• Tidak ada hasil yang ditemukan

Maaf

Dalam dokumen Robert spaemann Cinta dan (1) (Halaman 67-72)

BAB IV. CINTA DAN PERSAHABATAN DALAM PERSPEKTIF ROBERT

4.5. Maaf

Menurut Spaemann, karena keterbatasam manusia dalam memberikan perhatian, seperti terwujud dalam ordo amoris, maka kepada orang-orang yang ternyata luput dari perhatian dan belas kasih, kita membutuhkan maaf. Kita merasa bersalah dan karenanya membutuhkan maaf dari orang-orang yang berada di luar rentang perhatian kita atau pun karena kita tidak mampu untuk membantu mereka. Memang kesadaran akan perlunya maaf terkait juga dengan kondisi keterjagaan kita terhadap kenyataan. Selama kita tidak terjaga atau tidak melihat kenyataan, kita tidak merasakan adanya yang salah dengan kondisi ini, bahwa ada orang-orang yang ternyata berada di luar ordo amoris kita. Namun, ketika kita tersadar dan melihat kenyataan, kita merasa bahwa kita ikut bersalah atas kondisi tersebut, bahwa kita tidak berdaya berhadapan dengan orang lain yang ternyata membutuhkan kita, dan kita tidak dapat berbuat sesuatu untuk membantu mereka. Spaemann menulis :

I call the forgiveness which we speak “ontological” because it has as its object our being, the fact that we are as we are. To use an expression taken from moral discourse fot this seems to be misleading or merely methaporical. Given that we did not ourselves, it would seem that this being the way we are is exactly that for which we ourselves cannot be held responsible. Where is addressee forgiveness? Had I made myself, I would have to think myself as creatot of myself without nature, and thats means without any of the “mitigating circumstances” which would make the forgiveness possible.” (Spaemann, Happines and Benevolence 189-190).

Dengan demikian, bagi Spaemann, maaf yang ia bicarakan adalah lebih bersifat ontologis daripada bersifat moral, karena yang menjadi objek maaf adalah adanya kita, fakta bahwa kita adalah seperti yang ada sekarang, dan bukan yang lain. Tetapi Spaemann pun menyadari adanya suatu masalah yang dihadapi oleh konsep tentang maaf tersebut, yaitu apakah memang kita bertanggung jawab dan karenanya bersalah atas adanya kita seperti ini, padahal adanya kita sekarang ini bisa saja lebih disebabkan berasal dari karakter-karakter dasar individual kita yang kita bawa sejak lahir. Karena itu, adanya kita seperti sekarang ini sebagian besar disebakan oleh kodrat kita. Namun Spaemann tidak menjawab permasalahan ini secara langsung, melainkan kembali pada gagasan dalam melihat kenyataan, bahwa ketika kita terjaga dan mampu melihat kenyataan, kita merasa malu, menyesal, dan bersalah atas keadaan kita sebelumnya. Terlepas dari apakah

memang pantas untuk merasa bersalah karena kondisi ‘tertidur’ tersebut, atau apakah sungguh kita bersalah atas kondisi tersebut

Dalam melihat kenyataan, kebaikan hati telah termuat maaf terhadap orang lain atas keterbatasan mereka, sehingga diri kita bagi mereka tidak atau menjadi kurang nyata dibandingkan diri mereka sendiri. Dalam melihat kenyataan orang lain, kita melihat orang lain dalam keadaan dasariahnya, dalam keterpusatannya terhadap dirinya sendiri, dan kita menerima keadaan mereka yang seperti itu. Melihat kenyataan orang lain sebagai nyata, kita belumlah melihat orang lain sebagai pihak yang telah berhasil mengatasi keterpusatan dari dirinya dan mampu melihat kenyataan, melainkan sebagai orang yang sama sekali terbatas, sama sekali tidak sempurna. Kita juga mampu melihat, mengakui, menerima mereka dalam keadaan seperti apa adanya mereka. Pada momen itu pula, menurut Spaemann, telah termuat tindakan maaf, bahwa kita telah memberikan maaf kepada mereka atas segala keterbatasan mereka. Kita membiarkan mereka menggunakan perspektif ordo amoris, di mana kita dapat menjadi tidak atau kurang nyata bagi mereka dibandingkan nyatanya pengalaman kita atas diri sendiri. Namun sekaligus juga kita berharap bahwa dalam keterbatasan tersebut, orang lain pun memiliki kebaikan hati.

Selanjutnya Spaemann membahas tentang maaf pada level yang lebih praktis, yaitu ketika kita berhadapan dengan orang lain yang bersalah atas tindakannya. Walaupun maaf pada level ontologi seolah tidak terkait dengan tindakan atau karakter individual, namun pada level berikunya, maaf tidak dapat dilepaskan dari tindakan dan pelaku. Maaf mengandaikan adanya pelaku dan tindakan yang salah. Ada keterikatan antara prilaku dan tindakan. Namun, maaf juga mengandaikan bahwa ikatan antara pelaku dan tindakan tersebut dapat dipatahkan. Juga diandaikan bahwa pelaku dapat memperbaiki dirinya dari karakter-karakter buruk yang menyebabkan dia melakukan tindakan yang salah.

