• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

H. Pengecekan Keabsahan Data

I. Tahap-tahap Penelitian

Tahap-tahap penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebagai berikut:

1. Potensi dan Masalah

Penelitian dapat berangkat dari adanya potensi atau masalah.

Potensi adalah segala sesuatu yang bila didayagunakan akan memilki nilai tambah. Masalah ialah penyimpangan antara yang diharapkan dengan yang terjadi. Potensi dan Masalah yang dikemukakan dalam penelitian harus menunjukkan dengan data empirik.16

2. Mengumpulkan Informasi

Setelah potensi dan masalah dapat ditunjukkan secara faktual dan uptodate, maka selanjutnya perlu dikumpulkan berbagai informasi yang dapat digunakan sebagai bahan untuk perencanaan produk tertentu yang diharapkan dapat tersebut. Di sini diperlukan metode penelitian tersendiri. Metode apa yang akan digunakan untuk penelitian tergantung permaslahan dan ketelitian tujuan yang ingin dicapai.

______________

15Adnan Mahdi, Mujahidin, Panduan Penelitian Praktis untuk Menyusun Skripsi, Tesis, dan Disertasi…, hal. 142.

16Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D…, hal. 404.

49 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Komunitas Bur’am

1. Sejarah Singkat Komunitas Bur’am

Budaya Rapa’i Aceh Meusyuhu atau yang disingkat (Bur’am) adalah sebuah organisasi berbasis kebudayaan khususnya seni meurapa’i yang menitik beratkan program terhadap pelestarian, pendidikan dan pengembangan seni budaya Aceh khususnya Rapa’i.

Bur’am hanya memiliki ide dengn gaya pengembangan yang strategis tentang pelestarian, pengembangan dan pendidikan seni budaya Aceh.

Sebagaimana bentuk tanggung jawab program pelestarian, pendidikan kebudayaan serta melestarikan seni budaya. Sehingga, generasi muda kedepan agar sadar dan bangga akan kekayaan aset seni budaya yang dimilikinya, yang merupakan modal dasar untuk pengembangan karakter masyarakat Aceh (seni dan budaya).

Bur’am juga merupakan suatu tempat atau wadah para pemuda penggiat seni khususnya Rapa’i dan juga berfungsi sebagai tempat belajar dan menyampaikan ide dalam hal meurapa’i. Ini bertujuan untuk melatih teknik bermain Rapa’i sekaligus bertujuan untuk menyampaikan syiar dakwah melalui syair-syair yang dibawakan, sehingga dengan kegiatan demikian tidak hanya menjadi wadah untuk belajar seni melalui Rapa’i, namun juga untuk menjaga kekompakan dan kebersamaan generasi muda yang sangat diperlukan untuk terhindar dari kegiatan yang tidak diinginkan seperti ugal-ugalan dan berkeliaran malam yang dapat meresahkan diri mereka, keluarga dan lingkungan sekitar.

Selain itu juga komunitas Bur’am merupakan komunitas pemersatu para pemain Rapa’i yang tersebar di beberapa sanggar yang ada di Banda Aceh khususnya sebagai tempat dan pusat pemersatu bahkan juga tersebar di seluruh Aceh seperti Bur’am Bireun, Bur’am Pijay sebagai penyebaran untuk melestarikan Rapa’i bur’am. dan juga sebagai ajang penyambung ukhuwah sesama anggota yang tidak hanya memandang usia tapi saling menghargai antara sesama, meghormati yang lebih dewasa dan mengayomi yang lebih muda, sehingga dengan demikian terjalin silaturrahmi dengan memperkuat ukhuwah dan saling berbagi pengalaman.

2. Visi dan Misi Komunitas Bur’am

Membentuk generasi Aceh yang berkarakter, berbudaya, dan berintergritas tinggi. Peningkatan kualitas generasi muda Aceh dalam eksistensinya terhadap bentuk-bentuk kearifan lokal serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, sebagai bahan dasar pembentukan kepribadian dan karakteristik ke Aceh-an khususnya meurapa’i.

