• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Relasi Negara dan Masyarakat di Rote D 902007003 BAB V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Relasi Negara dan Masyarakat di Rote D 902007003 BAB V"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

93

Rote dalam Konteks Pembangunan di Nusa

Tenggara Timur

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan, Kabupaten Rote Ndao dihadapkan pada berbagai masalah sumber daya alam, sumber daya manusia, nilai-nilai sosial-kultural yang mulai memudar, terbatasnya anggaran serta sarana dan prasarana (infrastruktur) dalam mengelola berbagai potensi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat adalah bagian utama yang dibahas dalam bab ini.

Tu'u Belis dan Kemiskinan di Rote

Tradisi masyarakat Rote sejak turun-termurun erat dengan pesta pora. Kematian dan pernikahan diikat dalam satu aturan adat

Tu’u (adat pemberian sumbangan bersyarat) serta disambut dengan

ritual minum dan makan daging selama berhari-hari. Puluhan bahkan ratusan hewan seperti domba, babi, sapi hingga kuda disembelih saat pesta yang digelar bahkan bisa menghabiskan dana sampai ratusan juta rupiah. Kemeriahan pesta adalah keharusan dan tak memandang status ekonomi apakah sang penyelenggara pesta masuk dalam golongan kaya atau miskin.

(2)

menjadi sajian utama di Rote adalah sumbangan yang harus dibayar dan bukan sukarela. Dengan kata lain setelah marak pesta, yang tersisa adalah tumpukan utang yang seringkali diwariskan hingga anak cucu.

M ubyarto, et al (1991:52) mencatat bahwa penduduk di Rote

melakukan “pemborosan” karena untuk memenuhi tuntutan

kebutuhan sosial religius (pesta adat) mereka banyak hewan peliharaan yang dikorbankan (antara 20-40 ekor) untuk menjamu para tamu yang hadir dalam pesta adat yang populer dengan istilah “undang makan daging”. M anafe (1967) menuturkan bahwa daging yang disembelih dalam “acara makan daging” tidak dibagi secara sembarangan tetapi dengan aturan-aturan adat yang telah ditetapkan. Nama-nama orang yang berhak menerima daging adalah sebagai berikut:

Langga laik atau separuh kepala bagian atas mulai dari moncong terus ke telinga sampai pangkal leher diperuntukkan untuk M anek,

Fetor dan M anesio, tua-tua kampung serta untuk tamu-tamu asing

yang terhormat. Dalam lingkungan kerabat bagian ini diberikan kepada Ayah dan To’o (Paman).

Timik, yaitu separuh dagu, terhitung dari moncong sampai pangkal

leher. Bagian ini diberikan untuk orang-orang yang dalam struktur sosial setingkat lebih rendah dari yang disebut pertama. Dalam hubungan kekeluargaan diberikan kepada saudara-saudara lelaki tertua.

Tenek, yaitu separuh tulang dada bersama beberapa tulang rusuk. Bagian ini untuk M anefeto (Istri M anek) atau untuk wanita terpandang. Dalam kekeluargaan bagian ini diberikan untuk ibu dan saudara wanitanya.

Dimok atau daging bagian pangkal paha diberikan untuk wanita yang lebih rendah kedudukannya dari M anefeto. Dalam hubungan kekeluargaan bagian ini untuk saudara perempuan.

Paeik atau daging kaki dan paha diberikan untuk anak-anak.

(3)

Poduik atau tulang rusuk. Bagian ini diberikan pada orang-orang biasa dan para tetangga.

Pada masa pemerintahan Nusak seluruh padang

penggembalaan untuk ternak peliharaan dan mata air adalah milik bersama (communal property)73 serta tidak ada pemberlakukan pajak

atau retribusi untuk padang pengembalaan maupun mata air yang digunakan secara bersama-sama. Sejak negara hadir, klaim atas tanah yang tidak dikelola, tidak ditempati menjadi tanah milik negara serta padang pengembalaan dan mata air telah berubah menjadi hak milik pribadi, hak milik keluarga (private property).

Tu’u Belis: Sistem Kekerabatan dan Kekeluargaan Untuk Perkawinan

Tu’u (dalam bahasa Rote berarti kumpul ongkos) dan Belis

(dalam bahasa Rote berarti mas kawin) dengan demikian dapat diartikan bahwa Tu’u Belis adalah (kumpul ongkos untuk kawin). Tu’u

Belis merupakan sebuah praktek turun temurun yang pada gilirannya

membentuk indentitas masyarakat Rote (budaya orang Rote). Pelestarian praktek budaya ini menjadikannya sebagai konstruksi identitas yang menurut masyarakat Rote hadir dengan keunikannya sendiri. Sampai saat ini belum ada sumber tertulis atau sumber lisan yang mampu menjelaskan sejak kapan praktik Tu’u Belis mulai diterapkan dalam kehidupan masyarakat Rote.

M enurut Folabessy (2009) upaya mempertahankan kebudayaan di satu sisi harus berbenturan dengan realitas ekonomi pada sisi yang lain. Hal ini terjadi dalam tradisi Tu’u Belis atau kumpulan keluarga untuk mengumpulkan ongkos pernikahan. Tu’u Belis adalah sebuah praktek turun menurun yang pada gilirannya membentuk identitas

73

(4)

masyarakat Rote. Tujuan awal dari Tu’u Belis sebenarnya ada pada usaha untuk menguatkan sistem kekerabatan dalam masyarakat. Tu’u

Belis merupakan salah satu sarana untuk saling membantu di antara

anggota masyarakat. Dalam praktek Tu’u seluruh anggota seolah-olah dituntut berpartisipasi karena hal ini dianggap sebagai suatu kewajiban adat. Di sini tekanan moral sangat kuat dirasakan oleh warga. M ereka harus mencari uang untuk ikut Tu’u. W alau di rasa berat, praktik ini tetap saja dilakukan karena masyarakat menganggapnya sudah sebagai tuntutan adat yang harus dipenuhi. Jika tidak dipenuhi mereka akan merasa malu sebagai akibat dari sanksi sosial yang harus ditanggung. Oleh karena itu dengan segala daya mereka akan menyediakan uang demi bisa ikut Tu’u.

Tujuan awal Tu’u Belis sebenarnya ada pada usaha untuk menguatkan sistem kekerabatan dalam masyarakat. Tu’u Belis merupakan salah satu sarana untuk saling membantu di antara anggota masyarakat. Itulah maksud sederhana dibalik praktek Tu’u Belis.74

Setidaknya ada tiga tahapan dalam Tu’u Belis. Pertama adalah Tu’u daftar (mendaftar keluarga yang akan diundang). Selanjutnya Tu’u kumpul keluarga (membicarakan sumbangan yang akan diberikan). Dan yang terakhir adalah Tu’u penyetoran (menyerahkan sumbangan); barulah puncak acara tiba: pesta nikah.

