• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. Identifikasi dan Isolasi S. agalactiae

5.2. Pemeriksaan Mikroskopi

Untuk menunjang pemeriksaan mikroskopi maka dilakukan pewarnaan Gram. Langkah awal dari pewarnaan Gram adalah mempersiapkan preparat yang akan diwarnai. Larutan NaCl fisiologis secukupnya diteteskan diatas gelas objek. Kemudian koloni bakteri sebanyak 1 Öse diambil dari media Blood Agar Plate (BAP) dan dicampurkan bersama NaCl fisiologis diatas gelas objek tadi. Pencampuran ini dilakukan dengan cara menggerakkan Öse memutar dari arah dalam dan makin lama

22

makin keluar. Selanjutnya campuran yang terdapat diatas objek gelas tadi difiksasi diatas bunsen yang menyala. Kemudian preparat ini diteteskan dengan zat warna kristal violet diatas gelas objek hingga preparat tertutup, langkah ini dilakukan selama 1 menit. Setelah itu ditambahkan lugol diatas preparat tadi selama 1 menit. Preparat kemudian dicuci dengan aquadest/air kran diatas bak pewarnaan. Pencucian dilanjutkan dengan aceton alkohol selama 15 detik. Preparat kemudian dibilas sekali lagi dengan aquadest/air kran hingga bersih. Pewarnaan kemudian dilanjutkan dengan meneteskan safranin selama 15 detik pada preparat tersebut dan kemudian dibilas lagi dengan aquadest/air kran hingga bersih. Preparat yang telah dibilas kemudian dikeringkan, lalu ditetesi dengan minyak emersi dan siap untuk diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 10x100 (Carter 1984). Koloni Streptococccus sp. akan terlihat berbentuk bulat (coccus), bergerombol membentuk rantai, berwarna ungu.

5.3 Uji Katalase

Uji ini dilakukan sebagai acuan untuk identifikasi bakteri yang berkarakteristik dapat memproduksi enzim katalase. Langkah yang pertama yaitu menyiapkan gelas objek atau cawan petri yang sebelumnya telah dibersihkan dengan alkohol 70% dan dikeringkan diatas api Bunsen. Pada gelas objek ini kemudian diteteskan reagen H2O2 3% sebanyak 1 tetes. Langkah berikutnya yaitu mengambil koloni bakteri yang telah tumbuh dari Blood Agar Plate (BAP) sebanyak 1 Öse dan kemudian dicampurkan pada reagen H2O2 tadi. Reaksi memberikan hasil positif apabila terbentuk gelembung-gelembung udara, sebaliknya reaksi memberikan hasil negatif apabila tidak terbentuk gelembung. Bakteri Streptococcus sp. akan memberikan hasil berupa katalase negatif (Lay 1994).

5.4. Uji Christie, Atkins, and Munch-Petersen (CAMP)

Uji CAMP dilakukan pada media agar darah. Koloni bakteri yang akan diuji adalah koloni bakteri yang telah dikultur ulang selama satu malam. Koloni S. aureus diambil dengan öse, digoreskan vertikal ditengah-tengah media agar darah sehingga membagi agar darah menjadi dua bagian sama besar. Koloni Streptococcus diambil

dengan ose kemudian digoreskan horizontal di sebelah kanan dan kiri goresan Staphylococcus aureus membentuk seperti garis tegak lurus. Jarak antara kedua goresan kira-kira 0.5 cm dari goresan Staphylococcus aureus. Setelah selesai, agar darah diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37 οC. Uji positif akan menunjukan zona bening seperti anak panah (arrow head) diantara kedua goresan bakteri tersebut (Allen-Mierl et al. 2006).

