sumber daya alam, dan lainnya agar tidak mudah diserbu orang luar, dapat dikatakan merupakan fenomena umum yang dapat dijumpai pada berbagai sukubangsa, maupun negara di seluruh dunia. Fenomena yang berkaitan dengan strategi menguasai ruang hidup untuk bertahan hidup (survive) dalam ilmu Geografi Politik yang konsisten mempelajari kekuatan suatu negara dilihat dari kepemilikan sumber daya alam, penduduk, pemilihan umum, dan tema lainnya yang di dalamnya terjadi interaksi antar manusia dan lingkungannya dalam kehidupan politik (Hayati dan Yani, 2007 : 2).
Perbedaannya yaitu pada cara implementasi dari strategi me-nguasai ruang hidup yang dipraktekan oleh setiap sukubangsa maupun negara di dunia melakukan menurut cara sendiri-sendiri sehingga ter-dapat perberbedaan dengan Esuriun Orang Bati. Orang Bati me-lakukan strategi untuk menempati etar yang dalam watas nakuasa
Proses persuasif kepala suku adalah bagian dari teknik ber-komunikasi tetapi tindakan kepala suku tersebut dapat pula dimaknai bahwa ia telah bertindak politik yaitu melakukan perang dari gangguan suku lain agar ia tetap sebagai kepala suku. Jika kelompok suku kalah dalam berperang maka ia kehilangan kedudukannya. Artinya politik telah hidup sejak manusia eksis di permukaan bumi. Esuriun Orang Bati sebagai pagar berarti mereka sengaja menciptakan rintangan yang tidak terkalahkan (invisible barriers) yang memiliki nilai ketahanan (resilience). Untuk itu pendekatan yang perlu dilakukan untuk mem-bangun dan mengembangkan masyarakat seperti Orang Bati yang men-diami geografis wilayah berciri kepulauan membutuhkan pendekatan geopolitik, dan bukan pada pendekatan mengenai konsentrasi pen-duduk. Esuriun Orang Bati dapat dimaknai sebagai tindakan politik dari sukubangsa penghuni hutan dan gunung untuk bertahan hidup (survival strategy) berarti sejak lama Orang Bati telah memiliki pan-dangan jauh ke depan untuk menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) kepentingan mereka di Pulau Seram Bagian Timur-Maluku adalah tindakan politik untuk bertahan hidup (survival strategy). Dalam perspektif teori Parson tentang AGIl berarti sistem yang dilakukan Orang Bati mampu menciptakan pola pertahanan yang melalui mekanisme adaptasi karena adanya kemampuan meng-organisasikan diri dan kelompok sehingga sukses menjaga dan me-lindungi seluruh hak milik yang menjadi kepentingan bersama dari Orang Bati.
Esuriun Orang Bati: Tindakan Politik untuk Bertahan Hidup (Survival Strategy )
Bagaimana Esuriun Orang Bati dimaknai sebagai tindakan politik Orang Bati untuk eksis di bumi Pulau Seram Bagian Timur-Maluku? Jawaban terhadap pertanyaan seperti ini diwujudkan melalui tata ke-lola pemerintahan tradisional di Tana (Tanah) Bati. Dalam konteks tersebut, adat Esuriun Orang Bati memagang peran penting untuk me-merintah pada saat itu bahkan sampai saat ini. Hal ini berarti Esuriun
ke-langsungan hidup (survival strategy) jangka panjang bagi keturunan
Alifuru Bati atau Orang Bati. Tindakan politik yang dilakukan Orang Bati untuk menjaga dan melindungi wilayah kekuasaan (watas nakuasa) sebagai ruang hidup setelah mereka menempati etar masing-masing merupakan wujud perilaku politik yang dilakukan Orang Bati untuk menguasai ruang hidup, bukan praktek politik yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Esuriun Orang Bati yang mengisahkan turunnya Alifuru Bati atau Orang Bati dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) dengan jumlah ribuan orang pada masa lampau terus di-lembagakan dalam adat sampai saat ini. Orang Bati berhasil atau sukses dalam mengelola pemerintahan berarti tindakan politik yang nyata untuk menjaga dan melindungi hak milik mereka yang berharga (ber-nilai) dari serbuan orang luar. Pemerintahan tradisional menjamin ke-pentingan Orang Bati untuk bertahan hidup (survive). Hal ini berarti bahwa menguatnya stigma (anggapan negatif) pada Orang Bati me-miliki nilai positif, karena seluruh hak milik berharga (bernilai) atau sumber daya yang terdapat dalam watas nakuasa dapat terjaga, ter-lindungi, sehingga bisa lestari. Nilai positif dari stigma telah digunakan untuk bertahan hidup sampai saat ini. Strategi bertahan hidup (survival strategy) yang dikembangkan Orang Bati dimaknai cakap karena ratus-an tahun Orratus-ang Bati mendiami wilayah terisolasi, terasing, dratus-an se-bagainya tetapi mereka dapat bertahan hidup (survive). Nilai negatif dari stigma yaitu belum ada pengakuan masyarakat maupun negara ter-hadap eksistensi Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa. Untuk itu nasib Orang Bati yang mendiami wilayah terpencil di Pulau Seram Bagian Timur-Maluku menjadi terabaikan.
