• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ruang lingkup penelitian terdiri dari empat tahap. Pertama dilakukan isolasi dan identifikasi isolat S. agalactiae yang termasuk ke dalam group-B (SGB) yang tidak berkapsul dan memiliki sifat Hemaglutinin (Hn+). Bakteri terpilih diperoleh dari sampel susu sapi perah yang mengalami mastitis subklinis dengan uji tapis CMT. Tahap kedua yaitu atenuasi SGB terpilih dengan teknik iradiasi sinar gamma dari sumber isotop Cobalt-60 (60Co). Orientasi dosis iradiasi dilakukan untuk melemahkan bakteri SGB sampai taraf Lethal dose 50% (LD50) dalam

pembuatan vaksin hidup. Karakterisasi Protein permukaan SGB iradiasi ini menggunakan metode SDS-PAGE untuk mengetahui berat molekul (BM) yang masih bersifat antigenik pada kandidat vaksin iradiasi SGB. Tahap ketiga adalah uji patogenitas vaksin iradiasi SGB dan respon imun pada hewan coba mencit. Tahap keempat merupakan aplikasi kandidat vaksin iradiasi SGB pada kambing perah untuk uji respon imun dan pengaruhnya terhadap produksi susu.

TINJAUAN PUSTAKA

1.Mastitis

Mastitis merupakan peradangan di dalam parenkim kelenjar mamae, yang dapat menurunkan produksi dan kualitas susu. Penyakit ini tersebar luas pada peternakan perah di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia, sehingga mastitis menjadi penyakit utama pada sapi perah dan sangat merugikan (Supar dan Ariyanti 2008, Rinaldi et al. 2010).

Mastitis dapat disebabkan oleh berbagai hal, mulai dari trauma mekanis pada kelenjar mamae atau puting susu, akibat mikroorganisme patogen, hingga kekurangan unsur nutrisi pada pakan ternak. Sebagian besar kasus mastitis disebabkan oleh mikroorganisme patogen, diantaranya Streptococcus agalactiae, S. disgalactiae, S. uberis, S. zooepidemicus, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Enterobacter aerogenes, Pseudomonas aeruginosa (Dirkeswan 2001).

Berdasarkan perubahan patologi anatomi kelenjar mamae, mastitis dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu mastitis klinis (MK) dan mastitis subklinis (MSK) (Hashemi et al. 20011). Perubahan patologi mastitis klinis dapat jelas digambarkan dari perubahan patologi anatomis kelenjar mamae dan air susu. Kelenjar mamae membengkak edematus berisi cairan eksudat, disertai tanda-tanda peradangan lainnya (kemerahan, terasa panas, kesakitan dan penurunan fungsi). Perubahan penting yang terjadi di dalam susu mencakup perubahan warna, konsistensi dan penurunan jumlah produksi susu.

Mastitis subklinis tidak menampakkan perubahan patologi anatomis, sehingga perlu pemeriksaan khusus. Diagnosa mastitis subklinis hingga sekarang dilakukan berdasarkan pada pemeriksaan sampel susu serta perubahan komposisi susu untuk mengenali tanda peradangannya (Malinowski et al. 2006, Mirdhayati dkk. 2008).

8

2. Patogenesa Mastitis

Mastitis merupakan peradangan internal mamae yang sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (80% disebabkan oleh bakteri) terutama pada kasus mastitis subklinis (Lukman et al. 2009). Menurut Jayarao (2006) ada 3 faktor utama yang berperan dalam terjadinya mastitis yaitu kondisi hewan/ternak, kondisi lingkungan dan agen penyebab.

Duval (1997) menjelaskan bahwa proses infeksi pada mastitis terjadi melalui beberapa tahap, yaitu adanya kontak dengan mikroorganisme dimana sejumlah mikroorganisme mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting (sphincter), kemudian dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme akibat lubang puting yang terbuka ataupun karena adanya luka. Tahap berikutnya, terjadi respon imun pada induk semang. Respon pertahanan pertama ditandai dengan berkumpulnya leukosit- leukosit untuk mengeliminasi mikroorganisme yang telah menempel pada sel-sel mamae. Apabila respon ini gagal, maka mikroorganisme akan mengalami multiplikasi dan sapi dapat memperlihatkan respon yang lain, misalnya demam. Hal ini kembali pada daya tahan tubuh ternak. Ternak yang dipengaruhi kondisi lingkungan yang buruk dan berkembangnya mikroorganisme akan memudahkan terjadinya mastitis.