B. Nilai Pendidikan Islam dalam Hikayat Malem Diwa

Hikayat Malem Diwa memuat tentang nilai pendidikan Islam dengan cara berdakwah melalui media sabung ayam. Adapun syair Hikayat Malem Diwa sebagai berikut :

Lamputik jambe ie Lam bak gadeng

Putik jambe kleng eu dalem itam dum baja Eu da kadua ban nyoe…meukisah laen Keu teungku Malem hai dalem ulon calitra Eu da ka ma jih mate…di keureuto

Na geupeuwo hai adoe boh manok sukla Eu da ka majih mate…hai musang pajoh

Na tinggai hai adoe cit lhee boh saja

Eu da ka geu cok boh nyan…pasoe lam umpueng Ji peu karom hai adoe ngon manok dara na kira-kira…40 uroe

teungku sidroe hai dalem neujak pareksa eu da ka dua nyan kom…saboh yang ceh neu tueng keu bijeh bak masa lewah

bak bineh dara…eu da ka uroe limong…bak seuleusoh uroe siploh cut bang beuka teubleut mata

eu da nyang bule iku…bak si pangke bule ule beu cungke na saboh raga eu da ka manok geu me… u geulanggang geu peutunang hai dalem dengon aria eu da ka peulot manok…yub jamboe nyoe neubireng bak kamoe sambino jalak bak gata eu da meutuwah jalak.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Zulkifli bahwa pada akhir lirik teks aslinya, ketika orang sudah terpesona melihat ayam yang diberi nama oleh Malem Diwa yaitu bujang juara yang tak terkalahkan. Maka masyarakat bertanya-tanya apa resepnya? bagaimana cara latihannya?

bagaimana cara menjaganya dan segala macam. Hal tersebut dijadikan oleh Malem Diwa sebagai media dakwah beliau untuk mengajarkan Islam dengan menggunakan cara kearifan lokal setempat (local wisdom).

Beberapa cara yang dilakukan Malem Diwa dalam berdakwah menggunakan media ayam salah satunya apabila ingin dilatih ayamnya seperti bujang juara maka ada beberapa syarat yang harus dipatuhi, yaitu melakukan shalat 5 waktu yang tidak boleh ditinggalkan, selanjutnya pastikan anda mentadabburi Al-Qur’an dan mendekatkan diri kepada

Allah. Hal ini bertujuan setelah mendekatkan diri kepada ajaran Islam tidak kembali kedalam kemaksiatan.1

Sependapat dengan pernyatan diatas, Kaka Zafana mengatakan bahwa nilai pendidikan Islam bukan hanya terdapat di Hikayat Malem Diwa saja, tetapi semua kesenian di Aceh tidak terlepas dari pendidikan Islam didalamnya. Karena literasi sejarah mengatakan bahwasanya semua kesenian di Aceh digunakan oleh para pendahulu dulu sebagai jembatan/media dakwah dalam penyebaran agama Islam.2

Selaras dengan pendapat diatas bahwasannya seni yang merupakan jembatan/media penyebaran ajaran Islam di wilayah Aceh itu benar akan adanya, karena dapat dilihat dari proses penyebaran Islam di Aceh yang dibawakan oleh para pendahulu seperti tarian khas aceh yaitu seudati, dalam tarian seudati banyak ditemukan simbol-simbol tentang ajaran Islam baik itu yang disampaikan melaui ucapan, gerakan, dan lain sebagainya. Di samping itu juga seni sastra sudah mengakar dalam jiwa masyarakat Aceh melalui kitab-kitab yang dikarang oleh para ulama terdahulu, hikayat dan syair-syair atau nazam juga berpartisipasi dalam menyampaikan nilai-nilai atau pesan moral didalamnnya guna membangkitkan jiwa untuk menerima pesan baik yang disampaikan dan menolak pesan yang tidak baik agar terhindar dari hal-hal yang dilarang dalam ajaran islam.3

______________

1Hasil Wawancara Peneliti dengan Zoelkifli, Pendiri Komunitas Bur’am pada tanggal, 28 April 2021.

2 Hasil wawancara peneliti dengan Kaka Zafana, Pembina Komunitas Bur’am pada tanggal 28 April 2021.

3Hasil wawancara peneliti dengan Adi, Ketua Komunitas Bur’am pada tanggal 28 April 2021.

Jika melihat dari proses penyebaran agama Islam di pulau Jawa, Zukifli mengatakan juga bahwa masyarakat Jawa sudah lebih dahulu menganut agama Hindu dan Budha. Sudah berabad-abad lamanya sehingga mengakibatkan ajaran agama tersebut mengakar kuat dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat penduduk Jawa.

