• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian berada di wilayah administratif Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi (Gambar 2). Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari-Juli 2014.

Gambar 2 Lokasi Penelitian

Sumber : -BPS Kabupaten Kerinci, Kerinci Dalam Angka 2013 (Peta Kabupaten Kerinci) -forumtataruang.blogspot.com (Peta Provinsi Jambi)

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi oleh wilayah administratif Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci, karena di wilayah tersebut terdapat peninggalan sejarah terbanyak dari Suku Kerinci.

Tahapan dan Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu, inventarisasi, analisis dan sintesis (Gambar 3).

4

Gambar 3 Tahapan penelitian

Inventarisasi

Tahap ini merupakan tahap pengumpulan data yang mencakup data kondisi umum, data aspek kesejarahan, data aspek sosial budaya dan data aspek pengelolaan. Pengumpulan data dilakukan dengan empat cara yaitu: survei lapang yang bertujuan untuk mengetahui kondisi fisik dan lingkungan elemen lanskap secara langsung, wawancara dengan ahli sejarah, penyebaran kuisioner terkait persepsi masyarakat dan persepsi pengunjung (Lampiran 1 dan 2), serta studi pustaka. Data elemen lanskap sejarah diperoleh berdasarkan data Benda Cagar Budaya yang sudah terdaftar di BP3 Jambi serta hasil wawancara dengan ahli sejarah dan masyarakat sekitar yang dianggap bernilai sejarah penting bagi Suku Kerinci. Jenis dan bentuk sumber data yang dikumpulkan pada tahap inventarisasi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis, Bentuk, dan Sumber Data

Jenis Data Bentuk Data Sumber Data

1. Kondisi Umum a) Letak geografis b) Hidrologi dan iklim c) Penduduk

d) Aksesibilitas dan sirkulasi

e) Tanah dan topografi

a) Peta kawasan, batas wilayah b) Sumber air, suhu udara rata-

rata, curah hujan c) Jumlah penduduk,

kepadatan penduduk d) Peta aksesibilitas menuju

Kerinci dan elemen lanskap e) Jenis tanah dan topografi

BPS Kabupaten Kerinci (Kerinci dalam angka 2013) Bappeda, Observasi lapang Bappeda Kota Sungai Penuh, BPS Kabupaten Kerinci Observasi lapang, BPS (Kerinci dalam angka 2013) BPS Kabupaten Kerinci, Bappeda Kota Sungai Penuh Lanskap Sejarah Suku Kerinci

Kondisi Umum: a. Letak geografis b. Hidrologi dan iklim c. Penduduk

d. Aksesibilitas dan sirkulasi e. Tanah dan topografi

Aspek Sejarah: a.Elemen dan lanskap sejarah b.Sejarah Suku Kerinci Aspek Sosial- Budaya: a.Aktivitas budaya b.Aktivitas ekonomi Pengelolaan a.Aspek legal b.Sistem pengelolaan dan pelestarian

Evaluasi Lanskap Sejarah Suku Kerinci 1. Analisis karakteristik lanskap sejarah Suku Kerinci

2. Penilaian lanskap sejarah dengan analisis nilai signifikansi lanskap sejarah 3. Analisis persepsi masyarakat sekitar kawasan dan pengunjung

4. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan tatanan lanskap sejarah

Rekomendasi Pengelolaan Lanskap Sejarah Suku Kerinci

Inventarisasi

Analisis

5 Tabel 1 Jenis, Bentuk, dan Sumber Data (Lanjutan)

Jenis Data Bentuk Data Sumber Data

2. Aspek Kesejarahan a) Elemen dan

lanskap sejarah b) Sejarah Suku

Kerinci

a) Filosofi, karakter elemen lanskap sejarah

b) Sejarah terbentuknya daerah dan perkembangan Suku Kerinci.

