Kesimpulan
Rote adalah pulau kecil yang memiliki luas 1.281,10 Km2 dengan kondisi keterbatasan ruang dan sumberdaya. Sumberdaya-sumberdaya ini tersedia secara terbatas sehingga menjadi rebutan antar masyarakat di Rote. Ketika melakoni upaya merebut sumberdaya ini
masyarakat Rote selalu mengelompok berdasarkan Nusak karena
signifikan meningkatkan posisi tawar. Nusak adalah satuan adat genealogis yang mempunyai klaim teritorial. Pernah diakui hingga 19 buah Nusak dan dipakai sebagai bentuk pemerintahan formal pada jaman kolonial hingga kemerdekaan terus dipakai dan baru dibubarkan pada Tahun 1962.
Sampai saat sekarang masih banyak yang menganggap sentimen berdasarkan teritorial Nusak ini telah berakhir seiring dengan dibubarkannya pemerintahan formal berdasarkan Nusak pada Tahun 1962. Kenyataannya tidaklah demikian karena identifikasi warga berdasarkan Nusak masih sangat kuat. Buktinya jika kita melihat pola menawarkan jasa angkutan di Rote, mereka selalu menawarkan tujuan angkutan dengan memakai nama Nusak atau ibukota Nusak
bukan berdasarkan nama kecamatan. Artinya masih banyak masyarakat Rote yang menganggap bahwa batas Nusak adalah batas kekuasaan, bukan batas administratif pemerintahan belaka seperti berdasarkan kecamatan sekarang ini.
Bagi masyarakat Rote, Nusak adalah negara! Struktur
pemerintahan Nusak sebagaimana yang telah penulis kemukakan di depan terdiri dari tiga fungsi utama yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif144, karena itu Nusak di Rote dapat digolongkan sebagai sebuah Negara-Etnik (Ethnic State). Nusak sudah ada di Rote jauh sebelum teori dan diskursus tentang Negara di rumuskan oleh Thomas
Hobbes (1588-1679); John Locke (1632-1704); J.J. Rosseau (1712-1778), artinya masyarakat Rote telah lama mengenal Nusak sebagai sebuah negara dan sistem otonomi daerah jauh sebelum pembentukan bangsa Indonesia (1926-1928) dan pembentukan negara Indonesia (1945).
Harus disadari bahwa Negara merupakan buah dari gerakan kebangsaan. Karena itu, bentuk negara (Indonesia) harus disimetriskan dengan konstruksi bangsa. Persatuan sebagai bentuk “bangsa-bangsa” sesungguhnya sudah ditegaskan dalam M ukadimah Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan Kesatuan sebagai bentuk negara disebut dalam Bab 1/Pasal 1/Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Karena itu-lah Indonesia sudah saatnya dilihat sebagai sebuah “Negara Bangsa-Bangsa” (Nations State) karena Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari multibangsa, multibahasa, multiagama, polietnis, dan pluralsuku. M enurut hemat penulis, Indonesia saat ini tidak lagi relevan bila masih dilihat sebagai sebuah “Negara-Bangsa” (Nation State). Pernyataan ini berangkat dari refleksi empiris relasi Nusak dan masyarakat Rote yang telah penulis kemukakan di depan.
Civil Society di Rote
Terlepas dari pemaknaan civil society sebagai masyarakat sipil atau masyarakat warga yang menyiratkan adanya kelompok aktif, bebas, dan sukarela yang melakukan counter balance terhadap negara ataupun memaknainya sebagai masyarakat madani yang menyiratkan
complement terhadap negara, civil society masih menjadi tema yang relevan untuk diteliti dan dianalisis terutama civil society pada aras lokal di Indonesia khususnya di Kawasan Timur Indonesia.
Civil society pada umumnya diungkapan dengan nuansa yang berbeda, namun beberapa kaidah yang muncul kepermukaan adalah
Society juga mempersyaratkan sejumlah ketentuan, sebagai berikut, yaitu (a) civil society selain mempersyaratkan penegakan hukum, perbaikan sistem pemerintahan dan sistem politik juga harus disertai dengan tindakan nyata dalam perbaikan ekonomi yang langsung dirasakan oleh rakyat atau perbaikan dan pengakuan terhadap organisasi politik yang dialami oleh rakyat; civil society bukanlah sekadar wacana melainkan sebuah aksi nyata; (b) civil society baru dapat berhasil kalau ada suatu common platform terutama menyangkut pluralisme dan inklusivitas; dengan cara ini, kalaupun kenyataan politik menunjukkan adanya dominasi kelompok tertentu terhadap
public sphere maka dominasi tersebut harus bersifat inklusif dan
menghormati kelompok lain. Dengan kata lain, common platform
harus diakui secara sungguh-sungguh. Untuk itu pendidikan politik rakyat, pengembangan kelembagaan demokrasi, partisipasi, persamaan dan keadilan merupakan prasyarat yang harus dipenuhi.
Pertanyaannya selanjutnya yang dapat diajukan terkait dengan uraian pada bab ini adalah “Apakah syarat untuk mencapai civil society
hanya dengan non violence (tanpa kekerasan)?” hasil studi
sebagaimana telah dikemukakan secara rinci pada bab-bab empiris (Bab 4-7)145 di atas sesungguhnya menunjukkan bahwa civil society juga dapat dicapai dengan violence (menggunakan kekerasan).
