• Tidak ada hasil yang ditemukan

Robert spaemann Cinta dan (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Robert spaemann Cinta dan (1)"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

CINTA DAN PERSAHABATAN: SINTESIS ANTARA ETIKA

KEBAHAGIAAN DAN ETIKA KEWAJIBAN MENURUT

ROBERT SPAEMANN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana humaniora pada Program Studi Ilmu Filsafat

AGUNG NUGRAHA

0606091312

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

PROGRAM STUDI FILSAFAT

(2)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa

skripsi ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang

berlaku di Universitas Indonesia.

Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan

bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh

Universitas Indonesia kepada saya.

Jakarta, 17 Juli 2012

(3)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Agung Nugraha

NPM : 0606091312

(4)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi yang diajukan oleh :

Nama : Agung Nugraha

NPM : 0606091312

Program Studi : Ilmu Filsafat

Judul : Cinta dan Persahabatan: Sintesis antara Etika Kebahagiaan dan Etika Kewajiban Menurut Robert Spaemann

Ini telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora pada Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Ganang Dwi Kartika, M.Hum. (………)

Penguji : M. Fuad Abdillah, M.Hum. (…...……….)

Penguji : Dr. Naupal Asnawi (…...……….)

Ditetapkan di : Depok

Tanggal : 17 Juli 2012

oleh

Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

(5)

KATA PENGANTAR

Kehidupan tidak lain merupakan sebuah dinamika perasaan. Ada saatnya

kita merasa senang dan gembira, ada saatnya kita merasa sedih dan kecewa. Itulah

yang dialami penulis dalam kehidupan dunia pada umumnya dan kehidupan dunia

kampus pada khususnya. Fenomena yang ada terkadang membuat penulis ambigu

untuk melakukan apa yang seharusntya dilakukan. Namun karena keyakinan

penulis kepada ‘Yang Absolut’ dapat memecahkan sebuah keraguan yang dijawab

oleh proses dialog itu sendiri. Sembah sujud penulis kepada zat yang tidak pernah

luput dalam pengatura-Nya, Allah SWT. Berkat-Nya skripsi dan kuliah penulis

dapat terselesaikan. Sebagai makhluk yang saling membutuhkan, penulis

menghaturkan banyak terima kasih dan karena mereka, penulis dapat

merealisasikan segala hasil yang kini dapat diraih oleh penulis. Mereka adalah:

Kedua orang tua tercinta, penulis amat sangat berterimakasih dalam

memberikan bantuan serta dukungan material maupun moral. Tanpa bantuan dari

kedua orang tua, akan sangat mustahil bagi penulis menyelesaikan skripsi dan

kuliah yang telah dijalankan selama ini.

Ganang Dwi Kartika, M.Hum., selaku dosen pembimbing yang telah

mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam

menyelesaikan kuliah dan penyusunan skripsi ini. Bapak selalu mengingatkan

penulis akan koreksi, diskusi, maupun kritik yang amat membangun dalam

penulisan skripsi ini. Bapak sudah seperti keluarga sendiri yang tidak pernah

bosan membantu penulis.

Dr. Donny Gahral Adian, selaku selaku pembimbing akademis. Yang telah

meluangkan waktu kepada penulis dan selalu bersedia dilibatkan ketika penulis

meminta persetujuan surat menyurat, diskusi, serta masukan.

M. Fuad Abdillah, M.Hum., selaku dosen penguji. Yang telah memberikan

masukan yang sangat berharga bagi penulis, serta memberi pandangan-pandangan

(6)

Dr. Naupal Asnawi, selaku dosen penguji. Yang telah memberi masukan

yang amat berarti. Melalui diskusi-diskusi dengan beliau, penulis mendapatkan

inspirasi baru untuk mengkoreksi skripsi ini hingga selesai.

Para Pengajar yang memberikan kontribusi, baik secara langsung maupun

tidak langsung atas penyusunan skripsi ini. Pak Achyar yang memberikan tempat

bernaung pada masa-masa karantina, Pak Tommy yang telah memberikan

masukan atas keberlangsungan skripsi ini, Mbak Yayas yang selalu direpotkan

oleh penulis, Bu Embun, Bu Herminie, dan mereka yang luput dari penulisan

nama pada skripsi ini.

Sahabat seperjuangan pada masa kuliah; Indra sudaryanto, Andrew

Alfajrin, Bimo, Jeffery, Okta, Dam, Nia, dan sahabat filsafat 06’, yang jika

dituliskan masing-masing nama dari mereka, skripsi ini akan penuh dengan daftar

nama.