BP3 Jambi, Studi pustaka, Observasi lapang,

Wawancara dengan bapak Iskandar Zakaria, H Alimin DPT, Budhi P 3. Aspek Sosial Budaya a) Aktivitas budaya b) Aktivitas ekonomi

a) Jenis aktivitas budaya yang masih ada

b) Aktivitas ekonomi sosial masyarakat

c) Persepsi masyarakat sekitar d) Persepsi masyarakat luar

kawasan (pengunjung)

Wawancara, Studi pustaka Observasi lapang, Wawancara Wawancara, Kuisioner Observasi lapang, Kuisioner 4. Aspek Pengelolaan a) Peraturan (Aspek Legal/RTRW) b) Sistem pengelolaan dan pelestarian. a) Undang-undang, perda, peraturan pemerintah, surat keputusan

b) Sistem pengelolaan, langkah pelestariannya, intensitas waktu.

Studi pustaka, BP3 Jambi

Wawancara dengan Yefrizon SPd dari Disparbud Kota Sungai Penuh, BP3 Jambi, Ahli sejarah

Analisis

Pada tahap ini dilakukan analisis kondisi tapak serta karakter lanskap yang terbentuk pada elemen peninggalan-peninggalan sejarah Suku Kerinci. Penilaian dilakukan secara deskriptif, spasial dan juga menggunakan metode analisis SWOT. Tahap analisis dibagi menjadi 4 segmen yaitu :

1. Analisis karakteristik lanskap sejarah Suku Kerinci

Pada tahap ini, dilakukan analisis karakteristik lanskap sejarah Suku Kerinci berdasarkan informasi elemen yang didapatkan dari hasil inventarisasi dan kemudian di analisis sesuai periode sejarah kawasan.

2. Penilaian lanskap sejarah Suku Kerinci dengan analisis nilai signifikansi lanskap sejarah

Pada tahap analisis ini dilakukan penilaian keaslian dan keunikan menurut Harris dan Dines (1988) serta penilaian kondisi fisik dan lingkungan yang telah disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Kriteria penilaian dapat dilihat pada Tabel 2, 3 dan 4. Penilaian terhadap aspek tersebut dihitung dengan menggunakan metode skoring yang dikemukakan oleh Selamet (Selamet 1983 dalam Allindani 2007) dengan rumus interval kelas:

Interval Kelas (IK) =

Tinggi = SMi + 2IK + 1 sampai Sma

Sedang = SMi + IK + 1 sampai (SMi + 2 IK) Rendah = SMi sampai SMi + IK

Skor Maksimum (SMa) – Skor Minimum (SMi) Jumlah Kategori

6

Selanjutnya skor penilaian dijumlahkan dan hasil penilaian ketiga aspek tersebut menghasilkan sifat dari elemen-elemen lanskap sejarah yang menampilkan skor- skor dengan skala (Goodchild 1990) :

1. Skor 1 = tingkat keaslian/ keunikan rendah, lanskap sejarah mengalami banyak perubahan

2. Skor 2 = tingkat keaslian/ keunikan sedang, lanskap sejarah mengalami sedikit perubahan

3. Skor 3 = tingkat keaslian/keunikan tinggi, lanskap sejarah tidak mengalami perubahan

Tabel 2 Kriteria penilaian kondisi fisik dan lingkungan No

Kriteria Skor

1 (Rendah) 2 (Sedang) 3 (Tinggi)

1

Kondisi Fisik Kondisi lanskap/elemen dalam keadaan yang rusak (tidak terawat)

Kondisi

lanskap/elemen dalam keadaan baik (terawat baik)

Kondisi

lanskap/elemen dalam keadaan sangat baik (terawat sangat baik) 2 Kondisi Lingkungan Lingkungan sekitar tidak mendukung keberadaan lanskap/elemen sehingga dapat menghilangkan karakternya Lingkungan sekitar mendukung keberadaan lanskap/elemen namun karakter tidak terlihat menonjol Lingkungan sekitar dapat mendukung keberadaan lanskap/elemen dan memperkuat karakter.

Tabel 3 Kriteria penilaian keaslian No

Kriteria Skor

1 (Rendah) 2 (Sedang) 3 (Tinggi)

1 Penggunaan Lahan Mengalami perubahan penggunaan lahan > 50 % Mengalami perubahan penggunaan lahan 25-50 % Tidak mengalami perubahan penggunaan lahan atau berubah < 25 % 2 Elemen / Objek Lanskap Elemen lanskap mengalami perubahan karakter, struktur dan elemen. Tidak mewakili karakter dan gaya masa lalu.

