• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pariwisata bagi Masyarakat Lokal D 902009101 BAB V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pariwisata bagi Masyarakat Lokal D 902009101 BAB V"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 5

Perkembangan Pariwisata di Bunaken

Pendahuluan

Sebagai salah satu ikon pariwisata Provinsi Sulawesi Utara, Bunaken mempunyai daya tarik spesifik yaitu Taman Lautnya yang menjadi salah satu tujuan tempat menyelam (diving) yang indah di dunia bagi para wisatawan yang datang dari dalam maupun luar negeri. Taman Nasional (1991) yang juga merupakan kawasan Konservasi Laut Bunaken mempunyai luas hampir 89.000 Ha. Taman Nasional Bunaken diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 24 Desember 1992. Wilayah ini meliputi lima pulau, yaitu: Bunaken, Siladen, Manado Tua, Mantehage dan Nain, dan pesisir Utara semenanjung Sulawesi, yaitu: Molas, Meras, Tongkaina, dan Tiwoho, serta pesisir Selatan, yaitu: Arakan, Wawontulap, Poopoh sampai Popareng. Pada tahun 1997 oleh WWF (World Wild Fund) kawasan ini diusulkan sebagai salah satu World Heritage, dan baru tahun 2000 ditetapkan oleh UNESCO sebagai situs warisan dunia.

(2)

kepulauan bersama dengan pulau Siladen, Mantehage, dan Manado Tua. Di pulau ini terdapat dua Kelurahan, yakni kelurahan Liang dan Alungbanua yang mempunyai penduduk sejumlah 3.200 jiwa (2011). Dahulu tercatat dalam sejarah lahirnya Kabupaten Sangihe Talaud, penduduk asli Bunaken adalah bagian dari migrasi Wawontehu yaitu berpindahnya sebagian penduduk, karena meletusnya gunung berapi Pinatubo di Cotabato Philippina Selatan, dalam lima kelompok yang salah satunya mendarat di Manado Tua dan sekitarnya termasuk Bunaken tahun 1398 (John Rahasia, 1986). Penduduk pendatang kemudian berinteraksi dengan keturunan Portugis yang ada di Singkil, Sindulang, dan Bitung Karangria di kota Manado, yang menjadikan pulau ini tempat persinggahan kala badai, namun tidak mau menetap disini karena tidak tersedianya air bersih. Belakangan para nelayan dari suku Bajo Sulawesi Selatan juga singgah mencari teripang yang banyak tersebar di perairan pulau ini sampai ke Likupang. Teripang adalah komoditi mahal yang diperdagangkan sampai Singapura.

Peta 5.1. Penyebaran Resort dan Spot Diving di Bunaken

(3)

bervariasi antara 10 meter hingga 1.344 meter. Dari 20 titik penyelaman ada 12 titik selam yang paling kerap dikunjungi penyelam dan pecinta keindahan pemandangan bawah laut, karena mempunyai beragam ikan hias dan terumbu karang yang khas. Di sini terdapat dinding karang raksasa yang berjejer cukup panjang (underwater great walls), yang disebut juga hanging walls, atau dinding-dinding karang raksasa yang berdiri vertikal serta melengkung ke atas. Dinding karang ini juga menjadi sumber makanan bagi ikan-ikan dan tempat ikan berkembang-biak. Di samping keindahan terumbu karang, di perairan Bunaken juga terdapat 91 jenis ikan seperti kerapu, bobara (ikan kue), baronang,

kakap, ikan sebelah, gaca, barakuda, dan ikan raja laut

(coelacanth) serta puluhan jenis ikan hias dan biota lainnya.

Keindahan inilah yang dapat menahan para penyelam untuk menikmatinya berjam-jam.

Kekayaan laut yang luar biasa ini mulai menarik perhatian pemerintah setelah upaya pengembangannya diawali oleh alamarhum Bapak Locky Herlambang, seorang pengusaha yang mempunyai kegemaran menyelam seperti akan dipaparkan lebih mendetil pada bagian berikut. Melihat potensi ini, pemerintah mulai menerapkan berbagai peraturan konservasi untuk menjaga kelestariannya. Disamping itu pemerintah juga mengupayakan pengembangan pariwisata karena besarnya potensi wilayah ini untuk menarik wisatawan. Namun demikian perubahan status wilayah Bunaken dari pulau terpencil menjadi daerah tujuan wisata dan sekaligus daerah konservasi menimbulkan berbagai konflik di antara para stake holders antara lain masyarakat lokal, pengusaha pariwisata dan pemerintah. Dalam bab ini akan dipaparkan secara mendetil sejarah perkembangan pariwisata di Bunaken serta berbagai persoalan yang muncul sebagai akibat dari pengembangan pariwisata di Bunaken. Secara umum persoalan yang muncul adalah konflik yang mungkin terjadi di antara para

(4)

Awal Mula Pariwisata Bunaken

Sampai tahun 1970-an, Bunaken hanyalah sebuah pulau kecil dalam gugusan pulau-pulau di sekitar wilayah Sulawesi Utara yang tidak banyak dikenal orang luar Sulawesi Utara. Saat itu juga tidak banyak orang yang berminat tinggal di pulau ini karena kesulitan memperoleh sumber air tawar. Kalaupun ada yang menghuni, mereka adalah para nelayan yang mencari ikan di perairan teluk Manado dan sekitarnya. Para nelayan tersebut berasal dari suku Borgo Manado dan Sanger. Pada saat itu, pulau ini lebih banyak dimanfaatkan para nelayan dari daratan Manado Utara sebagai lokasi persinggahan.