Sahabat sekaligus kekasih terbaik yang pernah dimiliki oleh penulis,

Anggie Putri Utamie, S.H. Penulis amat sangat berterima kasih karena berkat

dukungan maupun pengertian yang telah diberikan selama ini, skripsi ini maupun

studi kuliah akhirnya selesai meskipun tidak tepat pada waktunya. Kemudian

teman sepermainan penulis, baik yang aktual maupun yang tidak aktual; Sheila,

Nanda, Fahmi, Afit, Ida, Yanto, Eko, Ozy, Ratim vs Dhika, Randy, Tiddy, Emak,

Rendi, Andri, Indra Zao, Luthfi, dan lain-lain.

Kepada pihak-pihak yang tidak disebutkan yang telah membantu untuk

menyelesaikan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih banyak. Semoga

skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Jakarta, 17 Juli 2010

(7)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di

bawah ini :

Nama : Agung Nugraha

NPM : 0606091312

Program Studi : Ilmu Filsafat

Departemen : Filsafat

Fakultas : Ilmu Pengetahuan Budaya

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Cinta dan Peersahabatan: Sintesis antara Etika Kebahagiaan dan Etika Kewajiban

Menurut Robert Spaemann

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,

mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama

saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Depok, 17 Juli 2012

(8)

ABSTRAK

Nama

: Agung Nugraha

Program Studi : Ilmu Filsafat

Judul

: Cinta dan Persahabatan: Sintesis antara Etika Kebahagiaan dan Etika

Kewajiban Menurut Robert Spaemann

Dalam pemikiran etika modern,

eudaimonia

dipandang tidak lagi relevan sebagai

dasar dari moralitas atau bertindak etis. Hal ini terutama akibat kritik Kant terhadap

etika

eudaimonia

, bahwa motivasi akan kebahagiaan hanya akan merusak inti dari

moralitas. Bagi Kant, moralitas adalah persoalan kewajiban. Robert Spaemann

bermaksud merehabilitasi etika

eudaimonia

dengan berusaha mencari titik temu

antara kebahagiaan dan kewajiban. Pemisahan antara kebahagiaan dengan kewajiban

adalah kesalahan dalam memahami dasar dari moralitas. Kesalahan Kant adalah

memandang moralitas haruslah bebas dari segala kepentingan dan memandang

motivasi akan kebahagiaan bersifat egoistik. Kesalahan tersebut adalah konsekuensi

dari ontologi modern yang tidak dapat menampung konsep tentang transendensi diri.

Spaemann lantas beralih kepada konsep cinta, yang menurutnya mengubah

kepentingan diri, sebagai hasil dari transendensi diri makhluk rasional. Dalam cinta,

tidak ada lagi pertentangan antara motivasi akan kebahagiaan dan melakukan yang

wajib. Hal ini karena dalam cinta, yang menjadi motivasi dari tindakan adalah realitas

orang lain, dan dalam cinta pula seseorang memperoleh kebahagiaan atas realitas

orang lain.

Kata Kunci:

(9)

ABSTRACT

Name

: Agung Nugraha

Study Program : Philosophy

Title

: Love and Friendship: Synthesis between Eudaimonic Ethics and

Deontological Ethics According to Robert Spaemann

In modern ethics,

eudaimonia

is considered as irrelevance to become a ground for

morality or ethical actions. It is primarily an implication of Kant’s critique to ethics

of

eudaimonia

, that motif of happiness may corrupt the core of morality. According

to Kant, morality is all about obligation. Robert Spaemann attempts to rehabilitate

ethics of

eudaimonia

by seeking for a link between happiness and obligation. The

separation between happiness and obligation is a mistake in attempt to understand the

ground of morality. Kant makes a mistake by considering morality as free from any

interest and also considering that motif of happiness is egoistic. That mistake is a

consequence of modern ontology that unable to accommodate the concept of

self-transcendency. Thus Spaemann turns to concept of love, which he thinks can change

self-interest as the result from rational being’s self-transcendency. In love, there is no

opposition between motif of happiness and doing obligation. It is because, in love the

motif of an action is other’s reality; it is also in love that someone acquires happiness

from other’s reality.