Elemen lanskap mengalami perubahan karakter, struktur dan elemen, namun masih mewakili karakter dan gaya masa lalu.

Elemen lanskap tidak mengalami perubahan karakter, sruktur, dan elemen. Sangat mewakili karakter dan gaya masa lalu.

3

Aksesibilitas dan sirkulasi

Akses dan sirkulasi menuju elemen mengalami perubahan karakteristik

Akses dan sirkulasi menuju elemen mengalami perubahan, namun masih mempertahankan karakteristiknya

Akses dan sirkulasi menuju elemen tetap, relatif tidak mengalami perubahan dan

karakteristiknya masih asli

Sumber : diadaptasi dari Harris dan Dines (1988)

Informasi perubahan penggunaan lahan didapatkan dari hasil wawancara dengan ahli sejarah, data sekunder yang berasal dari foto, buku maupun internet serta peta penggunaan lahan. Sedangkan informasi mengenai perubahan karakter elemen lanskap sejarah serta perubahan aksesibilitas dan sirkulasi diperoleh setelah melakukan survei langsung di setiap elemen lanskap kemudian dilakukan wawancara dengan ahli sejarah untuk mengetahui kondisi dan karakter elemen

7 pada zaman dahulu. Dari hasil itu, kemudian elemen lanskap dapat dikelompokan berdasarkan skor baik rendah, sedang maupun tinggi. Hasil dari ketiga penilaian tersebut akan menghasilkan nilai signifikansi lanskap sejarah setiap elemen lanskap.

Tabel 4 Kriteria penilaian keunikan No

Kriteria Skor

1 (Rendah) 2 (Sedang) 3 (Tinggi)

1

Asosiasi Kesejarahan

Lanskap/ elemen tidak memiliki hubungan kesejarahan

Lanskap/elemen memiliki hubungan kesejarahan yang lemah

Lanskap/elemen memiliki hubungan kesejarahan yang kuat

2

Integritas Karakter, struktur dan fungsi elemen tidak menyatu dan tidak harmonis dengan lingkungan sekitarnya

Karakter, struktur dan fungsi elemen cukup menyatu dan harmonis dengan lingkungan sekitarnya

Karakter, struktur dan fungsi elemen menyatu dan harmonis dengan lingkungan sekitarnya

3

Kelangkaan Karakter dan struktur elemen bersifat umum dan dapat dijumpai di tempat lain dengan mudah serta tidak memiliki nilai sejarah

Karakter dan struktur elemen bersifat khas namun dapat dijumpai di tempat-tempat tertentu dan memiliki nilai sejarah.

Karakter dan struktur elemen bersifat khas dan jarang dijumpai di tempat- tempat lain dan memiliki nilai sejarah.

4

Kualitas Estetik

Karakter dan struktur elemen tidak memiliki estetika/gaya arsitektur yang dapat menunjukkan kekhasannya pada masa lalu

Karakter dan struktur elemen masih memiliki estetika/gaya arsitektur yang dapat menunjukkan kekhasannya pada masa lalu

Karakter dan struktur elemen memiliki estetika/gaya arsitektur yang khas pada hampir semua bagian , termasuk detail ornamennya. Sumber : diadaptasi dari Harris dan Dines (1988)

3. Analisis persepsi masyarakat sekitar kawasan dan pengunjung

Pada tahapan analisis ini, akan dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh nilai sejarah dan budaya terhadap masyarakat sekitar dan sebaliknya, yaitu pengaruh perkembangan daerah sekitar terhadap keberlanjutan peninggalan-peninggalan sejarah tersebut. Analisis ini juga untuk mengetahui persepsi masyarakat dan pengunjung terhadap pengelolaan lanskap sejarah serta sejarah Suku Kerinci dan peninggalannya.

4. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan tatanan lanskap sejarah.

