• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesia D 762008003 BAB VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesia D 762008003 BAB VI"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VI

PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS SIPIL: SEBUAH ANALISIS

Sebagai agama sipil, salah satu keunikan Pancasila adalah karena ia tak hanya berada dalam konteks perbedaan soal agama saja. Pancasila melampaui gagasan agama sipilnya Bellah yang memang ada dalam konteks keagamaan. Dalam hal mengakomodir pandangan non believers, ide agama sipil dalam Pancasila barangkali agak lebih dekat dengan pandangan Andrew Shank. Agama sipil Pancasila, selain berbicara tentang agama, juga datang dari dua pokok fondasi lainnya, sosio-demokrasi dan sosio-Nasionalisme. Namun, pembahasan dalam karya ini hanya akan fokus pada point pertama saja, yakni soal agama.

Pancasila sebagai DzMilestonedz Pluralitas Bangsa Indonesia: Sebuah Proses Transformasi

Salah satu situasi politik yang menjadi latar lahirnya Pancasila adalah pertarungan antara Islamisme dengan Nasionalisme. Pidato Soekarno saat ia menawarkan lima dasar, sangat jelas menunjukkan situasi tersebut. Soekarno misalnya mengatakan;

Saya minta, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkan saya memakai perkataan, kebangsaan ini! Saya pun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara-saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa pada dasar pertama buat Indonesia adalah dasar kebangsaan.1

Dalam situasi demikianlah Pancasila lahir. Pancasila berupaya untuk merengkuh semua golongan agar bisa terakomodir. Soekarno merasa harus

1 Saafroedin Bahar dan Nani Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha

(2)

menyampaikan sebuah prinsip yang bisa membuat nyaman semua kelompok yang ada dalam sidang BPUPKI. Dari banyak kelompok yang hadir, perwakilan Islam memang sangat mendambakan sebuah negara dengan dasar Islam. Soekarno melihat ada potensi disintegrasi karena ada keberatan dari kelompok yang tidak menghendaki Islam sebagai dasar negara. Lalu disepakatilah lima dasar yang ditawarkannya pada 1 Juni 1945.

Lahir dari situasi dimana penuh ketegangan antar berbagai ideologi, Pancasila diharapkan menjadi kompromi sekaligus dasar bersama bagi semua kelompok. Soekarno sering menyebut Pancasila ini sebagai fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat atau philosofische grondslag . Dalam kesempatan lain, Soekarno (juga Soeharto) sering menyebut Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Namun, justru disinilah sesungguhnya ada masalah dengan menempatkan Pancasila sebagai ideologi.

Jika Pancasila adalah sebuah ideologi, maka Pancasila menjadi sesuatu yang benar di dalamnya dan tidak mengandung kontradiksi satu dengan lainnya. Namun, hal itu harus dilakukan oleh Soekarno untuk mengatasi persoalan yang timbul di Indonesia.

Persoalan yang ada dalam diri Pancasila itu pertama-tama adalah saat Soekarno berusaha untuk menjadikannya sebagai payung bersama, perekat. Itu bisa dilihat misalnya dalam Sila Persatuan. Muncul kemudian keinginan untuk membuatnya kuat, kukuh dan tak tergantikan. Kecenderungan yang sangat terasa ketika orde baru berkuasa melalui doktrin Pancasila sakti.

(3)

menjelaskan masing-masingnya akan semakin jelas menunjukkan bagaimana inkonsistensi itu mengemuka.2

Sila pertama yang disinggung oleh Soekarno merupakan antitesa dari paham Pan Islamisme.3 Soekarno meminta kepada Ki Bagoes Hadikoesoemo dan

kelompok yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara agar bisa memahami apa yang ia sampaikan itu. Soekarno melanjutkan bahwa ide tentang kebangsaan tersebut tidak dimaksudkannya untuk memaknai satu model kebangsaan sempit, tetapi nasionalestaat. Soekarno kemudian menguraikan tentang apa yang ia maksud sebagai Persatuan, Musyawarah, Kemanusiaan dan Ketuhanan.

Persoalan kemudian muncul ketika Soekarno sampai pada pembahasan tentang permusyawaratan, permufakatan, dasar ketiga yang ia tawarkan. Soekarno menyadari betul bahwa asas ini menjadi kran untuk beradu pendapat, menawarkan pandangan dan ideologinya masing-masing. Soekarno ada dalam situasi dimana tuntutan kelompok Islam untuk menjadikannya sebagai dasar negara sangatlah kuat. Soekarno membuka kesempatan kepada mereka untuk berdebat dan memperjuangkannya di badan legislatif. Kehidupan di lembaga perwakilan haruslah merupakan sebuah kawah candradimuka dimana ada perjuangan paham di dalamnya. Negara yang sehat adalah negara yang menyediakan ruang bagi perjuangan paham atau ide dan menjadikan lembaga perwakilan itu bergolak mendidik. Termasuk jika umat Islam hendak memperjuangkan idenya, maka bertarunglah di badan perwakilan itu.

2 Penulis berterima kasih kepada Donny Danardono yang memperkenalkan pendekatan

ini dalam memahami Pancasila di berbagai diskusi. Uraian singkatnya tentang hal itu bisa disimak dalam Donny Danardono, Pancasila dan Hukum Sebagai Diskursus, Makalah disampaikan Konferensi Nasional Ke-2 Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia: Filsafat (ukum dan Kemajemukan Masyarakat yang diselenggarakan oleh AF(), Epistema )nstitute dan Fakultas Hukum Universitas Katolik di Teater Thomas Aquinas Unika Seoegijapranata pada 16-17 Juli 2012.

(4)

Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam.

Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjoangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan-perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjoangan selamanya ada.4

Imbas dari apa yang disampaikan oleh Soekarno ini kemudian membuat Pancasila berada dalam posisi yang dilematis. Sebagai dasar negara, Pancasila akan sangat mungkin digantikan oleh paham lain, selama mereka yang memperjuangkannya dapat menguasai parlemen. Yang terjadi kemudian, sebagai dasar negara, philosofische grondslag atau weltanschauung, Pancasila tak lagi kedap,5 pejal, sudah final dan kekal,6 Sementara, di sisi lain, Soekarno

menghendaki Pancasila itu sebagai suatu fondasi yang kokoh dan tak tergantikan. Keberhasilan sebuah paham tertentu dalam lembaga perwakilan akan menggoyahkan Pancasila yang hendak meniadakan egoisme agama serta

prinsip semua buat semua .

Pemahaman terhadap Pancasila dalam kerangka demikian, berpotensi untuk menggoyahkan kemajemukan, pluralitas agama dan budaya yang sudah

4 Saafroedin Bahar dan Nani Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha

Persiapan Kemerdekaan Indonesia . . . 98.

5 Ibid.

6 Goenawan Muhammad, Menggali Pancasila Kembali , Naskah pidato peluncuran

(5)

terpatri di bumi Indonesia. Bagaimana Pancasila dapat menjadi jaminan agar

prinsip egoisme agama bisa ditanggalkan dengan semangat semua buat semua .

Dengan menawarkan Pancasila, Soekarno berikhtiar agar bangsa yang bhineka ini bisa menjadi eka, dan yang eka ini tetap menghargai yang bhineka.7

Menawarkan satu prinsip yang berdiri di atas kemajemukan, sudah pasti akan mengundang banyak spekulasi. Bisa jadi akan ada titik temu yang mendamaikan, tetapi bukan tak mungkin akan banyak titik tengkar yang akan memudarkan tali persatuan. Situasi itulah yang juga dihadapi Soekarno saat menyampaikan pidato tentang Pancasila. Meminjam bahasa Goenawan Muhammad, Pidato Bung Karno dengan ekspresif mencerminkan ikhtiar itu; nadanya mengharukan:

penuh semangat tapi juga tak bebas dari rasa cemas .8

Pancasila haruslah dipahami dalam kerangka yang utuh. Sila yang satu harus dimbangi dengan sila lainnya. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus diimbangi dengan Persatuan Indonesia dan begitu seterusnya. Memutlakan satu sila di atas yang lain, akan berpotensi menghasilkan hegemoni dan dominasi satu kelompok atas kelompok lainnya. Dengan kata lain, Pancasila yang

meniadakan egoisme agama itu harus dipahami secara utuh dari sila-sila yang menjadi fondasinya. Merawat kemajemukan hanya mungkin bisa dilakukan jika Pancasila ditafsirkan dalam kerangka demikian.