M enurut Haning (2010) dalam setiap tahapan Tu’u Belis tersebut selalu diisi dengan pesta makan daging. M aterial yang digunakan dalam Belis dapat dilihat pada Tabel 5.1. berikut ini:

Tabel 5.1. M aterial Mas Kawin (Belis)

NO M ATERI AL JENI S

1 Hewan kerbau, sapi, kuda, kambing, domba

2 Mas habas, cincin, sofren, gelang

3 Tanah sawah, ladang (tidak termasuk kebun)

4 Pepohonan kelapa, lontar

5 Uang uang kertas

Sumber: Haning, (2010)

(5)

Selanjutnya menurut Haning (2010) masyarakat Rote Ndao walaupun tidak mempunyai mata uang, tetapi mempunyai satuan nilai uang (standart) yang tetap. M ereka menggunakan istilah “rupiah”.75

Nilai untuk satu “rupiah” dalam belis sama nilainya dengan Rp200.000,- dalam mata uang Indonesia. (setiap Nusak memiliki standart yang berbeda-beda). Tiap jenis material belis mempunyai satuan ukuran yang tetap. Seperti mas mempunyai satuan ukuran yang disebut batu, oma, bondo, nggause dan koro. Selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 5.2. berikut ini:

Tabel 5.2. Satuan Nilai M aterial Mas Kawin (Belis)

NO M ATERI AL BELI S SATUAN NI LAI DALAM BELI S

Kerbau Betina 12 ekor kambing atau domba + 1 ekor anak

Kerbau Dua Adik 7 ekor kambing atau domba + 1 ekor anak

75 I stilah “rupiah” meskipun memiliki kesamaan dengan mata mata uang Indonesia

(6)

NO M ATERI AL BELI S SATUAN NI LAI DALAM BELI S (1 x Rp200.000,-)

Kerbau Satu Adik 5 ekor kambing/domba

Kuda Betina 7 ekor kambing atau domba + 1 ekor anak

Babi Kecil 1 ekor kambaing/domba

Babi Satu Kayu *) 2 ekor kambing/domba

Batu Dua Kayu *) 4 ekor kambing/domba

Sumber: Haning (2010)

Keterangan: *) babi satu kayu atau babi dua kayu dilihat dari besar/beratnya babi yang dapat diangkut dengan mempergunakan sebuah kayu pemikul. Tiap kayu sebanyak dua orang pemikul.

Dalam penerapan Tu’u Belis saat ini, material berupa hewan dan mas telah diganti pembayarannya menggunakan uang kertas.

Tu’u Belis dan Kemiskinan

Ada asumsi bahwa keberadaan Tu’u mengurangi kemampuan daya beli rumah tangga terutama untuk memenuhi kebutuhan gizi dan pendidikan anak-anak dalam rumah tangga. Asumsi semacam ini bisa saja keliru dan bisa juga benar, tetapi fenomena Tu’u yang mempunyai tekanan moral (moral pressure) yang kuat kepada masyarakat. dari manakah asal muasal Tu’u Belis sampai dengan saat ini tidak ada informasi yang bisa dijadikan referensi, namun ini merupakan kebiasaan masyarakat Rote ketika melakukan serangkaian pertemuan untuk Tu’u Belis (kumpul ongkos kawin) telah dilakukan sejak lama.

Hal ini dilakukan untuk memastikan kesanggupan kerabat

menyangkut besarnya sumbangan dalam pembiayaan sebuah pesta

pernikahan.76 Sumbangan baik berupa uang maupun ternak yang

dicatat nama penyumbang dan besar sumbangan. Jika suatu ketika keluarga yang membawa hewan tersebut membuat pesta maka keluarga penerima hewan akan datang membawa jenis hewan yang sama atau lebih. Semua ini dilakukan dalam rangka menjaga kekerabatan dan prestise sosial.

(7)

Tu’u Belis ternyata tidak sesederhana seperti yang kita

bayangkan. Persoalan Tu’u Belis yang kelihatannya sepele (sekadar kumpul ongkos kawin) dapat menjadi bumerang bagi masyarakat Rote sendiri. Tu’u Belis bisa berdampak pada kesenjangan ekonomi karena ada kelompok sosial yang bisa memanfaatkan keuntungan dari situasi tersebut. Selain itu Tu’u Belis bisa berakibat pada suatu masyarakat yang saling berhutang. Kondisi ini sedang berlangsung dalam masyarakat Rote sendiri dan mungkin suatu ketika yang terjadi adalah kemiskinan bersama (shared poverty). Kemudian standarisasi Tu’u

Belis bertujuan untuk membawa masyarakat keluar dari jaring-jaring

hutang turun temurun tanpa menghilangkan nilai kekerabatan yang terkandung di dalamnya.

Tu’u Belis menjadi sebuah peristiwa sosial yang harus diikuti

jika tidak ingin mendapat pengucilan (social enxclusion). Tu’u yang dicetus pada awalnya untuk menolong masyarakat kini malah menciptakan masyarakat penghutang (debitor society) karena ongkos

belis mulai dimulai dari angka Rp1.000.000 sampai dengan

Rp75.000.000,-77 Jika mereka tidak punya uang untuk Tu’u mereka

akan mencari pinjaman dari tetangga dengan bunga sekitar 5-10% dan ada juga yang meninjam dengan bunga tapi tidak diungkapkan berapa persen yang harus mereka bayar. Dengan demikian, Tu’u sebenarnya sudah menyebabkan berlangsungnya ekonomi renternir dengan tingkat bunga yang tinggi. Jika ada seseorang yang mau memberi pinjaman (pemilik modal) kepada penduduk maka sudah dapat dipastikan pendapatan penduduk akan lari ke pemilik modal tersebut sedangkan penduduk akan tetap miskin. Hal ini pada gilirannya akan mendorong kesenjangan pendapatan yang semakin melebar di antara yang punya uang dan yang tidak punya uang.

77 Misalnya jumlah belis yang ditentukan oleh keluarga perempuan kepada keluarga

(8)

Selain meminjam, dalam keadaan terpaksa bisa menggadaikan atau menjual barang-barang yang ada. Praktek seperti ini merata di semua tempat yang melakukan Tu’u. Di beberapa tempat bahkan ada orang yang menjual barang emas untuk bisa membayar Tu’u78, jika

proses ini dibiarkan terus menerus maka bisa terjadi bahwa orang yang mempunyai dana lebih akan mendapat keuntungan dari proses penjualan tersebut. Fenomena ini menunjukkan telah terjadi transfer asset dari warga miskin ke warga kaya. Kondisi ini juga mendorong terjadinya kesenjangan ekonomi di wilayah yang melaksanakan Tu’u.

Kebiasaan mengadakan pesta ketika mengadakaan Tu’u bisa dikatakan sebagai penyebab semakin beratnya beban bagi masyarakat. Tujuan pesta ini adalah untuk mengumpulkan orang. Pesta tersebut membutuhkan biaya yang cukup besar karena beberapa hewan besar maupun kecil dikorbankan/ disembelih. Hewan untuk pesta dibeli dari uang yang bisa didapat dengan cara berutang kepada orang lain. Jika yang menghadiri pesta banyak maka tidak sedikit hewan yang disembelih. Namun ironisnya Tu’u yang diterima tuan pesta lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan untuk pesta.79 Jika ini yang terjadi maka

sebenarnya yang terjadi adalah tuan pesta yang memberi subsidi makan kepada masyarakat dan bukan masyarakat yang membantu tuan pesta. Kalau demikian maka Tu’u di sini lebh memiskinkan tuan pesta yang disebabkan oleh hutang yang dibuatnya untuk pesta dan kewajiban

Tu’u-nya kepada anggota keluarga yang lain.