Kekuatan untuk bertahan hidup (survival strategy) pada Esuriun
me-rupakan perilaku manusia yang lahir dari mengandalkan berpikir baru berbuat, dan bukan berbuat baru berpikir. Hal ini dimaknai sebagai ke-arifan hidup manusia dan komunitas yang memberi contoh pada orang lain, termasuk negara (state) ketika menggunakan kekuatannya dalam menangani persoalan hidup yang dialami masyarakat lokal, khususnya lingkungan masyarakat adat (indigenous peoples) seperti Orang Bati melakukan Esuriun Orang Bati secara damai karena tidak menimbul-kan konflik dengan orang lain adalah strategi kelangsungan hidup yang cakap untuk bertahan hidup (survival strategy).
Aspek pemerintahan tradisional yang cukup kuat pengaruhnya dalam kehidupan Orang Bati apabila dianalisis menurut teori Parson, dapat dikemukakan bahwa tata kelola pemerintahan berada dalam sistem sosial. Fungsi integrasi yang berada dalam sistem sosial yang di dasarkan pada kesepakatan norma ternyata mampu mengikat individu, kelompok, maupun komunitas Orang Bati sehingga menyatu secara generalisasi. Hal ini menunjukkan kemampuan beradaptasi (organisasi perilaku) dengan basis peran dalam sistem sosial. Kemampuan ber-adaptasi seperti ini oleh Gidens (2010 : 362) yaitu adapatasi dengan alam akan membentuk sebuah teknologi kebudayaan dan secara de-rivatif membentuk komponen sosial dan ideologisnya. Bahkan ber-adaptasi dengan kebudayaan-kebudayaan lain bisa membentuk masya-rakat dan ideologi, yang berpengaruh terhadap teknologi dan me-nentukan perjalanan masa depannya. Hasil sempurna dari proses adaptif ini adalah penciptaan totalitas kultural yang terorganisasi, se-buah teknologi, masyarakat, dan ideologi yang terpadu yang me-ngatasi pengaruh selektif ganda alam pada satu sisi dan dampak ke-budayaan asing pada sisi lain.
Makna Esuriun Orang Bati Sebagai Kelangsungan Hidup yang Cakap (Survival Strategy) Jangka Panjang
untuk menjaga dan melindungi (mbangat naitua malindung) terhadap manusia, tanah, hutan, unung, identitas, dan sumber daya lain yang terdapat dalam wilayah mereka agar dapat survive (bertahan hidup). Strategi ini dapat dikategorikan berhasil atau sukses karena sampai saat ini Orang Bati dapat bertahan hidup walaupun mereka mengalami tekanan (presure) yang bersumber dari dalam maupun yang datang dari luar lingkungan.
Esuriun Orang Bati sebagai kisah Alifuru Bati atau Orang Bati turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) adalah strategi yang arif karena Orang Bati melakukannya melalui tahapan konsolidasi internal pada semua individu, kerabat, kelompok sosial, maupun komunitas sebagai anak cucu keturunan Suku Alifuru3) Bati
atau Orang Bati. Tampak melalui ritual adat di Esuriun Orang Bati di mana mereka memamerkan kekuatan untuk salaing menjaga dan me-lindungi terhadap seluruh hak milik selama ratusan tahun dalam ka-wasan hutan hujan di Samos dan Soabareta di sekitar hulu atau kepala air atu Sungai (Alsul) Masiwang di Pulau Seram Bagian Timur. Kekuatan integrasi dalam Esuriun Orang Bati menunjukkan bahwa kelompok sosial Patasiwa dan Patalima (Lima Bagian)4
Mekanisme adat yang dilakukan untuk menyatukan kekuatan dari keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati atau Suku Bati yang
meng-) yang berbeda
menjadi Siwa-Lima yang menyatu, adalah tipe integrasi kultural yang dicapai oleh Alifuru Bati atau Orang Bati adalah final karena dilakukan melalui adat Esuriun Orang Bati.