Namun demikian kehadiran Bapak Locky Herlambang (almarhum) seorang pemuda pengusaha asal Surabaya, ahli biologi dari ITB yang mempunyai kegemaran menyelam, telah mengubah posisi Pulau Bunaken dari wilayah yang terpencil dan tidak menarik menjadi daerah tujuan wisata utama di Sulawesi Utara. Melalui kegemarannya menyelam, Bapak Locky Herlambang pertama kali menemukan keindahan alam bawah laut Bunaken dan sudah memperkenalkannya kepada dunia. Dia mengawali petualangannya di Manado sebagai pengusaha ikan hias. Bapak Herlambang mempekerjakan nelayan lokal menangkap ikan hias yang banyak hidup di terumbu karang pulau Bunaken dan mengirimkannya ke berbagai kota besar di Indonesia. Namun keindahan alam bawah laut Bunaken membuatnya mengalihkan usaha berdagang ikan hias menjadi usaha pariwisata. Bapak Herlambang memulai usahanya di bidang pariwisata dengan membangun diving centre bernama Nusantara Diving Center di desa Kalasey Kecamatan Malalayang Kabupaten Minahasa (selatan Kota Manado) dan setelah usahanya berkembang ia mampu membangun resort, kemudian pindah ke Kelurahan Molas kecamatan Bunaken Kota Manado (utara kota Manado).

(5)

salah satu anggotanya, Bapak Locky mempromosikan keindahan alam bawah laut Bunaken. Bersama dengan pioneer lainnya Ricky Lasut dan Hanny Batuna, Locky Herlambang tidak hanya mempromosikan Bunaken sebagai daerah tujuan wisata Bahari namun juga mengupayakan perlindungan terhadap lingkungan di kawasan ini yang beberapa waktu kemudian membuahkan hasil dengan ditetapkannya kawasan tersebut menjadi Daerah Wisata Laut oleh pemerintah daerah provinsi Sulawesi Utara pada tahun 1980, sehingga layak mendapatkan alokasi anggaran APBD. Selanjutnya karena pelestarian kawasan ini memerlukan biaya besar maka atas saran berbagai pihak pulau Bunaken diusulkan untuk ditangani pemerintah pusat. Usul ini disetujui sehingga oleh Menteri Kehutanan dijadikan Cagar Alam Laut pada tahun 1986 dan akhirnya menjadi Taman Nasional Kawasan Konservasi pada tahun 1991 dan bapak Locky menerima Kalpatar dari Presiden sebagai penghargaan atas usaha beliau melestarikan Taman Laut Bunaken.

Dengan ditetapkan kawasan ini sebagai sebagai Taman Laut Nasional Bunaken oleh pemerintah, maka untuk menjaga kelestariannya diperlukan usaha-usaha konservasi laut dengan membagi kawasan pesisir pulau Bunaken menjadi zone inti, dan zone pemanfaatan berdasarkan kesepakatan dengan masyarakat setempat (Lihat Peta 5.2).

Pengembangan Pariwisata Bunaken dan Peluang Ekonomi

(6)

tinggalnya menjadi homestay yang disewakan pada para turis baik harian ataupun secara mingguan. Di samping usaha penginapan sederhana, usaha lain yang berkembang adalah usaha penyewaan

Peta 5.2.

Zonasi Konservasi Taman Nasional Bunaken di Pesisir Selatan pulau Bunaken

peralatan selam oleh para pemuda lokal. Untuk beberapa waktu, usaha rakyat ini bisa bertahan tanpa persaingan dari investor luar, namun situasi berubah setelah adanya perubahan peraturan daerah sebagai konsekuensi diterapkannya otonomi daerah pada tahun 2001. Dengan adanya revisi masterplan kota Manado yang baru yang disusun pemerintah kota, peluang pembukaan resort di buka lebar. Sebelumnya karena alasan tidak tersedianya fasilitas air bersih dan pelabuhan yang layak, pembangunan resort di pulau Bunaken dilarang.

(7)

masyarakat dan sekaligus mengajak masyarakat dan dunia usaha berinvestasi ke Bunaken dan sekitarnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar Bunaken berubah ekonominya dan tidak hanya tergantung pada hasil laut. Sejak itu investor lokal maupun asing mulai masuk dan membangun resort mewah di Bunaken dan sekitarnya. Saat ini di Bunaken sudah ada sekitar 20 resort dengan kapasitas kamar mencapai hampir 500 buah di Bunaken yang dibangun swasta, antara lain Bunaken Cha-cha Resort, Mimpi Indah Resort, The Village Bunaken, Bunaken Beach

Resort, Bunaken Sea Garden Resort, Two Fish Resort, Froggies

Resort, Daniel’s Resort, Cicak Senang Resort Bunaken, Bunaken Kuskus Resort, Lorenzo Cottage Bunaken, Bunaken Island Resort, Sea Breeze Dive Resort, Bastianos Bunaken Diving Resort, Bunaken Ocean Star Cottages and Dive Resort, Living Colours Dive Resort, Raja Laut Dive Resort Bunaken, Hotel Bunaken

Village Resort and Diving, Bunaken Beach Dive Resort dan

Daniel’s Homestay.