Di sini tampak situasi ambiguitas Tu’u. Pada satu pihak Tu’u dianggap membuat pusing namun dipihak lain ia dianggap menolong dan sifatnya wajib karena sudah merupakan adat istiadat orang Rote yang memberi identitas sosial kultural kepada orang-orang Rote.

(9)

Sifat ambigu ini muncul karena karakteristik Tu’u Belis yang seperti arisan. M isalnya, bila Keluarga A (W anita) hendak menyelenggarakan pesta pernikahan dengan Keluarga B (Pria), maka Keluarga B akan mengundang seluruh rumpun keluarga besar yang terkait dan tetangga disekitarnya untuk mengumpulkan uang/barang (Tu’u) demi membayar belis pada Keluarga A. Apabila ada keluarga yang karena sesuatu hal tidak mempunyai uang/barang maka itu dicatat sebagai hutang yang harus dilunasi di kemudian hari. Di pihak lain, Keluarga B mempunyai kewajiban untuk melakukan Tu’u kepada keluarga-keluarga mana yang menyelenggarakan pesta pernikahan.

W alaupun praktek Tu’u dianggap memberatkan tapi banyak orang yang pesimis jika Tu’u bisa dihapus. Dari kalangan generasi muda ada ide untuk mengapus Tu’u namun keinginan ini berbenturan dengan kelompok tua yang ingin mempertahankan Tu’u dengan alasan melestarikan nilai adat. Namun dibalik itu sebenarnya ada alasan yang jauh lebih mendasar. Sebagian masyarakat ingin mempertahankan Tu’u karena alasan-alasan ekonomis yaitu bahwa mereka sudah terlanjur menyertakan uang mereka dalam Tu’u dan itu harus dikembalikan. berpendapat bahwa Tu’u harus terus jalan agar mereka berkesempatan untuk mengembalikan uang orang yang sudah mereka nikmati. Orang tua mereka bahkan berpesan kepada anak-anak mereka agar tetap membayar hutang tersebut sekalipun orang tuanya sudah meninggal. Yang terjadi adalah hutang Tu’u telah menjadi hutang antar generasi

(10)

Apabila kondisi di atas terus menerus dibiarkan maka masyarakat Rote yang terlibat dalam Tu’u Belis tidak akan sempat melakukan akumulasi modal sebagai masyarakat terjun ke dunia usaha. Kerja keras mereka hanya untuk membayar hutang. Barangkali suatu ketika akan muncul kapitalis-kapitalis desa, yaitu orang yang sengaja memanfaatkan Tu’u untuk mendapatkan keuntungan.

Dapat penulis tambahkan bahwa pemerintah Kabupaten Rote Ndao telah memfasilitasi hadirnya Forum Komunikasi Tokoh Adat Peduli Budaya (FKTAPB) Rote Ndao pada tanggal 7 Juni 2012 yang dipimpin oleh John B. Ndolu (M aneleo dari Leo Kunak-Nusak Ba'a). FKTAPB Rote Ndao ini terbagi dalam kepengurusan di tingkat kecamatan dengan tugas utama melakukan standarisasi harga dalam

Tu'u Belis pada setiap Leo yang ada di Rote. Leo Kunak yang dipimpin

oleh John B. Ndolu adalah yang pertama melakukan standarisasi Tu'u

Belis yaitu mengganti fungsi Tu'u Belis menjadi Tu'u Pendidikan untuk

biaya kuliah anak-anak dalam Leo Kunak yang kemudian dijadikan model untuk melakukan standarirasi harga dalam Tu'u Belis.82

Gambaran di atas menunjukkan bahwa masyarakat masih menganut sistem dan nilai-nilai yang terkandung dalam Tu'u Belis dan negara melalui FKTAPB Rote Ndao (yang beranggotakan para

M aneleo) melakukan standarisasi harga atau nilai uang yang berlaku

pada Tu'u Belis dan mengalihkannya untuk pendidikan (Tu'u Pendidikan) tanpa menghilangkan nilai dan pesan dari Tu'u Belis itu sendiri sebagai bagian dari warisan hukum adat orang Rote. Dengan begitu masyarakat Rote dapat terhindar dari status sosial sebagai masyarakat penghutang (debitor society).

(11)

Perkembangan Pembangunan di Rote

Kabupaten Rote Ndao merupakan salah satu dari 370 Kabupaten83 yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia dan merupakan kabupaten paling terdepan84 di bagian

selatan Indonesia. Hal ini benar jika dilihat dari konteks pulau yang berpenghuni, sesungguhnya pulau terdepan bagian selatan Indonesia adalah Pulau Ndana, sebuah pulau kecil yang tidak berpenghuni.85

Ada beberapa alternatif pilihan transportasi yang bisa digunakan untuk sampai ke Rote dari Kupang. Pertama, menggunakan jasa transportasi laut, di mana dibutuhkan waktu sekitar + 2,5 jam perjalanan dengan menggunakan Kapal Ferry Cepat milik perusahaan pelayaran swasta (Bahari Express) dari Pelabuhan Nusa Lontar-Kabupaten Kupang menuju Pelabuhan Baa atau + 4-6 jam menggunakan Kapal Ferry lambat jenis ro ro milik PT. ASDP dari Dermaga Ferry Bolok-Kabupaten Kupang menuju Pelabuhan Pantai Baru. Kedua, menggunakan jasa transportasi udara berupa pesawat terbang tpye Twin Otter dari Bandara Udara El Tari di Kupang menuju Bandara D.C. Saudale86 di Rote dengan lama penerbangan + 20-30

menit. Namun alternatif kedua ini jarang dipilih karena pesawat akan terbang apabila semua tiket terjual.

Biaya perjalanan dari Kupang ke Rote untuk sekali jalan, jika menggunakan pesawat dikenakan harga tiket sebesar Rp250.000/orang (harga tiket tersebut sudah termasuk subsidi dari Pemerintah

83 Lihat Data W ilayah Administrasi dan Pemerintah per provinsi di Seluruh I ndonesia

Tahun 2010 dalam http://www.depdagri.go.id/pages/data-wilayah diunduh pada tanggal 23 November 2010.

84 Beberapa dokumen resmi pemerintah Indonesia dan laporan jurnalistik media cetak

Indonesia menggunakan istilah “Pulau Terluar”.

85 Pulau Ndana saat ini dijaga oleh pasukan TNI -AL Pada tanggal 2 Agustus 2010 telah dilangsungkan peresmian patung Jenderal Soedirman di Pulau Ndana oleh Panglima TNI Lihat: http://www.depdagri.go.id/news/2010/08/02/monumen-jenderal-sudirman-diresmikan-di-pulau-ndana-kabupaten-rote-ndao.