Menurut Spaemann, perbaikan diri dari pelaku tersebut dimungkinkan bila pelaku terjaga, dapat melihat kenyataan. Ketika dia dapat melihat kenyataan, dia dapat melihat dirinya dari perspektif yang lain. Melihat bahwa dia bertanggung jawab dan bersalah atas kondisinya yang seperti itu. Dan melihat kenyataan ini

pun menyebabkan pelaku dapat mengambil jarak terhadap karakter-karakternya yang buruk, dan akhirnya dapat mengatasinya. Namun ini hanya mungkin dengan bantuan orang lain. Orang yang bersalah tergantung dan membutuhkan maaf dari orang lain. Maaf tersebut tidak dapat hanya berasal dari diri sendiri. Orang yang bersalah hanya dapat membiarkan dirinya dimaafkan dan menerima maaf. Tanggapan yang dapat dia berikan terhadap maaf adalah syukur, yang merupakan bentuk paling murni dari kebaikan hati.

Memang, menurut Spaemann, ada bahaya dari maaf, ketika seseorang ternyata memaafkan dirinya sendiri. Lewat maaf, orang tersebut ingin nampak bagi orang lain, dan bagi dirinya sendiri sebagai subjek yang rasional. Padahal, mungkin saja sebenarnya tidak ada yang perlu dimaafkan. Bagi Spaemann, maaf yang sesungguhnya mensyaratkan adanya luka yang nyata. Maaf memiliki karakter memperbaiki. Arti moral dari maaf terletak pada kapasitasnya untuk menciptakan. Maaf tidak sekedar pengakuan akan subjektivitas orang lain, melainkan memberikan kesempatan bagi dia untuk menjadi nyata. Ketika diberi maaf, orang ridak dapat lagi berkata, “Memang beginilah saya.” Lewat maaf termuat pengakuan bahwa,”Kamu bukanlah yang seperti itu.”7 Dengan demikian, lewat maaf orang dapat melihat dirinya sebagai nyata yang juga mengimplikasikan perbaikan diri.

Kemudian, Spaemann menyadari kesulitan yang dihadapi ketika kita berhadapan dengan orang yang sulit, yang sama sekali tidak sadar bahwa dia bersalah dan sama sekali tidak berniat untuk memperbaiki diri. Pertanyaannya adalah: “Apakah mungkin untuk memberikan maaf pada orang semacam itu?” Padahal maaf mengandaikan adanya hubungan timbal-balik, di mana orang yang bersalah pun mengharapkan adanya maaf.

Berhadapan dengan kondisi semacam ini, Spaemann menyarankan bahwa setidaknya kita menahan diri untuk membuat keputusan tentang orang tersebut seperti apa. Menahan diri membuat keputusan ini bukan berarti bahwa kita tidak memberikan penilaian terhadap perbuatan yang dia lakukan. Namun bahwa kita berusaha untuk tidak membuat penilaian, gambaran tentang dirinya berdasarkan

dari tindakan yang dilakukannya. Kita berusaha untuk tidak menghakimi orang tersebut. Bahkan, bagi Spaemann, orang yang dapat menunda untuk tidak membuat keputusan tentang seseorang yang telah berbuat kejahatan kepadanya, atau orang yang dia saksikan berbuat kejahatan adalah bentuk penegasan transendensinya terhadap realitas “kejahatan”. Juga, menunda membuat keputusan adalah bentuk minimal dari kebaikan hati yang tidak dapat direbut dari siapapun.

Selanjutnya, menurut Spaemann, ketika suatu tindakan atau kesalahan melibatkan dan memberikan dampak buruk terhadap orang lain, maaf tidak dapat hanya berasal dari diri sendiri, melainkan juga harus berasal dari orang yang dirugikan tersebut. Namun, ketika suatu tindakan tidak merugikan siapapun dan hanya merugikan diri sendiri, maka maaf cukuplah berasal dari diri sendiri. Jadi, memang kita dimungkinkan untuk memaafkan diri sendiri. Namun, pemikiran maaf terhadap diri sendiri ini tidak dapat terlepas dari gagasan tentang tanggung jawab atas diri sendiri. Bila kita tidak bertanggung jawab atas diri sendiri, maka tidak ada yang perlu dimaafkan, karena saya tidak bersalah terhadap siapapun. Ternyata tanggung jawab terhadap diri sendiri mengandaikan adanya subjek kepada siapa saya harus bertanggung jawab.

Bagi Spaemann, paham tentang tanggung jawab terhadap diri sendiri tidak dapat dipikirkan tanpa memahami manusia sebagai gambaran atau representasi dari ‘yang absolut’. Hal ini berarti memandang manusia sebagai tidak sekedar dirinya, melainkan bahwa manusia merupakan bagian, ‘milik’ dari sesuatu ‘yang absolut’ yang bersifat transenden. Dan kepada ‘yang absolut’ seseorang bertanggung jawab atas dirinya. Karena itulah, bagi Spaemann, gagasan tentang tanggung jawab atas diri sendiri adalah gagasan religius. Memang, ‘yang absolut’ dapat dipikirkan dengan berbagai cara, namun hanya ketika ‘yang absolut’ dipandang sebagai sesuatu yang bersifat personal dan sebagai subjek, maka tanggung jawab terhadapnya menjadi mungkin. Dan maaf bagi diri sendiri pun menjadi mungkin. Sebaliknya, menurut Spaemann, bila ‘yang absolut’ ini bersifat impersonal, maka gagasan tentang tanggung jawab menjadi tidak mungkin dan tidak perlu, karena kita tidak dapat dan tidak perlu bertanggung jawab terhadap

sesuatu yang tidak bersifat personal, bukan subjek. Namun, dengan demikian pula, maaf bagi diri sendiri juga menjadi tidak mungkin.

Dalam dokumen Robert spaemann Cinta dan (1) (Halaman 67-72)

Dokumen terkait