Selain itu ada dua restoran yaitu : City Extra dan Bunaken

Seafood Restoran. Resort-resort tersebut juga dilengkapi dengan

diving centre sendiri. Resort milik orang asing atau investor besar

tersebut pada umumnya melayani tamu-tamu khusus yang datang melalui kerjasama dengan biro perjalanan. Harga kamar yang ditawarkan dalam mata uang asing dan berkisar antara 1,000 – 5,000 US$. Karena mahal, hanya sedikit tamu domestik yang menginap di resort mereka. Resort-resort mewah di Bunaken pada awalnya berkembang di bagian Timur pulau Bunaken, namun kemudian berkembang ke bagian Selatan yang tadinya hanya pemukiman penduduk.

(8)

yang sangat hemat dengan pengeluaran/belanja. Penduduk lokal membangun penginapan untuk mereka di dalam perkampungan sehingga wisatawan yang tinggal di sana dapat berbaur dengan warga masyarakat setempat. Ada juga penduduk yang sengaja membangun penginapan namun ada juga yang merenovasi rumah tinggal menjadi penginapan. Misalnya ada penginapan Daniel

Homestay (12 kamar) adalah bangunan yang berdiri sendiri dan

lepas dari rumah induknya, namun ada juga Auberge yang merupakan bagian dari rumah tinggal yang direnovasi menjadi penginapan. Letak antar satu rumah dengan yang lain saling berdempetan. Di tempat inilah para wisatawan berbaur langsung dan memperoleh pengalaman kultural dengan penduduk lokal. Mereka tinggal bersama penduduk dan makan makanan lokal, berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari bersama masyarakat lokal. Masyarakat lokal dan wisatawan dapat menikmati proses interaksi ini dengan nyaman.

Gambar 5.1

Bastianos Diving Resort

(9)

Semakin hari kunjungan wisatawan ke Bunaken semakin meningkat baik wisata nusantara maupun mancanegara. Dari hasil wawancara dengan masyarakat lokal diperoleh informasi bahwa saat ini kedatangan wisatawan bisa lebih dari 100 orang per hari pada hari-hari libur. Namun pada pada hari-hari biasa kedatangan turis rata-rata hanya berkisar 30 orang per hari. Menurut data yang dikeluarkan DPTNB pun jumlah wisatawan mancanegara terus meningkat. Dalam perkembangan wisatawan mancanegara masih konsisten berkunjung ke Bunaken, namun wisatawan domestik cenderung menurun. Antara tahun 2006-2010 rata-rata kedatangan wisatawan mancanegara terus meningkat, sedangkan dalam periode yang sama wisatawan nusantara turun cukup berarti (Lihat Tabel 5.1). Penurunan wisatawan domestik ini, mungkin karena kondisi lingkungan Bunaken yang ditenggarai semakin kotor.

Dengan menurunnya wisatawan domestik maka pasar potensil penduduk Bunaken berkurang. Pada masa lalu ketika masih banyak wistawan domestik, masyarakat bisa menabung di musim-musim panen turis, dan berhemat sampai musim panen berikutnya. Di samping itu masyarakat juga mendirikan usaha pendukung kegiatan pariwisata lain. Usaha-usaha tersebut selain usaha homestay menabung di musim-musim panen turis, dan berhemat sampai musim panen turis berikutnya. Di samping itu masyarakat juga telah berupaya mendirikan usaha pendukung kegiatan pariwisata lain.

(10)

Kehadiran Investor Luar dan Permasalahan Pengembangan

Pariwisata di Bunaken

Potensi Bunaken sebagai daerah tujuan wisata cukup menarik bagi para investor untuk masuk dan membuka usaha di sana. Usaha-usaha yang berkembang di Bunaken oleh para pengusaha luar tidak terlalu bervariasi namun skala besar. Pada umumnya selain mereka memasuki investasi di sektor akomodasi, investor luar juga mulai mendominasi bisnis transportasi laut bagi wisatawan. Terbukanya peluang bagi investor luar untuk masuk ke Bunaken sebagai pengusaha fasilitas layanan bagi wisatawan menimbulkan konflik antara mereka dengan masyarakat lokal.

Tabel 5.1

Perkembangan Turis ke Taman Laut Nasional Bunaken, 2006-2011

No Jenis Turis/

Tahun

2007 2008 2009 2010 2011*

1. Mancanegara 10.373 11.506 14.337 11.083 5.754

2. Nusantara 16.082 23.047 27.246 17.148 8.063

Total wisatawan 26.455 34.553 34.594 28.231 13.817

Sumber : DPTNB, Sulawesi Utara 2011. * Data baru sampai bulan Agustus 2011

(11)

maupun kemampuan kerja dan jaringan sehingga mengakibatkan masyarakat lokal tersingkir atau terdesak. Kedua, penduduk lokal merasa semakin terancam dengan perekrutan tenaga kerja dari luar wilayah Bunaken oleh para investor tersebut.

Dalam Focus Group Discussion (FGD)dengan masyarakat terungkap berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat yang mengakibatkan mereka tersingkir dalam persaingan dengan para pendatang. Pertama, masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tentang Tata Ruang di wilayah mereka. Salah satu contohnya adalah tentang pembangunan sebuah resort dimana pembangunannya itu mengambil jalan-jalan desa yang sebenarnya merupakan akses penting bagi masyarakat lokal. Sementara pemilik resort tidak pernah mengadakan pendekatan kepada masyarakat untuk membicarakan masalah ini namun langsung mengajukan ijin kepada Dinas Tata Kota Manado seperti diungkapkan oleh Bapak Nicolaas Pontoh sebagai berikut:

“….Ada masalah karena ada resort yang bangun kong ambe itu jalan. Dia pe suami orang bule Belanda, depe istri orang Jawa. Ternyata dorang kote so ada ijin dari Dinas Tata Kota. Nyanda heran dia so nyanda menunggu dari masyarakat”.