Hal ini kemudian membuat salah seorang dari walisongo yaitu Sunan Kalijaga berfikir bagaimana caranya agar orang Jawa bersedia berpindah keyakinan dan bersedia memeluk agama Islam tanpa paksaan dengan kesadaran mereka masing-masing. Tentu hal ini membutuhkan cara khusus agar agama Islam segera tersebar luas di pulau Jawa dengan lancar tanpa ada unsur paksaan.

Maka, Sunan Kalijaga dalam dakwahnya memilih metode dakwah yang berbeda dari rekannya sesama Wali yang cenderung menetap dan mendirikan sebuah pesantren untuk menyebarkan agama Islam di suatu tempat. Sunan Kalijaga lebih memilih berdakwah secara keliling dari satu desa ke desa dan dari daerah ke daerah lainnya. Karena model dakwahnya ini yang menyebabkan Sunan Kalijaga menjadi wali yang namanya lebih dikenal luas oleh masyarakat daripada wali-wali yang lain.

Untuk mendukung dakwahnya, maka Sunan Kalijaga memilih dakwah secara kultural (kebudayaan). Sunan Kalijaga beranggapan bahwa akan sangat sulit jika melakukan Islamisasi secara langsung dengan apa adanya. Hal ini dikarenakan pada saat itu masyarakat Jawa sangat kental dengan ajaran dan kebudayaan Hindu-Budha Nya.4 Maka ______________

4Hasil Wawancara Peneliti dengan Zoelkifli, Pendiri Komunitas Bur’am pada tanggal, 28 April 2021.

untuk menyiasati ini diperlukan suatu pendekatan secara halus dan sopan agar masyakat tidak menentang keras dan mau menerima secara sukarela ajaran agama Islam. Pendekatan kultural dianggap sangat efektif untuk dijadikan dasar dakwah kepada masyarakat Jawa pada saat itu.

Melalui pendekatan kebudayaan ini Sunan Kalijaga memadukan antara dakwahnya dengan seni budaya yang telah mengakar di masyarakat. misalnya lewat wayang kulit, tembang, gamelan, seni ukir, dan sastra yang sangat populer pada masa itu. Saat berdakwah lewat wayang kulit, Sunan Kalijaga menjadi seorang dalang. Saat Sunan Kalijaga mementaskan wayang kulitnya, banyak masyarakat yang berbondong-bondong menyaksikan pertunjukkan wayangnya.

Setiap melaksanakan pementasan wayang, Sunan Kalijaga tidak pernah meminta bayaran apapun. Sebagai gantinya, Sunan Kalijaga mengajak seluruh masyarakat yang hadir menonton pementasan wayang tersebut untuk bersyahadat bersama mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah. Inilah salah satu contoh peran Sunan Kalijaga dalam melakukan dakwah Islamisasi dengan pendekatan kebudayaan.5

Jadi, dalam menyikapi suatu kearifan lokal yang dimaksud dalam Hikayat ini tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja, melainkan harus dilihat dari berbagai sudut pandang agar tidak salah memaknai dan menarik kesimpulan. Apabila memaknai dari satu sudut pandang saja maka hal yang dilakukan oleh Malem Diwa dalam berdakwah melalui

______________

5Hasil Wawancara Peneliti dengan Zoelkifli, Pendiri Komunitas Bur’am pada tanggal, 28 April 2021.

media sabung ayam, maka hal itu merupakan suatu yang tidak dibenarkan dalam ajaran Islam.6

Ini yang menjadi permasalahan apabila melihat dari satu sudut pandang saja, tetapi apabila memaknai dari berbagai sudut pandang, maka proses Islamisasi yang dilakukan oleh Malem Diwa dengan mengikuti kearifan lokal setempat, yaitu melalui media sabung ayam hanya menjadi jembatan saja untuk tujuan yang sebenarnya yaitu menyebarkan agama Islam.

C. Bagaimana Komunitas Bur’am Mengaransemen Hikayat Malem Diwa ke dalam Musik Melalui Seni Budaya Rapa’i

Hikayat Malem Diwa merupakan bentuk karya sastra yang menceritakan tentang kisah seseorang atau cerita yang akan dibawakan dalam bentuk syair.7 Hikayat Malem Diwa dalam hal ini menceritakan tentang kisah Malem Diwa yang berdakwah menggunakan ayam yang diberi nama bujang juara. Hikayat Malem Diwa pada kisah bujang juara ini mempunyai pesan tersendiri, baik berupa pesan dari segi nilai pendidikan Islam, sosial dan lain sebagainya. Aceh memiliki ciri tersendiri dalam menyampaikan hikayat yang dibawakan oleh pembawa hikayat dengan berlagu di depan pendengar dan penonton terkadang mengalami perubahan. Hal itu dilakukan pembawa hikayat untuk menyesuaikan kondisi lingkungan, budaya atau selera penikmatnya.