86 Nama Bandara D.C. Saudale baru diresmikan pada tanggal 12 Agustus 2010,

(12)

Kabupaten Rote Ndao). Jika menggunakan angkutan laut, untuk kapal cepat (ferry express) kelas ekonomi sebesar Rp120.000/orang dan kelas VIP sebesar Rp160.000/orang, sepeda motor dikenakan biaya angkut Rp100.000/sepeda motor. Untuk kapal ferry milik ASDP jenis ro ro, harga tiket adalah Rp45.000/orang, untuk kendaraan dikenakan biaya angkut sebesar Rp74.900/kendaraan roda dua, 525.000,-/kendaraan roda empat dan Rp1.050.000,-/kendaraan roda enam87

Selain jasa transportasi laut dan udara di atas, orang Rote telah lama menggunakan perahu layar untuk menyeberang ke pulau Timor tetapi dari Papela, sebuah pelabuhan rakyat di Kecamatan Rote Timur, langsung menyeberang lewat selat pukuafu menuju pulau Timor. Butuh waktu 1 hari perjalanan menuju Timor dalam keadaan cuaca baik. Dengan adanya jalur keluar yang mudah dari pelabuhan Papela dan beberapa pelabuhan di pantai Utara, serta penduduk yang sudah menetap di Timor, pada pertengahan terakhir abad kesembilan belas, orang-orang Rote telah mengembangkan lalulintas dua arah yang terus berlangsung antara Rote dan Timor dan tetap berlangsung hingga kini (Fox, 1996)

Kabupaten Rote Ndao memiliki luas wilayah 1.278,05 Km2 atau

128.010 Ha (2,70% dari total luas Provinsi NTT) dengan jumlah penduduk 113.778 jiwa yang terdiri atas laki-laki 58.073 jiwa dan perempuan 55.705 dengan tingkat kepadatan rata-rata 89 jiwa per Km2.

Jumlah fakir miskin sampai dengan Tahun 2009 tercatat sebanyak 14.883 Kepala Keluarga. (BPS Rote Ndao, 2010).

87 W awancara dengan Deddy Messakh dan Petson C. Hangge (Pengguna Jasa Ferry

(13)

(Sumber: Badan Survey dan Pemetaan Nasional, 2011. Diolah)

Gambar 5.1. Peta Lintasan Penyeberangan Kupang-Rote

(14)

(Sumber: www.rotendaokab.go.id. Diolah)

Gambar 5.2. Peta Kabupaten Rote Ndao M enurut Kecamatan

Dataran tinggi dan bukit di Rote tersusun dari terumbu karang (batuan kapur) dan tanah liat (laterit). Gunung-gunung tidak ada hanya sebuah bukit yang besar dan agak menonjol dari bukit-bukit lain. M asyarakatnya menyebutnya sebagai Gunung Lakamola. Gunung itu terletak di bagian timur dari Rote. Sementara dataran rendah, digunakan untuk membuat kebun dan sawah tadahan di musim penghujan. Sumber-sumber air yang besar ialah Nii OEN di Lalao-Rote Timur dan OE M au88 di Ba’a dan Danau Tua89 yang letaknya

memisahkan Nusak Thie dan Nusak Dengka

88 Lihat Fanggidae (2002)

89Danau Tua memiliki sejarah yang panjang tentang konflik antar Nusak Thie Vs Nusak

(15)

Dari aspek ketersediaan lembaga pendidikan dan ketersediaan tenaga pendidik dapat dilihat pada Grafik 5.1 dan Grafik 5.2. berikut ini:

(Sumber: BPS Rote Ndao, diolah)

Grafik 5.1. Ketersediaan Lembaga Pendidikan di Kabupaten Rote Ndao

Tahun 2002-2009

Grafik 5.1 di atas memberi gambaran dengan jelas adanya peningkatan lembaga pendidikan dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2009 untuk Taman Kanak-kanak, SD Negeri, SM P Negeri dan SM A Negeri. Sementara sekolah swasta termasuk SM K baik negeri maupun swasta tidak mengalami peningkatan jumlah lembaga.

(16)

(Sumber: BPS Rote Ndao, diolah)

Grafik 5.2. Ketersediaan Tenaga Pendidik (Guru) di Kabupaten Rote Ndao

Tahun 2002-2009

Jumlah tenaga pendidik (guru) di Kabupaten Rote Ndao sejak tahun 2002-2009 mengalami peningkatan terutama guru pada sekolah negeri (peningkatan tajam pada jumlah guru SD Negeri dan guru SM P Negeri) disusul jumlah guru pada sekolah swasta sebagaimana trend yang tergambar pada grafik 5.2 di atas.

Persentase penduduk Rote sampai dengan Tahun 2009 yang mampu menamatkan pendidikan di perguruan tinggi adalah 2,12%. Sedangkan persentase penduduk yang mempunyai tingkat pendidikan SLTP ke atas mencapai 25,37%. Pada aras Provinsi NTT, persentase penduduk yang mampu menamatkan pendidikan SLTP ke atas mencapai 17,32%. Gambaran ini menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pendidikan penduduk Rote dapat dikatakan lebih baik dibanding dengan rata-rata tingkat pendidikan di aras provinsi.

(17)

aspek-aspek yang menyangkut informasi global, keadilan, hukum, HAM, politik dan aspek sosial lainnya.

Dapat ditambahkan pula bahwa gambaran tentang ketersediaan lembaga pendidikan, jumlah tenaga pendidik (guru) dan partisipasi peserta didik di atas secara tidak langsung memiliki keterkaitan historis dengan sekolah sekolah umum dan injil yang pertama di Rote pada akhir tahun 1732 (dan merupakan sekolah pribumi pertama di NTT). Pada medio 1733 sekolah pertama dibuka untuk kalangan anak-anak

M anek (Raja) dari seluruh Nusak di Rote sebanyak 74 orang sedangkan

pada tahun 1734 dibuka untuk kalangan umum yang kemudian berkembanglah pendidikan dan injil secara luas di Rote, Timor, Alor, Flores, dan Sabu.90

Pada bidang kesehatan, ketersediaan lembaga kesehatan di Kabupaten Rote Ndao dari Tahun 2002-2009 dapat dilihat pada Grafik 5.3. berikut ini:

(Sumber BPS Rote Ndao, diolah)

Grafik 5.3. Ketersediaan Lembaga Kesehatan di Kabupaten Rote Ndao

Tahun 2002-2009

90 Lihat juga tulisan Jersy W eltry Messakh (Maneleo Mburala'e Nusak Thie) dengan

judul Sejarah Singkat Hadirnya Injil di Pulau Rote dalam

(18)

Grafik 5.3. di atas memberi gambaran dengan jelas bahwa terjadi fluktuasi jumlah Posyandu dari tahun 2002-2009, disusul jumlah Puskesmas Pembantu dan Klinik Keluarga Berencana. Sementara jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas tidak menunjukkan peningkatan yang berarti sejak Kabupaten Rote Ndao terbentuk pada Tahun 2002 sampai dengan Tahun 2009.