Selain persoalan dengan Tata Ruang lahan, contoh yang lain yang membuat para penduduk lokal merasa tersingkir karena para pengusaha luar memonopoli jalur kapal di laut maupun area perairan laut di Bunaken. Investor dengan permodalan besar menentukan jalur-jalur yang hanya boleh dilalui oleh kapal milik mereka sendiri sedangkan masyarakat dilarang melalui jalur yang sama.

Hal ini disampaikan Caroles, seorang anggota masyarakat yang menyatakan :

(12)

Selain oleh investor nasional, pelarangan juga dilakukan pengusaha-pengusaha pendatang/orang-orang asing yang sempat menimbulkan situasi yang tidak kondusif untuk perkembangan pariwisata di wilayah tersebut. Hal ini nampak dalam pernyataan Elthon Antony yang menyatakan bahwa:

“kalau kita mau menangkap ikan di pesisir namun bule yang memiliki resort di depan situ melarang masyarakat untuk menangkap ikan, sehingga terjadi konflik dengan ‘bule’ itu. Kami sempat mengatakan bahwa kami akan membakar cottage milik ‘bule’ tersebut, ada yang lain juga sempat mau menghajarnya”.

Selanjutnya persoalan juga terjadi antara masyarakat lokal dengan investor luar penyedia jasa transportasi laut. Kehadiran investor ini menjadi pesaing berat usaha perahu rakyat. Pada umumnya para pengusaha memiliki lebih banyak perahu dengan kondisi perahu yang lebih representatif. Hal ini tidak hanya menimbulkan monopoli jalur antrian penumpang namun juga kecenderungan calon penumpang lebih memilih kapal-kapal yang bagus milik para investor luar daripada kapal milik masyarakat yang kondisinya sudah kurang layak.

(13)

tersebut mereka memberikan contoh mengenai perlakuan para pengusaha resort terhadap mereka dimana para pengusaha tersebut cenderung memberikan upah dibawah Upah Minimum Regional. Para pekerja lokal sebagai pekerja-pekerja cottage memperoleh gaji antara Rp. 400.000.- sampai dengan Rp. 500.000.- per bulan. Di samping itu, maka jaminan-jaminan kesejahteraan seperti jaminan kesehatan juga tidak diberikan oleh para pengusaha. Dalam sebuah FGD dengan anggota masyarakat, salah satu dari mereka, Bapak Royke Nongka menyatakan bahwa:

“masyarakat dipekerjakan oleh pengusaha-pengusaha dari luar, namun masalahnya para pekerja dibayar dibawah standart UMP. Padahal so kerja sampe tenga malam, jaminan kesehatan juga ndak ada”.

Kecenderungan mempekerjakan pekerja dari luar juga dilakukan oleh para kontraktor dari luar pulau Bunaken ketika memperoleh proyek pembangunan fasilitas di Bunaken. Dalam hal ini pemerintah juga tidak mensyaratkan keharusan kontraktor menggunakan pekerja lokal, sehingga untuk melaksanakan pekerjaan tertentu, tenaga diambil dari kota Manado. Hal ini seperti yang dilaporkan Frangki Tawaris, yang menyatakan bahwa:

“mereka ada proyek pembersihan pantai tapi terkadang mereka tidak memakai orang yang ada disini, dan kalau DPTNB yang mengaturnya bukan orang asli Bunaken yang mengaturnya tapi orang dari Manado, dan pariwisata kan bukan hanya di Liang tetapi juga disini ada taman lautnya“.

Karena adanya persoalan-persoalan tersebut, masyarakat cenderung merasa bahwa walaupun ada pembangunan pariwisata yang berlangsung di wilayah mereka, mereka tidak merasakan manfaatnya. Hal ini dikemukakan Frangki Tawaris yang menyatakan bahwa:

(14)

Secara umum masyarakat juga tidak merasakan dampak pengembangan pariwisata secara signifikan karena tidak ada upaya peningkatan kapasitas kerja oleh para investor luar dan juga pemerintah bagi mereka. Pada masa lampau, berbagai pelatihan pernah diberikan kepada pekerja oleh Program Pengembangan Wilayah Pesisir National Resources Management II. Pelatihan meliputi, ketrampilan menyelam, bahasa Inggris, Integrated

Coastal Zoning, Planning and Management (ICZPM), dan

program peningkatan livelihood pemanfaatan sirip ikan untuk

souvenir. Namun pada saat ini, berbagai pelatihan tersebut

semakin jarang, malahan tidak pernah lagi diselenggarakan. Dalam FGD dengan para pekerja terungkap bahwa pelatihan yang mereka pernah ikuti hanyalah pelatihan pramusaji di cottage, selebihnya tidak ada. Walau para pekerja ingin meningkatkan kemampuan mereka, namun pelatihan-pelatihan pada umumnya dilakukan di luar desa mereka, dan mereka tidak diajak ikut berpartisipasi dalam pelatihan tersebut. Hal ini nampak dari informasi yang diberikan Frangki Tawaris, yang menyatakan :

“segala penyuluhan proyek-proyek yang ada tidak pernah desa disini dapat, karena kebanyakan proyek-proyek yang ada hanya ke pantai Liang bukan kesini kalau disini daerahnya namanya Panggalisang/ Tanjung pasir,....’

(15)

pariwisata. Bagi para pekerja resort, kesulitan berbahasa asing menyebabkan mereka hanya dapat mengisi pos-pos yang tidak bersinggungan langsung dengan wisatawan seperti tenaga

security, penata taman, dll.