Pada tahapan analisis ini, menggunakan metode analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat). Analisis SWOT ini biasanya digunakan untuk analisis manajemen perusahaan. Akan tetapi, dalam perkembangannya juga bisa dilakukan untuk menentukan alternatif strategi untuk mengetahui keberlanjutan lanskap sejarah. Analisis ini didasarkan pada hasil analisis-analisis sebelumnya. Unit SWOT dilihat dari keseluruhan lanskap sejarah Suku Kerinci. Menurut David (2005) langkah kerja dalam melakukan analisis SWOT, yaitu:

a. Identifikasi faktor internal dan faktor eksternal

Pada tahapan ini, dilakukan identifikasi faktor internal dan eksternal dengan cara mendaftarkan semua faktor untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi hubungan antar faktor.

8

b. Penilaian faktor internal dan eksternal

Pada tahap ini dilakukan penentuan tingkat kepentingan dan penentuan bobot dengan menggunakan skala 1-4, yaitu:

1. Nilai 1 Jika indikator faktor horizontal kurang penting daripada indikator vertikal,

2. Nilai 2 jika indikator faktor horizontal sama penting dengan indikator faktor vertikal,

3. Nilai 3 jika indikator faktor horizontal lebih penting daripada indikator faktor vertikal,

4. Nilai 4 jika indikator faktor horizontal sangat penting daripada indikator faktor vertikal.

Langkah selanjutnya adalah menentukan bobot akhir masing-masing variabel yang dapat ditentukan dengan menggunakan rumus (Kinnear dan Taylor 1991):

Dengan: αi =bobot variabel ke-1 xi =nilai variabel ke-1,

i = 1, 2 , 3,...n n = jumlah variabel.

c. Pembuatan matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE)

Menurut Rangkuti (1997), nilai peringkat pada faktor positif (kekuatan dan peluang) berbanding terbalik dengan faktor negatif (kelemahan dan ancaman). Pada faktor positif, nilai 4 berarti faktor tersebut memiliki tingkat kepentingan yang sangat penting, sedangkan faktor negatif dilakukan dengan cara sebaliknya. Nilai 1 berarti memiliki tingkat kepentingan sangat penting. Kemudian peringkat dan bobot dari masing-masing faktor harus dikalikan untuk memperoleh skor pembobotan. Hasil skor yang diperoleh dapat mengetahui posisi tapak studi terletak pada suatu kuadran yang menyatakan kekuatan dan kelemahannya melalui matriks internal-eksternal (IE). Matriks IE (Gambar 4) memiliki sembilan kuadran dan dapat dibagi menjadi tiga bagian yang telah disesuaikan dengan kebutuhan penelitian sebagai berikut:

1) Grow and build strategy (Kuadran I,II, dan IV)

Pada bagian ini, diperlukan strategi seperti pengembangan penelitian, sosialisasi/edukasi, pengembangan pengelolaan maupun pengembangan lanskap.

2) Hold and maintain strategy (Kuadran III, V dan VII)

Pada strategi ini berfokus pada pemeliharaan dan pengembangan pengelolaan lanskap yang sudah ada.

3) Harvest and divest strategy (Kuadran VI, VIII dan IX)

Fokus strategi ini adalah melakukan revitalisasi pengelolaan, serta pembenahan pengelolaan lanskap

9

Gambar 4 Formulir matriks IE d. Matriks SWOT

Faktor internal dan eksternal yang telah diidentifikasi sebelumnya dapat dimasukkan ke dalam matriks SWOT (Tabel 5). Matriks ini menggambarkan hubungan antara kekuatan dan kelemahan dengan peluang dan ancaman yang nantinya akan dihasillkan alternatif strategi manajemen lanskap.

Tabel 5 Matriks SWOT

Eksternal Internal

Opportunity(Peluang) Threats(Ancaman)

Strength (Kekuatan) Menggunakan kekuatan untuk

mengambil kesempatan yang ada (SO)

Menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang dihadapi(ST) Weakness

(Kelemahan)

Mendapatkan keuntungan dari kesempatan yang ada untuk mengatasi kelemahan-kelemahan (WO)

Meminimumkan kelemahan dan menghindari ancaman yang ada (WT)

Sumber : David (2005)

e. Pembuatan tabel peringkat alternatif strategi

Tahap terakhir dari metode analisis SWOT ini adalah penentuan prioritas yang dilakukan kepada beberapa alternatif strategi yang diperoleh dari matriks SWOT. Tahap ini dilakukan dengan cara menjumlahkan skor dari faktor-faktor penyusunnya. Strategi yang memiliki skor tertinggi maka strategi itulah yang akan dijadikan sebagai prioritas utama.