Penularan mastitis dari mamae yang terinfeksi ke mamae yang sehat dapat terjadi melalui peralatan pemerahan yang kotor, higiene personal yang buruk dari pemerah dan urutan pemerahan yang salah (Jayarao, 2006).

Sori et al (2005) menyatakan bahwa saat periode kering kandang merupakan masa awal kuman penyebab mastitis menginfeksi, karena pada saat itu terjadi hambatan aksi fagositosis dari neutrofil pada mamae. Proses mastitis hampir selalu dimulai dengan masuknya mikroorganisme ke dalam kelenjar melalui lubang puting (sphincter puting). Sphincter puting berfungsi untuk menahan infeksi kuman. Pada dasarnya, kelenjar mamae atau mammae sudah dilengkapi perangkat pertahanan, sehingga air susu tetap steril. Namun tingkat pertahanan kelenjar mammae mencapai titik terendah saat sesudah pemerahan, karena sphincter masih terbuka beberapa saat, sedangkan sel darah putih, antibodi serta enzim juga habis karena ikut terperah.

Disamping faktor-faktor mikroorganisme yang terdiri dari berbagai jenis, jumlah dan virulensinya, faktor ternak dan lingkungannya juga menentukan mudah tidaknya terjadi radang mamae pada sapi perah. Faktor predisposisi radang mamae dilihat dari segi ternak, meliputi : bentuk mamae, misalnya mamae yang sangat menggantung, atau mamae dengan lubang puting terlalu lebar (Subronto 2003). Demikian pula bentuk puting, ada dan tidaknya lesi pada puting mempengaruhi kejadian mastitis. Hasil penelitian Sori et al. (2005) menunjukkan bahwa prevalensi mastitis pada puting pendulous mencapai 77,78%, sedangkan pada puting non pendulous mencapai 50%. Puting yang mengalami lesi memungkinkan prevalensi mastitis sebesar 84%, sedangkan pada puting normal sebesar 47,74%.

Letak kuartir juga mempengaruhi kejadian mastitis. Kuartir kiri belakang dan kanan depan lebih sering mengalami mastitis daripada kedua puting lainnya. Pada kiri belakang, mastitis mencapai 34,3%, sedangkan kanan depan mencapai 30,06% (Sori et al. 2005).

Faktor umur dan tingkat produksi susu sapi juga mempengaruhi kejadian mastitis. Semakin tua umur sapi dan semakin tinggi produksi susu, maka semakin mengendur pula spinchter putingnya. Puting dengan spincter yang kendur memungkinkan sapi mudah terinfekesi oleh mikroorganisme, karena fungsi spinchter adalah menahan infeksi mikroorganisme. Semakin tinggi produksi susu seekor sapi betina, maka semakin lama waktu yang diperlukan spinchter untuk menutup sempurna (Subronto 2003).

Faktor lingkungan dan pengelolaan peternakan yang banyak mempengaruhi terjadinya radang mamae meliputi : pakan, perkandangan, banyaknya sapi dalam satu kandang, ventilasi, sanitasi kandang dan cara pemerahan susu. Pada ventilasi yang buruk, mastitis mencapai 87,5%, sedangkan ventilasi yang baik mencapai 49,39% (Sori et al. 2005).

3. Mastitis Subklinis

Definisi mastitis subklinis menurut International Dairy Federation (IDF) adalah mastitis yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel somatik (> 400.000/ml

10

susu) dan ditemukan bakteri patogen pada susu yang berasal dari kwartir dalam masa laktasi normal. Kejadian mastitis subklinis diperkirakan 20-50 kali kejadian mastitis klinis. Hal ini sering digambarkan sebagai Fenomena Gunung Es atau Iceberg Phenomena (Lukman et al. 2009).