Sebagai akibat dari rasa tersingkir timbul resistensi di kalangan masyarakat local terhadap pendatang. Sejauh ini konflik belum berlangsung terbuka. Dari proses FGDdiperoleh informasi bahwa penanganan konflik dilakukan kepala desa. Kepala desa mengambil inisiatif mengadakan pertemuan antara pihak yang bermasalah dengan masyarakat lokal dan selalu dicarikan jalan keluarnya agar resistensi ini berkurang.

Kehadiran Pemerintah dan Permasalahan Pengembangan

Pariwisata di Bunaken

(16)

dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata maupun penangkapan ikan. Namun demikian sejauh ini ketergantungan masyarakat terhadap pemanfaatan hasil laut masih tetap tinggi baik itu untuk kepentingan makan mereka sehari-hari maupun untuk dipasar, sehingga mereka juga masih sering melanggar aturan yang sudah disepakati sebelumnya.

Kecenderungan ini terkait dengan ketersediaan peluang kerja di bidang lain yang relatif rendah. Seperti telah disinggung di sub bab sebelumnya, walaupun ada tenaga kerja yang terserap di sektor pariwisata yang dominan di Bunaken saat ini, namun upah yang mereka peroleh juga masih rendah. Dengan demikian, sumber daya laut masih menjadi andalan pemasukan sebagian penduduk di Bunaken. Persoalan dengan konservasi timbul ketika ditemukan banyak terumbu karang yang dilindungi di wilayah Bunaken menjadi rusak. Masyarakat tidak mau dipersalahkan sebagai penyebab rusaknya terumbu karang di wilayah perairan Bunaken. Sebaliknya karena mereka merasa bukan satu-satunya kelompok yang memanfaatkan wilayah perairan Bunaken, mereka menyalahkan para investor yang membuka jasa penyelaman di sana. Salah satu informan dari kalangan masyarakat lokal, Nicolaas Pontoh, dalam FGD menyatakan:

“Sejak ada zonasi pemanfaatan yang disepakati, nah dorang menuduh masyarakat Bunaken yang merusak karang, padahal yang merusak karang pemilik perahu-perahu menyelam. Waktu itu ada salah satu dari mereka yaitu dokter Batuna. Dia punya beberapa perahu yang dipakai untuk penyelam. Perahu pada saat buang sahu dan angkat sahu, tagate di karang dan merusak karang, jadi tuduhan itu tidak benar. Lalu sampe pada zonasi,dorang tuduh orang Bunaken waktu menangkap ikan, itu jaring (torang bilang tagao) beking rusak karang. Padahal torang nembole pasang jaring di karang, sebab jaringnya akan rusak”.

(17)

Kemarin juga ada tiga orang Bunaken yang mau “ba panah, ba jubi ikang” (mencari ikan menggunakan panah), dan mereka ditangkap oleh POLAIR dan dibawa ke Manado dimasukkan ke dalam sel polisi air dan terjadi konflik. Masyarakat Bunaken marah, semua kantor DPTNB dihancurkan oleh masyarakat, dan di zona-zona pariwisata yang dilarang untuk memancing sesuai kesepakatan awal dilanggar dan masyarakat pergi memancing disitu”.

Rendahnya kapasitas ekonomi dari masyarakat lokal membuat ketergantungan mereka terhadap sumber daya alam yang ada menjadi tinggi. Untuk pemenuhan kebutuhan hidup, mereka memanfaatkan sumber daya alam di sekitar mereka walaupun hal ini tidak selaras dengan kepentingan konservasi. Sementara itu peluang partisipasi dalam pengembangan pariwisata terbatas karena kapasitas kemampuan kerja mereka yang rendah sebagai akibat rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan. Ungkapan dari Bapak Nicolas Pontoh dalam FGD menggambarkan situasi sulit masyarakat di Bunaken:

”……. torang sangat rugi, misalnya suru bekeng WC, maar torang mo ambe paser di laut dilarang, torang mo ambe batu di laut dilarang. Nah, skarang yang punya usaha penginapan disini orang-orang luar yang punya banya doi. Para guide juga orang luar.”

Lebih jauh, peluang masyarakat untuk memperoleh pendapatan tambahan melalui program kerja pemerintah juga tertutup. Seperti diungkapkan Bapak Frangki Tawaris dalam FGD dengan masyarakat:

“kadang-kadang kami mengusulkan sesuatu kepada pemerintah agar supaya orang-orang disini mendapat “doi” (uang), agar diikutkan pada proyek-proyek yang dilaksanakan disini, seperti ada pernah proyek untuk pembersihan pantai, tapi orang yang dipanggil hanya orang mereka saja bukan kami, kami juga berusaha untuk menjaga

n karang tetapi tidak ada kontribusi untuk kami s kelestaria

(18)

yang mendukung pariwisata. Pembangunan fasilitas publik dan infrastruktur banyak mengalami kemajuan setelah hadirnya pariwisata di wilayah ini. Pembangunan fasilitas publik dan infrastruktur di Taman Nasional Bunaken dilakukan pemerintah melalui berbagai program antara lain seperti PNPM pedesaan dan perkotaan. Ada beberapa fasilitas publik dan infrastruktur yang dibangun pemerintah, seperti: fasilitas air bersih, pembangkit listrik tenaga surya, dan pembangunan jalan namun sifatnya tidak besar-besaran karena memang ada kebijakan pemerintah sebelumnya tidak mengembangkan Bunaken sebagai Kawasan Pemukiman.

