• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. DASAR TEORI

B. Luka Bakar

Luka bakar merupakan kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan oleh kontak kulit dengan sumber yang sangat tinggi misalnya; api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi atau suhu yang sangat rendah (Moenadjat dalam Sumoza dkk., 2014).

1) Penyebab terjadinya luka bakar

a) Luka bakar suhu tinggi (thermal

burn) disebabkan oleh kobaran api, kontak dengan benda panas, uap yang mudah terbakar yang membakar dan menyebabkan kilatan atau ledakan, uap panas, atau cairan panas.

b) Luka bakar bahan kimia (chemical burn) disebabkan oleh agen-agen kimiawi yang dapat menyebabkan kerusakan dan kematian jaringan jika kontak dengan kulit. Tiga jenis agen kimiawi yaitu: asam, alkali dan senyawa-senyawa organik, menyebabkan sebagian besar luka bakar kimiawi.

c) Luka bakar sengatan listrik (electrical burn). Tingkat keparahan cedera akibat kontak dengan aliran listrik bergantung pada jenis aliran listrik

Gambar 2.3. Luka Bakar Sumber: dokumen pribadi

(searah DC atau bolak-balik (AC), voltase, area tubuh yang terpajan dan lamanya kontak (Thygerson, 2011).

d) Luka bakar radiasi (radiasi injury) luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe luka bakar radiasi ini sering disebabkan oleh penggunaan radio aktif untuk keperluan terapeutik dalam dunia kedokteran dan industri. Akibat terpapar sinar matahari yang terlalu lama juga dapat menyebabkan luka bakar radiasi (Moenadjat dalam Isrofah, 2013).

2) Klasifikasi Luka Bakar Menurut Kedalaman

Klasifikasi luka bakar menurut kedalamannya dibagi menjadi:

a) Luka bakar derajat I, kerusakan terjadi hanya pada lapisan epidermis dan biasanya tidak merasakan nyeri karena bagian ujung–ujung syaraf sensorik teriritasi, penyembuhannya terjadi secara spontan dalam waktu 5-10 hari (Brunicardi dalam Isrofah, 2013).

b) Luka bakar derajat II, kerusakan terjadi pada seluruh lapisan epidermis dan sebagai lapisan dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses eksudasi, terdapat pembentukan scar dan nyeri karena ujung-ujung syaraf sensorik teriritasi. Dasar luka berwarna merah atau pucat (Moenadjat dalam Isrofah, 2013). Luka bakar derajat II terbagi menjadi dua jenis yaitu:

Kerusakan akibat luka bakar mengenai bagian superficial dari dermis, organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea masih utuh, bula (sebuah jaringan yang tumbuh abnormal menonjol melingkar yang berisi cairan serosa berisi dermis) mungkin tidak terbentuk beberapa jam setelah cedera, dan luka bakar pada mulanya tampak seperti luka bakar derajat I dan mungkin terdiagnosa sebagai derajat II superficial setelah 12-24 jam. Ketika jaringan granular terbentuk, luka tampak berwarna merah muda dan basah. Jika infeksi dicegah maka penyembuhan akan terjadi secara spontan kurang dari 3 minggu.

2. Derajat II dalam (deep)

Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis, organ-organ kulit seperti folikel-folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea sebagian besar masih utuh. Juga dijumpai bula, akan tetapi permukaan luka biasanya tampak berwarna merah muda dan putih segera setelah terjadi cedera karena variasi suplai darah dermis (daerah yang berwarna putih mengindikasikan aliran darah yang sedikit atau tidak ada sama sekali, daerah yang berwarna merah muda mengindikasikan masih ada beberapa aliran darah). Jika infeksi dicegah, luka bakar akan sembuh dalam 3-9 minggu (Brunicardi dalam Isrofah, 2013).

Kerusakan meliputi seluruh tebal dermis dermis dan lapisan lebih dalam, tidak dijumpai bula, apendises kulit rusak, kulit yang terbakar berwarna putih dan pucat. Terjadi koagulasi protein pada epidermis yang dikenal sebagai scar, tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, oleh karena ujung–ujung syaraf sensorik mengalami kerusakan atau kematian.

d) Luka bakar derajat IV (full thickness)

Kerusakan yang ditimbulkan telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya kerusakan yang luas. Kerusakan meliputi seluruh dermis, organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat mengalami kerusakan, kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat, terletak lebih rendah dibandingkan kulit sekitar, terjadi koagulasi protein pada epidemis dan dermis yang dikenal scar, tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensori karena ujung-ujung syaraf sensorik mengalami kerusakan dan kematian. Penyembuhannya terjadi lebih lama karena ada proses epitelisasi spontan dan dari dasar luka (Moenadjat dalam Isrofah, 2013).

3) Proses Penyembuhan Luka

Pembagian fase penyembuhan luka pada respon normal mamalia yang mengalami defek akibat kerusakan integritas kulit yang terjadi adalah fase inflamasi, fase proliferasi dan fase maturasi.