Disinilah kita bisa memahami apa yang oleh Gus Dur disebut sebagai esensi dari Pancasila yang akan terus dipertahankan. Sebagai negara dengan tingkat kemajemukan yang tinggi, maka disintegrasi adalah masalah yang selalu akan timbul di Indonesia. Bahkan, sila-sila dalam Pancasila itu sendiri sesungguhnya bisa menjadi peta masalah di negara yang majemuk seperti Indonesia. Sila pertama menyiratkan bahwa persoalan hubungan agama dan negara akan selalu

(6)

berkait dan berkelindan. Dasar negara Pancasila yang bukan teokrasi dan bukan sekuler menyisakan ruang perdebatan tentang identitas bangsa ini. Sila kedua (kemanusiaan yang adil dan beradab), merupakan peringatan bahwa akan selalu ada masalah yang berkaitan dengan pemenuhan hak asasi manusia. Masalah disintegrasi bangsa merupakan tantangan yang akan dihadapi seperti disiratkan dalam sila ketiga. Konsolidasi demokrasi yang masih terus berjalan selalu akan menyisakan residu. Residu demokrasi itu yang akan terus berjalan mengiringi proses demokratisasi yang sedang berjalan. Sila keempat mengindikasikan hadirnya masalah tersebut. Sementara sila terakhir, menyiratkan persoalan pokok dalam bidang ekonomi, yakni munculnya kecemburuan, terutama dalam relasi pusat dan daerah.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana cara pandang kita terhadap Pancasila agar ia tetap berfungsi untuk menjadi kekuatan integratif yang menjaga kemajemukan tersebut?

Penulis menyebut bahwa Pancasila itu sebagai milestone bangsa Indonesia.9 Titik tonggak yang mengawali komitmen akan menjaga keutuhan

bangsa dengan segala kekayaan perbedaan yang terkandung di dalamnya. Titik inilah yang merupakan kisah bersama saat mereka yang berbeda itu menyepakati satu janji untuk hidup dalam teritori yang disepakati. Kisah ini yang menjadi rujukan jika pada suatu waktu ada kelompok tertentu yang hendak keluar dari milestone atau kisah bersama itu. Pancasila menjadi semacam personal experience, pengalaman intim antar komponen bangsa untuk tetap menghargai kebhinekaan. Menjaga agar Pancasila tetap semua buat semua. Dalam kerangka Pancasila, maka kehidupan bangsa Indonesia yang memiliki keragaman identitas agama dan budaya haruslah tetap dijaga. Dengan bingkai Pancasila pula, maka tidak ada warna dominan dalam kehidupan bangsa

(7)

Indonesia. Indonesia tidak menjadi negara Kristen atau negara Islam. Indonesia juga tidak menjadi negara Jawa, Batak, Sunda, dan lainnya.

Salah satu kekhawatiran Soekarno yang implisit muncul dalam pidato 1 Juni adalah disintegrasi bangsa yang diakibatkan oleh, salah satunya, masalah agama. Bagaimana jika terjadi satu kelompok yang memperjuangkan golongan agama tertentu memenangkan pertarungan di parlemen? Bukankah ini buah dari sebuah proses yang demokratis dengan memenangkan suara terbanyak? Bagaimana menjawab persoalan ini dalam kerangka Pancasila?

Franklin I. Gamwell menawarkan tentang apa yang disebut sebagai democratic constitution atau konstitusi demokratis. Ia mencoba menghubungkan antara ide kebebasan beragama dengan perdebatan di ranah politik. Menurutnya, kebebasan beragama sebagai sebuah prinsip politik tidak memiliki makna koheren kecuali sebuah asosiasi politik dapat dibentuk melalui sebuah diskusi dan debat terbuka, termasuk melibatkan mereka yang berbeda keyakinan.10

Berbeda dengan pandangan kelompok privatist seperti John Rawls, Gamwell justru membuka ruang bagi pelbagai keyakinan keagamaan untuk bisa bertarung di ruang publik, dengan syarat ada debat dan diskusi yang terbuka.11

Keyakinan keagamaan harus direpresentasikan dalam ekspresi politik, yang dengan begitu maka sejatinya tidak ada larangan bagi keyakinan keagamaan tertentu untuk ditransformasikan atau bahkan diadopsi menjadi kebijaksanaan suatu negara. Namun, seperti disinggung dimuka, perlu ada debat yang bebas dan terbuka untuk menguji keyakinan keagamaan tersebut. Tujuannya adalah untuk melihat validitas keyakinan keagamaan yang dipegangi oleh kelompok masyarakat tertentu.

10 Franklin I. Gamwell, The Meaning of Religious Freedom: Modern Politics and The

Democratic Resolution (State University of New York Press, 1995), 34-35.

11 Tentang pandangan John Rawl yang disebut privatist oleh Gamwell, lihat dalam Ibid.,

(8)

Kebutuhan dalam diskusi dan debat terbuka ini adalah hadirnya akal

sehat serta pengalaman kemanusiaan . Keduanya akan sangat menentukan apakah keyakinan keagamaan yang diajukan untuk menjadi kebijakan negara itu bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian atau tidak. Tetapi sebelumnya, perlu diskusi yang bebas ini hanya mungkin bisa dilakukan ketika agama sebagai sesuatu yang non-rational dirubah agama sebagai sesuatu yang rational . Atau dengan kata lain, Gamwell ingin mengatakan bahwa melihat agama sebagai sesuatu yang rasional sebagai prasyarat untuk masuk ke dalam diskusi terbuka adalah bentuk lain dari the public view of religious freedom.12

Pemecahan terhadap masalah kebebasan dan keragaman beragama secara demokratis menghendaki suatu konstitusi yang demokratis pula. Konstitusi demokratis adalah rumusan yang mampu menyelesaikan masalah agama maupun politik. Ia mampu memastikan bahwa (i) konstitusi yang demokratis harus konsisten dengan keyakinan keagamaan yang beragam dan (ii) konstitusi demokratis harus mendapatkan afirmasi oleh para pengikut dari berbagai keyakinan keagamaan. Dua kerangka itu menjadi prasyarat terlaksananya debat itu bisa berjalan dengan baik atau tidak. Jika dua hal tersebut tidak terakomodir dalam konstitusi, maka jaminan kebebasan beragama tidak ada dalam konstitusi.

Gamwell mengatakan bahwa agama merupakan formasi budaya dimana pertanyaan komprehensif diajukan dan dijawab. Ini yang membedakannya dengan politik. Jika politik dibatasi oleh pertanyaan-pertanyaan parsial, maka agama menjawab semua persoalan. Karena konstitusi bersifat manusiawi, maka ia tentu tidak dimaksudkan untuk menjawab semua persoalan kehidupan manusia. Konstitusi adalah pernyataan tentang apa yang harus dilakukan oleh negara dan aparatusnya. Konsekuensinya, konstitusi ini tidak boleh menunjukan

(9)

keberpihakan pada salah satu kelompok agama tertentu. Konstitusi harus netral dari klaim keagamaan.

Produk atau aturan negara bisa saja tidak diterima oleh kelompok keagamaan tertentu. Setelah melewati sebuah prosedur formal misalnya, ketentuan tersebut tidak memenuhi rasa keadilan sebuah kelompok keyakinan keagamaan. Disinilah terjadi tarik menarik antara keadilan yang bersifat prosedural dengan keadilan substansial.

Dalam wacana demokrasi, keadilan prosedural memang mendapatkan tempat yang penting. Perumusan sebuah aturan sangat berkaitan dengan bagaiman prosedur konstitusional itu telah ditempuh. Meski begitu, bukan berarti keadilan seperti ini mengenyampingkan keadilan substansial. Ada akal

sehat dan pengalaman kemanusiaan yang mengendalikan keadilan prosedural

itu. Pertimbangan tentang keadilan substansial dan prosedural ini yang bisa menjadi ukuran dalam menakar segala produk perundangan di sebuah negara.

Kerangka inilah yang bisa digunakan dalam memahami bagaimana rumusan 5 dasar dalam Pancasila. Pemahaman demikian yang bisa menjawab kekhawatiran Soekarno ketika berbicara soal kebangsaan, permusyawaratan dan Ketuhanan. Ada nilai keadilan yang menjadi pertimbangan keterlibatan

semua pihak di area permusyawaratan itu. Katakanlah jika di suatu wilayah di

Indonesia parlemen menghendaki penerapan hukuman potong tangan setelah mereka memenangkannya dengan suara terbanyak, maka hal itu akan bertentangan keadilan substansial dan akal sehat.

(10)

silam. Agama harus menjadi living values yang senantiasa berdialektika dengan realitas, termasuk di dalamnya keyakinan-keyakinan yang berbeda.

Keterbukaan terhadap tradisi lain bukan sekadar membuka diri. Kata Cobb, umat beragama harus mengakui bahwa ada praktek atau ajaran yang baik dan penting untuk diderivasi dari tradisi keagamaan yang lain. Itulah yang oleh Cobb disebut sebagai full openness, keterbukaan penuh. Keterbukaan terhadap kebenaran secara nyata berisi tentang keterbukaan terhadap kebenaran partikular yang ada dalam tradisi lain.