3)Secara akademik, penggunaan sebutan suku dan orang memiliki makna yang berbeda.
Namun dalam studi ini penggunaan kedua istlah digunakan secara bergantian karena terkait dengan proses-proses sosial di mana istilah “Orang” merupakan sebutan umum yang dijumpai dalam interaksi sosial dalam kehidupan Orang Maluku, sedangkan istilah suku jarang digunakan dalam interaksi sosial.
4)Patasiwa artinya Sembilan Bagian dan Patalima artinya Lima Bagian, adalah sistem
pengelompokan sosial yang khas pada keturunan Alifuru di Pulau Seram atau Nusa Ina
huni kawasan hutan (esu) berjumlah ribuan (riun) orang, ternyata mereka terdiri dari kelompok sosial yang berbeda. Esuriun Orang Bati berarti muncul kesadaran bersama untuk menyatu sebagai Orang Bati yang percaya bahwa leluhur mereka berasal dari keturunan yang sama dengan suku-suku lainnya di Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) maupun Maluku adalah orang satu asal, sehingga mereka memiliki hak dan kewajiban untuk menjaga dan melindungi Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu) di Tanah Maluku dari serbuan orang luar. Untuk me-wujudkan strategi yang cakap tersebut diperlukan mekanisme adat sehingga melalui keputusan adat berarti Orang Bati dapat melakukan hal itu secara bersama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui perundingan yang berlangsung dalam kawasan hutan hujan di Pulau Seram Batian Timur.
Esuriun Orang Bati yang dilakukan melalui mekanisme adat, diawali dari pertemuan adat (mabuluk) yang dilakkan secara internal terhadap seluruh warga yang mendiami kawasan hutan hujan di Samos
dengan pemimpin adat mereka masing-masing, pemimpin kelompok marga (kapitan) atau mata-rumah (it etar), ahli spritual(Maweng), dan seluruh warga untuk menentukan pemimpin atau kapitan Esuriunr, Raja (Raita) yang bergelar adat sebagai “Mata Lean” atau Jou di Tana (Tanah) Bati (Atamae Batu), kemudian melakukan strategi turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) untuk menjaga dan melindungi seluruh hak milik (property) yang berharga (bernilai) guna mewujudkan kelangsungan hidup (survival strategy) bagi anak cucu pewaris tradisi dan kebudayaan Bati agar tidak punah.
dalam upacara adat Esuriun Orang Bati yang senantiasa dilakukan oleh anak cucu pewaris tradisi, adat, dan kebudayaan Bati untuk mengenang kisah turunnya leluhur mereka dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua ukara) terus dilembagakan. Orang Bati atau Suku Bati yang menghuni kawasan hutan hujan di Pulau Seram Bagian Timur saat ini memiliki jumlah ribuan orang. Mereka selalu tunduk dan taat pada lembaga adat Esuriun Orang Bati, karena lembaga ini memiliki multi fungsi dan peran5
Sebagai contoh dijumpai dalam kehidupan Orang Bati tergolong berbeda dengan masyarakat lainnya. Dalam literatur Antropologi yang
) dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi,
politik, dan sebagainya pada lingkungan lokal. Untuk itu Esuriun
Orang Bati dapat dipahami sebagai suatu kesengajaan yang diciptakan Orang Bati untuk bertahan hidup (survival strategy) jangka panjang sehingga mereka tidak punah.