5.5. Uji Serogrup S. agalactiae

S. agalctiae dari mastitis subklinis umumnya termasuk Grup-B. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan Streptococcal Grouping kit (Oxoid®, England). Tiap isolat bakteri CAMP positif yang telah diremajakan pada media agar darah diambil 3-5 koloni menggunakan öse secara aseptis, lalu dimasukan ke dalam tabung-tabung kecil ujung lancip bertutup ukuran 1 ml yang telah berisi ekstrak enzim streptococcal masing-masing sebanyak 200 µl. Suspensi tersebut dipanaskan di dalam penangas air pada suhu 37 οC selama 10 menit. Setiap lima menit tabung-tabung tersebut dikocok. Langkah berikutnya suspensi diambil dengan pipet Pasteur lalu diteteskan sebanyak dua tetes di atas kertas latex. Tambahkan latex reagen group B pada suspensi dan keduanya dicampurkan, dibiarkan selama 10-15 detik sambil diamati reaksi aglutinasi yang terjadi.

5.6. Ekspresi Fenotipe SGB in vitro

Pengujian ekspresi fenotip dilakukan dengan menanam SGB pada media Soft Agar (SA) dan media cair Todd Hewit Broth (THB) untuk diamati pola pertumbuhannya. Isolat SGB yang telah diremajakan pada media agar darah ditanam secara aseptis sebanyak satu öse kedalam tabung reaksi yang berisi 5 ml media brain heart infusion (BHI) broth. Suspensi diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37 οC, kemudian biakan segar diambil dengan öse dan diencerkan dalam 10 ml larutan NaCl 0.14 M. Langkah berikutnya, batang öseujung lurus dimasukan kira-kira nya ke

24

dalam suspensi biakan segar SGB yang telah diencerkan, lalu ditanam kedalam 10 ml media soft agar (SA). Setiap suspensi tersebut ditanam dalam dua media SA. Salah satu dari media SA ditambahkan serum kelinci sebanyak 200 µl (serum soft agar/SSA) selanjutnya diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37οC. Pengujian pola tumbuh pada media cair dilakukan dengan menanam 1 öse biakan segar SGB ke dalam 10 ml media cair THB, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam dan diamati pola pertumbuhannya (Wibawan and Lämmler, 1990).

5.7. Uji Hemaglutinasi

Isolat S. agalactiae Group B (SGB) selanjutnya diuji hemaglutinasi menggunakan 1% eritrosit sapi perah dalam NaCl fisiologis. Pengujian hemaglutinasi dilakukan dengan mencampur secara homogen 50 µl suspensi bakteri 108 sel/ml dengan 50 µl eritrosit sapi perah ke dalam mikroplate. Reaksi hemaglutinasi dapat dibaca jika kontrol eritrosit mengendap. Reaksi dikatakan positif apabila terjadi aglutinasi di dasar tabung dan negatif apabila terjadi endapan seperti pada kontrol eritrosit (Wahyuni dkk. 2005).

6. Orientasi Dosis Iradiasi Sinar Gamma SGB untuk LD50

Isolat SGB terpilih (yang mempunyai hemaglutinin positif/ Hn+) ditumbuhkan dalam media BHI broth dan diinkubasi 37oC pada inkubator. Jika telah mencapai fase log dengan waktu pembelahan sel tertinggi pada kurva pertumbuhan perlakuan, lalu bakteri dicuci memakai aquades steril 3 kali dengan sentrifus 10.000 rpm. Setelah pencucian, bakteri diencerkan menjadi 108 cfu/ml, lalu diiradiasi dengan dosis iradiasi bertingkat dengan laju dosis 112,504 krad/ jam, di dalam iradiator Gamma chamber di PATIR, BATAN. Selanjutnya bakteri ditanam pada media BHI agar plat dan diinkubasi di dalam inkubator 37oC selama 1 malam, lalu keesokan harinya koloni SGB yang tumbuh dihitung untuk menentukan nilai LD50 bakteri SGB iradiasi yang

masih bertahan hidup sebanyak 50% sebagaimana penelitian terdahulu (Tuasikal dkk. 2003).

7. Karakterisasi Protein Antigenik Permukaan SGB dengan SDS PAGE

Karakterisasi protein permukaan SGB iradiasi dilakukan dengan dua tahap, yaitu persiapan protein antigenik dan teknik SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamid Gel Electrophoresis) untuk mengukur berat molekulnya (Walker JM 2002).