Religiositas sipil yang transformatif inilah yang harus dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dengan menjadikan Pancasila sebagai milestone . Prinsip dasar dari transformasi sangat berharga dalam melakukan transformasi agama-agama dalam kontes keindonesiaan. Dengan transformasi maka Kekristenan yang dikembangkan bukanlah Kristen Barat. Begitu juga dengan tradisi keagamaan lainnya. Jadi yang muncul pada nantinya adalah Indonesianized Christianity , Indonesianized Islam , Indonesianized Buddhism dan lainnya.

Transformasi Pancasila dalam Religiositas Sipil: Merawat Pluralisme, Menjamin Kebebasan Beragama

Salah satu kehendak luhur Pancasila hadir adalah dalam kerangka menjaga kemajemukan atau pluralitas. Itulah pengertian Pancasila sebagai milestone seperti yang penulis singgung dalam sub bab sebelumnya. Pancasila harus bisa menjadi garansi terjaganya pluralitas bangsa Indonesia. Salah satu elemen bangsa Indonesia yang hendak dikawal eksistensinya oleh Pancasila adalah agama, tepatnya pluralitas agama.

Soekarno, dalam pidato Hari Pancasila mengatakan bahwa bangsa Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhannya sendiri-sendiri. Kebertuhanan ini

juga harus dibarengi dengan menanggalkan egoisme-agama. Selain

(11)

egoisme agama), ungkapan Soekarno menyinggung secara langsung tentang prinsip kebebasan beragama. Bangsa Indonesia dipersilahkan meyakini Tuhan secara merdeka. Dalam kapasitasnya sebagai individu yang merdeka inilah, bangsa Indonesia sesungguhnya diberi kesempatan untuk dapat secara terbuka mengekspresikan keyakinan keagamaannya. Pancasila secara tegas menggariskan hal tersebut.

Kemajemukan agama di Indonesia merupakan fakta yang tak terbantahkan. Meski begitu, dalam realitanya kemajemukan selalu memiliki wajah ganda, menyejukkan sekaligus mengkhawatirkan. Menyejukkan, karena bak bunga di taman, ia akan terlihat indah karena jenisnya yang bermacam-macam. Itu kenyataan di satu sisi. Di sisi lain, kemajemukan sangat potensial untuk menjadi pemicu konflik, jika kenyataan itu tidak dikelola dengan baik.

Sehingga pertanyaannya kemudian, bagaimana membangun dialog kehidupan dalam masyarakat dengan latar belakang identitas yang beragam? Itulah persoalan pelik yang kerap menghinggapi dalam masyarakat modern. Dengan kata lain, problem mengelola kemajemukan sebagai modal sosial itulah yang seringkali mendapatkan tantangan.

Agama sebagai realitas sosial, didalamnya tak hanya terkandung aspek ajaran yang bersifat normatif-doktrinal. Tetapi, dalam diri agama terdapat juga variabel pemeluk, tafsir ajaran, lembaga keagamaan, tempat suci serta bangunan ideologi yang dibangun dan dibela mati-matian oleh para pemeluknya.

(12)

Jika tidak dikelola dengan baik, keragaman itu tak jarang berujung pada sosial catastrophe. Tentu situasi seperti itu yang tidak dikehendaki oleh semuanya. Maka dari itu, sekali lagi, perlu cara yang bijak dan arif untuk memantapkan keragaman sebagai panglima untuk mengawal nilai-nilai demokratisasi, HAM, multikulturalisme dan lainnya.

Agama dengan demikian, harus dipahami tidak sebagai standar, normatifitas dan sebagai optik kebenaran bagi agama lain. Agama mesti ditempatkan sebagai proses untuk menuju ultimate reality. Dan karena hidup berdampingan, maka mau tidak mau pemeluk agama harus bisa menenggang perbedaan.

Secara sosiologis, keyakinan keagamaan yang dipeluk masyarakat Indonesia sangatlah banyak.13 Agama-agama dunia seperti Islam, Kristen dan

Katolik ada di Indonesia. Begitu juga keyakinan yang berkembang dari ajaran nenek moyang mereka.14 Yang menarik adalah munculnya upaya untuk

mendialogkan ajaran agama dengan budaya masyarakat. Ini misalnya bisa dilihat dalam karya Marx Woodward dalam Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in The Sultanate of Yogyakarta .15 Woodward berusaha untuk

13 Rita Smith Kipp dan Susan Rodgers (eds), Indonesian Religions in Transition

(University of Arizona Press, 1987), 3. Bisa disebutkan di sini beberapa agama suku tersebut antara lain Sunda Wiwitan yang kini tersisa pada etnis Baduy di Kanekes (Banten); agama Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal sebagai agama Cigugur (dan ada beberapa penamaan lain) di Kuningan, Jawa Barat; agama Buhun di Jawa Barat; Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur; agama Parmalim, agama asli Batak; agama Kaharingan di Kalimantan; kepercayaan Tonaas Walian di Minahasa, Sulawesi Utara; Tolottang dan Alu Todollo di Sulawesi Selatan; Wetu Telu di Lombok; Naurus di Pulau Seram di Propinsi Maluku, dan lainnya. Didalam Negara Republik Indonesia, agama-agama asli Nusantara tersebut didegradasi sebagai ajaran animisme, penyembah berhala/batu atau hanya sebagai aliran kepercayaan.

14 Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan dan Cipta Loka

Caraka, 1981), Yekti Maunati, Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan (Yogyakarta: LKiS, 2006), Hikmat Budiman (ed), Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia (Jakarta: The Interseksi Foundation dan TIFA, 2007), Nawari Ismail, Relasi Kuasa dalam Pengubahan Budaya Komunitas: Negara, Muslim, Wong Sikep (Bandung: Karya Putra Darwati, 2012),

15 Marx Woodward, Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in The Sultanate of

(13)

menegaskan bahwa Islam di Jawa juga Islam, buka Hindu atau Hindu-Buddha seperti yang dituduhkan oleh kelompok muslim puritan dan banyak sejarawan-antropolog. Islam Jawa adalah salah satu varian dari Islam. Kelompok Islam lokal lainnya dipaparkan oleh Erni Budiwanti dalam )slam Sasak: Watu Telu

versus Waktu Lima .16 Erni, dalam karyanya tersebut seperti hendak

memperlihatkan satu model ketegangan antara dua kelompok Islam, adat dan puritan. Yang terjadi di Lombok, lokasi penelitiannya, adalah menegaskan bahwa sedang terjadi sebuah konfrontasi antara dua pihak tersebut.

Meski secara sosiologis ada banyak agama yang hidup dan berkembang di Indonesia, tetapi negara kemudian melakukan politik pembatasan dan politik

pengakuan .17 Kata Adrian Vickers, syarat pengakuan negara ini terdengar

sebagai pengertian yang kontradiktif, karena status agama-agama seharusnya jelas, tetapi kepercayaan dan ibadah asli berbagai kelompok etnis tidak diakui menurut konstitusi.18 Kelompok aliran kepercayaan digambarkan sebagai orang

yang belum beragama karena dianggap sebagai praktik masyarakat adat yang terbelakang.19 Tahun 1952, muncul Peraturan Menteri Agama No. 9/1952/Pasal yang mengatakan bahwa Aliran kepercayaan ialah suatu faham dogmatis,

terjalin dengan adat istiadat hidup dari berbagai macam suku bangsa, lebih-lebih pada suku bangsa yang masih terbelakangan. Pokok kepercayaannya, apa saja adat hidup nenek moyangnya sepanjang masa .20

Pada tahun 1965, muncul Penetapan Presiden (PP) No. 1 (selanjutnya ditulis PNPS 1965) yang dikeluarkan oleh Soekarno sebagai presiden dan

16 Erni Budiwanti, Islam Sasak: Watu Telu versus Waktu Lima (Yogyakarta: LKiS, 2000). 17 Tedi Kholiludin, Kuasa Negara atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus Agama

Resmi dan Diskriminasi Hak Sipil (Semarang: Rasail, eLSA dan UKSW, 2009).

18 Adrian Vickers, A History of Modern Indonesia, terj. (Yogyakarta: Insan Madani, 2011),

181.

19 Ibid.

20 Dikutip dari Martin Ramstedt, )ntroduction , dalam Martin Ramstedt (ed), Hinduism

(14)

pemimpin besar revolusi pada tanggal 27 Januari 1965. PP ini berisi tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. PP inilah yang dalam perkembangannya digunakan sebagai alat untuk membentengi agama-agama

resmi dari serangan aliran-aliran sempalan. Status PP ini kemudian ditingkatkan sebagai UU melalui UU No. 5 tahun 1969 tentang pernyatan berbagai penetapan Presiden sebagai Undang-undang.

PNPS 1965 hadir dalam situasi munculnya banyak aliran kebatinan. Untuk mengetahui alasan kemunculan PNPS 1965, maka penjelasan atas aturan tersebut sangat membantu memahami bagaimana begitu ketatnya pemerintah membatasi ruang gerak aliran kebatinan.