Walaupun berbagai fasilitas telah dibangun, manajemen pengelolaan fasilitas publik dan infrastruktur cenderung lemah dan tidak teratur sehingga fasilitas dan infrastruktur yang dibangun tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan masyarakat. Sebagai contoh upaya pembangunan fasilitas air bersih sudah pernah dilakukan pada tahun 2005 yang lalu, namun karena terbentur pada masalah pembayaran tanah untuk lokasi pembangunannya yang belum selesai, maka fasilitas itu akhirnya dikuasai pemilik tanah. Hal ini nampak dalam pernyataan Nicolaas Pontoh, sebagai berikut:

“Kalu bicara air bersih, ini somo jadi sumber penyakit. Ada air bersih yang so bekeng dengan dana APBN Rp. 402 juta, entah bagimana so selesai menjadi milik pribadi. Ternyata kote itu tanah blum bayar. Nyanda mungkin proyek so klaar kong depe tanah blum bayar.”

Selanjutnya pada tahun 2011 pemerintah pusat melalui kegiatan latihan bencana alam Asean Regional Comitte for Disaster Relief

Excercise and Evaluation (ARC-DIREV) memberikan bantuan

(19)

menerapkan berbagai retribusi dan pungutan bagi para pengusaha di wilayah Bunaken.

Berdasarkan hasil penelusuran di lapangan, terdapat beberapa pungutan baik dalam bentuk retribusi, maupun pajak yang dikenakan kepada para pengusaha. Pajak-pajak itu antara lain diperoleh dari para pengusaha kapal ketika mereka melakukan pengurusan surat-surat kapal di Manado. Disamping itu, pihak kelurahan juga menarik pajak dari cottage sebagai salah satu sumber kas kelurahan. Dalam FGDdengan masyarakat, salah satu informan Bapak Royke Nongka mengatakan bahwa, besarnya setoran dari pengusaha untuk kelurahan sebesar Rp 250.000, per

cottage per tahun.

Karena masyarakat merasa tidak terlalu mendapat manfaat dari pengembangan pariwisata yang berlangsung di wilayah mereka, maka mereka cenderung mencurigai penggunaan dana-dana yang ditarik dari pengusaha tersebut.Hal ini disuarakan oleh Alex Tawaris, salah seorang anggota masyarakat yang menyatakan bahwa :

”Kita kira ada 1 hal juga yang jadi penyesalan voor masyarakat Bunaken, kita kira tidak seluruhnya dikecap oleh orang Bunaken, maka dari itu apa yang didapat Dewan Pengelola Taman Laut Bunaken bisa diberikan sebagian atau sebagian kecil bagi masyarakat Bunaken untuk pembangunan yang ada di desa ini. Tapi sejak mulai ato terbentuk Dewan Pengelola Taman Laut Nasional Bunaken se sen pun tidak pernah diberikan.”

Lebih jauh Alex Tawaris menyatakan bahwa:

“saya waktu masih aktif, masih tugas sebagai pimpinan forum masyarakat peduli taman laut Bunaken, sekitar taon 2004. Uang yang masuk di kas taman pengelola taman laut Bunaken, 1 taon sekitar 3 milyar. Bayangkan kurang lebih 3 M, itu kalu sebagian kalu so kase untuk kantor, untuk gereja, untuk mesjid, itu masyarakat sudah merasakan”.

(20)

bahwa dana hasil penjualan PIN yang mereka kumpulkan memberikan keuntungan tidak langsung bagi pariwisata Bunaken karena lingkungan tetap terjaga sehingga turis tetap ingin datang. Masyarakat sebenarnya sudah tahu keberadaan dana itu, namun mereka nampaknya menginginkan keterbukaan penggunaannya, sehingga mereka minta agar manfaat langsung bagi mereka dapat segera dirasakan.

Konflik di antara Masyarakat Lokal

Persoalan di Bunaken menjadi semakin rumit karena masyarakat lokal terdesak oleh investor dari luar yang juga ingin memperoleh porsi keuntungan dari kehadiran pariwisata. Sebagai akibatnya persaingan usaha di antara pengusaha lokal juga tidak terhindarkan lagi. Di antara para pengusaha losmen lokal atau pemilik perahu juga terjadi perebutan tamu yang mengarah pada “pembajakan” tamu dan persaingan dalam penetapan harga tranportasi laut. Masyarakat juga mengharapkan Pemerintah mengatur antrian perahu agar semua mendapat kesempatan yang sama dalam melayani tamu. Selain itu mereka mengharapkan Pemerintah membuat aturan untuk tidak mengijinkan katamarang memuat penumpang yang ke Bunaken dari arah darat. Perahu katamarang dianggap tidak layak untuk membawa penumpang mengarungi lautan karena sering pecah dihantam gelombang. Perahu tersebut hanya cocok berlayar di kawasan pesisir.

Untuk mengatasi masalah-masalah seperti ini seharusnya masyarakat, pekerja maupun pengusaha setempat mempunyai Paguyuban yang mewakili masing-masing kepentingan mencari jalan keluarnya. Pada masa yang lalu memang sudah ada “Yayasan Lestari”, namun karena kurangnya biaya operasional, Yayasan ini tidak mampu lagi menyewa rumah untuk kantornya di Bunaken.

Masalah Lingkungan di Bunaken

(21)

di atas, masalah yang serius dan dapat mencoreng citra daerah wisata Bunaken sebagai taman laut nasional adalah lingkungan yang tidak bersih, dan rendahnya kepedulian para divers terhadap kelestarian lingkungan. Seringkali mooring juga ikut merusak terumbu karang.