Fungsi dan peran dari lembaga Esuriun Orang Bati ternyata mampu menciptakan tatanan baru. Tatanan ini terus dijaga dan di-lindungi oleh pewaris tradisi, adat, dan kebudayaan Bati untuk mem-perlancar dinamika interaksi sosial sebagai Orang Bati Awal, Bati Tengah, Bati Dalam, dan Bati Pantai dalam ikatan teritorial genealogis
dengan nama Anak Esuriun. Artinya tatanan baru ketika Orang Bati atau Suku Bati terintegrasi (menyatu), namun tidak menghapus tatanan lama yang telah terbentuk. Warna dari struktur sosial asli sebagai ke-lompok sosial Patasiwa dan Patalima tetap dipelihara sehingga basis nilai roina kakal terus menguat untuk saling menjaga dan melindungi untuk survive sehingga perkawinan yang berlangsung antara kelompok sosial yang memiliki asal usul berbeda tidak dipertentangkan. Bahkan perkawinan diantara roina kakal yang berasal dari marga yang sama adalah syah menurut adat, terutama pada wanita yang hamil sebelum menikah.
5)Salah satu fungsi dari Esuriun Orang Bati yaitu menjaga, melindungi hak milik
membahas secara khusus mengenai simbolik mengatur perkawinan antar kelompok kekerabatan seperti dalam buku berjudul Les Structures Elementaries de la Parente (1949) mengenai salah satu masalah yang paling pokok dalam khidupan sosial antara kelompok kerabat yaitu pengaturan perkawinan, atau menurut Levi Strauss pengaturan tukar-menukar wanita antara kelompok kerabat, di mana konsepsinya bahwa pranata perkawinan pada dasarnya merupakan tukar-menukar antar kelompok adalah akibat dari konsepsinya me-ngenai asal-mula pantangan inceste yaitu pantangan nikah antara saudara sekandung, yang dalam alam makhluk merupakan gejala hanya ada pada makhluk manusia (Koentjaraningrat, 1987 ; 218-219). Fenomena mengenai perkawinan di kalangan Orang Bati sangat ber-beda karena perkawinan yang berlangsung antara saudara yaitu syah menurut adat. Waktu pelaksanaan pernikahan yaitu mempelai laki-laki duduk bersama dengan orang tua laki-laki (bapak) dari mempelai perempuan. Apabila bapak sudah tidak ada lagi, dapat digantikan oleh saudara laki-laki atau saudara laki-laki dari pihak ibu. Hal ini di-maksudkan yaitu dasar falsafah hidup Orang Bati yaitu saling menjaga dan melindungi, sehingga eksistensi seorang anak yang hendak di-lahirkan oleh seorang ibu harus memiliki seorang bapak (ayah) sebab hal ini dianggap pamali (tabu) kalau seorang anak yang dilahirkan tidak memiliki bapak (ayah).
Walaupun ada kenyataan setelah proses kelahiran anak ke-mudian dilakukan perceraian, namun anak yang telah lahir memiliki seorang bapak (ayah) sebagai tempat berlindung. Dalam adat Esuriun
Tipe integrasi yang dicapai melalui Esuriun Orang Bati adalah integrasi kultural (cultural integration), dan hal itu benar-benar men-capai final karena dikukuhkan melalui adat esuriun. Integrasi seperti adalah khas, karena belum ditemukan pada suku lainnya di Pulau Seram maupun Maluku. Suatu model integrasi yang benar-benar utuh, sehingga dapat dijadikan sebagai contoh maupun model dalam usaha mengintegrasikan masyarakat yang bercorak majemuk untuk dapat di-jadikan sebagai pedoman dalam mengelola dan membangun secara adil tanpa menimbulkan konflik dan kekerasan. Makna Esuriun Orang Bati sebagai strategi kelangsungan hidup yang cakap karena strategi ini damai dan tidak menimbulkan pertentangan (conflict) maupun ke-kerasan (violence) terhadap orang lain. Strategi ini dikatakan cakap karena dilakukan secara arif sehingga Orang Bati berhasil menjaga dan melindungi seluruh hak milik mereka yang berharga (bernilai) untuk bertahan hidup (survival strategy), dan menurut teori Parson berarti Orang Bati sukses dalam mengelola fungsi utama dalam struktur sosial sehingga problem sistem yang mendasarinya yaitu fungsi integrasi untuk menciptakan keseimbangan dalam sistem benar-benar dijaga dan dilindungi secara baik untuk mewujudkan kelangsungan hidup yang cakap dan dimaknai sebagai survival strategy.