Protein antigenik diperoleh dari isolat SGB yang sudah ditanam dalam BHI Broth dan diberi perlakuan iradiasi dengan dosis 0 dan 17 Gy, lalu disentrifuge dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Pelet sel bakteri diambil kemudian dicuci dengan NaCl fisiologis, selanjutnya diencerkan dengan NaCl fisiologis sampai volume 1,5 ml. Suspensi sel dimasukkan ke dalam tabung sonikator untuk memecah dinding sel dan melepas protein. Sonikasi dilakukan selama tiga menit. Sel hasil sonikasi dipindahkan ke dalam tabung mini steril, kemudian disentrifuge pada 10.000 rpm selama 3 menit. Supernatan yang diperoleh dipisahkan dan disimpan pada suhu 0-4 oC sampai akan digunakan dalam pengukuran konsentrasi protein menggunakan metode Bradford.

Penentuan berat molekul (BM) protein dianalisis dengan metode SDS PAGE. Pembuatan agar akrilamid dilakukan dengan bantuan dua lempeng kaca berukuran 13 x 15,5 cm (Pharmacia - Biothec® yang telah dibersihkan dengan alkohol 70%. Kedua lempeng kaca di himpit dan dijepit, serta diberi celah pada kedua sisi tepi bagian dalam. Di bagian atas lempeng kaca disisipkan sisir pembuat jalur yang diisi gel pemisah (12% poliakrilamid) sampai 1 cm di bawah ujung sisir dengan bantuan mikropipet, lalu dibiarkan sekitar 60 menit, kemudian diisi gel pengumpul (4% poliakrilamid) hingga mencapai permukaan lempeng kaca. Gel yang sudah dicetak kemudian dibuka sisirnya, selanjutnya dipasang pada tangki elektroforesis, dan ditambahkan buffer elektroforesis (Tris-glysin) sampai gel terendam. Sumuran dibersihkan sebelum digunakan dengan menyemprotkan bufer elektroforesis ke

26

dalamnya sehingga gel-gel yang tersisa di dalam sumuran dapat keluar. Setiap sumuran diisi dengan 10 µl campuran sampel protein dan sampel buffer yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Selain sampel digunakan juga marker protein sebagai penanda. Marker protein yang digunakan mempunyai berat molekul 25 sampai 225 kDa. Visualisasi berat molekul protein antigen dilakukan dengan perangkat elektroforesisi yang dihubungkan ke arus listrik pada tegangan 100 volt dengan arus 50 mA selama kurang lebih 3 jam sampai sampel buffer terlihat pada bagian bawah gel (kurang lebih 1 cm di atas batas bawah gel). Elektroforesis dilakukan pada kondisi suhu 4oC. Setelah elektroforesis berakhir, gel diangkat dari lempeng kaca dan direndam di dalam pewarnaan Commasie Brilliant Blue selama 30 menit pada suhu ruang sambil diagitasi perlahan. Pewarna yang tidak terikat pada protein dihilangkan dengan merendam gel pada larutan pemucat metanol dan asam asetat sehingga gel berwarna bening atau pita-pita protein telah terlihat jelas. Mobilitas relatif protein dihitung dengan membandingkan jarak migrasi protein dari garis awal gel pemisah dengan jarak migrasi pewarna, atau dibandingkan terhadap pewarna marker.

8. Uji Patogenitas dan Imunitas dengan Hewan Model Mencit

Hewan model yang digunakan adalah mencit betina jenis Balb-C, berumur 8 minggu dengan bobot badan kira-kira 50 gram. Sebanyak 12 ekor mencit dibagi dalam 4 kelompok perlakuan, yaitu kelompok vaksin (V) diberi SGB Hn+ iradiasi, kelompok vaksin dan tantang (VT) diberi vaksin SGB Hn+ iradiasi lalu ditantang dengan SGB Hn+ tanpa iradiasi; kelompok tantang (T) diinfeksi dengan SGB Hn+ tanpa iradiasi, dan kelompok kontrol (K) tanpa vaksin dan tanpa tantang. Bakteri yang diberikan mempunyai kepadatan 108 cfu / ml. Vaksin SGB Hn+ iradiasi diinjeksikan dengan route intraperitoneal dengan dosis 0,3 – 0,4 cc/ ekor. Vaksin booster diberikan setelah hari ke 7 dan ke 14, dan tantangan pada hari ke 21 (post partus). Infeksi tantang SGB Hn+ tanpa iradiasi diberikan melalui parenteral (tetes) pada 5 pasang putting sebanyak 50 µl/ mencit. Suspensi bakteri tantangan diteteskan di atas orificium externa puting susu mencit secara bertahap (satu tetes sebanyak 5