Hasil analisis ini akan mempengaruhi tindakan pelestarian yang akan diterapkan pada masing-masing elemen peninggalan sejarah, karena setiap elemen memiliki kondisi yang berbeda-beda. Terdapat enam perlakuan dalam upaya untuk melestarikan peninggalan lanskap sejarah yang dikemukakan oleh Harvey dan Buggey (Harvey dan Buggey 1988 dalam Hendry 2008) yang tersaji pada Tabel 6.

10

Tabel 6 Pendekatan dalam pelestarian lanskap sejarah (Harvey dan Buggey 1988)

No Pendekatan Definisi

1 Preservasi Mempertahankan tapak seperti apa adanya dan tidak diperkenankan adanya tindakan perbaikan dan perusakan pada obyek.

2 Konservasi Tindakan pelestarian untuk mencegah kerusakan lebih jauh dengan campur tangan secara aktif

3 Rehabilitasi Memperbaiki lanskap ke arah standar-standar modern tetapi tetap mempertahankan karakter sejarah

4 Restorasi Mengembalikan kondisi tapak seperti semula apa yang ada di tapak 5 Rekonstruksi Menciptakan kembali apa yang dahulunya ada di tapak tetapi

sekarang sudah tidak ada lagi

6 Rekonstitusi Mengembalikan lanskap pada suatu periode, skala, penggunaan yang sesuai

Sintesis

Pada tahap ini merupakan penarikan kesimpulan dari analisis yang telah dilakukan untuk mendapatkan solusi yang tepat diterapkan pada tapak. Tahap ini juga menyusun formulasi dari strategi yang telah digunakan dalam analisis SWOT sehingga evaluasi dari lanskap tersebut akan diketahui. Formulasi tersebut berupa usulan -usulan pelestarian dalam menangani dan mengembangkan potensi lanskap sejarah Suku Kerinci. Usulan-usulan tersebut dapat dijadikan rekomendasi dalam pengelolaan lanskap sejarah di Suku Kerinci di Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sejarah Perkembangan Suku Kerinci

Kelompok manusia pertama yang mendiami daerah Kerinci sudah ada sejak zaman prasejarah yang dikenal dengan nama Kecik Wong Gedang Wok, dengan bukti ditemukannya benda-benda purbakala seperti kapak batu, batu kaca serta batu-batu megalit yang tersebar di berbagai daerah. Peninggalan purbakala ini mewakili setiap periode zaman, yaitu zaman paleolithikum, mesolithikum, neolithikum dan zaman logam. Manusia Kecik Wok Gedang Wok pada zaman paleolithikum diperkirakan sudah ada sejak 750.000 SM sampai 10.000 SM. Pada zaman neolithikum datanglah suku bangsa Proto Melayu (Melayu Tua) dari Semenanjung Malaka pada tahun 4000 SM sampai 2000 SM yang menyebabkan terjadinya interaksi diantara kedua suku sehingga lahirlah nenek moyang orang Kerinci yang dikenal sebagai Suku Kerinci (Afanti 2007 dalam Hasibuan 2010).

Seiring dengan perkembangan keturunan, akhirnya nenek moyang Suku Kerinci menciptakan sebuah pusat-pusat permukiman yang biasanya berada di daerah-daerah yang subur. Permukiman ini akhirnya menyebar di seluruh pelosok Alam Kerinci. Menurut Idris dan Djakfar (2001) permukiman tersebut menciptakan suatu kelompok-kelompok kecil yang disebut dengan talang. Talang terdiri dari 5 sampai 10 rumah yang terletak di kawasan perladangan yang biasanya dihuni oleh satu keluarga/tumbi (Gambar 5). Akan tetapi jarak diantara tumbi inipun masih berjauhan dan komunikasi mereka masih bersifat terbatas.