Secara eksplisit, kekhawatiran itu dijelaskan dalam penjelasan atas PNPS 1965 bagian I point 2. Dituliskan di sana telah ternyata, bahwa pada akhir-akhir ini hampir di seluruh Indonesia tidak sedikit timbul aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebathinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama .

Dalam pandangan pemerintah, kemunculan aliran-aliran tersebut dipandang telah banyak menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan Nasional dan menodai agama. Dan kalimat ini mungkin perlu

diperhatikan, ...dari kenyataan teranglah bahwa aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebathinan/kepercayaan masyarakat yang menyalahgunakan dan/atau mempergunakan agama sebagai pokok, pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang ke arah yang sangat membahayakan agama-agama yang ada. Perhatikan kata-kata agama-agama yang ada dalam kalimat tersebut.

Dengan munculnya kalimat agama-agama yang ada, fungsi PNPS 1965

semakin menegaskan tentang geliat diskursus agama resmi di )ndonesia.

(15)

Hal ini semakin jelas ketika kita membaca point 5 penjelasan PNPS 1965 Bagian I (umum). Disitu dijelaskan ...dengan penetapan Presiden ini, tidaklah sekali-kali dimaksudkan hendak mengganggugugat hak hidup agama-agama yang sudah diakui oleh Pemerintah sebelum Penetapan Presiden ini

diundangkan . Perhatikan pula kata agama-agama yang sudah diakui . Dengan adanya kalimat tersebut, maka semakin nyatalah tentang eksistensi agama resmi yang ternyata tak hanya dalam tataran diskursus. Agama-agama tertentu di Indonesia ada dan juga diakui , untuk menunjukkan bahwa ada agama yang tidak diakui, ilegal alias tak memiliki dasar konstitusional yang kokoh.

Agama yang diakui, seturut yang muncul dalam PNPS 1965, sesungguhnya juga masih berada dalam kekaburan makna. Paling tidak, ini bisa dilihat dalam penjelasan bab I point lima yang menulis bahwa pemerintah tidak akan mengganggugugat hak hidup agama yang sudah diakui oleh pemerintah sebelum Penetapan Presiden ini diundangkan.

Kekaburan makna yang penulis maksud berada dalam dua level, yuridis dan praktis-sosiologis. Dari aspek yuridis, tidak ada regulasi sebelum adanya PNPS 1965 mengenai dasar hukum yang menunjukkan tentang agama yang diakui (kecuali UUDS 1950 yang kemudian digugurkan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959). Sementara dalam ranah praktis, agama yang diakui ini juga tidak jelas wujudnya. Agama apa saja yang diakui itu (sebelum PNPS 1965).

Terlepas dari kekaburan makna tentang agama yang diakui , ada baiknya kita menyimak penjelasan dari beberapa pasal dalam PNPS 1965 yang kentara

menegaskan tentang agama resmi ini. Dalam pasal dikatakan Setiap orang

(16)

Pasal menyinggung soal agama yang dianut . Tentang hal ini, dalam penjelasannya dikatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Buddha dan Khong Cu (Confusius). Eksistensi agama tersebut, sesuai dengan penjelasan, karena agama-agama itu bisa dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama-agama-agama di Indonesia. Karena 6 macam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 UUD juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini.

Setelah kalimat itu, penjelasan diteruskan dengan menyebut ...ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasturian, Shinto, Thaoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lainnya .

Perlakuan berbeda diberikan kepada aliran kebatinan (kepercayaan) yang dalam kacamata pemerintah dianggap bukan agama. Sehingga bagi mereka, pemerintah mengupayakan untuk menyalurkan ke arah pandangan yang sehat dan ke arah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Analisis terhadap pasal 1 beserta penjelasannya barangkali akan semakin mempertegas tentang hadirnya kuasa pengetahuan ihwal diskursus agama resmi ini. Dalam pasal itu muncul kata-kata otoritatif seperti agama yang dipeluk , agama yang ada dan agama yang diakui . Terhadap kalimat-kalimat yang otoritatif ini, perlu ada penjelasan lebih lanjut sesuai dengan struktur kekuasaan pengetahuan yang ada dalam PNPS 1965 tersebut.

Pada dasarnya, semua warga negara yang beragama mendapatkan jaminan.

Tetapi jaminan tersebut, dibelahpilah menjadi jaminan penuh dan jaminan

(17)

dijamin oleh UUD juga mendapat bantuan dan perlindungan hukum dari serangan pemahaman-pemahaman di luar mainstream. Sementara jaminan

seadanya adalah kosakata untuk menggambarkan model jaminan negara tanpa

adanya pengakuan yang melindunginya.

Dengan penelusuran ini, maka diskursus agama resmi sudah menemukan bentuknya. Agama resmi dengan demikian mencakup didalamnya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Cu. Agama-agama ini mendapatkan fasilitas dari negara untuk mengembangkan institusi agamanya. Sementara yang lain, keberadaannya tidak diingkari, tetapi tidak dirangkul dalam satu strata konstitusi yang equal. Kalau diibaratkan, agama yang enam itu adalah anak kandung negara, sementara di luar itu adalah anak haram negara.

Ada satu pertanyaan yang sangat mendasar tentang pengakuan enam agama sebagai agama resmi itu. Atas dasar apakah mereka digolongkan sebagai agama resmi? Kalau jawaban untuk pertanyaan tersebut kita cari dalam PNPS 1965, maka kita tidak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan untuk pertanyaan tersebut. Di sana hanya tergambar dua jawaban yang masih sangat mengawang-awang. Pertama, agama itu diakui karena ada legitimasi historis dalam perkembangannya di Indonesia. Kedua, agama-agama tersebut hampir dipeluk oleh penduduk Indonesia. Pendek kata, pengakuan itu hanya berdasarkan dua asumsi yang tidak kuat dasarnya. Atau jika hendak dikejar

lebih jauh tentang substansi dari dua alasan itu, bukankah di luar agama resmi

juga telah memenuhi kedua syarat tersebut?

Beralih ke persoalan aliran kepercayaan. Dengan melihat substansi PNPS 1965, posisi aliran kepercayaan menjadi sangat lemah. Eksistensinya sama sekali tidak diperhitungkan sebagai salah satu bentuk keyakinan. Mereka

dianggap sebagai gerakan keagamaan yang tidak sehat sehingga harus

disembuhkan oleh negara agar kembali kepada pemahaman yang sehat

(18)

Pada penjelasan pasal 1 PNPS 1965, ada dua sikap negara yang berbeda terhadap agama. Pertama, terhadap enam agama, pemerintah memberikan jaminan dan bantuan. Kedua, terhadap agama di luar enam itu, pemerintah hanya memberikan jaminan. Sejatinya, pemerintah juga memberikan jaminan untuk beribadah terhadap penganut aliran kebatinan, meski mereka tidak mendapatkan fasilitas. Tetapi, yang terjadi adalah aliran tersebut justru

mendapatkan perlakuan berbeda di luar enam agama resmi dan agama yang

dicontohkan dalam penjelasan pasal 1 PNPS 1965.

Catatan berikutnya mengenai PNPS 1965 bisa kita temukan dalam kata

"kegiatan keagamaan seperti yang tertuang pada pasal 1. Dalam penjelasan disebutkan bahwa kegiatan keagamaan dimaksudkan segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran sebagai agama, mempergunakan istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya ataupun melakukan ibadahnya dan sebagainya. Pokok-pokok ajaran agama dapat diketahui oleh Departemen Agama yang untuk itu mempunyai alat-alat/cara-cara untuk menyelidikinya. (Penjelasan Pasal 1).

Penjelasan itu, dengan telanjang memberikan kewenangan kepada Departemen Agama (Depag) untuk menentukan mana aliran yang layak disebut agama dan tidak. Atau dengan kata lain, mandat yang diberikan oleh PNPS 1965 kepada Depag adalah bahwa mereka dibebankan untuk mengawasi eksistensi agama-agama serta menjadi hakim teologis mana agama dan mana yang tidak.

Ajaran seperti apa yang sehat untuk membedakannya dengan yang sakit . Pelanggaran terhadap kebebasan beragama dengan memunculkan

(19)

seperti tertuang dalam PNPS adalah karena ada legitimasi historis (ada sejak dulu) dan sosiologis (dipeluk hampir seluruh penduduk). Pada gilirannya, enam

agama itulah yang sekarang ini menjadi agama resmi . Penulis hendak mempertanyakan kembali alasan dibalik penetapan enam agama dengan dua alasan tersebut. Jikalau yang menjadi alasan adalah fakta historis dan sosiologis, maka Parmalim, Kaharingan, Aluk Todollo, Sunda Wiwitan, Kejawen juga dipeluk oleh penduduk Indonesia dan ada sebelum agama-agama yang diakui itu hadir ke nusantara.