µl), kemudian ditunggu hingga terabsorbsi. Nekropsi dilakukan sehari setelah tantangan. Penilaian respon terhadap vaksin yang diberikan, dilakukan dengan pemeriksaan Histopatologi jaringan kelenjar mamae yang difiksasi formalin dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin (HE) (Kiernan, 1990). Titer antibodi Ig-G diperiksa dengan teknik Enzyme Linked Immunosorbent Assay secara tak langsung (indirect ELISA) dari sampel serum darah yang dikoleksi tiap minggu (Crowther 2010).

9. Aplikasi Kandidat Vaksin Iradiasi Terpilih pada Kambing Perah

Hewan percobaan yang digunakan sebanyak 6 ekor kambing perah peranakan etawah yang dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan, yaitu 4 ekor untuk kelompok vaksin (V) yang diberi SGB Hn+ iradiasi secara subkutan dengan dosis 108 cfu/ml sebanyak 2 ml/ kambing, dan 2 ekor untuk kelompok kontrol (K) yaitu hewan normal yang tidak diberi vaksin SGB. Vaksin diberikan pada masa kering kandang dengan pemberian booster 3 kali prepartus. Pemeriksaan konsentrasi Ig-G dilakukan dengan teknik ELISA dari serum sampel yang dikoleksi tiap minggu (Crowther 2010). Produksi susu postpartus dicatat setiap hari.

10.Rancangan Penelitian

Informasi tentang efektifitas bahan vaksin ini akan dilakukan dengan cara membandingkan kondisi hewan percobaan antara yang hanya divaksin (V) yang diberi vaksin dengan tantangan (VT), yang diberi tantangan tanpa vaksin (T); dan hewan kontrol tanpa vaksin maupun tantangan (K). Signifikansi dari efektifitas bahan vaksin akan ditelusuri dengan membandingkan kelompok perlakuan tersebut menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Gambar histopatologi diambil dengan kamera digital Electronic Eyepiece MD-130® menggunakan mikroskop cahaya. Gambar diolah menggunakan software NIH Image-J®. Data pengamatan dianalisis

28

pada analisis ragam (ANOVA), post hoc Duncan test menggunakan software SPSS® versi 16 untuk mengetahui perbedaan setiap perlakuan pada p<0,05.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1.Kejadian Mastitis Subklinis di Daerah Pengambilan Sampel Susu

Sampel susu yang digunakan berasal dari 3 wilayah pada 2 daerah yang berbeda yaitu daerah Bogor dengan wilayah Kawasan Usaha Peternakan (Kunak) Cibungbulang dan Garut dengan wilayah Kecamatn Cisurupan dan Kecamatan Bayongbong. Sampel susu dari hewan penderita mastitis subklinis dapat diketahui dengan CMT (California Mastitis Test). Dengan uji ini didapatkan hasil dengan mengamati parameter derajat konsistensi kekentalan dari campuran susu dan reagen uji yang membentuk materi gelatinous kental. Parameter ini diukur dengan melihat kekentalan yang terjadi untuk positif I akan terbentuk lendir tipis, positif II akan terbentuk lendir yang lebih kental, dan positif III lendir yang terbentuk sangat kental seperti massa gelatin. CMT bekerja berdasarkan 3 prinsip yaitu jumlah leukosit akan meningkat drastis saat jaringan mamae mengalami luka atau infeksi, leukosit terutama polymorphonuclear leukosit (PMNs) mempunyai inti sel yang besar (DNA) bila dibandingkan dengan sel lain atau bakteri yang terdapat didalam susu, selain itu penyusun utama dinding sel leukosit adalah lipid (lemak). Semakin tebal gel yang terbentuk di dalam piring uji CMT, maka semakin banyak juga sel darah putih yang terdapat di dalam sampel susu. Peningkatan penebalan dari gel ini menandakan terdapat peningkatan dalam hal infeksi. Reagen dari CMT merupakan suatu detergen dengan penambahan indikator pH yang menyebabkan terbentuknya warna ungu pada pencampuran dengan sampel susu. Saat sampel susu dan reagen MT dicampur dengan jumlah yang setara, reagen CMT akan melarutkan dinding sel terluar dan dinding sel nuklear dari leukosit yang penyusun utamanya adalah lemak, dimana detergen akan melarutkan lemak. Hal ini mengakibatkan DNA lepas dari inti yang mengarah kepada pembentukan gel oleh sesama DNA ntuk membentuk suatu massa seperti serabut. Seiring dengan penambahan jumlah leukosit pada setiap quarter akan berbanding lurus dengan peningkatan jumlah pembentukan gel (Ruegg 2005). Hasil dari uji ini pada ketiga wilayah dapat dilihat pada gambar 2.