11

Gambar 5 Talang

Sumber Gambar: Djakfar dan Idris 2001

Perkembangan jumlah anggota keluarga yang semakin banyak akhirnya mendorong terbentuknya Koto, yaitu kelompok permukiman yang terdiri dari 11 hingga 25 rumah (Gambar 6). Koto merupakan cikal bakal terbentuknya suatu kampung atau dusun karena semakin bertambahnya tumbi dan rumah-rumah baru. Dusun-dusun ini dikenal dengan nama dusun purba yang kemudian mengalami pemekaran menjadi dusun-dusun atau kampung yang saat ini dijumpai di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh. Nama-nama dusun didaerah ini pun banyak yang menggunakan kata Koto dan Talang sebagai nama awal dusun seperti, Desa Talang Kemuning, Desa Talang Lindung, Desa Koto Pandan, Desa Koto Tinggi dan sebagainya.

Gambar 6 Koto

Sumber Gambar: Djakfar dan Idris 2001

Memasuki zaman sejarah peninggalan sejarah Suku Kerinci, dimulai dengan ditemukannya catatan-catatan tertulis yang terdapat pada dinding batu, kulit kayu, tanduk kerbau dan lain sebagainya dengan bahasa aksara Incung.

12

Catatan tersebut menjelaskan tentang keadaan Suku Kerinci pada waktu itu yang telah memiliki sistem pemerintahan berdaulat yaitu pemerintahan Sugindo, pemerintahan Pamuncak, dan pemerintahan Depati Empat Delapan Helai Kain hingga masuknya agama Islam ke Kerinci. Sebelum masuknya agama Islam ke Kerinci, diperkirakan terlebih dahulu masyarakat Kerinci sudah memeluk agama Hindu dan Budha, namun tidak ada kepastian tahun kapan agama ini masuk ke Alam Kerinci. Selain itu, juga tidak ditemukan adanya bukti fisik dari peninggalan Hindu dan Budha saat ini. Sementara periode Islam diperkirakan ada setelah masuknya agama Islam ke Kerinci pada abad ke tujuh atau sembilan Masehi yang diperkirakan sama dengan masuknya Islam ke Indonesia.

Peninggalan Suku Kerinci pada zaman Islam berupa masjid-masjid Kuno dan makam nenek moyang yang rata-rata berarsitektur hampir sama yang saat ini bisa ditemukan tersebar di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh. Agama ini cepat tersebar karena tidak bertentangan dengan adat istiadat Suku Kerinci sehingga dikenal petitih adat yang masih berlaku hingga saat ini “Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” yang berarti adat bisa saja berubah karena kesalahan manusia namun syarak tidak boleh berubah dan agamalah yang akan meluruskannya.

Saat ini di Kota Sungai Penuh, Suku Kerinci sudah berbaur dengan pendatang yang dominan berasal dari Minangkabau yang datang untuk berdagang dan akhirnya menetap dan menjadi “orang Kerinci” sehingga terjadinya percampuran budaya antar suku, kecuali di Kecamatan Hamparan Rawang, Kumun Debai, Koto Baru dan Kecamatan Tanah Kampung yang secara umum masih merupakan masyarakat asli Suku Kerinci. Sedangkan di Kabupaten Kerinci, secara umum masih merupakan masyarakat asli Suku Kerinci, kecuali di Kecamatan Kayu Aro yang didominasi oleh imigran dari Pulau Jawa1. Hal ini bisa terlihat dari bahasa yang digunakan sehari-hari yang bukan merupakan bahasa Kerinci. Peta persebaran Suku Kerinci saat ini bisa dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Peta Persebaran Suku Kerinci

1

13

Sejarah Kawasan Alam Kerinci

Tempat bermukim Suku Kerinci, dahulunya dapat dikelompokan menjadi dua kelompok berdasarkan pembagian wilayah, yaitu wilayah Kerinci Tinggi dan wilayah Kerinci Rendah. Pengelompokan ini sudah dikenal sejak adanya pemerintahan adat Koying dan pemerintahan Sigindo. Wilayah Kerinci Tinggi berada di bagian barat pegunungan Bukit Barisan sedangkan wilayah Kerinci Rendah merupakan daerah-daerah yang letaknya lebih rendah dan berada di bagian timur pegunungan Bukit Barisan. Wilayah Kerinci Tinggi ditandai dengan ciri-ciri berada didaerah dataran tinggi serta terdapat banyak gunung api dan aliran sungai yang mengalir ke teluk „Wen‟ (Pantai Sumatera Bagian Timur). Wilayah ini saat ini termasuk kedalam daerah administrasi Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci yang saat ini dikenal juga dengan sebutan Alam Kerinci. Sedangkan wilayah Kerinci Rendah saat ini termasuk kedalam daerah administrasi Kabupaten Merangin (Jauhari dan Putra 2012). Peta wilayah Kerinci Tinggi dan Kerinci Rendah dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Wilayah Kerinci Tinggi dan Kerinci Rendah