______________

6Hasil wawancara peneliti dengan Kaka Zafana, Pembina Komunitas Bur’am pada tanggal 28 April 2021.

7Hasil Wawancara peneliti dengan Mumtazul Fikri anggota komunitas bur’am pada tanggal 8 Juni 2021

Upaya untuk melestarikan kembali budaya warisan nenek moyang yang hampir punah, seiring mengikuti perkembangan zaman.

Komunitas Bur’am dalam hal ini mencoba menghidupkan kembali hikayat atau syair-syair yang berisikan tentang ajaran agama Islam terutama hikayat Malem Diwa.8 Melihat di era serba teknologi saat ini kurangnya kepedulian masyarakat khususnya para pemuda pada hikayat, oleh sebab itu komunitas Bur’am berinisiatif untuk mengangkat kembali dengan cara penyampaian yang berbeda sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi yang mendengarkannya.9

Hal yang dilakukan komunitas Bur’am dalam menyampaikan isi hikayat Malem Diwa dengan metode ini yaitu menggabungkan instrumen musik yang berasal dari bunyi Rapa’i. Musik merupakan sarana komunikasi dan berfungsi sebagai sarana penyampaian pesan, hiburan dan lain-lain.10 Hal ini sejalan dengan didirikannya komunitas Bur’am yang berdedikasi terhadap seni budaya Aceh khususnya Rapa’i.

Rapa’i merupakan salah satu alat musik yang dimiliki oleh masyarakat di Aceh pada umumnya atau pesisir pada khususnya. Rapa’i merupakan suatu cabang seni yang hidup di tengah-tengah masyarakat dan membudaya disemua lapisan masyarakat Aceh. Ia merupakan bagian ______________

8Hasil Wawancara peneliti dengan Muhammad Ridha anggota komunitas bur’am pada tanggal 8 Juni 2021

9Hasil Wawancara peneliti dengan Rudi Asman anggota komunitas bur’am pada tanggal 8 Juni 2021

10Hasil Wawancara peneliti dengan Munawir anggota komunitas bur’am pada tanggal 15 Juni 2021

yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat baik secara filosofis maupun kultural.11

Apabila dikaji dari segi sejarah, masuknya alat musik Rapa’i ini telah ada seiring masuknya agama Islam di Aceh yang kemudian menjadi media dakwah dalam penyebaran agama Islam dimasa kerajaan Islam pertama di Nusantara yaitu Samudera Pasai yang dipimpin oleh raja Sultan Malikul Saleh di daerah Pasai (Pase, Aceh Utara), yang kemudian berkembang menjadi suatu kesenian yang mempunyai fungsi sosial budaya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.

Pada awalnya budaya alat musik Rapa’i dibawa oleh seorang Ulama besar Islam yaitu Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang meneruskan ajaran Islam dari seorang Ulama Ahli tasawuf dari Baghdad Irak yang bernama, Syekh Ahmad Rifa’I. Nama Rapa’i itu sendiri diambil dari seorang ulama besar di Arab yang mensyiarkan Islam melalui dakwahnya menggunakan alat musik berbentuk frame drum (perkusi sejenis rebana dengan satu permukaan yang dimainkan dengan cara dipukul atau ditepuk) yang kemudian disebar luaskan oleh para pengikutnya.

Bentuk alat musik Rapa’i di Aceh pada awalnya mirip seperti alat musik rebana dengan satu permukaan yang terbuat dari kayu yang dilapisi oleh kulit kambing, lembu, atau kerbau yang digunakan sebagai pengiring meudikeè (berdzikir) untuk menyemangati para pengikut ajaran Islam agar selalu ingat kepada Allah sebagai tuhan yang menguasai seluruh alam dan sebagai sosialisasi ajaran Islam pada masa ______________

11Hasil Wawancara peneliti dengan Maulizan jefrian anggota komunitas bur’am pada tanggal 15 Juni 2021

itu.12 Dalam salah satu syair sastra Aceh tentang Rapa’i dijelaskan sebagai berikut:

Di Langet manyang Bintang Meuble-Meuble Cahya ban Kande leumah u bumoi

Asai Rapa’i bak Syekh Abdul Kade Masa nyan lahe peutreun u bumoi Artinya: Dilangit tinggi bintang berbinar-binar