Rita Smith dan Susan Rodgers dalam pengantar buku )ndonesian Religions in Transition , menguraikan kalau the politics of agama itu memberikan implikasi pada dua hal. Pertama, munculnya kategori orang yang belum beragama (people who do not yet have a religion). Kedua, adanya ambiguitas karena banyak orang yang secara formal dan adminsitratif memeluk salah satu

agama yang diakui tetapi juga tetap mempraktekan tradisi-tradisi lama mereka.21

Realitas masyarakat yang plural dari sisi agama itu tentu menyisakan persoalan jika kemudian negara menetapkan status ada masyarakat yang tak beragama. Disini prinsip ber-Tuhan secara sendiri-sendiri seperti disinggung Soekarno, tidaklah terwujud.

Pada akhirnya, negara mengikuti pemikiran Antonio Gramsci, sebagaimana halnya aparatus pemerintahan menjadi instrumen hegemoni yang bersifat privat.22 Dalam bagian lain Gramsci mengatakan bahwa negara adalah kompleks

dari aktivitas praktis dan teoritis dimana kelas penguasa tidak hanya menjaga dan membenarkan dominasinya, tetapi mengolah untuk mendapatkan persetujuan aktif dari kelompok yang berada di bawah kekuasaannya.23

21 Rita Smith Kipp dan Susan Rodgers (eds), Indonesian Religions in Transition. . .21 22 Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks (New York: International

Publishers, 1971), 261.

(20)

Jika dilihat dari sisi konstitusi, Indonesia bukanlah negara yang didasarkan atas satu agama tertentu. Bahkan jaminan konstitusional terhadap hak untuk bebas memeluk agama ini begitu banyak disinggung dalam UUD 1945. Hal tersebut misalnya bisa dilihat antara lain dalam Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen. Pasal itu menyebutkan:

1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.

2. Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Selain dalam pasal 28 E muatan mengenai jaminan konstitusional juga termaktub dalam pasal 28I yakni

1. ... hak beragama ... adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi

dalam keadaan apa pun.

2. Setiap orang berhak bebas dari perlakukan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

(...)

3. Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

Naskah jaminan kebebasan beragama dalam konstitusi juga bisa dilihat dalam pasal 28J.

(...)

(21)

maksud semata-mata menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Muatan lain yang ada dalam UUD 1945 soal kebebasan beragama dan menjalan keyakinan keagamaan adalah pasal 29 yakni

1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Dilihat secara normatif, pasal-pasal tersebut menjadi legitimasi yuridis bahwa kebebasan beragama dan tidak beragama mendapat jaminan. Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan landasan normatif bahwa agama dan keyakinan merupakan hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam pasal 22 ditegaskan:

1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk

beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Dalam pasal juga ditegaskan bahwa Perlindungan, pemajuan,

(22)

Sementara itu berdasarkan dari yang tersirat di Pasal 70 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan tersurat dalam UU No. 12 Tahun 2005, Pasal 18 ayat (3) Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, maka pemerintah dapat mengatur/membatasi kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan melalui Undang-undang. Elemen-elemen yang dapat dimuat di dalam pengaturan tersebut antara lain:24

Pertama, Restriction for the Protection of Publik Safety (Pembatasan untuk Melindungi Masyarakat). Pembatasan kebebasan memanifestasikan agama di publik dapat dilakukan pemerintah seperti pada musyawarah keagamaan, prosesi keagamaan dan upacara kematian dalam rangka melindungi kebebasan individu-individu (hidup, integritas, atau kesehatan) atau kepemilikan.

Kedua, Restriction for the Protection of Publik Order (Pembatasan untuk Melindungi Ketertiban Masyarakat). Pembatasan kebebasan memenifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum, antara lain keharusan mendaftar badan hukum organisasi keagamaan masyarakat, mendapatkan ijin untuk melakukan rapat umum, mendirikan tempat ibadah yang diperuntukan umum. Pembatasan kebebasan menjalankan agama bagi narapidana.

Ketiga, Restriction for the Protection of Publik Health (Pembatasan untuk Melindungi Kesehatan Masyarakat). Pembatasan yang diijikan berkaitan dengan kesehatan publik dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemerintah melakukan intervensi guna mencegah epidemic atau penyakit lainnya. Pemerintah diwajibkan melakukan vaksinasi, pemerintah dapat mewajibkan petani bekerja secara harian untuk menjadi anggota askes guna mencegah penularan penyakit TBC. Bagaimana pemerintah harus bersikap seandainya ada ajaran agama tertentu yang melarang diadakan transfusi darah atau melarang

24 Lihat Siti Musdah Mulia, Potret Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Era Reformasi , Makalah disajikan pada Lokakarya Nasional Komnas (AM Penegakan HAM dalam 10 Tahun Reformasi, di Hotel Borobudur Jakarta, 8 – 11 Juli 2008, 8-10.

(23)

penggunaan helm pelindung kepala. Contoh yang agak ekstrim adalah praktik mutilasi terhadap kelamin perempuan dalam adat-istiadat tertentu di Afrika.

Keempat, Restriction for the Protection of Morals (Pembatasan untuk Melindungi Moral Masyarakat). Untuk justifikasi kebebasan memenifestasikan agama atau kepercayaan yang terkait dengan moral dapat menimbulkan kontroversi. Konsep moral merupakan turunan dari berbagai tradisi keagamaan, filsafat, dan sosial. Oleh karena itu, pembatasan yang terkait dengan prinsip-prinsip moral tidak dapat diambil hanya dari tradisi atau agama saja. Pembatasan dapat dilakukan oleh Undang-undang untuk tidak disembelih guna kelengkapan ritual aliran agama tertentu.

Kelima, Restriction for the Protection of The (Fundamental) Rights and Freedom of Others. (Pembatasan untuk Melindungi Kebebasan Mendasar dan Kebebasan Orang Lain)

1.1Proselytism (Penyebaran Agama). Dengan adanya hukuman terhadap tindakan proselytism, pemerintah mencampuri kebebasan seseorang di dalam memanifestasikan agama mereka melalui aktivitas-aktivitas misionaris dalam rangka melindungi agar kebebasan orang lain untuk tidak dikonversikan.

(24)

Merujuk pada dasar-dasar di atas, dalam perspektif HAM hak kebebasan beragama atau berkeyakinan ini dapat disarikan ke dalam delapan komponen, yaitu:25

1. Kebebasan Internal. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah agama atau kepercayaannya.

2. Kebebasan Eksternal. Setiap orang memiliki kebebasan, secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi, untuk memanifestasikan agama atau kepercayaannya di dalam pengajaran, pengalamannya dan peribadahannya.

3. Tidak ada Paksaan. Tidak seorang pun dapat menjadi subyek pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau kepercayaan yang menjadi pilihannya.

4. Tidak Diskriminatif. Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaan tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli atau pendatang, asal-usul.

5. Hak dari Orang Tua dan Wali. Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua, dan wali yang sah (jika ada) untuk menjamin bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan keyakinannya sendiri.

6. Kebebasan Lembaga dan Status Legal. Aspek yang vital dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, bagi komunitas keagamaan untuk berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu, komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama atau

(25)

berkeyakinan, termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam pengaturan organisasinya.

7. Pembatasan yang diijinkan pada Kebebasan Eksternal. Kebebasan untuk memanifestasikan keagamaan atau keyakinan seseorang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang dan kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak dasar orang lain.

8. Non-Derogatebility. Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apa pun.

Perlindungan secara legal itu sejatinya tengah mengandaikan peran negara agar ia senantiasa menjadi payung untuk melindungi hak beragama warganya. Hal itu dimungkinkan karena hak beragama tidak hanya merupakan hak asasi manusia tetapi juga hak setiap warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum.

Secara teoritis, kebebasan beragama memiliki dua pengertian, religious freedom dan religious liberty. Keduanya biasa digunakan secara bergantian dengan makna yang tidak berubah. Bedanya, barangkali ada pada konteksnya. Jika religious freedom merupakan konsep yang luas, sementara religious liberty digunakan dalam konteks yang spesifik dalam wilayah hak hukum dan politik.26

Karena tidak memiliki signifikansi yang pada akhirnya akan merubah maksud pengertian, penulis dalam karya ini akan menggunakan dua frase (religious freedom dan liberty) tersebut dalam satu makna dan secara bergantian digunakan.

Paul G. Kauper melihat bahwa religious liberty secara umum dipahami sebagai salah satu aspek paling fundamental dari kebebasan sipil.27 Bagi

26 Ninan Koshy, Religious Freedom in a Changing World (Geneva: WCC Publications,

1992), 23.