14

Pada tahun 1903 hingga 1906 di zaman pemerintahan Hindia Belanda, wilayah Kerinci Tinggi dan Kerinci Rendah dipisahkan menjadi dua bagian. Menurut Djakfar dan Idris (2001) wilayah Kerinci Tinggi dimasukkan ke dalam wilayah Keresidenan Sumatera Barat sedangkan Kerinci Rendah dimasukkan kedalam Keresidenan Jambi yang baru dibentuk pada tahun 1906. Afdeeling Kerinci dibentuk setelah Belanda mengeluarkan Kerinci Tinggi dari Keresidenan Sumatera Barat serta mengeluarkan daerah Muara Siau dan Jangkat yang digabungkan dengan onderafdeeling Bangko dalam Keresidenan Jambi. Pada tahun 1908 Afdeeling Kerinci dimasukkan kembali ke Keresidenan Jambi hingga akhirnya pada tahun 1922-1957 dimasukkan kembali ke Keresidenan Sumatera Barat dengan menggabungkannya menjadi Afdeeling Zuid Beneden Landen (Pesisir Selatan).

Hingga awal kemerdekaan RI daerah Kerinci masih tergabung ke dalam Provinsi Sumatera Barat dalam Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci. Pada tahun 1958 barulah daerah Kerinci menjadi Kabupaten sendiri dengan bergabung dalam Provinsi Jambi. Setelah Kabupaten Kerinci diresmikan pada tanggal 10 Nopember 1958 maka Alam Kerinci yang diketahui masyarakat hingga saat ini hanya yang terdapat di daerah Kabupaten Kerinci saja. Padahal wilayah Kerinci dalam artian luas sebenarnya juga termasuk beberapa daerah di Kabupaten Bangko dan Merangin di Provinsi Jambi.

Dalam perkembangannya, pada tanggal 8 November 2008 Kabupaten Kerinci yang beribukota di Sungai Penuh dimekarkan menjadi dua daerah administrasi baru yaitu Kabupaten Kerinci dengan ibu kota Bukit Tengah dan Kota Sungai Penuh. Walaupun secara administrasi terpisah dan telah berdiri sendiri, akan tetapi secara akar sejarah, sosial dan budaya masyarakat Suku Kerinci yang mendiaminya masih merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Kondisi Umum Kawasan Letak Geografis dan Batas Wilayah

Peninggalan sejarah Suku Kerinci secara umum terdapat di wilayah yang dahulunya termasuk ke wilayah Alam Kerinci Tinggi yang saat ini dikenal sebagai Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci. Keduanya terletak di dataran tinggi puncak pegunungan Andalas (Bukit Barisan) yang membentang sepanjang gugus barat Pulau Sumatera. Secara astronomis terletak diantara 1040‟ LS sampai dengan 2026‟ LS dan diantara 101008‟ BT sampai dengan 101050‟BT. Kabupaten Kerinci mempunyai luas ± 3.808,50 Km2 yang berbatasan dengan Kabupaten Solok Selatan (Provinsi Sumatera Barat) di bagian utara; Kabupaten Merangin di bagian selatan; Kabupaten Bungo di bagian timur; serta Kabupaten Bengkulu Utara (Provinsi Bengkulu), Kabupaten Pesisir Selatan (Provinsi Sumatera Barat) dan Kota Sungai Penuh di bagian barat. Sedangkan Kota Sungai Penuh memiliki luas keseluruhan 391,50 km2 yang berbatasan dengan Kabupaten Kerinci di bagian utara, selatan dan timur sedangkan bagian barat berbatasan dengan

Dokumen terkait