Ketersediaan tenaga kesehatan di Kabupaten Rote Ndao sejak tahun 2002-2009 sebagaimana tergambar pada Grafik 5.4. didominasi oleh bidan desa dan perawat umum, kemudian disusul oleh jumlah dokter umum dan tenaga non medis. Sementara, dokter gigi baru mulai hadir di Kabupaten Rote Ndao pada tahun 2006 dengan jumlah yang signifikan hingga tahun 2009.

(Sumber: BPS Rote Ndao, diolah)

Grafik 5.4. Ketersediaan Tenaga Kesehatan di Kabupaten Rote Ndao Tahun 2002-2009

Hasil wawancara dengan Bidan Desa dan Kader Posyandu di Desa Oenggaut91 menegaskan bahwa mayarakat Rote terutama yang

tinggal di desa umumnya akan ke Puskesmas atau Rumah Sakit apabila

91 Bilkha I ba (Bidan Desa) dan Naomi Sumba (Kader Posyandu) di Desa Oenggaut,

(19)

sudah dalam keadaan sakit parah, selain alasan ekonomi karena tidak mampu membayar biaya pengobatan, hal ini juga dipengaruhi oleh konsep sehat-sakit pada masyarakat Rote, sehat adalah orang yang bisa bekerja; sebaliknya sakit adalah orang yang sudah tidak bisa bekerja/ tidak bisa bergerak lagi atau hanya ditempat tidur. W alaupun sakit demam, pilek dan batuk misalnya tetapi masih bisa bekerja atau melakukan aktivitas sosial lainnya maka dianggap sehat.

Dapat penulis tambahkan bahwa dalam Laporan W VI ADP Rote Ndao Tahun 2007 disebutkan bahwa di Rote terdapat 2,6% balita dengan status gizi buruk; 17.6% balita dengan status gizi kurang dan 15,7% balita dengan status diare. Ironisnya karena pada masa lalu rawan gizi hampir tidak pernah terjadi di Rote karena penduduk mampu bertahan dengan sumber bahan makanan lokal, seperti jagung, jagung Rote (sorgum), botok (jewawut di Jawa), dan padi di Rote Tengah dan Rote Timur. Selain itu penduduk yang tinggal dekat dengan pantai memanfaatkan hasil laut secara maksimal bagi konsumsi rumah tangga.

Dengan adanya rawan gizi/kelaparan di Rote menunjukkan telah terjadi suatu perubahan besar dalam ketahanan pangan orang Rote. M ereka sangat rentan terhadap musim dan juga rentan terhadap praktek sosial budaya yang ada seperti Tu'u Belis.

Perkembangan I nfrastruktur Kantor Pemerintahan dan Transportasi

(20)

kompleks bertujuan agar pemerintah dapat memberi pelayanan kepada masyarakat dengan lebih efisien dan efektif.

(Foto: W ilson Therik, 2009)

Gambar 5.3. Kantor Bupati Rote Ndao Bergaya Arsitektur Ti’i Langga

Selain kemajuan pada pembangunan infrastruktur kantor pemerintahan, dibidang pembangunan infrastruktur transportasi (baik transportasi darat, laut maupun udara) juga mengalami perkembangan fisik yang signifikan. Hal ini bisa dilihat dari kondisi jalan dan panjang jalan dari tahun ke tahun juga mengalami peningkatan sebagaimana tergambar pada Tabel 5.3. berikut ini:

Tabel 5.3. Panjang Jalan di Kabupaten Rote Ndao M enurut Jenis Permukaan Tahun 2007-2009

JENI S JALAN PANJANG JALAN (KM2)

TAH UN 2007 TAH UN 2008 TAH UN 2009

Aspal 195,40 231,78 259.63

Kerikil 322,89 345,39 369,49

Tanah 78,39 47,03 42,63

Jumlah 596.68 643,9 671,75

(21)

Dari Tabel 5.3. di atas diketahui kondisi jalan dengan permukaan aspal mengalami peningkatan dari 195,40 Km yang sudah diaspal pada Tahun 2007 menjadi 259,63 Km yang sudah diaspal pada Tahun 2009, kondisi jalan dengan permukaan kerikil mengalami peningkatan dari 322,89 Km pada Tahun 2007 menjadi 369,49 Km pada Tahun 2009 dan kondisi jalan dengan permukaan tanah mengalami pengurangan dari 78,39 Km pada Tahun 2007 menjadi 42,63 Km pada Tahun 2009. Seluruh jalan di Kabupaten Rote tergolong ke dalam Kelas Jalan III C di mana 79,005 Km merupakan Jalan provinsi, 407,90 Km merupakan Jalan Kabupaten dan 243,22 Km merupakan jalan desa (BPS Rote Ndao, 2010).

Ketersediaan kendaraan umum/angkutan umum sampai dengan Tahun 2009 tercatat sebanyak 3 unit bus umum, 76 unit bus mini (mikrolet), 179 unit truck (57 unit bukan untuk umum), 71 unit pick up (60 unit bukan untuk umum) (BPS Rote Ndao, 2010).

Untuk infrastruktur transportasi laut dan udara, dari hasil pengamatan di lapangan dapat penulis kemukakan bahwa pemerintah Kabupaten Rote Ndao telah memperbaiki dan memperluas kapasitas dermaga pelabuhan rakyat di Papela-Rote Timur. Kemudian landasan pacu pada Bandara D.C. Saudale mulai diperpanjang pada Tahun 2010 dari 900 x 23 meter menjadi 1200 x 30 meter dengan tujuan agar pesawat jenis Fokker-27 dan Hercules bisa mendarat tanpa hambatan di Bandara D.C. Saudale.

(22)

Sertifikat Tanah dan surat penting lainnya karena seluruh kantor pemerintahan di Rote berada dalam satu kompleks.

Adanya prasarana dan sarana pemerintahan maupun

transportasi yang baik, tidak hanya mempermudah akses penduduk dari desa ke kota, namun juga menyebabkan para pemimpin informal dan formal dari desa mempunyai kesempatan untuk mengembangkan hubungan yang baik dengan para pemimpin di aras kabupaten. Selain itu, jarak antar desa dan kota semakin dekat dari sisi waktu maka secara otomatis akan lebih banyak memperoleh perhatian (dukungan) dari pihak di atas desa.

Perkembangan Sektor I ndustri Kecil dan I ndustri Lontar

(23)

Selain industri tenun ikat yang berkembang pesat, industri lainnya yang juga turut berkembang adalah Gula M erah. Industri ini menghasilkan produk berupa gula merah atau gula air, gula lempeng, dan gula semut. Industri gula merah merupakan produk asli Kabupaten Rote Ndao karena berasal dari air lontar yang diolah menjadi gula air, gula lempeng dan gula semut. M engelolah Lontar dan hasil-hasilnya sudah menjadi budaya orang Rote, sehingga hampir semua penduduk di Rote Ndao memproduksinya namun hanya untuk dikonsumsi sendiri sehingga hanya 21 unit usaha yang mengelolahnya untuk dijual. Unit-unit usaha ini menggunakan 94 orang tenaga kerja dengan jumlah produksi 91.570 liter/kg/lempeng dan jumlah nilai produksi sebesar Rp. 225.110.000. Beberapa sentra industri gula merah antara lain sentra industri gula merah Oetefu di Kecamatan Rote Barat Daya, sentra industri gula semut Tuatiti di desa Bebalain Kecamatan Lobalain, sentra industri gula semut Serubeba di desa Serubeba kecamatan Rote Timur, sentra industri gula semut Londalusi di Kelurahan Londalusi di kecamatan Rote Timur dan sentra industri gula semut Doudolu di Desa Doudolu di Kecamatan Rote Barat Laut.