Keywords:

(10)

DAFTAR ISI

BAB II. RIWAYAT HIDUP ROBERT SPAEMANN ………. 06

2.0. Pengantar ………. 06

2.1. Kehidupan Robert Spaemann ……….. 06

2.2. Latar Belakang Pendidikan dan Pemikiran yang Memengaruhi Robert

Spaemann ………. 08

2.3. Karya-karya Robert Spaemann ……… 09

2.4. Penutup ……….………... 13

BAB III. KRITIK ROBERT SPAEMANN TERHADAP ETIKA EUDAIMONIA

DAN ETIKA MODERN ………... 15

3.0. Pengantar ………. 15

3.1. Kritik Robert Spaemann terhadap Etika Eudaimonia ………. 16

3.1.1. Eudaimonisme ……… 16

3.1.2. Etika Kebahagiaan Menurut Plato ……….. 17

3.1.3. Etika Kebahagiaan Menurut Epikuros ……… 19

3.1.4. Etika Kebahagiaan Menurut Stoa ………... 22

3.1.5. Etika Kebahagiaan menurut Aristoteles ………. 24

3.2. Kritik Robert Spaemann terhadap Etika Modern ………. 26

3.2.1. Etika Kristiani ………. 26

3.2.2. Etika Kant……… 28

3.2.3. Utilitarisme ………. 29

3.2.4. Etika Diskursus ………... 33

(11)

BAB IV. CINTA DAN PERSAHABATAN DALAM PERSPEKTIF ROBERT

SPAEMANN ………. 40

4.1. Pengantar ……….. 40

4.2. Kebaikan Hati, Persahabatan, dan Melihat Kenyataan ……… 40

4.3.

Ordo Amoris

………. 45

4.4. Tanggung Jawab………... 49

4.5. Maaf ………. 56

4.6. Bagan ………... 61

4.6. Penutup ……… 62

BAB VI. PENUTUP ……….. 64

5.1. Tanggapan Kritis ……….. 64

5.2. Kesimpulan ……….. 66

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setidaknya ada dua pendekatan dasar dalam etika. Pendekatan yang

pertama adalah etika eudaimonia. Etika eudaimonia berangkat dari tesis bahwa tujuan manusia adalah mencapai kebahagiaan/eudaimonia. Karena itu etika adalah

ajaran tentang bagaimana mencapai kebahagiaan tersebut. Sedangkan pendekatan

yang kedua, dengan Kant sebagai pelopornya, memandang bahwa eudaimonia tidak lagi relevan bagi moralitas, bahkan dapat merusak dimensi moralitas itu

sendiri. Bagi Kant, moralitas adalah persoalan kewajiban, dan harus bebas dari

motivasi untuk mendapatkan kebahagiaan.

Sajak kritik Kant terhadap etika eudaimonia, pada wacana tentang kebahagiaan seolah menghilang dari pemikiran etika-etika selanjutnya. Padahal

etika Kant dengan paham kewajibannya bukannya tanpa masalah, agar seseorang

mau melakukan sesuatu, seharusnya sesuatu tersebut memiliki daya tarik yang

membuat orang tersebut bersedia untuk melakukannya. Dan Kant tidak dapat

menjawab pertanyaan mengapa orang bersedia untuk melakukan apa yang wajib.

Memang Kant mengatakan bahwa adanya kewajiban adalah fakta moral, yakni

kenyataan bahwa kita spontan sadar berkewajiban untuk bertindak moral. Jadi

bagi Kant, tidak mungkin untuk mempertanyakan mengapa manusia harus

bertindak moral atau melakukan apa yang wajib. Namun fakta moral ini

sebenarnya sudah berada di luar pengandaian-pengandaian teoritis Kant.1

Sesungguhnya ketidakmampuan Kant untuk menjawab pertanyaan

mengapa orang harus bertindak moral menunjuk pada persoalan lebih mendasar

pada etika Kant dan etika-etika selanjutnya yang menyingkirkan gagasan

teleologis tentang tujuan hakiki manusia. Gagasan teleologis tentang tujuan

hakiki manusia adalah dasar berpijak bagi filsafat, tanpa gagasan teleologis,

1 Bdk. Magniz-Suseno, Franz, “Perkembangan-Perkembnagan Baru dalam Etika”, Jurnal

(13)

filsafat dan etika seolah berjalan tanpa berpijak.2 Kesan seperti itu memang tidak dapat disangkal bila kita melihat pemikiran etika modern. Etika modern,

misalnya etika diskursus malah sibuk tentang persoalan prosedur.