30

Gambar 2. Hasil CMT memperlihatkan kekentalan (a) yang terbentuk akibat pencampuran susu dengan reagen uji.

Berdasarkan hasil uji ini, kejadian mastitis subklinis tertinggi berada pada wilayah Kunak, disusul Cisurupan, dan Bayongbong (Tabel 1).

Tabel 1 Kejadian mastitis subklinis pada wilayah Cisurupan, Bayongbong, dan Kunak

Asal sampel Jumlah sampel Jumlah sampel positif CMT Kejadian mastitis subklinis Cisurupan 97 92 94.84% Bayongbong 77 72 93.50% Kunak 66 66 100%

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa tingkat kejadian terjadinya mastitis subklinis di ketiga wilayah peternakan ini sangatlah tinggi, dengan presentasi kejadian pada daerah Cisurupan, Bayongbong dan Kunak, berturut-turut sebesar 94,84%, 93,50%, 100%. Peluang terjadinya mastitis subklinis di peternakan wilayah Kunak adalah sangat mungkin terjadi atau selalu terjadi. Data ini menggambarkan buruknya kondisi

lingkungan, rendahnya tingkat sanitasi perkandangan, dan cara pemerahan mencerminkan higienitas personal yang buruk. Faktor manusia menjadi masalah utama sehingga hal-hal buruk tersebut dapat terjadi.

Tingginya presentasi kejadian mastitis subklinis pada peternakan sapi perah di ketiga daerah ini dapat dikaitkan dengan kondisi lingkungan dan pengelolaan peternakan diantaranya yaitu sanitasi kandang dan cara pemerahan susu (Sori et al. 2005). Sanitasi kandang yang buruk, peralatan yang tidak bersih dan ditambah lagi dengan cara pemerahan susu yang juga tidak bersih kemungkinan besar merupakan faktor utama penyebab terjadinya mastitis subklinis pada ketiga peternakan sapi perah tersebut.

Hasil pemeriksaan CMT positif yang lebih dari 50% pada penelitian ini menunjukkan masih tingginya kejadian mastitis subklinis. Penelitian intensif Balai Penelitian Veteriner di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta prevalensi mastitis subklinis berkisar antara 37 sampai 67%, sedangkan mastitis klinis antara 5 sampai 30% (Supar 1997). Kasus mastitis terutama mastitis subklinis di Indonesia sampai akhir tahun 2006, tercatat sekitar 75% - 83% (Sudarwanto dkk. 2006). Sebagaimana Indonesia, di negara-negara lainpun kasus mastitis subklinis selalu lebih tinggi dibandingkan mastitis klinis. Kejadian mastitis subklinis di Polandia sebesar 25,35% sedangkan mastitis klinis hanya 0,41% (Hameed et al. 2007). Prevalensi mastitis klinis dan subklinis di Iran berturut-turut 2,2 dan 42,5% (Hashemi et al. 2011). Mastitis subklinik adalah mastitis yang tidak menampakkan perubahan fisik pada mamae dan susu yang dihasilkan, tetapi dapat menurunkan produksi susu, ditemukannya mikroorganisme patogen dan terjadi perubahan komposisi susu (Petrovski and Emanuel, 2006). Hal-hal tersebut di atas dapat menyebabkan kerugian ekonomis yang cukup besar dalam usaha peternakan sapi perah. Kerugian ekonomis yang diakibatkan oleh mastitis antara lain: Penurunan produksi susu perkwartir per hari antara 9% – 45,5% (Sudarwanto 1999); Penurunan kualitas susu yang mengakibatkan penolakan susu mencapai 30% - 40% (Sudarwanto dan Sudarnika 2008) dan penurunan kualitas hasil olahan susu (Hamman 2005);