(24)

(Sumber Foto: www.kitlv.pictura-dp.nl)

Gambar 5.4. Gadis Rote dengan Busana Tenun Ikat Rote Tahun 1867

Sektor Industri Lontar (Pohon Lontar)92, di mana Pohon Lontar

ini merupakan sektor yang paling produktif dan berkembang sejak lama di Rote93. Karena di pulau inilah pohon Lontar secara alamiah

tumbuh dan berkembang diseluruh kecamatan dengan luas areal + 13.316 Ha (+ 5.326.400 pohon)94 dan karena itu Rote sering dijuluki

sebagai Negeri Sejuta Lontar atau Nusa Lontar. Industri Pohon Lontar yang dikembangkan berupa:

Nira, air nira dari pohon lontar ini dapat diproses lebih lanjut menjadi alkohol dengan tingkat kadar ethanol mencapai 20%-80%, juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan anggur dan sopi95

serta minuman segar lainnya maupun untuk bahan baku kecap manis, kecap asin, kecap turis, gula merah (padat), gula air (cair),

92 Masyarakat Rote menyebutnya Pohon Tuak. 93 Lihat Fox (1996); Soh (2008)

94 Sumber: www.rotendaokab.go.id

(25)

gula semut dan dapat diujicobakan lebih lanjut menjadi gula kristal maupun gula pasir.

Buah Pohon Lontar, buah yang muda dapat dibuat menjadi

minuman segar dan Nata de Lontar dan buah yang tua digunakan sebagai bahan baku untuk make up (bahan lulur, dll).

Daun Lontar, daun ini dapat dikembangkan untuk keperluan

pembuatan atap rumah tempat tinggal rakyat di daerah pedesaan maupun rumah dalam bentuk cottage di daerah-daerah obyek wisata, selain itu untuk aneka kerajinan anyaman daun lontar berupa: Topi ti’i langga, alat musik sasando baik dalam ukuran besar sampai dengan ukuran miniatur (souvenir); anyaman nyiru (tempat untuk mentapis beras); anyaman tikar untuk alas tidur; maupun anyaman lainnya untuk penampungan bumbu dapur seperti haik untuk menampung gula air, garam, gula, tepung terigu, dan lain sebahainya.

Pelepah Lontar dapat digunakan untuk pembuatan tali tradisional

(sejenis dengan tali rafia, namun tali tradisional agak kaku tapi mudah dilenturkan), kemudian serat pelepah pohon lontar dapat digunakan sebagai bahan tambahan untuk pembuatan kopiah, topi pet, topi coboy, dan jenis topi lainnya.

Batang Pohon Lontar, dapat dimanfaatkan untuk pembuatan

meubeler berupa kursi, meja, lemari, tempat tidur dan sejenisnya; ramuan rumah berupa kosen, pintu, jendela, balok, usuk dan sejenisnya.

Industri lontar ini terdapat di semua kecamatan di Kabupaten Rote Ndao termasuk di Pulau Nuse, Pulau Ndao dan Pulau Doo.

(26)

Dari pemaparan di atas dapat dikemukakan bahwa sektor industri kecil dan industri lontar bukanlah sektor unggulan, kontribusi untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbesar masih ditempati sektor pertanian dan sektor peternakan. Seperti yang telah penulis kemukakan pada Bab 3 bahwa aktivitas tenun ikat dan lontar hanya dilakukan oleh generasi yang lebih tua, sementara kelompok orang yang berusia lebih muda tidak lagi tertarik dengan usaha tenun ikat maupun lontar, orientasi menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), bekerja di sektor swasta lainnya atau merantau ke luar Rote adalah beberapa alasan yang dikemukakan.

Perkembangan Sektor Kehutanan dan Sektor Pertambangan

Hutan di Kabupaten Rote Ndao sampai dengan Tahun 2009 seluas 39.780,86 ha yang terdiri dari 17.929,73 ha hutan lindung; 11.131,9 ha hutan produksi; 3.562,00 ha hutan konversi; dan 7.157,23 ha hutan M angrove. Dari Total luas lahan tersebut terdapat lahan yang kritis di dalam kawasan hutan seluas 33.443 ha dan di luar kawasan hutan seluas 73.508 ha. Lahan kritis ini hampir menyebar secara merata di tiap kecamatan. Hasil hutan yang teridentifikasi berupa rimba kayu campuran, kayu jati, kayu kula, kayu mahoni, kelapa dan lontar (BPS Rote Ndao, 2010).

Produksi kayu tersebut dapat berupa kayu bulat maupun kayu bakar. Produksi kayu jati bulat dalam beberapa kelas di Kabupaten Rote Ndao pada tahun 2009 sebesar 287.09 m3 terbanyak dihasilkan di

kecamatan Rote Barat Laut. Produksi kayu non jati (campuran) sebesar 361.335 m3. Potensi luas pengembangan hutan jati di Kabupaten Rote

seluas 3.942 ha dengan potensi produksi kayu jati/tahun sebesar

58.538,70 m3 (BPS Rote Ndao, 2010). Pohon Kusambi yang tumbuh di

(27)

tani kehutanan karena potensi pohon Kusambi yang sangat besar di Rote.

Selain itu, pengembangan Kutulak merupakan pemberdayaan masyarakat yang tinggal disekitar hutan untuk tetap menjaga dan melestarikan fungsi hutan. Salah satu industri kehutanan yang dapat dikembangkan adalah pengolahan kayu (wood working) seperti membuat kursi, meja, lemari, pintu, kusen dan tempat tidur sebagai bagian dari industri rumah tangga. Perkembangan produksi wood

working di Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini mengalami

kenaikan yang cukup pesat, dengan rata-rata peningkatan 28,1% per tahun dalam kurun waktu 1987-1993. Demikian pula perkembangan produksi furniture di Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini mengalami kenaikan yang cukup pesat, dengan rata-rata peningkatan 21,8% per tahun dalam kurun waktu 1992-1998.

Dari potensi hutan tersebut baru ditata batas seluas 3.668.78 Ha terdiri dari hutan lindung 1.206.59 ha; hutan produksi 799.46 ha; hutan produksi terbatas 240.14 ha; hutan konversi 987.64 ha; hutan Suaka M argasatwa 434.95 ha. Selain itu terdapat pohon kusambi sebagai tanaman inang kutulak (seed lack) + 1.826.950 pohon yang tersebar di 8 kecamatan dengan pengembangan baru mencapai + 15.648 pohon dengan produksi 18.784 kg. Hasil ikutan kehutanan berupa minyak kayu putih, sarang burung walet dan madu.96

Pada sektor pertambangan terdapat beraneka ragam deposit bahan tambang Galian Golongan C seperti: Sirtu (pasir, batu karang, dll), Gipsum, Kalsit, Arogonit, Lempung, Batu hias setengah permata, biji M angaan (M n) dan Batu Gamping dengan berbagai potensinya.