Esuriun Orang Bati: Sukses Melindungi Hak Milik Untuk Bertahan Hidup (Property Protection for Survival Strategy)
Makna berhasil atau sukses yang dicapai melalui Esuriun Orang Bati sehingga hak milik untuk kelangsungan hidup (property pro-tection for survival strategy) jangka panjang, apabila dikaitkan dengan analisis Suckhurgbh (2008: 9) tentang Survival of The Human Race
yang menekankan bahwa sukses dari kelompok manusia untuk survive
karena mereka dapat mengorganisir diri, dan distribusi sumber daya yang dimiliki. Teori ini menekankan bahwa kekuatan mengorganisir diri (individu), kelompok, dan komunitas untuk bertahan hidup (survival strategy) pada manusia berbeda-beda.
yang menyebut diri dengan nama Orang Bati ketika berada di Samos,
ternyata Orang Bati telah berusaha mengorganisir diri, kelompok, dan komunitas. Lebih jauh dari itu Esuriun Orang Bati dibangun ber-dasarkan komitmen atau majanji yang dilakukan secara adat pada leluhur (Tata Nusu Si), dan juga pada Nusa Ina (Pulau Ibu), dan Tana (Tanah) Bati (Atamae Batu). Sebagai anak cucu Alifuru atau Alifuru Ina
yaitu Alifuru Bati atau Orang Bati memiliki hak dan kewajiban yang sama sehingga mendapat legitimasi secara adat untuk mewujudkannya dalam kehidupan keseharian mereka.
Secara teoritis, strategi bertahan hidup (survive) yang sukses atau berhasil melalui Esuriun Orang Bati karena lembaga adat esuriun
memiliki daya tahan jangka panjang guna mewujudkan nilai ke-berlanjutan (sustainable) dalam mengelola sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dimiliki secara arif bagi kelangsungan hidup generasi penerus tradisi Bati agar mereka tidak punah. Untuk itu Orang Bati sampai saat ini masih tetap hidup, walaupun kondisi mereka ter-isolasi dan mengalami masalah kemanusiaan cukup krusial karena terabaikan dari masyarakat dan pemerintah (negara).
sebagai komitmen bersama yang telah tercipta ketika kehidupan awal di Samos sekitar Gunung Bati.
Esuriun Orang Bati: Kekuatan Integrasi Antar Kelompok Sosial
Patasiwa dan Patalima di Tana (Tanah) Bati
Proses integrasi yang dicapai Orang Bati setelah Esuriun Orang Bati bersumber dari hubungan-hubungan sosial yang tercipta melalui relasi roina kakal. Proses menyatunya Orang Bati yang terdiri dari kelompok sosial Patasiwa dan Patalima terintegrasi secara kultural maupun teritorial yang dilakukan melalui adat Esuriun Orang Bati. Terintegrasinya kelompok Patasiwa dan Patalima melalui Esuriun
Orang Bati karena awalnya mereka hidup berbedabeda dengan adat-istiadat dan teritorial sendiri-sendiri, kemudian bersepakat untuk hidup bersama sebagai roina kakal yang hidup dalam teritorial
genealogis atau etar.
Hal ini berarti dalam Esuriun Orang Bati terdapat mekanisme keseimbangan yang berkembang secara alamiah, kemudian digunakan secara bersama sehingga memunculkan kesadaran bersama untuk saling menjaga dan melindungi diantara mereka satu terhadap yang lain dalam suatu sistem sosial untuk memanfaatkan wilayah roina kakal
atau teritorial genealogis seperti etar yang terdapat dalam watas nakuasa. Teritorial genealogis atau wilayah roina kakal untuk me-wujudkan kelangungan hidup (survival strategy) jangka panjang pada genarasi penerus tradisi dan kebudayaan Bati agar mereka sebagai salah satu spesis yang ada di alam tidak mengalami kepunahan. Semua elemen yang terdapat dalam sistem sosial Orang Bati berdasarkan adat
Esuriun Orang Bati ikut berfungsi dan berperan secara baik dalam menciptakan keseimbangan agar sistem tersebut tidak goyah maupun lapuk oleh waktu.
