• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

2.2. Luka pada Penderita Diabetes

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Luka

Luka merupakan suatu kerusakan atau gangguan terhadap struktur dan fungsi anatomi atau jaringan normal. Penyembuhan luka pada kondisi normal memiliki beberapa fase, yaitu fase akut (hemostatis, inflamasi), fase proliferatif (granulasi, epitalisasi) dan fase remodeling. Proses ini merupakan respon fisiologi seluler normal yang menghasilkan suatu integritas anatomi dan fungsional jaringan yang kembali normal (Lobmann, Schultz and Lehnert, 2005; Gabriel, et al., 2015; Velnar, Bailey and Smrkolj, 2009).

Fase hemostatis, ditandai dengan terjadinya konstriksi vaskuler dan pembentukan fibrin clot (fibrin beku). Bekuan dan jaringan ini akan melepaskan sitokin pro-inflamasi dan growth factors. Sel-sel inflamasi akan bermigrasi menuju daerah luka (kemotaksis) dan memicu fase inflamasi (Guo and DiPietro, 2010).

Fase inflamasi ditandai dengan terjadinya infiltrasi dari neutrofil, makrofag, dan limfosit. Neutrofil bertugas untuk membersihkan mikroba dan debris seluler dalam luka. Makrofag bertugas dalam melepaskan sitokin yang memicu terjadinya respon inflamasi, juga bertugas membersihkan sel-sel apoptosis yang melakukan perbaikan, mendorong terjadinya regenerasi jaringan, dan mendorong ke arah fase proliferasi. Limfosit yang berperan aktif adalah limfosit T, yang akan mengalami puncak dalam fase proliferasi lanjut atau remodeling awal (Guo and DiPietro, 2010).

Fase proliferasi ditandai dengan proliferasi epitel dan reepitelialisasi. Proses ini mencakup munculnya fibroblas dan sel-sel endotel dan terjadinya pertumbuhan kapiler, pembentukkan kolagen, dan jaringan granulasi, yang terjadi di dalam dermis, sedangkan pada dasar luka, fibroblas akan memproduksi kolagen, glikoaminoglikan dan proteoglikan, yaitu komponen dari matriks ekstraseluler (Guo and DiPietro, 2010).

Fase remodeling yang ditandai dengan kembali normalnya luka karena terjadi regresi kapiler. Fase ini tergolong fase yang paling kritis karena terdapat proses remodeling matriks ekstraseluler untuk mencapai suatu jaringan normal kembali (Guo and DiPietro, 2010).

2.2. Luka pada Penderita Diabetes

Ulkus kaki diabetikum adalah keadaan di mana ditemukannya suatu infeksi, tukak atau destruksi ke jaringan kulit paling dalam pada kaki penderita Diabetes Mellitus (DM). Infeksi yang terjadi dapat disebabkan karena adanya abnormalitas saraf dan adanya gangguan pembuluh darah arteri

24

perifer (Roza, Afriant dan Edward, 2015). Keadaan hiperglikemia secara terus menerus menyebabkan terjadinya hiperglisolia, yang merupakan keadaan sel yang banyak mengandung glukosa. Hiperglisolia kronik yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan homeostatis biokimiawi sel yang berpotensi terjadinya komplikasi kronik DM (Roza, Afriant dan Edward, 2015).

Ulkus kaki diabetikum terjadi karena adanya aksi simultan dari beberapa faktor penyebab. Faktor utama penyebab terjadinya ulkus adalah neuropati perifer dan iskemik dari gangguan vaskular perifer. Neuropati pada pasien diabetes dimanifestasikan pada saraf motorik, otonomik, dan sensorik (Pendsey, 2010). Neuropati motorik akan mempengaruhi otot-otot yang terdapat pada kaki. Neuropati sensorik dialami dengan hilangnya sensasi nyeri dan tekanan, juga propriosepsi atau sensasi dalam merasakan posisi kaki, sedangkan neuropati otonom ditandai dengan keringnya kulit, tidak berkeringat, meningkatnya pengisian kapiler sekunder yang dteruskan dengan timbulnya fisura, kerak kulit dan rentannya kaki terhadap trauma yang minimal (Singh, Armstrong and Lipsky, 2005). Secara iskemik, kaki penderita diabetes akan terasa lebih dingin, tidak teraba pulsasi, kulit yang tipis, halus dan tanpa rambut, dan tidak ada rest pain akibat neuropati (Edmonds, 2006).