Cahaya seperti lilin memancar ke bumi Asal Rapa’i dari Syekh Abdul Kadir Inilah yang sah penciptanya lahir ke bumi

Dalam syair ini mengandung makna bahwa Rapa’i mempunyai peran yang sangat penting sebagai kesenian yang saat itu populer dimasy arakat sebagai media dakwah syiar Islam yang menerangi masyarakat Aceh ketika berada pada masa kebodohan menjadi masyarakat yang cerdas dan menjadikan sebuah bangsa yang gemilang dengan sinar Islam.13

Rapa’i berfungsi sebagai alat atau media dakwah dalam mensyiarkan ajaran Islam dengan membawakan kisah-kisah keagamaan dan menggugah para penonton dan pendengarnya karena syair-syair tersebut berisikan kisah-kisah keagamaan yang merupakan hal terpenting sebagai kebutuhan rohani bagi masyarakat.14

______________

12Hasil Wawancara peneliti dengan Ahmad Zaki anggota komunitas bur’am pada tanggal 15 Juni 2021

13 Hasil Wawancara peneliti dengan Fariz Maulana anggota komunitas bur’am pada tanggal 22 Juni 2021

14Hasil Wawancara peneliti dengan Aulia Kahfi anggota komunitas bur’am pada tanggal 22 Juni 2021

Komunitas Bur’am dalam hal ini mengaransemen hikayat Malem Diwa kedalam musik Rapa’i tidak menghilangkan keaslian lirik hikayat Malem Diwa itu sendiri, hanya saja menambahkan sentuhan baru dengan menggabungkan motif-motif pukulan dari beberapa jenis-jenis Rapa’i yang ada di daerah Aceh sehingga terciptalah sebuah instrumen musik ketika disampaikan kepada para pendengar agar bisa dinikmati oleh semua kalangan.

Adapun jenis motif-motif pukulan Rapa’i yang digunakan dalam komunitas Bur’am adalah sebagai berikut:

1. Rapa’i Geurimpheng

Rapa’i Geurimpheng merupakan salah satu motif pukulan yang sangat energik yang berasl dari Aceh Utara. Motif pukulan ini dipakai oleh komunitas Bur’am dalam mengaransemen hikayat Malem Diwa ke dalam musik Rapa’i. ini merupakan salah satu cara komunitas Bur’am agar motif pukulan tersebut tidak hilang dan terus mengakar pada generasi muda saat ini dan juga harapannya akan terus mengakar sampai pada generasi komunitas Bur’am selanjutnya.

Jenis Rapa’i ini hampir sama dengan Rapa’i puloet perbedaan yang paling terlihat pada cara bermain Rapa’i geurimpheng ini membuat atraksi sendiri dengan berpindah komposisi dengan irama lagu maupun merubah posisi badan dari duduk berlutut menghayun kedepan kebelakang yang disebut lapih (semacam likok pada seudati).15

______________

15Hasil Wawancara peneliti dengan Aulia Kahfi anggota komunitas bur’am pada tanggal 22 Juni 2021

2. Rapa’i Pasè

Kabupaten Aceh Utara dalam dunia kesenian Aceh juga dikenal sebagai salah satu daerah yang paling kaya dengan kesenian dan tradisionalnya yaitu Rapa’i Pase. Pase (Pasai) adalah sebuah daerah kawasan pesisir yang terdapat di Aceh Utara. Dalam sejarah kedatangan Islam di Indonesia Pase dikenal sebagai daerah pertama berkembangnya agama Islam di Aceh, yang kemudian dari Pase ini agama Islam tersiar ke berbagai daerah lainnya di nusantara dan Asia Tenggara. Oleh karenanya kesenian yang berkembang di daerah ini tidak dapat dipisahkan dengan unsur-unsur Islam. Seperti seni Rapa’i Pase, seni ini merupakan suatu jenis kesenian rakyat Pase yang sangat termasyhur di Aceh, karena Rapa’i tersebut tidak terdapat di daerah lain di Aceh bahkan di Indonesia kecuali di Pase Aceh Utara.16

Seni Rapa’i Pase mempunyai keistimewaan tersendiri daripada seni Rapa’i-Rapa’i lainnya yang ada di Aceh, baik bentuknya maupun cara menabuhkannya. Bingkai Rapa’i atau disebut dengan baloh terbuat dari akar pohon besar yang sangat tua berdiameter antara 70-80 cm dengan berat 40 sampai 60 kg dan memilki kedalaman sekitar 20-25 cm.