27 Paul G. Kauper, Legal Aspect of Religious Liberty dalam George W. Forell et.al.,

(26)

Kekristenan, semua aspek dari kebebasan sipil berakar dalam sebuah fakta bahwa manusia diciptakan Tuhan untuk mengabdi kepadaNya. Dalam dunia modern, fondasi keberagaman ini tidak hanya berlaku bagi pemeluk agama-agama dunia tetapi juga dimaksudkan untuk menjaga kebebasan beragama-agama bagi

penganut pseudo agama seperti halnya Marxisme, Biologisme, Rasisme dan Statisme.28

Ninan Koshy, dengan mengutip pendapat Carillo de Albornoz membagi kebebasan beragama ke dalam empat aspek.29 Pertama, kebebasan nurani

(liberty of conscience). Kedua, kebebasan mengekspresikan keyakinan keagamaan (liberty of religious expression). Ketiga, kebebasan melakukan perkumpulan keagamaan (liberty of religious association). Keempat kebebasan menginstitusikan keagamaan (liberty of religious institutionalization).30

Aspek pertama dari keempat wilayah tersebut memiliki sifat yang absolut atau pure religious liberty. Dan ia merupakan bagian dari internal aspect of religious freedom. Dalam aplikasinya, yang disebut sebagai freedom of conscience juga sering dimaknai sebagai freedom of religion. Karena kebebasan nurani adalah aspek internal maka tiga aspek yang lain adalah aspek eksternalnya. Atau kebebasan nurani adalah sword of the spirit tiga yang lain adalah sword of steel.31

Tentang kebebasan nurani, Michael Novak mengatakan:

This liberty of conscience transcends any and all political orders. Human freedom rooted in God declares that all states and all political orders are under God, limited not omnipotent. States can

28 Ibid., 5.

29 Ninan Koshy, Religious Freedom. . .

30 Empat aspek inilah yang dengan konsisten akan penulis gunakan sebagai parameter

untuk mengukur apakah ada jaminan terhadap kebebasan beragama dan keyakinan di Indonesia. Tidak hanya dalam konstitusi dan regulasi, tetapi apakah hal itu juga terwujud dalam kehidupan nyata masyarakat.

(27)

crush or kill human beings, but they cannot alienate them from their responsibility to God and conscience.32

Sementara Franklin ). Gamwell dalam The Meaning of Religious Freedom memaparkan bahwa kebebasan nurani inilah yang hanya bisa dipahami secara jernih jika agama ditempatkan dalam kategori narrowly defined. Menurut Gamwell,

Religion is the primary form of culture in terms of which the comprehensive question is explicitly asked and answered and further, so answered that human authenticity is derived from the character of reality as such. In saying this I mean that the distinction between authentic and inauthentic human activity is identified by the relation of human activity to reality as such or ultimate reality. Whether that ultimate reality is understood as

Yahweh, Allah, emptiness , or in some other way, it is understood

to be the ground of human authenticity. The point may also be expressed by saying that religion, narrowly understood, so addresses the comprehensive question that ultimate reality is said to authorize human authenticity.33

Dengan mengacu pada pengertian di atas, maka Gamwell menyinggung mengenai soal autentisitas atau keaslian manusia. Bahwa ia hanyalah bisa diidentifikasi terkait dengan relasinya terhadap aktifitas manusia untuk meyakini eksistensi ultimate meaning of life. Meski realitas tertinggi itu bisa

berbentuk ketiadaan .34

Kembali pada keterkaitan antara internal dan eksternal aspek dalam kebebasan beragama. Inner Freedom dengan demikian memiliki status yang sama dengan dimensi eksternalnya. Wilayah eksternal adalah manifestasi dari dimensi internal keberagamaan yang akan bersinggungan dengan wilayah publik. Dalam konteks ini, aspek eksternal di dalamnya mengandung bentuk

32Michael Novak, Religion and Liberty: From Vision to Politics Christian Century, July

6-13, 1988.

33 Franklin I. Gamwell, The Meaning of Religious Freedom: Modern Politics and The

Democratic Resolution (State University of New York Press, 1995), 30.

(28)

ketaatan untuk melaksanakan upacara keagamaan, termasuk asosiasi keagamaan pemeluknya, mengekspresikan komitmen keberagamaan, pengajaran dan penyebaran kepercayaan.35 Apa yang secara umum dipahami

sebagai kebebasan beragama juga harus dipahami sebagai kebebasan dalam konteks manifestasi dimensi eksternal agama itu.

Jika aspek internal dari kebebasan beragama bersifat absolut, tidak demikian halnya dengan dimensi eksternalnya yang bersifat relatif. Relativitas sifat dari dimensi eksternal ini dipahami karena agama tidak selalu berbicara tentang keyakinan personal. Agama juga hadir dan bersentuhan dalam wilayah sosial serta berkaitan dengan institusi lainnya. Atas dasar ini, maka sekali lagi, kebebasan beragama termasuk juga di dalamnya kebebasan untuk mengekspresikannya. Karena agama, tidak hanya menyangkut keyakinan individual, tetapi juga berarti di dalamnya adalah manifestasi atas keyakinan tersebut.

Wilayah eksternal dari kebebasan beragama menyediakan ruang yang cukup lapang bagi institusi agama untuk bersentuhan dengan formasi lain kehidupan. Dengan demikian, kebebasan dalam menginstitusionalisasikan agama juga pada akhirnya adalah sebuah teka-teki politik dimana umat beragama juga mesti melakukan perhitungan dengan cermat tentang sebuah strategi.

Sekadar perbandingan, pembagian aspek kebebasan beragama dijelaskan oleh Kauper dalam Legal Aspects of Religious Liberty .36 Kauper menjelaskan

tentang dua model kebebasan beragama yakni kebebasan pribadi dan kebebasan gereja sebagai korporasi.

Kebebasan individual didalamnya memuat lima prinsip kebebasan. Pertama, kebebasan nurani dan berkeyakinan. Kedua, kebebasan beribadah.

35 Ibid.

(29)

Ketiga, kebebasan untuk menyebarkan ide-ide keberagamaan. Keempat, kebebasan dalam hal pendidikan dan kehidupan keluarga. Kelima, kebebasan dari agama yang disponsori negara.37

Jika Pancasila kita pahami sebagai sebuah pengalaman personal bangsa Indonesia tentang pentingnya menjaga keberagaman, maka sikap terhadap pluralisme dan kebebasan beragama, seharusnya tegas. Pluralisme merupakan etika hidup yang hendak menjaga keragaman agar dibiarkan sebagaimana adanya. Dalam situasi dimana perbedaan merupakan sesuatu yang harus dibiarkan apa adanya, inilah kebebasan beragama, kebebasan menyembah Tuhan dengan caranya masing-masing harus dijamin. Negara memiliki tanggungjawab untuk memastikan bahwa setiap warga negara dapat menikmati haknya untuk menjalankan ibadah sesuai dengan apa yang diyakininya.

Transformasi Pancasila dalam Religiositas Sipil: Teori Sekularisasi, Privatisasi dan Pasar

Dalam bab sebelumnya kita telah melihat bahwa penulis menggeser kerangka agama sipil ke dalam diskursus religiositas sipil. Bellah menuturkan bahwa agama sipil merupakan dimensi keagamaan yang bersifat publik (public religious dimension). Dimensi keagamaan yang bersifat publik itu dapat kita cermati dalam keyakinan, simbol dan ritualnya. Jika kita mencermati apa yang oleh Bellah sampaikan tentang pengertian civil religion ini, maka tuturan tentang ekspresi agama sipil itu sesungguhnya koheren dengan dimensi religiositas.

Religiositas dengan demikian bisa kita maknai dari dua aspek, internal dan eksternal. Aspek internal agama bisa kita pahami sebagai religious consciousness. Aspek eksternalnya adalah ekspresi dari apa yang diyakini itu dalam kehidupan keseharian yang itu bisa dilihat dari pola, tindakan, tingkah laku yang sesuai

(30)

dengan apa yang mereka yakini itu. Jika dikaitkan dengan civility, maka religiositas sipil hendak penulis maknai sebagai kesadaran bahwa kehadiran mereka dalam satu bangsa itu harus menghargai sesamanya, menyadari adanya identitas kebudayaan dan agama yang plural, membangun masyarakat beradab yang tercermin dalam sikap dan perilaku mereka di kehidupan keseharian.

Meminjam kerangka Gert Pickel and Kornelia Sammet, religiositas bisa kita dekati setidaknya dengan tiga kerangka teori yakni, teori sekularisasi,

individualisasi dan teori pasar. Setelah didekati dengan tiga teori itu, kita akan melihat perspektif mana yang paling relevan diterapkan dalam konteks

keIndonesiaan yang khas ini.

Sekularisme, seperti yang digambarkan Harvey Cox berusaha untuk

memisahkan urusan agama dan negara. Menurut Cox, sekularisasi menjadi semacam pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari dunia lain menuju dunia kini. Sekularisme sendiri memiliki koneksi dan kontestasi makna. Secara kultural, sekularisasi menggambarkan kerangka kognisi dan normatif. Secara politik, sekularisasi merujuk pada negara dan politik.