Wagner-Meggit (1986) mengklasifikasikan kelas-kelas luka diabetik berdasarkan kedalaman luka yang dialami, yang dibagi dalam 6 kelas (grade). Grade 0 merupakan tingkatan luka di mana kulit penderita masih terlihat utuh. Grade 1 adalah luka yang tergolong masih dangkal, sedangkan grade 2 merupakan luka yang dalam hingga tendon, tulang maupun persendian. Grade 3 merupakan luka yang juga dalam dengan abses atau osteomielitis. Grade 4 ditandai dengan munculnya gangren sebagian, dan grade 5 ditandai dengan munculnya gangren pada keseluruhan bagian.

Gangguan penyembuhan ulkus kaki diabetik tersebut, menurut Tellechea et al. (2010) disebabkan karena empat faktor yaitu hiperglikemia yang berlangsung terus menerus, lingkungan pro-inflamasi, penyakit arteri perifer, serta neuropati perifer. Bagan pada Gambar 1. menjelaskan bahwa pada penderita DM, timbul gejala-gejala seperti disebutkan di atas. Gejala-gejala tersebut menyebabkan perubahan fungsi sel imun, respon inflamasi yang kurang baik, disfungsi sel endotelial, dan gangguan neovaskularisasi. Dalam hal ini, inflamasi dan neovaskularisasi merupakan hal penting dalam penyembuhan luka, namun, pada penderita DM, proses respon inflamasi akut dan angiogenesis terganggu, yang menyebabkan terjadinya penyembuhan luka abnormal. Penyembuhan luka yang terhambat dikarakterisasi dengan adanya peningkatan dari matriks metalloproteinase (MMP), penurunan dari

25

tissue inhibitors of metalloproteinase (TIMP), dan penurunan dari beberapa faktor pertumbuhan (Liu, et al., 2009).

Lobmann, Schultz and Lehnert (2005) menjelaskan hubungan gangguan fungsi sel, ketidak seimbangan inflamasi, protease, sitokin, dan faktor pertumbuhan. Pada ulkus kaki diabetik terjadi peningkatan apoptosis fibroblas, dan penurunan proliferasi sel fibroblas, dan reaksi inflamasi memanjang, serta adanya neutrofil granulosit dalam jumlah besar dalam luka. Neutrofil granulosit dan sel inflamantori mensekresi sitokin proinflamasi terutama TNF-α dan interleukin-1 β (IL-1β), di mana ketika dalam keadaan berlebih, kedua sitokin ini menstimulasi produksi yang tinggi dan abnormal dari matrix metaloproteinase (MMP) dan radikal bebas, yang merupakan bahan bakar utama dalam proses terjadinya inflamasi (Lobmann, Schultz and Lehnert, 2005; Gibson, et al., 2009). Radikal bebas, berfungsi sebagai pembunuh bakteri dan bertugas untuk membersihkan luka, namun, jika berlebihan, dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Gibson, et al., 2009).

Gambar 1. Gangguan penyembuhan luka pada penderita diabetes (Tellechea, et al., 2010).

Studi telah mengemukakan bahwa hiperglikemia sendiri memiliki efek yang merusak pada tahap penyembuhan luka dengan adanya formasi dari advance glycation end-products (AGEs) yang menginduksi produksi molekul inflamantori (TNF-α, IL-1β) dan gangguan pada sintesis kolagen (Tsourdi, et al., 2013). Advance glycation end-products (AGEs) merupakan modifikasi dari protein atau lipid yang secara non-enzimatik terglikosilasi dan teroksidasi

26

setelah adanya kontak dengan gula (aldosa). AGE merupakan molekul berfloresen, memproduksi ROS, berikatan spesifik dengan reseptor sel yang spesifik, dan membentuk cross-links (Goldin, et al., 2006).

Matriks metalloproteinase (MMP) merupakan famili dari enzim pendegradasi matriks ekstraseluler. MMP-9 merupakan biomarker pro-inflamasi, yang merupakan famili dari endoproteinase yang mengandung zinc, yang berimplikasi pada remodeling sel kronis, migrasi, adhesi dan apoptosis. MMP-9 diproduksi karena aktivasi dari sel inflamantori seperti neutrofil polimorfonuklear dan makrofag serta sel luka, seperti sel epitel, fibroblas, dan sel endotelial vaskuler (Sachwani, et al., 2016; Gibson, et al., 2009).