Cara menabuhnya sambil berdiri dengan memakai tiang gantungan.

Adapun motif pukulan yang dihasilkan dari Rapa’i Pase digunakan oleh komunitas Bur’am sebagai perpaduan untuk hal mengaransemen Hikayat Malem Diwa ke dalam musik Rapa’i, sehingga menghasilkan sebuah instrumen musik yang lebih berwarna dan tidak menghilangkan rasa tradisionalnya.

______________

16Hasil Wawancara peneliti dengan Muammar Riski anggota komunitas bur’am pada tanggal 22 Juni 2021.

3. Rapa’i Pulot

Rapa’i Pulot adalah jenis kesenian tradisional yang berasal dari permainan Rapa’i dengan menggunakan jenis Rapa’i sedang. Kesenian ini merupakan perpaduan dari rangkuman seni suara, seni tari, dan seni musik yang dimainkan dengan kecekatan dan ketangkasan.17 Seperti kebanyakan kesenian Aceh yang lainnya, seni Rapa’I Pulot juga dimulai dengan syair-syair yang berisikan salam pembuka oleh aneuk pulot sambil membuat gerakan tertentu sebagai tari pembuka. Kemudian disusul dengan gerakan “poh Acak” oleh ketiga kelompok pemain sehingga hal ini berjalan sambil di iringi syair-syair yang beriskan tentang ajaran Islam.18

Motif pukulan Rapa’i Pulot digunakan pada komunitas Bur’am untuk hal mengaransemen syair-syair yang berisikan tentang ajaran Islam, terutama pada Hikayat Malem Diwa ke dalam musik Rapa’i dikarenakan motif pukulan yang dihasilkan dari Rapa’i Pulot membutuhkan kecepatan tangan dan daya pikir yang kuat agar bunyi yang dihasilkan tidak megeluarkan suara yang berantakan, dan alasan juga dikarenakan agar motif pukulan ini juga tidak hilang dan masih dijaga oleh para generasinya terutama komunitas Bur’am.

4. Rapa’i Daboh

Rapa’i daboh atau yang dikenal dengan Rapa’i debus adalah sebuah kesenian rakyat Aceh sebagai bentuk sikap religius yang ______________

17 Hasil Wawancara peneliti dengan Rizal anggota komunitas bur’am pada tanggal 22 Juni 2021

18Hasil Wawancara peneliti dengan Fadhil Umam anggota komunitas bur’am pada tanggal 29 Juni 2021

mengandung unsur mistis, kesenian ini pada awalnya merupakan bentuk upacara keagamaan yang dilakukan oleh aliran tarekat sufi dari kelompok rifa’iyyah yang menyerupai atraksi bela diri dengan menguji ketahanan fisik seorang pemainnya dengan alat-alat senjata tajam seperti rencong (senjata khas Aceh), Pedang, pisau, dan lain sebagainya.

Filosofi dari Rapa’i dabus ini adalah bahwa semua unsur yang ada dimuka bumi ini tunduk kepada Allah sang maha pencipta, sehingga unsur-unsur tersebut seperti besi, api, angin akan tunduk kepada orang yang terus menerus bermunajat dan ingat kepada Nya.19 Motif pukulan Rapa’i daboh/debus juga digunakan oleh komunitas Bur’am dalam mengaransemen Hikayat Malem Diwa ke dalam musik Rapa’i, dikarenakan tempo yang diciptakan dari motif tersebut sesuai dengan syair pada hikayat Malem Diwa.

Metode-metode yang digunakan komunitas bur’am dalam mempelajari hasil aransemen musik hikayat Malem Diwa adalah sebagai berikut:

1. Metode Diskusi

Metode adalah suatu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Diskusi merupakan metode pembelajaran yang melibatkan dua orang peserta atau lebih untuk berinteraksi saling bertukar pendapat, dan atau saling mempertahankan pendapat dalam pemecahan masalah sehingga didapatkan kesepakatan diantara mereka.20 Metode diskusi digunakan dalam komunitas Bur’am ketika ingin ______________

19Hasil Wawancara peneliti dengan Alfahmi anggota komunitas bur’am pada tanggal 29 Juni 2021.

20Hasil Wawancara peneliti dengan Maulana anggota komunitas bur’am pada tanggal 29 Juni 2021.

Dokumen terkait