Dengan latar belakang situasi pemikiran etika moderen seperti inilah

posisi Spaemann menjadi sangat penting. Dalam bukunya yang berjudul

Happiness and Benevolence, Spaemann berusaha menggeluti apa yang seharusnya menjadi sumber persoalan, yaitu pertentangan antara etika eudaimonia dan etika kewajiban. Persoalan pertentangan antara etika eudaimonia dan etika kewajiban akan dipecahkan melalui kacamata Spaemann agar pemikiran etika

modern tidak semakin jauh lagi menyimpang dari pokok persoalan, yakni apa

yang seharusnya menjadi fokus etika.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, rumusan masalah yang

menjadi pembahasan skripsi ini adalah:

1. Merumuskan kembali apa yang seharusnya menjadi tugas pokok dari

etika dalam pandangan Spaemann, yaitu bagaimana mempertemukan

antara ‘apa yang membahagiakanku’ dengan ‘apa yang wajib’, tentang

bagaimana mencapai hidup yang berhasil.

2. Usaha Spaemann dalam menyatukan ‘apa yang wajib’ dan ‘apa yang

membahagiakanku’ dirumuskan dengan cara memperlihatkan kritiknya

terhadap etika kewajiban dan etika kebahagiaan.

1.3. Pernyataan Tesis

Cinta yang direlasikan dengan kebaikan hati, merubah self interest menjadi bentuk transendensi diri manusia, di mana realitas orang lain dalam

teleologinya sendiri menjadi motif bagi tindakan.

(14)

1.4. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan skripsi ini adalah:

1. Memahami pemikiran Robert Spaemann tentang pertentangan antara etika

eudaimonia dengan etika kewajiban, dan solusi yang ditawarkan Spaemann sebagai jalan keluar dari pertentangan tersebut. Spaemann melihat bahwa

pada awalnya etika bersifat eudaimonistik, yaitu sebagai ajaran untuk

mencapai kebahagiaan, di mana Spaemann menerjemahkan kata

eudaimonia sebagai hidup yang berhasil dilihat secara keseluruhan. Namun hidup yang didasarkan pada pengejaran akan kebahagiaan cukup

bermasalah. Hal ini juga tidak terlepas dari kritik Kant bahwa suatu

tindakan yang dilakukan dengan motivasi untuk mendapatkan kebahagiaan

ataupun ganjaran di surga malah moralitas.

2. Menunjukkan kesalahan Kant dalam memahami moralitas. Kesalahan Kant

adalah memandang bahwa moralitas harus berarti bebas dari segala

kepentingan, sedangkan pengejaran atas kebahagiaan dipandang sebagai

sifat egoistis. Di sinilah kemudian Spaemann menunjuk pada fenomena

cinta yang menurutnya dapat merubah kepentingan diri (self-interest), menjadi bentuk transendensi diri manusia, dimana realita orang lain dalam

teleologinya sendiri menjadi tujuan bagi tindakan. Jadi dalam cinta, tidak

ada lagi kepentingan antara kebahagiaan dengan apa yang wajib.

1.5. Metode Penelitian

Proses pencarian soluisi pada etika merupakan suatu upaya agar manusia

dapat hidup lebih baik, yakni etika dipahami tentang bagaimana cara untuk

berbuat baik dan menghindari keburukan. Banyak pembicaraan tentang etika yang

tidak pernah menyinggung masalah yang sebenarnya karena mendasarkan diri

pada prinsip pembenaran yang sama sekali berbeda. Seseorang mendasarkan pada

(15)

lebih menaruh perhatian pada pembicaraan tentang prinsip pembenaran daripada

tentang keputusan yang sungguh-sungguh telah diadakan.

Skripsi ini mengacu pada buku Spaemann Happines and Benevolence. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif-analitis,

dimana saya berusaha memaparkan gagasan Spaemann kemudian memberi

tanggapan berdasarkan wawasan yang saya baca dari sumber lain.

1.6. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terbagi dalam lima bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang

terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, pernyataan tesis, tujuan penulisan,

metode penelitian dan sistematika penulisan.

Dalam bab dua, membahas riwayat hidup Spaemann, yang mencakup

bagaimana kehidupan Spaemann, latar belakang pendidikan yang disusul

pengaruh pemikiran, dan karya-karya Spaemann.

Dalam bab tiga, dipaparkan pembahasan tentang kritik Spaemann terhadap

etika eudaimonia. Mencakup pemikiran Plato, Epikuros, Stoa, dan Aristoteles

yang berusaha mencari isi dari pada eudaimonia. Di samping menunjukkan kelemahan dari setiap pemikir, Spaemann pada akhirnya menunjukkan pada

konsep tentang eudaimonia bersifat antinomi, yang tentu akan menyebabkan kegagalan etika eudaimonia. Kemudian dilanjutkan dengan kritik Spaemann terhadap etika modern, yaitu etika Kristiani, etika, Kant, utilitarisme, dan etika

diskursus. Di sini Spaemann pun menunjukkan kegagalan etika-etika tersebut

dalam memahami apa yang sesungguhnya menjadi pokok dari moralitas.