Gambar 1. Phenomena “Gunung es” pada mastitis subklinis (Hurley and Morrin 2000). Kejadian mastitis subklinis pada sapi perah di Indonesia sangat tinggi (97-98%) dan menimbulkan banyak kerugian (Sudarwanto, 1999). Pada kejadian MSK tersebut S.agalactiae merupakan agen penyebab yang sering ditemukan (Pasaribu et al. 1994). Hal yang sama diiungkapkan Supar (1997) yang telah melakukan penelitian intensif pada beberapa tempat peternakan sapi perah di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Diketahui prevalensi mastitis subklinis berkisar antara 37% sampai 67%, sedangkan mastitis klinis lebih rendah yaitu 5% sampai 30%. Survei yang dilakukan oleh Supar dan Ariyanti (2008) pada mastitis subklinis juga didominasi oleh bakteri S. agalactiae yaitu sebanyak 60,6%. Diketahui pula bahwa S. agalactiae Group B merupakan agen kontagius patogen yang menyebabkan mastitis subklinis pada sapi perah secara umum di dunia (Bogni et al. 2011).

4. Streptococcus agalactiae

S. agalactiae merupakan jenis bakteri yang termasuk ke dalam famili Streptococcaceae dari ordo Lactobacillales. Bakteri ini berbentuk bulat (coccus) dan tersusun seperti rantai yang panjangnya bervariasi, diameter selnya sekitar 0,6-1,2 µm. Sifatnya Gram positif yang terlihat berwarna keunguan pada pewarnaan Gram, non motil, tidak membentuk spora, dan dapat membentuk kapsul. Sifat lainnya adalah katalase negatif, anaerob fakultatif, oksidase negatif, dapat memfermentasikan beberapa jenis karbohidrat namun tidak menghasilkan gas (Carter 1984, Quinn et al. 2006).

Tahun 1896 Lehman dan Naumann mengklasifikasikan bakteri ini berdasarkan taksonomi sebagai berikut (Bruckner and Colonna 1997):

Kingdom : Bacteria Filum : Firmicutes Kelas : Bacilli Ordo : Lactobacillales Famili : Streptococcaceae Genus : Streptococcus Spesies : S. agalactiae

Biakan S. agalactiae yang ditumbuhkan pada media agar darah terlihat membentuk koloni-koloni halus, basah, konveks, terang tembus, dan menghemolisis sel darah merah. Hemolisis yang ditimbulkan berupa -hemolisis, dan beberapa tidak menghemolisis (Daignault 2003). Strain yang menghemolisis darah hanya mengasilkan zona hemolitik tidak lebih dari 1 mm pada agar darah, sedangkan yang tidak menghemolisis dapat menghasilkan pigmen bewarna kehijauan pada media agar darah.

Secara umum Streptococcus sp memiliki antigen terstruktur pada permukaannya seperti kapsul, dinding sel, dan antigen protein. Keberadaan antigen polisakarida pada dinding sel dijadikan sebagai dasar pengklasifikasian genus Streptococcus sp. kedalam grup-grup. Penentuan grup-grup tersebut berdasarkan

12

serologis dari antigen polisakarida yang ditemukan oleh Lancefield pada 1933. Terdapat sekitar 20 grup Streptococcus sp sampai saat ini yang dinamai sesuai abjad mulai dari A-V; S. agalactiae dikelompokan kedalam grup B oleh Lancefield. Pengelompokan ini didasari oleh substansi C polisakarida spesifik yang terdapat pada diding sel (Cowan 2003). Secara serologis Grup ini dikelompokan lagi kedalam serotipe-serotipe. Serotipe tersebut berdasarkan antigen polisakarida dan antigen protein yang dihasilkan. Beberapa serotipe tersebut terdiri dari 9 serotipe yang berbeda antara lain 1a, 1b, II, III, IV, V, VI, VII, VIII dari antigen polisakarida dan c, R dan X berdasarkan antigen proteinnya (Henrichsen et al. 1984). Wibawan dan Lammler (1991) menyatakan isolat S. agalactiae dapat memiliki serotipe dengan antigen poliskarida dalam bentuk kombinasi atau hanya berdiri sendiri tanpa antigen protein, misalnya Ia/c, II/X. Ada juga isolat yang belum bisa diklasifikasikan kedalam serotipe yang ada disebut sebagai nontypeable (NT). Antigen protein X dominan ditemukan pada S. agalactiae yang diisolasi dari sapi sedangkan antigen protein R lebih banyak ditemukan pada S. agalactiae yang berasal dari manusia. Kedua antigen ini erat hubungannya dengan patogenitas bakteri terhadap inangnya (Wibawan 1990). Wahyuni et al. (2006) menyimpulkan dari beberapa tempat di pulau jawa S. agalactiae yang berasal dari mamae yang menderita masititis subklinis ditemukan sebanyak 52% didominasi oleh S. agalactiae serotipe NT dan protein antigen yang muncul paling banyak adalah antigen protein X.