MMP merupakan protease utama yang terlibat dalam regulasi remodeling matriks ekstraseluler. MMP secara normal memiliki peran dalam penyembuhan luka seperti membersihkan matriks ekstraseluler yang rusak dan membersihkan bakteri pada tahap inflamasi, mendegradasi membran yang mengelilingi kapiler sehingga sel endotelial vaskuler dapat bermigrasi menuju luka dan menciptakan pembuluh darah baru pada luka (angiogenesis), serta mensintesis kontraksi parut matriks ekstraseluler, dan membentuk matriks ekstraseluler yang baru (Gibson, et al., 2009). Namun, walaupun MMP memiliki peranan penting dalam penyembuhan luka, ketika MMP (terutama MMP-9) ditemukan dalam kadar yang tinggi, dalam waktu yang lama dan pada tempat yang tidak tepat, protease ini akan mulai mendegradasi protein lain yang bukan substratnya. Penyimpangan sintesis dari MMP dan perubahan keseimbangan dari enzim/inhibitor menunjukkan adanya kekacauan dari matriks ekstraseluler. Penyimpangan ini menyebabkan kerusakan dari protein-protein seperti faktor pertumbuhan, dan protein matriks ekstraseluler yang berperan penting dalam penyembuhan luka dan akhirnya menghasilkan luka yang tidak sembuh (Muller, et al., 2008; Gibson, et al., 2009).

Luka kronis mungkin disebabkan karena terjadinya fase inflamasi yang berlebihan, ini didukung dengan adanya studi yang menyatakan bahwa MMP banyak ditemukan pada eksudat dari luka kronis dibandingkan luka akut (Liu, et al., 2009). Mekanisme peningkatan sekresi MMP-9 belum diketahui secara tepat, namun, dikaitkan dengan peningkatan inflamasi, hal itu terjadi karena MMP-9 diekspresikan kemungkinan besar oleh neutrofil dan makrofag, di mana kedua tipe sel ini penting dalam respon inflamasi. Peningkatan level MMP-9 meperlihatkan variasi luka kronis yang sulit disembuhkan, termasuk ulkus kaki diabetes (Dinh, et al., 2012; Liu, et al., 2009).

27 2.3. Piroksikam

Gambar 2. Struktur Molekul Piroksikam (Redasani, Shinde and Surana, 2014).

Piroksikam (4- hydroxy-2- methyl-N-2- pyridinyl- 2H- 1,2- benzothiazine-3 carboxamide 1,1-dioxide ; PX) merupakan salah satu obat NSAID dan berasal dari kelas oksikam. Piroksikam memiliki rumus molekul C15H13N3O4S, dan berbentuk kristalin solid berwarna putih (International CHEMTREC, 2015). Piroksikam dikenal sebagai analgesik dan obat anti-inflamasi dan secara luas diketahui sebagai treatment untuk penyakit rheumatic. Penelitian terbaru mengatakan bahwa Piroksikam juga dikenal sebagai kemoterapetik kanker (Park, et al., 2014; Dkhil, 2011; Mealey, 2013). Piroksikam bekerja secara tidak selektif pada enzim cyclooxygenase-1 (COX-1) dan COX-2. Siklooksigenase (COX) merupakan suatu enzim kunci proinflamasi yang mengonversi asam arakidonat menjadi prostaglandin. Interaksi antara piroksikam dengan enzim siklooksigenase, ditunjukkan dengan adanya ikatan hidrogen antara gugus karboksamida dari piroksikam dan residu Serin530 dan dan residu Tirosin355 dari enzim COX-1, sedangkan pada enzim COX-2 ditunjukkan dengan adanya ikatan hidrogen antara gugus benzotiazine dari piroksikam dengan residu Arginin120 dan Tirosin355 dari enzim. Dari analisis ini, interaksi-interaksi yang terbentuk memiliki binding energy yang sama, di mana menyatakan bahwa piroksikam merupakan obat yang tidak selektif terhadap enzim COX-1 maupun COX-2 (Campione, et al., 2015). Prostaglandin (PGE2) berkontribusi terhadap rasa sakit dan berbagai penyakit inflamasi (Chiong et al., 2013). Selain itu, PGE2 juga dapat meningkatkan regulasi dari MMP-9 dengan menginduksi ekspresi dan sekresi dari MMP-9 (Yen, Khayrullina, and Winstead, 2008). Piroksikam memiliki 2 nilai pKa yaitu 1,8 dan 5,2 tergantung dari gugus piridil dan enol, dan bergantung dari pH-nya, maka obat dapat berbentuk kationik, netral maupun anionik. Transport pasif dari piroksikam melewati kulit mamalia relatif rendah (Wahtoni, Pamudji dan Darijanto, 2012).

Piroksikam merupakan obat yang tergolong dalam BCS kelas II di mana memiliki kelarutan yang kecil, selain itu memiliki karakteristik polimorfisme.

Dokumen terkait