Civil Society di Rote memberi warna tersendiri dalam pemaknaan civil society di mana untuk mewujudkan civil society juga dapat menggunakan kekerasan (violence) dalam menyalurkan aspirasinya terhadap negara dengan tujuan akhir adanya perubahan kebijakan terhadap kehidupan sosial politik, sosial ekonomi maupun sosial budaya. Kekerasan digunakan karena beberapa alasan yaitu, pertama, adanya kekuatan jarak (power of distance) antara negara dan masyarakat146. Meskipun kehadiran otonomi daerah bertujuan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, tetapi berbagai jenis jarak antara pemberi pelayanan (negara) dan masyarakat selaku penerima pelayanan publik
masih seringkali terjadi, dan jarak tersebut tentu menghalangi idealisme kualitas program pembangunan, pada saat negara “tidak mendengar” maka pilihannya adalah masyarakat Rote menggunakan kekerasan dalam menyampaikan aspirasinya.
Kedua, menyatunya masyarakat Rote dengan sistem pemerintahan Nusak karena keberadaan Nusak dipandang sebagai pelindung nilai-nilai sosial dan kultural yang berkembang dalam masyarakat termasuk melindungi sumber daya alam (hutan, mata air, padang pengembalaan untuk hewan) sebagai bagian dari communal property masyarakat Rote. Kehadiran negara yang kemudian mengalihkan communal property ke private property (lihat gambar 8.2 dan 8.3) menjadi alasan mengapa kekerasan digunakan oleh masyarakat Rote dalam menyampaikan aspirasinya pada negara. Ketiga, negara telah gagal dalam mewujudkan civil society yang lebih seimbang dan konstruktif bagi pembangunan berkelanjutan baik pada aras nasional maupun pada aras lokal (provinsi, kabupaten, kota).
Civil Society di Rote berbeda dengan perkembangan teori dan analisis diskursus civil society yang selalu menegaskan bahwa civil society
menjadi dasar atau tempat berpijak bagi munculnya wacana yang rasional yang mempunyai potensi untuk mempertanyakan pertanggungjawaban negara secara lebih beradab. Kenyataan di atas juga berbeda dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Chandoke (1995); Schulte-Nordholt (1999); Suwondo (2004,2005); dan W iloso, (2009) yang berakhir dengan kesimpulan yang sama bahwa perwujudan civil society
menyiratkan adanya gerakan tanpa kekerasan (non violence).
M enjawab Tantangan Pembangunan
bahasa, dan adat istiadat yang sesungguhnya harus dipandang sebagai sebuah kekayaan/kearifan lokal yang dimiliki oleh Indonesia, karena itu menurut hemat penulis sudah saatnya negara (pemerintah) menggunakan semangat otonomi daerah dengan mengembangkan manajemen pluralis dan implementasinya dalam program-program pembangunan yang menyentuh seluruh bidang kehidupan masyarakat.
Hasil studi dengan menggunakan konsep-konsep lokal seperti ini dapat dijadikan sebagai rujukan bagi pemerintah (khususnya Pemerintah Kabupaten Rote Ndao dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur) dalam merumuskan program-program kebijakan pembangunan di mana hadirnya otonomi daerah melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 sesungguhnya memberikan peluang bagi pemerintah untuk meng-hidupkan kembali pranata-pranata sosial yang pernah ada di Rote. Dari pengalaman selama penelitian di lapangan, ada stereotype yang dibangun antar warga Nusak. Menggambarkan bahwa antara warga Nusak di Rote sendiri cenderung untuk tidak bersatu, mereka merasa lebih aman bila kembali untuk membangun basis di tengah-tengah Nusak sendiri. Sehingga apapun kebijakan pembangunan yang ditempuh oleh Pemerintah Kabupaten Rote Ndao harus memperhitungkan realitas sosial ini. Sebuah realitas sosial yang mengenal faksionalitas sosial hingga sembilan belas buah.
lagi mempunyai “gigi”, maka Maneleo (kepala suku tidak berteritorial) menjadi “sasaran tembak” para elit politik di Rote terutama oleh mereka yang ingin menjadi Bupati. Kesetiaan masyarakat terhadap Maneleo
masih sangat kuat dan karena itu keberadaan Maneleo telah diformalkan oleh pemerintah Kabupaten Rote Ndao sebagai mitra pemerintah dalam mensukseskan program pembangunan.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa realitas kehidupan orang Rote sehari-hari terikat dalam hubungan-hubungan kekerabatan yang sudah menyatu (embedded) dengan Nusak. Hubungan tersebut bukan baru terjadi sekarang, tetapi merupakan warisan leluhur sejak dahulu kala, yang saat ini diwujudkan dalam berbagai aktivitas pembangunan yang dilakukan secara bersama sebagai mekanisme untuk mempertegas kembali hubungan yang ada diantara mereka di dalam
Nusak maupun antar Nusak.
Catatan Untuk Penelitian Lanjutan
Hasil penelitian terdahulu tentang civil society pada aras lokal di Indonesia selalu dilandasi dengan adanya potensi untuk mempertanyakan pertanggungjawaban negara dengan cara yang beradab dan santun (non violence). Perkembangan civil society di Rote menunjukkan hal yang berbeda di mana perwujudan civil society yang dibangun sangat dekat dengan violence (menggunakan kekerasan). Oleh sebab itu maka sebaiknya penelitian perkembangan civil society pada aras lokal juga melihat gerakan civil society yang selalu menggunakan kekerasan dalam menyampaikan aspirasinya pada negara (pemerintah).
Penelitian tentang civil society pada aras lokal perlu dilakukan dan dikembangkan di wilayah-wilayah lain di luar Jawa terutama di Kawasan Timur Indonesia yang wilayahnya mempunyai variasi suku, agama, golongan, bahasa, strata sosial (termasuk ekonomi) serta kondisi alam yang jauh lebih beragam dibanding Jawa.