32

Peningkatan biaya perawatan dan pengobatan serta pengafkiran ternak lebih awal (Seegers et al. 2003, Shim et al. 2004).

Selain kondisi lingkungan dan pengelolaan peternakan sebagai faktor utama penyebab mastitis subklinis di ketiga peternakan, faktor penunjang dari sisi ternak juga berperan dalam terjadinya radang mamae ini. Kondisi kesehatan ternak yang kurang baik, luka/lecet pada puting susu yang diakibatkan pemerahan kasar, lantai kasar, lap yang kotor dan sikat yang keras, bentuk mamae yang sangat menggantung, serta mamae dengan lubang puting yang terlalu lebar merupakan faktor predisposisi terjadinya mastitis subklinis dari segi ternak. Disamping itu terdapat pula faktor penyebab mastitis subklinis dari segi mikroorganisme penyebab, diantaranya adalah jenis dan jumlah mikroorganisme patogen. Faktor-faktor penyebab tersebut dapat berpengaruh terhadap kerusakan struktur dan gangguan fungsi kelenjar mamae pada ruminansia yang terserang mastitis, sehingga berujung pada penurunan produksi susu pada induk pasca melahirkan (Akers and Nickerson, 2011).

Kondisi lingkungan (kandang) tempat sampel susu diperoleh maupun sanitasi saat pemerahan dapat diukur dengan menggunakan beberapa parameter diantaranya adalah jumlah mikroba. Rata-rata jumlah mikroba dalam sampel susu yang diperoleh dari daerah Cisurupan, Bayongbong dan Kunak disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Jumlah mikroba dalam sampel susu dari uji Total Plate Count (TPC) Asal sampel Rata-rata jumlah mikroba (cfu/ml)

Cisurupan 1.302.893

Bayongbong 1.300.987

Kunak 1.764.613

Data dari hasil tabel diatas menunjukkan bahwa rata-rata jumlah mikroba pada setiap perwakilan sampel di ketiga wilayah sangat tinggi karena berada diatas nilai kisaran normal total cemaran mikroba pada susu segar yaitu 106 cfu/ml sesuai dengan SNI 01-3141-1998. Hal ini mendukung data dari hasil CMT dimana prevalensi

mastitis subklinis pada peternakan sapi perah di ketiga wilayah sangat tinggi, yang dibuktikan dengan tingginya rata-rata jumlah mikroba pada sampel susu yang dikumpulkan secara aseptis langsung ditampung dalam tabung steril. Menurut Lukman dkk (2009) pencemaran dapat berasal dari mamae atau masuk melalui puting susu. Jumlah mikroba bertambah dengan adanya cemaran dari tangan dan baju pemerah, alat perah dan lingkungan kandang. Jumlah mikroba dalam susu akibat kontaminasi melalui udara sekitar 100-1.500 koloni/ml susu, melalui kontaminasi mamae dan sekitarnya ditemukan 300-4.000 koloni/ml. melalui sanitasi yang buruk pertambahan mikroba mencapai 500-15.000 koloni/ml. kontaminasi dari mamae yang sakit mencapai 25.000 koloni/ml. jumlah mikroba dalam susu akan meningkat melalui kontaminasi dari peralatan susu sampai dengan lebih dari 1.000.000 koloni/ml (Lukman dkk. 2009).