Berikut data-data hasil tambang yang ada di Rote: Barit terdapat di kecamatan Lobalain dan Rote Timur; Kalsit terdapat di Kecamtan Rote Barat Daya; Kalsedon terdapat di kecamatan Rote Timur, Lobalain, Rote Barat Daya, Rote Barat Laut, Rate Barat Daya, dan Pantai Baru; Lempung terdapat di Kecamatan Lobalain, Rote Barat

(28)

Daya, Rote Barat Laut, Pantai Baru, Rote Timur; Besi terdapat di kecamatan Rote Barat daya, Rote Barat Laut, Lobalain, Rote Tengah, Pantai Baru, Rote Timur; Sirtu terdapat di kecamatan Labalain, Rote Tengah, Pantai Baru; Gipsum terdapat di Rote Barat Daya, Rote Tengah, Pantai Baru, Rote Timur, Lobalain; dan Batu Gamping terdapat di Rote Barat Daya, Lobalain, Rote Tengah, Rote Timur.

Selain itu terdapat kandungan minyak di beberapa titik di lepas pantai selatan Rote namun belum diexplorasi secara mendalam. Pemerintah daerah baru melakukan identifikasi dan explorasi terhadap deposit bahan tambang tersebut sehingga sangat berpeluang untuk pengembangan oleh pihak swasta.

Dari perkembangan sektor kehutanan dan sektor per-tambangan di Rote dapat dikemukakan bahwa kedua sektor ini belum menjadi perhatian dari masyarakat Rote untuk berusaha pada kedua sektor ini. M eskipun ada beberapa potensi dari sektor kehutanan dan pertambangan yang bisa dikaji secara mendalam dan dikembangkan untuk pengingkatan ekonomi masyarakat Rote, pada sisi yang lain dampak terhadap lingkungan hidup perlu dipertimbangkan untuk masa depan lingkungan maupun masa depan masyarakat Rote.

Perkembangan Sektor Perikanan dan Kelautan

(29)

sedangkan sistem rakit biaya mahal tetapi tahan terhadap gelombang dan angin. Jenis rumput laut yang dibudidayakan adalah dari species

Eucheuma cotoniidari jenis Alga M erah (Rhodopy ceae) yang

mengandung polisakarida dan sejumlah protein, lemak, mineral dan vitamin. berdasarkan data potensi dan pemanfaatan yang baru mencapai 6,5% maka masih terdapat lahan tanam seluas 30.480,8 atau 93.21% yang belum dimanfaatkan dan dapat digunakan untuk ekspasi budidaya dan hasil produksi dijadikan bahan baku industri pengolahan tepung rumput laut. (Isliko, 2002). Jumlah Petani Rumput Laut, Jumlah Kelompok Usaha dan Total Produksi sampai dengan Tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 5.4 berikut ini:

Tabel 5.4. Jumlah Petani, Usaha (Kelompok) dan Produksi Rumput Laut di Kabupaten Rote Ndao Tahun 2009

Kecamatan Jumlah Petani Rumput Laut Jumlah Kelompok Usaha

Rote Barat Daya 782 129

Keterangan: Transfer Basah ke Kering: 7 Kg basah = 1 Kg kering.

Selain rumput laut yang menjadi leading sector, usaha penangkapan dan pembudidayaan cumi-cumi dan ikan kerapu pada beberapa tempat di perairan sekitar Rote turut dikembangkan dan dalam persiapan untuk di ekspor ke manca negara maupun untuk kepentingan perdagangan antar pulau di dalam provinsi NTT hingga Pulau Bali dan Pulau Jawa.97

Dari pemaparan di atas dapat penulis kemukakan bahwa masih ada leading sector lainnya selain rumput laut yang perlu mendapat

(30)

perhatian serius dari pemerintah Kabupaten Rote Ndao maupun pemerintah Provinsi NTT untuk dikembangkan yaitu sektor penangkapan ikan khususnya ikan di laut dalam oleh nelayan lokal, sejauh ini penangkapan ikan di laut dalam hingga laut lepas dekat Australia (masuk dalam kawasan Pulau Pasir/Ashomore Reef) dilakukan oleh para nelayan migran dari Sulawesi yang menetap di Dusun Papela dan Dusun Oelaba, penghasilan dari ikan tangkapan ini tidak dinikmati oleh nelayan lokal maupun masyarakat lokal yang menetap di pesisir Papela maupun Oelaba (Therik, 2007). Pengamatan yang dilakukan oleh penulis, nelayan lokal Rote hanya mampu menangkap ikan pada laut dangkal hingga kedalaman 200 meter untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga dan sebagian dijual di pasar tradisional.

Dengan kondisi geografis Rote Ndao sebagai daerah kepulauan (96 pulau, 6 pulau diantaranya adalah pulau yang dihuni), sudah saatnya orientasi pembangunan diarahkan pada sektor perikanan dan kelautan, baik itu perikanan darat seperti rumput laut yang sudah berjalan, budidaya ikan maupun perikanan laut khususnya penangkapan ikan di laut dalam, tentu perlu dibantu dengan sejumlah fasilitas penangkapan yang modern oleh pemerintah terutama untuk nelayan lokal dan masyarakat di daerah pesisir. Dengan begitu, orientasi ekonomi masyarakat Rote tidak hanya bergantung pada sektor pertanian dan sektor peternakan semata.

Perkembangan Tata Guna Tanah, Sektor Pertanian dan Sektor Peternakan

(31)

tanah sawah/tanah ladang menjadi tanah untuk bangunan tidak banyak terjadi.

Kondisi alam Rote sangat cocok untuk pengembangan pertanian tanaman pangan dan holtikultura. Luas areal potensi pertanian lahan basah sebesar 15.254 Ha, baru dimanfaatkan seluas 9.613 Ha. Sedangkan luas areal lahan kering 37.110 Ha, baru dimanfaatkan untuk budidaya komoditas agribisnis sebesar 7.795 Ha. Komoditas yang menonjol sebagai komoditas andalan dan mempunyai peluang bisnis adalah padi, jagung, sorgum, bawang merah, lombok, semangka dan kacang tanah (BPS Rote Ndao, 2010). Sampai dengan Tahun 2010, dari 90.433 ha areal tanah yang ada, 3.70% untuk pekarangan/bangunan, 76.97% berupa tanah kering dan 19.37% berupa tanah sawah (BPS Rote Ndao, 2011, diolah).

Hasil produksi padi dan jagung sudah dapat memenuhi kebutuhan pangan Kabupaten Rote Ndao sedangkan bawang merah dan semangka sudah dapat dijual keluar dan mendominasi pasar di beberapa Kabupaten tetangga seperti: Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Belu. Untuk itu perlu dikembangkan lebih lagi, baik dalam budidaya maupun pemasaran sehingga dapat mencapai pasar nasional dengan harga yang kompetitif.