a. Fase inflamasi

Pada fase inflamasi terjadi proses hemostasis yang cepat dan dimulainya suatu siklus regenerasi jaringan (Lorenz dkk. dalam Hidayat, 2013). Fase inflamasi dimulai segera setelah cedera sampai hari ke-5 pasca cedera. Tujuan utama fase ini adalah hemostasis, hilangnya jaringan yang mati dan pencegahan kolonisasi maupun infeksi oleh agen mikrobial patogen (Gurtner dalam Hidayat, 2013). Komponen jaringan yang mengalami cedera, meliputi kolagen fibril dan faktor jaringan, akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik dan mencegah perdarahan lebih lanjut pada fase ini. Pembuluh darah yang cedera mengakibatkan termobilisasinya berbagai elemen darah ke lokasi luka. Agregasi platelet akan membentuk plak pada pembuluh darah yang cedera. Netrofil pada umumnya akan ditemukan pada 2 hari pertama dan berperan penting untuk memfagositosis jaringan mati dan mencegah infeksi. Keberadaan netrofil yang berkepanjangan merupakan penyebab utama terjadinya konversi dari luka akut menjadi luka kronis yang tak kunjung sembuh (Regan dkk. dalam Hidayat, 2013). Makrofag juga berperan utama memproduksi berbagai hormon pertanaman yang dibutuhkan dalam produksi matriks ekstraseluler oleh fibroblas dan pembentukan neovaskularisasi. Keberadaan makrofag oleh karenanya sangat penting dalam fase penyembuhan ini. Sel punca mesenkim akan bermigrasi ke luka, membentuk sel baru untuk regenerasi jaringan baik tulang, kartilago, jaringan fibrosa,

pembuluh darah, maupun jaringan lain. Fibroblas akan bermigrasi ke luka dan mulai berproliferasi menghasilkan matriks ekstraseluler. Sel endotel pembuluh darah di daerah sekitar luka akan berproliferasi membentuk kapiler baru untuk mencapai daerah luka. Pada akhir fase inflamasi, mulai terbentuk jaringan granulasi yang berwarna kemerahan, lunak dan granuler. Jaringan granulasi adalah suatu jaringan kaya vaskuler, berumur pendek, kaya fibroblas, kapiler dan sel radang tetapi tidak mengandung ujung saraf (Anderson dalam Hidayat, 2013).

b. Fase proliferasi (fibroplasi, regenerasi)

Fase proliferasi berlangsung mulai hari ke-4 hingga hari ke-21 pasca cedera. Keratinosit yang berada pada tepi luka sesungguhnya telah mulai bekerja beberapa jam pasca cedera, menginduksi terjadinya re-epitelialisasi. Pada fase ini matriks fibrin yang didominasi oleh platelet dan makrofag secara gradual digantikan oleh jaringan granular yang tersusun dari kumpulan fibroblas, makrofag dan sel endotel yang membentuk matriks ekstraseluler dan neovaskular. Faktor setempat seperti hormon pertanaman, sitokin, hormon, nutrisi, pH dan tekanan oksigen sekitar menjadi perantara dalam proses diferensiasi sel punca (Anderson dalam Hidayat, 2013). Keratinosit juga bermigrasi secara aktif karena terbentuknya filamen aktin di dalam sitoplasmakeratinosit. Keratinosit bermigrasi akibat interaksinya dengan protein sekretori seperti fibronektin, vitronektin dan kolagen tipe I melalui perantara

integrinspesifik di antara matriks temporer. Matriks temporer ini akan digantikan secara bertahap oleh jaringan granular yang kaya akan fibroblas, makrofag dan sel endotel. Sel tersebut akan membentuk matriks ekstraseluler dan pembuluh darah baru.

Jaringan granular umumnya mulai dibentuk pada hari ke-4 setelah cedera (Lorenz and Longaker dalam Hidayat, 2013). Fibroblas merupakan sel utama selama fase ini dimana ia menyediakan kerangka untuk migrasi keratinosit. Makrofag juga akan menghasilkan hormon pertanaman seperti PDGF dan TGF-β yang akan menginduksi fibroblas untuk berproliferasi, migrasi dan membentuk matriks ekstraseluler. Sel endotel akan membentuk pembuluh darah baru dengan bantuan protein sekretori VEGF, FGFdan TSP-1. Pembentukan pembuluh darah baru dan jaringan granulasi merupakan tanda penting fase proliferasi karena ketiadaannya pembuluh darah baru dan atau jaringan granular merupakan tanda dari gangguan penyembuhan luka. Setelah kolagen mulai menggantikan matriks temporer, fase proliferasi mulai berhenti dan fase remodeling mulai berjalan. Hal yang menarik dari fase proliferasi ini adalah bahwa pada suatu titik tertentu, seluruh proses yang telah dijabarkan di atas harus dihentikan. Fibroblas akan segera menghilang segera setelah matriks kolagen mengisi rongga (kavitas) luka dan pembentukan neovaskular akan menurun melalui proses apoptosis. Kegagalan regulasi pada tahap inilah yang hingga saat ini dianggap sebagai penyebab terjadinya

kelainan fibrosis seperti jaringan parut hipertrofik (Gurtner dalam Hidayat, 2013).

c. Fase maturasi (remodeling)

Fase ini, jaringan baru yang terbentuk akan disusun sedemikian rupa seperti jaringan asalnya. Fase maturasi ini berlangsung mulai hari ke-21 hingga sekitar 1 tahun. Perubahan yang terjadi adalah penurunan kepadatan sel dan vaskularisasi, pembuangan matriks temporer yang berlebihan dan penataan serat kolagen sepanjang garis luka untuk meningkatkan kekuatan jaringan baru. Fase akhir penyembuhan luka ini dapat berlangsung selama bertahun-tahun (Gurtner dalam Hidayat, 2013).

Kolagen yang berlebihan didegradasi oleh enzim kolagenase dan kemudian diserap. Fase ini berupa jaringan parut yang pucat, tipis, lemas dan mudah digerakkan dari dasarnya (Bisono dan Pusponegoro dalam Hidayat, 2013). Kekuatan jaringan parut bekas luka akan semakin meningkat akibat berubahnya tipe kolagen dan terjadinya cross linking jaringan kolagen. Pada akhir fase remodeling, jaringan baru hanya akan mencapai 70% kekuatan jaringan awal (Gurtner dalam Hidayat, 2013).

Dokumen terkait