Konstruksi dari klasifikasi sistem double dualist pada masa Kekristenan Eropa pra-modern bisa menjadi pijakan awal untuk memahami sekularisasi kultural.38 Reformasi Protestan memainkan peran yang destruktif. Ia menolak

kesatuan (unity), kesucian (sanctity), Kekatolikan (Catholicity), dan apostolicity dari gereja.39 Sistem Reformasi Protestan adalah salah satu dari empat

perkembangan yang saling berkaitan dalam meruntuhkan sistem klasifikasi religious abad pertengahan. Tiga lainnya adalah pembentukan negara-negara modern, pertumbuhan kapitalisme dan revolusi keilmuan modern.

38 Veit Bader, Secularism or Democracy?: Associational Governance of Religious Diversity

(Amsterdam University Press, 2007), 39-40.

(31)

Di satu sisi dunia dibedakan antara the other dan the other world. Di sisi lain, this world dibagi ke dalam dua realitas yang heterogen, yang religious dan yang sekuler, dan dualisme spatio-structural diinstitusionalisasi di luar masyarakat. Pembagian ini kemudian berkembang dalam dunia politik, dengan memisahkan agama di satu sisi dan kepentingan politik di sisi lain.

Tesis sekularisasi dalam pengertian pemisahan antara agama dan politik serta mundurnya peran agama di ruang publik ternyata tidak terbukti. Seperti digambarkan dalam Bab III, bahwa yang terjadi bukanlah sekularisasi, tetapi justru desekularisasi. Munculah agama-agama modern yang merupakan anak kandung modernitas.40

Fenomena mistisisme individual seperti yang disinggung oleh Ernst

Troeltsch atau The Invisible Religionnya Thomas Luckmann bisa menjadi salah

satu contoh memahami bagaimana teori kedua, yakni individualisasi atau

privatisasi. Luckmann mengatakan bahwa self-expression dan self-realization

sudah menjadi invisible religion bagi modernitas.

Mistisisme individual bisa disimak misalnya dalam uraian Rousseau,

agama manusia…tanpa candi-candi, altar-altar atau ritual-ritual . Bisa juga kita menyimak kata-kata hati saya adalah gereja saya seperti yang pernah diungkapkan oleh Thomas Paine dan Thomas Jefferson yang mengatakan saya

adalah sekte bagi saya sendiri . Kata Casanova kalimat-kalimat itu merupakan penggambaran dari high culture. Sementara fenomena Sheilaisme seperti yang diuraikan oleh Bellah menggambarkan budaya rendah (low culture) dari masyarakat modern. Sheila Larson mengatakan bahwa ia adalah seorang yang percaya pada Tuhan, tetapi bukanlah penganut agama yang fanatik. Ia tidak bisa mengingat lagi kapan ia pergi ke gereja. Dan keimananlah yang membuat ia bisa melangkah lebih jauh.

(32)

Dengan menggunakan tiga perspektif di atas, sekularisme dalam pengertian pemisahan yang ketat antara agama dan negara di Indonesia tidak mendapatkan presedennya. Sejak awal Indonesia tidak mengenal pemisahan yang tegas antara agama dan negara. Selalu ada warna agama dalam setiap kebijakan. Meski dasar negara Indonesia adalah Pancasila (bukan agama), tetapi sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadikan Pancasila ini tidak sepenuhnya sebagai simbol yang bersifat sekuler. Ini artinya, teori sekularisasi dalam pengertian seperti itu, tidak relevan.

Sementara teori privatisasi, merupakan gambaran seperti yang oleh Bellah ditulis sebagai one man, one faith. Di Indonesia, watak komunalistik masih sangat terjaga. Institutionalized religión juga masih memainkan perannya dengan baik. Agama-agama yang terinstitusionalisasi ini cukup kuat, terutama dalam ranah sosial-politik.

Yang paling mungkin bisa diterapkan adalah pendekatan market models of religion. Jika Indonesia ini diibaratkan supermarket, maka agama-agama di

)ndonesia bisa mempercantik dirinya agar memiliki daya tarik. Daya tahan agama pada akhirnya akan sangat tergantung dari cara agama mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan sosial. Kendala yang dihadapi melalui model ini adalah pragmatisme kelompok-kelompok agama. Orientasi mereka akhirnya haruslah menyesuaikan dengan selera pasar. Tapi justru disitulah arena kontestasinya. Meski agak dekat dengan model ini, tetapi Indonesia tidak bisa disebut sepenuhnya bisa didekati dengan cara tersebut. Peran negara dalam mengatur kehidupan keberagamaan masih sangat kuat.

Pertanyaannya kemudian bagaimana melakukan transformasi Pancasila

sebagai pijakan dari semua buat semua ke dalam konteks religiositas sipil dengan memperhatikan tiga kerangka teoritik yang sudah dipaparkan di atas?

(33)

Indonesia negara ada dan hadir dalam kehidupan keagamaan. Dalam konstitusi

ia memiliki fungsi untuk menjamin kemerdekaan penduduk dalam meyakini dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing.

Dalam perspektif Franklin Gamwell, negara dijabarkan sebagai aktifitas sebuah pemerintahan dimana semua asosiasi dan aktifitas diberikan oleh masyarakat atau komunitas yang secara eksplisit disatukan atau diatur, dan karenanya selalu dinyatakan secara partikular. Sebagai mesin negara, politik diberikan mandat untuk menjawab persoalan keduniaan. Sementara, agama tidak hanya diharapkan dapat memberikan jawaban keduniaan saja tetapi juga kehidupan lain.

Itu artinya bahwa negara tidak bisa memberikan jawaban yang komprehensif seperti halnya agama. Kalaupun terlibat dalam pengaturan kehidupan keagamaan, maka negara hanya mengatur lalu lintas hak warga negaranya saja. Negara harus dalam posisi netral dari klaim-klaim formal dari keyakinan keagamaan tertentu.

Disini memang muncul tuntutan untuk menyelesaikan status hubungan antara negara dan agama agar bisa diperankan masing-masing sesuai dengan tugasnya. Negara adalah komunitas bayangan yang merangkum aneka kepentingan masyarakat. Negara didirikan atas kontrak semua kelompok masyarakat. Hal ini merupakan gagasan etis modern tentang negara. Negara dengan sendirinya menjadi tempat kelompok-kelompok dapat melakukan transformasi menuju cita-cita yang diidealkan. Dari gagasan dimana negara menjadi tempat dan mekanisme transformasi yang disepakati, dengan sendirinya wilayah negara melahirkan entitas negara dan entitas warga. Warga adalah pemberi mandat dan negara (dalam pengertian ini aparat-aparatnya) adalah yang diberi mandat.

(34)

sekuler berprinsip dalam bahasanya Benyamin F. )ntan, netral-pasif .41 Artinya,

ketika pemerintah secara netral menjamin kehidupan umat beragama dari semua agama tanpa terkecuali, di sisi lain pemerintah tidak mendorong perkembangannya alias bersikap pasif. Dalam negara agama, terjadi hal sebaliknya, negara memegang prinsip sektarian-aktif. Artinya, hanya agama tertentu mendapat perlakuan istimewa pemerintah. Kepada agama bersangkutan, pemerintah bukan hanya menjamin hak kebebasan beragamanya tapi juga secara aktif mendorong pertumbuhannya. Berbeda dari kedua prinsip di atas, kebebasan beragama dalam negara Pancasila bersifat netral-aktif . Artinya, pemerintah bukan hanya menjamin kebebasan beragama dari semua agama, tetapi juga secara aktif mendorong pertumbuhan masing-masing agama tersebut dengan tanpa terkecuali.42

Luthfi Assyaukanie menggambarkan tiga model negara demokrasi yang ada di Indonesia.43 Pertama, Negara Demokrasi )slam ND) . )stilah Demokrasi )slam merujuk pada ungkapan M. Natsir, politisi muslim terpenting di awal abad kemerdekaan. Dengan menyebut nama Demokrasi Islam, Natsir berupaya untuk keluar dari model teokrasi dan sekuler. NDI adalah jalan tengah untuk tidak terjebak pada titik ekstrem itu.

Dalam ide NDI, menyimpan pesan bahwa pada dasarnya negara demokrasi adalah negara yang baik. Demokrasi merupakan konsensus politik yang menjamin egalitarianisme, tetapi ia harus dibatasi oleh kehendak Tuhan. Dengan kata lain, NDI membuka lebar-lebar bagi klaim-klaim agama untuk masuk dalam ranah publik. Ini dilandaskan pada asumsi bahwa dalam Islam, ada hal-hal yang bersifat prinsipil dan tidak bisa diputuskan melalui jalur legislatif. Pada gilirannya, dengan menyebut Islam dalam NDI, penyokong model ini

41Benyamin Fleming )ntan, Rumah )badah dan (egemoni Negara , Suara Pembaruan, 1

Agustus 2009, hlm. 5

42 Ibid.

43 Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di

(35)

berkeinginan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Sementara demokrasi dijadikan sebagai alat untuk memacu umat Islam agar bisa berkancah dalam dunia sosial dan politik.