Di samping ada masalah citra wilayah, Bunaken juga menghadapi persoalan aberasi yang mengancam keberlangsungan wilayah ini. Dalam pengembangan kegiatan pariwisata di pulau Bunaken, tidak selamanya masyarakat lokal menunjang dan sekaligus menarik keuntungan positif dari hadirnya kawasan wisata tersebut. Ditemukan juga berbagai masalah yang melibatkan masyarakat lokal seperti sampah yang berasal dari luar wilayah Bunaken yang terbawa arus air. Masalah sampah kiriman ini hanya bisa diatasi di tempat pengiriman, dalam hal ini di muara sungai Tondano yang perlu dipasang jaring sampah bekerjasama dengan pihak Kota Manado.

Berdasarkan pendapat tersebut, para pengusaha lokal menyadari adanya persoalan sampah kiriman ternyata dapat mengganggu aktivitas pariwisata di Bunaken. Selaras dengan ibu Rita Domit, maka Royke Nongka mengeluhkan masalah sampah kiriman, namun lebih jauh Royke juga memberikan perhatian terhadap kerusakan terumbu karang.

“ dan terumbu karang, karena banyak yang diving sembarangan, buang jangkar sembarangan, sebenarnya so ada zona-zona yang dilarang untuk diving”.

“Masyarakat sudah ikuti perintah untuk bersih, jaga kebersihan. Kalu berbicara kotor itu pante, kalu bapak bajalang lia kotor, itu bukan kotor dari orang Bunaken, itu kotor dari orang Manado. So depe botol plastik, botol hipo. Jadi orang Bunaken samua yang trima depe salah. So itu pak, saya usul untuk beking tanggul pemecah ombak. 4 taong datang, so mo abis itu pante.”

(22)

semakin diperparah dengan tidak diindahkannya peraturan pemerintah. Sebagai contoh, adalah perilaku para penyelam mengambil ikan ditempat yang telah dilarang oleh pemerintah, pada kawasan yang dilindungi. Tampak bahwa masyarakat lokal sangat kesal terhadap sampah kiriman dan mereka juga sangat menyesal karena harus menanggung sesuatu yang bukan kesalahan mereka. Jika ditelusuri lebih jauh, maka persoalan sampah kiriman dari Kota Manado

Gambar 5.2

Tali Tambang (mooring), yang merusak Terumbu Karang

(23)

rangka turut menyelamatkan Taman Laut Bunaken melalui kegiatan konservasi dengan melibatkan masyarakat setempat. Hanya berdasarkan kajian yang mendalam serta diskusi antar

Gambar 5.3.

Sebaran sampah di muara sungai Tondano Manado

berbagai pihak saya yakin akan ditemukan bagaimana cara terbaik melakukan konservasi yang berjalan bersama usaha MICE di Sulawesi Utara pada umumnya. Berkaitan dengan kebersihan pantai, masyarakat Bunaken menghadapi masalah sampah kiriman di laut yang berasal dari luar Bunaken. Dalam FGDini maka salah seorang informan, Rita Domits, menyatakan:

“Masalah sampah juga perlu diperhatikan karena banyak sekali sampah yang ada di Bunaken berasal atau kiriman dari Manado”.

(24)

sampah plastik dari pembungkus produk makanan atau produk-produk lainnya yang bertebaran di dalam laut. Dalam pengalaman selama penelitian, ketika mengitari daerah penyelaman dengan kapal selam mini yang ada kacanya, peneliti sering melihat potongan sampah plastik yang terombang-ambing di antara para

Gambar 5.4.

Sampah yang dibawah arus ke pulau Bunaken

penyelam. Kondisi ini mengancam keindahan Bunaken pada masa yang akan datang bila tidak dicarikan jalan keluarnya dari sekarang. Pada kesempatan yang sama juga, Royke Nongka mengeluhkan masalah sampah kiriman, namun lebih jauh Royke memberikan perhatian terhadap kerusakan terumbu karang karena ulah para divers. Hal ini nampak dalam pernyataannya sebagai berikut:

“……dan terumbu karang, karena banyak yang diving sembarangan, buang jangkar sembarangan, sebenarnya so ada zona-zona yang dilarang untuk diving”.

Sampah Kiriman ke Bunaken

(25)

divers adalah limbah buangan dari rumah tangga-rumah tangga

dan resort-resort yang ada di sana. Ancaman yang terutama adalah

berkembangbiaknya bakteri coli yang masuk ke air laut bersama dengan limbah rumah tangga dan resort di Bunaken. Adapun masalah lingkungan lainnya yang serius dan dapat mengancam keberlangsungan wilayah Bunaken adalah aberasi. Sejauh ini persoalan aberasi pantai sudah cukup mengganggu kualitas hidup masyarakat di Bunaken seperti diungkapkan oleh Royke Nongka dalam FGD:

“Masalah mengenai lingkungan juga, yang kita amati, tidak ada perhatian dari pengusaha dari luar. Juga masalah abrasi yang ada disini sangat memprihatinkan saat ini air pasang so sampe blakang dapur, kalu ombak keras so ja sampe di muka rumah, torang tako ini Bunaken somo tenggelam.”