2. Isolat S. agactiae Group B Terpilih sebagai Bahan Vaksin Iradiasi Mastitis Subklinis

Isolasi dan identifikasi bakteri Streptococcus sp pada sampel susu yang dinyatakan positif mastitis subklinis berdasarkan hasil CMT, dilakukan dengan mengkultur pada media Blood Agar Plate (BAP). Media BAP ini merupakan media diferensial yang dapat membedakan bakteri normal dan bakteri pathogen berdasarkan kemampuannya melisiskan sel darah merah. Selain itu pada media ini dapat pula diamati bentuk koloni dari bakteri yang tumbuh. Koloni Streptococcus sp pada permukaan BAP akan tampak sebagai koloni yang halus, kecil, cembung, transparan sampai putih (Gambar 3). Koloni ini akan membentuk pola hemolisis α, hemolisis , atau (tanpa hemolisis) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4 (Cowan 2003).

34

Gambar 3. Tampilan koloni Streptococcus sp pada media Blood Agar Plate.

Gambar 4. Pola hemolisis Streptococcus sp pada media Blood Agar Plate.

Identifikasi bakteri dilanjutkan dengan pemeriksaan mikroskopi dengan pewarnaan Gram. Pemeriksaan mikroskopi ini dilakukan dengan tujuan untuk identifikasi bakteri berdasarkan bentuk, susunan dan sifat Gram bakteri. Bakteri Streptococcus sp dibawah mikroskop akan tampak bulat (coccus), koloninya tersusun berpasangan atau membentuk rantai. Koloni bakteri juga tampak berwarna ungu yang berarti bahwa bakteri ini bersifat Gram positif (Gambar 5). Pewarnaan Gram merupakan salah satu tahap penting dalam proses perincian dan identifikasi bakteri dan pewarnaan yang banyak digunakan dalam laboratorium mikrobiologi (Lay 1994). Bakteri Gram positif bewarna ungu saat teramati dibawah mikroskop dengan perbesaran tinggi karena pengaruh kompleks zat warna dari kristal violet yang tetap dipertahankan walaupun telah diberi larutan pemucat. Pada dinding bakteri Gram positif mengandung lipid yang rendah sehingga pada saat dilakukan pencucian

beta

gamma

dengan larutan pemucat terjadi dehidrasi dan lubang pori-porinya mengecil, itu sebabnya zat warna tetap dipertahankan. Ditemukan juga pada dindingnya senyawa Mg-ribonukleat yang mengikat kristal violet sehingga tidak mudah dilarutkan (Lay 1994).

Gambar 5. Tampilan mikroskopik Streptococcus sp. Gram positif menggunakan mikroskop cahaya (perbesaran 10x100).

Untuk membedakan lebih lanjut bakteri bulat Gram positif maka dilakukan uji katalase. Uji ini dilakukan sebagai acuan untuk identifikasi bakteri yang berkarakteristik dapat memproduksi enzim katalase. Katalase yang diproduksi oleh bakteri ini dapat mengubah hidrogen peroksida menjadi gas hidrogen dan air. Hasil positif mengindikasikan adanya cytochrome oxidase (Quinn et al. 2006). Bakteri Streptococcus sp akan memberikan hasil katalase negatif yang ditandai dengan tidak terbentuknya gas hidrogen dan air. Hal ini menunjukkan salah satu karakteristik bakteri tersebut yaitu tidak mempunyai enzim cytochrome oxidase. Uji katalase positif pada Staphylococcus sp, dengan reaksi yang terjadi sebagai berikut:

H2O2 enzim katalase H2O(l) + O2(g)

Berdasarkan pada prosedur isolasi dan identifikasi bakteri yang telah dilaksanakan maka diperoleh sejumlah sampel dari ketiga daerah yang memenuhi kriteria sebagai Streptococcus sp penyebab mastitis subklinis. Jumlah sampel yang

36

memenuhi kriteria sifat-sifat Streptococcus sp tersebut dan presentasi kehadiran bakteri ini dalam sampel dari tiap daerah disajikan dalam Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3 Presentasi kehadiran Streptococcus sp pada susu dengan uji Katalase negatif

Asal sampel Jumlah sampel susu CMT positif Jumlah sampel mengandung Streptococcus sp Presentasi kehadiran Streptococcus sp Cisurupan 92 14 15.22%

Dokumen terkait