Selain itu Kabupaten Rote Ndao memiliki komoditas unggulan yaitu kacang tanah yang spesifik dan hanya ada di Kabupaten Rote Ndao namun belum dikembangkan secara obtimal. Potensi-potensi ini sangat menjanjikan untuk dikembangkan mengingat masih banyak potensi lahan yang belum dimanfaatkan, tersedianya tenaga kerja dan peluang pasar yang masih terbuka baik lokal, regional dan nasional.

Pada sektor peternakan, Jenis ternak besar yang cukup menonjol di wilayah Rote adalah sapi, kerbau dan kuda. Sedangkan ternak kecilnya adalah kambing, domba dan babi serta ternak unggas adalah ayam dan itik.98

98 Dalam perekonomian masyarakat Rote (baca: perekonomian lontar), babi adalah alat

(32)

Untuk ternak sapi, daerah sentra produksi tersebar di Kecamatan Rote Timur, Pantai Baru, Rote Tengah dan Lobalain. Kerbau banyak terdapat di kecamatan Rote Tengah dan Rote Barat Laut sedangkan kuda banyak terdapat di kecamatan Rote Barat Daya dan Rote Barat Laut. Populasi domba, kambing dan babi tersebar hampir merata di seluruh wilayah kabupaten. Pola pengusahaan hewan ternak ini masih mengandalkan pada potensi lahan untuk menghasilkan bahan pakan. Ternak-ternak ini pada umumnya dilepas pada pagi hari untuk mencari makan dan dikandangkan pada sore hari. Jika dilihat dari potensi lahan kering yang ada di kabupaten Rote Ndao, maka populasi ternak ini masih potensial untuk dikembangkan.

Populasi Ternak di Kabupaten Rote Ndao pada Tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 5.5. dan Tabel 5.6. berikut ini:

Tabel 5.5. Populasi Ternak Besar dan Ternak Kecil di Kabupaten Rote Ndao Tahun 2009

KECAM ATAN JUM LAH TERNAK (EKOR)

Sapi Kerbau Kuda Kambing Domba

Jenis-jenis komoditi peternakan yang potensial untuk

dikembangkan sebagai usaha agribisnis antara lain ternak sapi potong,

(33)

penggemukan (fattening), atau peternakan kuda. Hingga saat ini kebutuhan produk peternakan baik daging, susu maupun telur belum dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga impor jenis-jenis produk peternakan tersebut masih cukup besar. Peternakan merupakan salah satu sektor yang memiliki peluang usaha di Kabupaten Rote Ndao. Padang pengembalaan yang tersedia + 43.699 Ha di 8 kecamatan dan populasi ternak besar (sapi, kerbau, kuda) dan ternak kecil (kambing, domba, babi) yang masih kurang memungkinkan untuk usaha pengembangan khususnya dalam pembibitan baik kualitas maupun kuantitas dan industri pakan ternak.

Tabel 5.6. Populasi Ternak Unggas (Ayam dan Itik) di Kabupaten Rote Ndao Tahun 2009

(34)

peliharaan yang dibiarkan berkeliaran bebas untuk merumput di padang pengembalaan. Anggota Lala yang gagal atau lalai melaksanakan kewajibannya akan dikenakan sanksi adat berupa kehilangan hak menanami ladangnya selama satu sampai tiga tahun atau akan kehilangan tanahnya jika sama sekali mengabaikan tanahnya. Sanksi dijatuhkan oleh seorang pejabat Nusak yang disebut

M anekilaoE. Saat ini sudah sangat sulit ditemukan kelompok

masyarakat yang membentuk Lala karena satu-satunya lembaga pemerintahan adat yaitu Nusak yang mengatur sistem Lala ini telah dibubarkan oleh pemerintah pada Tahun 1962.

Kesimpulan

Era otonomi membuka peluang bagi paradigma pembangunan secara adil dan merata. Perubahan paradigma itu antara lain diwujudkan dalam kebijakan Otonomi Daerah (Otda). Itu sebabnya Otda diharapkan menjadi jawaban atas ketidakmerataan pembangunan, bahkan menjadi langkah strategis dalam menyongsong era globalisasi ekonomi.

Sesuai dengan tujuannya, maka penguatan Otda di tingkat

kabupaten/kota dimaksudkan untuk meningkatkan demokrasi

partisipatif (participatory democracy) dan efisiensi dalam

(35)

Sejak diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (kemudian digantikan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004), pelaksanaan desentralisasi dan Otda di Indonesia mengalami perubahan besar. Daerah otonom sendiri adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem negara kesatuan.

Ada beberapa dampak positif yang bisa dirasakan dari pemberlakuan Otda ini. Dengan Otda, pembangunan bisa dilakukan lebih merata di berbagai daerah. Pelayanan publik pun bisa dilaksanakan secara efektif, efisien dan ekonomis karena rentang kendali pemerintahan yang lebih pendek. Selain itu, Pemerintah Daerah juga bisa memperoleh dana lebih, yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dana itu memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah lebih pesat. Dengan Otda, pemerintah daerah juga mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas lokal yang ada di masyarakatnya. Kebijakan-kebijakan pemerintah akan lebih tepat sasaran, karena Pemerintah Daerah lebih mengerti keadaan, situasi, serta potensi-potensi yang ada di daerahnya, ketimbang Pemerintah Pusat. Dengan begitu pemerintah lokal bisa menciptakan program yang lebih tepat untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di daerahnya.

(36)

kembali lembaga formal M aneleo dan perkembangan pembangunan lainnya yang telah dibahas dalam bab ini juga menegaskan bahwa otonomi daerah membawa dampak yang positif bagi pembangunan dan

Gambar

Tabel 5.1. Material Mas Kawin (Belis)
Tabel 5.2. Satuan Nilai Material Mas Kawin (Belis)
Gambar 5.1. Peta Lintasan Penyeberangan Kupang-Rote
Gambar 5.2. Peta Kabupaten Rote Ndao Menurut Kecamatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Sumber Alam dihasilkan bahwa proses query yang terjadi dengan menggunakan pendekatan star schema dimana dibuat empat (4) tabel dimensi, antara lain: dimensi waktu

Pada penelitian ini akan dilakukan evaluasi kinerja Sistem Informasi E-Filing yang digunakan Kantor Pelayanan Pajak Pratama dalam melakukan pelayanan terhadap wajib

Menyampaikan pernyataan/pengakuan tertulis bahwa badan usaha yang bersangkutan dan manajemennya tidak dalam pengawasan pengadilan, tidak pailit, kegiatan usahanya tidak

[r]

Dalam diskusi tersebut Zulkifli Hasan menyatakan bahwa konversi lahan tersebut dikarenakan adanya kebijakan otonomi daerah, yang mana dalam UU Otoda disebutkan bahwa pemerintah

Be a good figure merupakan jargon dari HMJ Manajemen periode 2011-2012 yang mempunyai makna agar mahasiswa yang tergabung dalam lembaga internal ini dapat menjadi teladan di

Lebih tingginya penguasaan konsep kelas eksperimen dikarenakan pada tahap mengorganisasi siswa untuk belajar, siswa melakukan diskusi antar anggota kelompok mengenai