Terintegrasinya kelompok sosial Patasiwa dan Patalima menjadi
(Saparua, Haruku, Nusa Laut), Kei, Aru, maupun Kepulauan Maluku umumnya. Menyatunya kelompok sosial Patasiwa dan Patalima di Tana (Tanah) Bati (Atamae Batu) melalui Esuriun Orang Bati di dasar-kan pada kesadaran bersama sebagai roina kakal 6
Fenomena sosio-kultural yang berlangsung dalam kehidupan Orang Bati apabila dianalisis dengan menggunakan teori strukturalis-me-fungsional yang dikemukakan Emile Durkheim tentang paradigma fakta sosial di mana dalam sosiologi meliputi struktur sosial dan pranata sosial yang dirinci menjadi kelompok kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, posisi, peran, nilai-nilai, keluarga, pemerintah, dan
se-) utnuk saling
menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung). Kekuatan integrasi antar kelompok sosial yang berbeda membuat Orang Bati atau Suku Bati sanggup menghadapi dan mengatasi tekanan (presure) yang ber-sumber dari dalam akibat alam yang tidak ramah, isolasi geografi, dan lainnya. Tekanan yang berasal dari luar lingkungan seperti tidak ada bantuan negara, menguatnya stigma, dan lainnya yang mengancam kelangsungan hidup Orang Bati.
Sebagai anak cucu pewaris tradisi Bati, mereka wajib dan terus melestarikan nilai maupun adat Esuriun Orang Bati untuk me-wujudkan kelangsungan hidup jangka panjang, dan hal ini telah teruji sehingga Orang Batin bisa memiliki kekuatan untuk survive pada tingkat individu, keluarga, kelompok, maupun komunitas, walaupun mereka mengalami tekanan (presure). Esuriun Orang Bati merupakan pengetahuan lokal (local knowledge), yang terimplementasi sebagai kearifan lokal (local wisdom) dari Orang Bati atau Suku Bati, dengan dunia mereka sehari-hari atau berada dalam habitat Orang Bati dalam mengintegrasikan kekuatan untuk mewujudkan kelangsungan hidup (survival strategy) jangka panjang.
142)Istilah Roina Kakal sepadan dengan basudara yang terdapat dalam bahasa
bagainya, maka menurut Marcel bahwa fakta sosial dapat bersifat eksternal terhadap individu, artinya terpisah dan mempengaruhi individu. Teori yang tergolong ke dalam paradigma fakta sosial adalah struktural fungsional dan struktur politik. Pandangan struktural fungsional, bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang ter-diri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan membawa perubahan terhadap bagian yang lain. Teori ini dimantapkan oleh Parson, sebelumnya dipengaruhi oleh Durkheim, Comte, dan Louis De Bonal dengan asumsi bahwa setiap elemen (struktur) dalam sistem sosial adalah fungsional terhadap lain-nya (Soelaiman, 1998 ; 62-63).
Analisis terhadap kekuatan integrasi yang terdapat di balik
Esuriun Orang Bati dengan menggunakan kerangka pikir Parson ten-tang AGIL (adaptation, gool etaitmen, integration, dan latenty), dapat dikatakan bahwa teori ini memiliki relevansi untuk menjelaskan fenomena aktual yang berada di balik Esuriun Orang Bati sebagai ke-kuatan bertahan hidup (survival strategy) jangka panjang karena sampai saat ini Orang Bati tetap bisa bertahan hidup walupun kondisi nyata dari mereka yang terus mengalami tekanan, dan terabaikan. Tipe integrasi yang dicapai Orang Bati atau Suku Bati seperti ini dalam perspektif sosiologi apabila dibandingkan dengan pendapat Usman (1995: 86) yaitu usaha menciptakan integrasi dalam masyarakat ber-lilitlilit dengan banyak hal. Integrasi sejati tidak dapat dibangun di atas perlakuan yang represif karena berkaitan dengan sosialisasi nilai, dis-tribusi peran serta interdependensi ekonomi. Terciptanya suatu in-tegrasi tidak dapat mendadak, tetapi melalui suatu proses yang panjang terutama karena masyarakat banyak sekali kepentingan.
terintegrasi, kemudian Orang Bati atau Suku Bati melaksanakan strategi untuk turun dari hutan (esu) dan gunung (ukar) atau (madudu atamae yeisa tua ukara) untuk menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung) terhadap hak milik (property) mereka yang berharga (bernilai) dari serbuan orang luar merupakan strategi kelangsungan hidup yang cakap (survival strategy).
Usaha menelusuri tipe integrasi yang dicapai melalui Esuriun
Orang Bati menjadi relevan karena dalam perkembangannya secara teoritis terdapat berbagai tipe integrasi sosial antara lain integrasi interaksionis yaitu integrasi yang berlangsung melalui simbol-simbol, karena manusia merupakan makhluk yang mampu menciptakan dan menggunakan simbol. Integrasi normatif dapat tercapai apabila unsur-unsur dasar dalam sistem kultural yaitu nilai-nilai umum masyarakat diintitusionalisasi dalam unsur-unsur sistem sosial. Integrasi fungsional yaitu masing-masing bagian membantu keseimbangan jaringan dan fungsional terhadap keseluruhan.