Sementara model kedua yang berkembang dalam alam pikir umat Islam Indonesia adalah Negara Demokrasi Agama (NDA). NDA bermaksud untuk menekankan pentingnya kehidupan pluralis di Indonesia dan menjadikan negara sebagai pengawal semua agama.44 Model NDA lahir terutama pada masa

orde baru di bawah kekuasaan Soeharto. Pendukung NDA sadar kalau Indonesia adalah negara yang plural. Ini sekaligus merespon NDI yang sedikit menegasikan kenyataan itu. Dengan begitu, maka pemahaman apa pun soal isu agama dan politik harus dibangun di atas kesadaran bahwa ia adalah negara yang plural.

Salah satu keberhasilan pendukung NDA adalah ketika mereka secara

meyakinkan berhasil membangun satu pembenaran teologis terhadap Pancasila. Amin Rais dan Syafii Maarif merupakan contoh intelektual muslim yang mendukung gagasan NDA. Bagi mereka, kehidupan politik haruslah didasari oleh sikap religius. Agama harus menjadi dasar dari semua aspek kehidupan. Bagi mereka yang sepakat dengan ide NDA, pelembagaan agama oleh negara merupakan keniscayaan. Tak heran jika mereka mendukung kehadiran Departemen Agama, Majelis Ulama Indonesia, Peradilan Agama dan pengajaran agama di sekolah.

Respon muslim Indonesia terhadap demokrasi yang ketiga termanifestasi dalam ide Negara Demokrasi Liberal (NDL). Tujuan akhir dari NDL adalah membebaskan agama dari hegemoni negara dan sekularisasi dijadikan alas untuk menyokong demokratisasi. Gagasan fundamental yang menyokong NDL adalah keyakinan bahwa urusan politik harus dijalankan di luar wilayah agama. Umat Islam yang mendukung NDL menyandarkan pada fakta historis bahwa kehadiran Nabi Muhammad adalah untuk memperbaiki akhlak, bukan

(36)

mendirikan negara. Pun pula, secara filosofis Islam hadir sebagai agama etik, bukan politik.

Menariknya, pendukung NDL adalah generasi santri yang memiliki pengetahuan yang sangat memadai dalam kajian keislaman. Sebut saja nama Nurcholis Madjid, Djohan Effendi dan Abdurrahman Wahid. Dengan kata lain,

mereka inilah cerminan potret santri liberal .

Secara prinsipil, pendukung NDL dan NDA memiliki banyak kesamaan gagasan pokok. Mereka misalnya berbicara tentang finalitas dasar negara Pancasila. Dua kelompok itu juga tak lagi berbicara tentang formalisasi syariat Islam. Tetapi, keduanya berbeda dalam hal, sejauhmana negara dapat turut campur dalam urusan agama. Jika kita hadirkan debat tentang UU No. 1 PNPS 1965 soal penodaan agama, maka kita dapat meraba bagaimana dua kelompok itu menanggapinya. Bagi kelompok NDA, UU itu pasti masih dirasa perlu karena dapat melindungi agama dari pelbagai penodaan . Sementara, Abdurrahman Wahid, salah satu pengusul judicial review UU tersebut, menganggap aturan itu justru pada perkembangannya membatasi kebebasan berkeyakinan dengan

status sebagai penoda agama .

Harus diakui bahwa kehidupan politik kontemporer umat Islam Indonesia, bukanlah diwarnai oleh kelompok NDL. Tetapi, jangan lupa bahwa sekarang ide liberalisasi, sekularisasi dan demokratisasi semakin hari semakin menunjukkan kemajuan. Padahal, wacana pluralisme, sekularisme dan liberalisme, adalah bete noire (hal yang dibenci) bagi kebanyakan umat Islam pada 40-50 tahun yang lalu.45 Kini, diskusi tentang tema-tema itu menjadi sangat menarik, karena

sarjana muslim mencoba untuk membuktikan bahwa sesungguhnya tidak ada pertentangan antara Islam dengan Barat, Demokrasi, Modernitas dan Globalisasi. Karena itu, sejarah di Indonesia, tidak hanya perluasan peradaban

(37)

santri seperti diungkapkan oleh Benda46 tetapi juga adalah perluasan peradaban

santri liberal dan progresif seperti halnya Abdurahman Wahid.

Yudi Latif menggambarkan hubungan agama dan negara di Indonesia yang

bukan teokratis dan bukan sekuler itu sebagai diferensiasi .47 Konsep itu

merupakan jalan tengah antara fusi atau penyatuan dan separasi atau pemisahan. Dalam perannya sebagai diferensiasi, maka institusi agama dan negara bisa mengoptimalkan perannya dalam usaha pengembangan dan penyehatan kehidupan publik.48

Meski di Indonesia umat Islam adalah mayoritas, tetapi di Indonesia tidak akan pernah terjadi islamisasi total seperti yang digaungkan oleh fundamentalisme religius radikal, atau sekularisasi (juga liberalisasi) secara total seperti yang digemakan oleh para sekularis ultra nasionalis radikal.49

Tanggapan umat Islam dalam satu negara muslim dan bahkan tanggapan satu komunitas muslim bisa sangat beragam terhadap islamisasi, liberalisasi ataupun sekularisasi, termasuk Indonesia yang tidak bisa begitu saja disamakan dengan belahan negara muslim lain.

Teori sekularisasi seperti yang disitir di atas, menyatakan bahwa modernisasi akan melemahkan ajaran agama, karena ia menyebabkan pandangan yang lebih rasional begitu dominan dipegang oleh masyarakat. Disinilah awal mula agama mengalamai alienasi. Dengan begitu, sektor-sektor masyarakat dan budaya tidak lagi didominasi oleh lembaga-lembaga serta simbol religius. Tetapi tidak demikian yang terjadi di Indonesia (dan negara-negara yang mengalami keadaan serupa). Proyek modernisme yang diikuti oleh

46 Ibid., 296.

47 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 2011, 111.

48 Ibid., 112.

49 Idem., Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia

(38)

perkembangan paham liberalisme justru memunculkan para santri baru, terutama di kampus-kampus sekuler.

Fenomena inilah yang penting untuk dibaca dalam memahami realitas keberagamaan masyarakat Indonesia, yang harus dibedakan dengan perkembangan masyarakat barat. Meski liberalisme berkembang dalam landscape pemikiran keagamaan umat Islam Indonesia, tetapi yang terjadi di Indonesia adalah pembedaan apa yang sakral dan profan, bukan pemisahan. Dan bahkan dalam waktu yang sama liberalisme diikuti dengan menyeruaknya fenomena dan jargon-jargon islamisasi yang menyebabkan Indonesia semakin terlihat saleh .

Dalam ranah tersebut, transformasi Pancasila dibutuhkan dalam upaya mengembangkan religiositas sipil. Seperti digambarkan di atas, religiositas sipil di Indonesia merupakan pengejawantahan dari prinsip Pancasila yang ada dalam lingkaran filosofi semua buat semua . Penghargaan terhadap kemajemukan merupakan kondisi yang hadir bersamaan dengan Pancasila itu sendiri. Jika dalam pengertian Gamwellian, negara beserta simbol-simbolnya harus terbebas dari klaim-klaim konfesional agama tertentu, lalu bagaimana dengan Pancasila? Apakah Pancasila sudah merupakan simbol yang netral

agama ?

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dikerjakan pada bulan November sampai Desember 2001 bertempat di Sungai Kelekar Kecamatan Indralaya. Identifikasi jenis ikan dilakuakan di

Ekspor Produk COVID-19 Medical Supplies asal Indonesia juga tidak terlepas dari interdependensi dengan negara lain pada level yang beragam. Dari 17 kelompok produk yang merupakan

Itulah semua yang dilakukan oleh Rasulullah SAW selama tiga belas tahun berdakwah dan membina sahabat-sahabatnya di Makkah; menyiapkan semua perangkat yang diperlukan

Hasil uji bivariat faktor risiko sanitasi lingkungan yang memiliki hubungan signifikan terhadap infeksi askariasis yaitu sumber air untuk keperluan rumah tangga (p =

Tujuan pembelajaran : Siswa dapat memahami teknik informasi Lifeskill dilingkungan bisnis dan

Prayitno dan Erman Amti (2004:99) mengemukakan bahwa bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu,

Model tersebut berupa suatu sistem persamaan diferensial dengan lima variabel, yang menyatakan banyaknya vektor pada masa inkubasi, banyaknya vektor terinfeksi,

Teori konstruksi sosial mengandung pemikiran yang sama dengan teori interaksi sosial yang membahas tentang konsep “makna subjektif dan objektif” dari perilaku manusia,