Menurut masyarakat, sejauh ini perhatian pemerintah terhadap masalah abrasi tidak nampak. Tindakan mereka lebih pada respons jangka pendek. Sebagai contoh ketika terjadi bencana akibat dari hantaman ombak ke rumah penduduk, Pemerintah mengirimkan bantuan pangan. Untuk ini, masyarakat merasa bantuan ini tidak tepat karena mereka mengharapkan penyelesaian strategis seperti dinyatakan oleh beberapa informan dibawah ini. Royke Nongka yang menyatakan bahwa :

“Masalah Dewan Pengembangan Taman Nasional Bunaken juga yang tidak melakukan tugas dan tanggung jawab dengan baik serta tidak memperhatikan kondisi lingkungan yang ada di Bunaken”. Akibatnya hal tersebut, menimbulkan pandangan bahwa pemerintah dalam hal ini Dewan Taman Nasional lebih beroientasi untuk melakukan eksploitasi kekayaan Taman Nasional Bukanen tanpa memperhatikan aspek lingkungannya.”

Frangki Tawaris kemudian menambahkan:

“ada juga masalah lalu waktu terjadi erosi disini rumah sudah hancur tapi pemerintah hanya mengirim bantuan berupa supermie, rumah sudah rubuh tapi bantuannya supermie dan baju-baju, tetapi yang masyarakat butuh disini yaitu tanggul,....”.

(26)

penyelesaiannya dalam jangka panjang untuk mempertahankan kelestariannya.

Penerimaan Masyarakat Terhadap Wisatawan

Terlepas dari hadirnya persoalan-persoalan yang ada dan berkembang sesuai dengan penyampaian mereka dalam FGD, maka berkaitan dengan pengembangan wilayah Bunaken sebagai daerah tujuan wisata, masyarakat lokal Bunaken pada prinsipnya terbuka menerima wisatawan asing yang datang ke lokasi mereka. Wilayah Bunaken yang terkenal di seluruh dunia sebagai taman laut yang indah membuat mereka merasa bangga. Didorong oleh rasa bangga tersebut, salah satu upaya yang dilakukan masyarakat adalah dengan melestarikan seni tradisional di wilayah tersebut untuk disajikan kepada para wisatawan. Kesenian-kesenian tradisional yang hampir punah mulai digali kembali sebagai atraksi kesenian yang layak untuk menarik minat wisatawan. Contohnya antara lain adalah musik bambu, tarian-tarian

cakalele, katrili, masamper, dan ampa wayer. Hal ini sesuai

pendapat Nicolaas Pontoh yang menyatakan :

“Takira pak, perkembangan kesenian disini sangat dibutuhkan pak. Takira musik bambu perlu pelatih. Berikut tarian cakalele, soalnya nyanda ada pelatih. Soal berikutnya itu tarian katrili yang sangat populer di masyarakat lokal membutuhkan pakaian yang lengkap dan pelatih voor anak-anak. Ada satu ley pak.disini banya orang Sanger, tarian masamper. Turis suka sekali ini masamper”.

(27)

antar suami istri sering terjadi dikala suaminya bekerja sebagai

guide yang menemani turis itu sehari-hari. Sejauh ini

persoalan-persoalan demikian masih bisa diselesaikan dengan pemberian pemahaman oleh anggota LSM dan tokoh-tokoh agama serta masyarakat setempat kepada para wisatawan yang datang. Persoalan benturan budaya ini tidak terjadi dengan generasi muda lokal. Pada umumnya dengan cepat mereka mengadopsi berbagai hal melalui proses interaksi mereka dengan wisatawan asing. Anak-anak muda yang sehari-hari bergaul dengan turis cepat sekali mengadopsi ucapan, cara berpakaian, maupun kemampuan menggunakan internet. Para generasi muda sekarang merasa lebih nyaman ketika meniru perilaku turis untuk memakai t-shirt yang you can see daripada blus tertutup yang panas misalnya, atau memakai hot pants ketimbang celana jeans panjang yang berat. Melalui para divers asing, mereka belajar menyelam yang selanjutnya bisa mereka manfaatkan untuk mencari uang dengan bekerja sebagai guidediving bagi para wisatawan.

Kesimpulan

(28)

Gambar 5.5 Rumah di atas air Kimabajo

Gambar 6.2

Resort di Kimabajo I

Gambar

Gambar 5.1
Tabel 5.1
Gambar 5.2
Gambar 5.3.
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kasus lelang lain, misalnya lelang pengadaan barang dan jasa dari suatu lembaga, setiap partisipan bisa masuk ke dalam kategori pemburu rente, kalau setiap

Dalam kasus Sulawesi Utara, pemerintah menyediakan dana sebesar Rp 10 milyar untuk program pelestarian lingkungan diberbagai lokasi seperti dalam mengukur tingkat pencemaran air

“saya merantau dari Makassar, karena memang di Makassar, saya tidak punya pekerjaan, dan saya mau ke Jayapura karena Yusman cerita kalau di Jayapura banyak orang M

Service TU : Menurut saya sudah adil kompensasi yang ada disini, karena kan dari. awal sudah ada pemberitahuan kalau dimarketing kompensasi nya seperti ini dan di

Teknik penentuan informan dilakukan secara purposive , yaitu informan yang mempunyai pengetahuan tentang proses terbentuknya Desa Blimbingsari sampai terjadi transformasi

sama kan kalau tandanya beda dikurangin, kalau dikurangi kan ngga bisa, tetap terus disini tanda angka yang plus angka yang min jadinya sama, jadi ngga

Untuk mengukur kemiskinan Tionghoa Benteng secara kualitatif dalam penelitian ini, diajukan empat pertanyaan utama dalam wawancara dengan para informan, yaitu (1)

Terus untuk yang berlangganan itu mereka mau praktis juga tidak mau repot kan kalau di Jakarta mau ke toko buku harus muter-muter dulu gara- gara jalan banyak