Keberhasilan bakteri melakukan infeksi terhadap sel inangnya ditentukan oleh adanya faktor virulensi. Bakteri akan berpenetrasi dengan menggunakan faktor virulrensi untuk mempengaruhi targetnya. Faktor virulensi yang penting bagi bakteri antara lain adalah kapsul. Kapsul bakteri tersusun oleh asam hyaluronat seperti yang ditemukan pada struktur dasar jaringan ikat pada mamalia. Kapsul polisakarida sebagai antigen permukaan dan asam hyluronat sebagai produk ektraseluler akan meningkatan kemampuan virulensi bakteri (Hayati dan Karmil 2009). Terhambatnya kerja komplemen oleh kapsul S. agalactiae akan menghambat aktivitas fagositosis oleh makrofag sehingga tidak dapat menfagosit bakteri. Peranan kapsul juga sebagai antifagositik dan antigen yang tidak imunogenik.

Virulensi dari Streptococcus sp dipengaruhi oleh pemukaan sel, sekresi protein yang dihasilkan dan strukturnya yang secara langsung atau tidak langsung dapat menghambat fagositosis, terlibat dalam proses adhesi dan mengakibatkan pelepasan sitokin proinflamasi (Timoney and Kumar 2010).

Streptococcus juga memiliki komponen nonstruktural seperti protein antigen. Protein tersebut dihasilkan selama masa perkembangbiakan dan membantu selama proses infeksi. Protein ini berupa enzim ekstraseluler hasil metabolisme seperti hemolisin, streptokinase, nuklease, protease, dan hyaluronidase. Hemaglutinin sebagai adhesin pada permukaan bakteri berperan mempengaruhi tingkat virulensi (Wahyuni dkk. 2005).

Adhesi adalah kemampuan menempelnya bakteri pada permukaan mukosa yang bersifat irreversibel dan stabil. Kemampuan bakteri untuk menempel (adhesi) pada sel inang diperantarai oleh komponen adesin bakteri yang membantu perlekatan bakteri pada reseptor spesifik dari sel inang. Sifat hidrofobitas permukaan bakteri berperan dalam mekanisme perlekatan dengan sel inang. Sifat ini dipengaruhi oleh jumlah protein permukaan. Semakin hidrofobik permukaan sel maka akan semakin tinggi kemampuan adhesi pada sel inang (Lämmler et al. 1998).

Derajat hidrofobitas permukaan S. agalactiae dapat ditentukan secara langsung dengan melihat pertumbuhan koloni pada media padat, cair dan agar lunak (soft agar). Koloni yang tumbuh dengan permukaan yang kasar pada media agar dan kompak pada agar lunak merupakan bakteri yang bersifat hidrofob, sedangkan bakteri yang tumbuh difus pada media agar lunak dan permukaan mukoid pada media padat menunjukan sifat yang hidrofil (Wibawan dan Lämmler 1992).

Hasil kajian Wibawan et al. (1993) menyebutkan bahwa S. agalactiae yang memilki hemaglutinin mempunyai kamampuan adhesi yang lebih besar daripada yang tidak mempunyai hemaglutinin pada sel epitel mamae. Kemampuan menempel bakteri tampaknya lebih penting dari pada kemampuan invasi bakteri ke dalam jaringan dalam mekanisme infeksi, sehingga tidak dijumpai perubahan yang berarti pada jaringan mamae (Wibawan et al. 1998). Keberadaan protein hemaglutinin dengan kemampuan adhesi sel bakteri MSK pada sel epitel mamae mencit memiliki

14

keterkaitan, oleh karena itu ada peluang untuk pembuatan suatu produk pencegahan mastitis yang cukup besar (Dian dkk. 2010).