Integrasi ini dicapai jika terdapat saling ketergantungan di antara unit-unit dalam suatu sistem sosial, dan anggotanya menjadi anggota dari kesatuan sosial (cross-cutting affiliations), sehingga konflik yang terjadi di antara suatu kesatuan sosial dengan kesatuan sosial yang lain segera dinetralisir oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities)
Terintegrasinya kelompok sosial Patasiwa dan Patalima7) di Tana
(Tanah) Bati telah memunculkan struktur sosial baru di mana proses sosial yang berlangsung dalam sistem sosial Orang Bati atau Suku Bati mampu menciptakan keseimbangan dalam komunitas sehingga muncul berbagai kerjasama yang baik, dan meminimalisir konflik yang ber-potensi merusak tatanan kehidupan bermasyarakat8), bisa mengancam survival strategy secara langsung maupun tidak langsung. Melalui
Esuriun Orang Bati yang mampu mengintegrasikan kelompok sosial yang berbeda di Tana (Tanah) Bati dalam implementasinya telah teruji karena ratusan tahun lamanya Orang Bati me-ngalami kondisi isolasi dan terasing dari lingkungan sekitarnya, tetapi mereka bisa bertahan hidup (survive) dengan cara-cara hidup sesuai kebudayaan Bati sampai sekarang. Dikatakan bahwa kekuatan yang dimiliki Orang Bati untuk
survive ada pada lembaga Esuriun Orang Bati adalah benteng9
7)Fakta yang dijumpai yaitu di Kampung atau Dusun Rumbou (Bati Tengah) terdapat
marga Siasaun (kelompok Patasiwa) menempati teritorial secara bersama dengan marga Walima (kelompok Patalima). Fenomena seperti ini dapat dijumpai pada berbagai dusun atau kampung (wanuya) lainnya di Tanah Bati (Atamae Batu).
8)Dalam tradisi Alifuru Seram pada masa lampau yang masih kuat mempertahankan
Heka Leka (perang dulu baru damai), maka konflik dan permusuhan antara kelompok
Patasiwa dan Patalima sering terjadi. Untuk itu kelompok Pata Siwa dan Pata Lima di tempat-tempat lainnya tidak pernah mendiami lokasi kediaman secara bersama, tetapi mereka mendiami daerah kekuasaan (petuanan) sendiri-sendiri. Bandingkan dengan studi yang dilakukan oleh Bartles 1977 dalam pembahasan tantang munculnya pesekutuan pela pada masyarakat adat di Maluku. Walaupun Bartles lebih menekankan tentang munculnya persekutuan pela lebih pada aras genealogis teritorial, tetapi pemikirannya bisa digunakan untuk memahami potret kehidupan keturunan Alifuru
Seram pada masa lampau. Hal ini mengandung makna bahwa studi yang dilakukan Bartles belum menunjukkan perspektif utuh mengenai kehidupan Alifuru Seram. Studi mengenai Esuriun Orang Bati dapat dikatakan berbeda, karena anak cucu keturunan
Alifuru atau Alifuru Ina yang mendiami Tanah Bati (Atamae Batu) yaitu Orang Bati yang terdiri dari kelompok Patasiwa dan Patalima dapat terintegrasi melalui Esuriun
Orang Bati sehingga relasi sosial yang tercipta yaitu berdasarkan teritorial genealogis
atau wilayah orang basudara karena mereka menganggap dirinya adalah orang
basudara (roina kakal).
9)Maksud dari benteng ada pada diri manusia karena menurut pemaknaan yang
diberikan Orang Bati bahwa kerajaan Bati itu ada di dalam kepala manusia (otak), dan hati (nurani) manusia yang bersih atau Batti sehingga menjadi pagar (sirerun) untuk menjaga,melindungi dan membentengi manusia. Benteng tanpa tembok ini ini tidak tampak, tetapi sudah teruji karena kokoh, kuat, ulet (berketahanan) untuk mewujudkan kelangsungan hidup jangka panjang (survival strategy).
) yang