5.Sistem Imun

Manusia dan hewan multiseluler memiliki suatu sistem imun yang melindungi dirinya terhadap unsur-unsur patogen yang masuk ke dalam tubuh. Respon imun tubuh terhadap unsur-unsur patogen sangat bergantung pada kemampuan sistem imun untuk mengenal molekul-molekul asing atau antigen yang terdapat pada permukaan unsur patogen, dan kemampuan dalam melakukan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan antigen. Kemampuan ini dimiliki oleh komponen-komponen sistem imun yang terdapat dalam jaringan limforetikuler yang letaknya tersebar di seluruh tubuh, misalnya di dalam sumsum tulang, kelenjar limfe, thymus, sistem saluran nafas, saluran cerna, peredaran darah dan organ-organ lain. Bila antigen masuk ke dalam tubuh, maka dapat terjadi dua macam reaksi imun yang berlainan, yaitu imun humoral dan imun seluler (Baratawijaya dan Rengganis 2009). Dalam reaksi imun humoral terjadi sintesa dan masuknya antibodi berupa Imunoglobulin (Ig) ke dalam aliran darah dan cairan tubuh lainnya (antibodi humoral). Antibodi ini akan mengikat dan menetralisir antigen, misalnya toksin kuman atau dapat membungkus kuman untuk persiapan fagositosis. Bila kita menyuntikkan antigen misalnya vaksin ke tubuh hewan percobaan, maka setelah beberapa hari sampai seminggu dapat ditemukan antibodi di dalam darah. Sel utama dalam hal ini adalah Sel-B yang diproduksi oleh sumsum tulang. Reaksi imun seluler ditengahi oleh sel-sel limfosit dan tidak tergantung pada antibodi. Seri reaksi yang terlibat dalam jenis imunitas ini dikaitkan dengan reaksi-reaksi sel sasaran efektor yang terlibat, terutama yang berkaitan dengan penolakan tumor. Pada masing-masing keadaan ini, antigen berada intraseluler atau karena tempatnya tidak dapat dicapai, sehingga reaksi antigen-antibodi tampak secara relatif tidak efisien. Sel utama yang berperan dalam hal ini adalah Sel-T yang dihasilkan oleh Thymus.

Pada masa-masa akhir kebuntingan hewan, antibodi dari darah dapat dikeluarkan dan masuk ke dalam kelenjar mamae berupa kolostrum susu. Imunoglobulin yang

paling banyak dalam kolostrum dari semua hewan piara adalah Ig G, yang meliputi 65-95% dari semua imunoglobulin yang ada. Sementara laktasi berkembang, kolostrum berubah menjadi susu, perbedaan terjadi diantara jenis hewan. Pada primata dan manusia, Ig A merupakan bagian terbanyak baik dalam kolostrum maupun susu. Pada ruminansia, Ig G1 merupakan imunoglobulin terbanyak baik dalam kolostrum maupun dalam susu (Tizard 1988).

6. Radiasi

Radiasi merupakan energi yang dipancarkan dalam bentuk partikel atau gelombang. Radiasi diklasifikasikan sebagai radiasi non pengion (energi rendah) atau pengion (energi tinggi). Jenis radiasi non pengion seperti sinar ultraviolet, cahaya tampak, radiasi inframerah, radiasi frekuensi radio dan gelombang mikro. Radiasi pengion dari matahari (sinar kosmik), bahan radioaktif, dan mesin X-ray. Empat jenis utama dari radiasi pengion (1) alpha partikel. bermuatan positif terdiri dari dua neutron dan dua proton, relatif berat dan bergerak lambat dari emisi radioaktif lainnya, (2) partikel beta merupakan partikel bermuatan negatif terdiri dari elektron dan lebih ringan serta cepat dibandingkan partikel alpha, (3) sinar gamma adalah radiasi gelombang elektromagnetik pendek yang dipancarkan oleh peluruhan radioaktif yang dipancarkan oleh atom dengan kecepatan tinggi dan mempunyai penetrasi yang tinggi pula, dan (4) sinar X mempunyai energi lebih rendah dan kemampuan penetrasinya kurang daripada sinar gamma. Sinar X yang dipancarkan berasal dari proses luar inti, sementara sinar gamma berasal dari inti (Soeminto 1989).

Dokumen terkait