Setelah pada bab sebelumnya dibahas keterbatasan dari etika-etika

tersebut, selanjutnya dalam bab empat, saya membahas apa yang menjadi inti dari

pemikiran Spaemann sendiri. Dalam bab empat dibahas tentang kebaikan hati,

(16)

tentang cinta. Kemudian skripsi ini diakhiri dengan bab lima yang merupakan

penutup.

Dalam bab lima, yang merupakan bab penutup, saya membuat kesimpulan

atas seluruh pemaparan dalam skripsi ini, yang disusul dengan tanggapan kritis

(17)

BAB II

RIWAYAT HIDUP ROBERT SPAEMANN

2.0 Pengantar

Sebagai seorang filsuf abad ke-20 Robert Spaemann belum banyak

dikenal. Hal Ini terlihat pada karya-karyanya yang masih sangat sedikit ditulis

dalam bahasa Inggris, dan ini menjadi salah satu faktor penyebab Spaemann

kurang dikenal. Jika dibandingkan dengan Habermas, reputasi Spaemann memang

harus diakui beberapa peringkat di bawahnya. Meskipun demikian, tentu penting

untuk mengetahui siapa dan apa saja karya yang telah dihasilkan Spaemann,

mengingat di negaranya, ia termasuk ke dalam peringkat ke-9 pemikir-pemikir

Jerman yang paling berpengaruh kurun waktu terakhir ini, dan pemikirannya

dimasukkan ke dalam pemikiran yang mampu menyemangati perjalanan hidup

bangsanya.

Dalam bab ini akan dipaparkan informasi tentang Robert Spaemann, yang

terdiri dari; bagaimana kehidupan Robet Spaemann, latar belakang pendidikan

dan pemikiran yang mempengaruhi Robert Spaemann, kemudian diakhiri dengan

penutup.

2.1. Kehidupan Robert Spaemann

Robert Spaemann lahir di Berlin, pada 5 Mei 1927 dari pasangan Heinrich

Spaemann dan Ruth Krämer. Tak seorang pun meragukan bahwa kedua orang

tuanya adalah ateis-ateis radikal. Namun pada tahun 1930, akhirnya kedua orang

tua Spaemann memeluk agama Kristen Katolik. Tak lama setelah kematian

ibunya, Heinrich Spaemann, ayahnya, mengabdikan diri sebagai seorang imam

katolik sejak tahun 1942.

Di Jerman dewasa ini, di samping Spaemann sangat dikenal sebagai

(18)

seorang penulis. Perhatian utama Spaemann tertuju pada etika Kristen. Sebagai

seorang filsuf ia dikenal untuk permasalahan bioetika, ekologi, dan hak-hak

manusia. Meskipun karya-karyanya belum diterjemahkan secara luas ke dalam

berbagai bahasa, yang pada umumnya masih ditulis dalam bahasa tempat

kelahirannya, yakni bahasa Jerman, di kalangan internasional karya-karya

Spaemann memperoleh pujian dari Paus Benedict XVI.

Sebagai seorang professor, Spaemann ikut serta dalam Schülerkreis Paus Benedict, sebuah konferensi yang diselenggarakan atas inisiatif pribadi yang

berdiri sejak akhir tahun 1970. Di samping itu, kontribusinya sangat berarti dalam

hal perdebatan-perdebatan kontemporer di bidang filsafat dan teologi,

percakapan-percakapan terbuka antar kedua disiplin tersebut. Dia juga ikut serta dalam sebuah

dialog yang menuntutnya untuk bertumpu pada pandangan-pandangan klasik atau

pun kontemporer dan sering mengemukakan pandangan-pandangan pribadinya

yang penting dan orisinal. Sebagai contoh untuk itu adalah pertanyaan tentang

'Who is a person?' yang memperoleh bentuknya yang makin penting ke dalam pertanyaan-pertanyaan seperti: Are all human beings persons? Are there animals that can be considered persons? What does it mean to speak of personal identity and of the dignity of the person? Terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut jawaban Spaemann adalah bahwa “...Every human being ...”menurutnya, “... is a person and, therefore, 'has' his nature in freedom.” Agar dapat memahami orang tersebut, menurut Spaemann, “... we have to think about the relation between nature and freedom and avoid the reductive accounts of this relation prevalent in important strands of modern thought.” 1

Sebagai seorang filsuf, Spaemann mengembangkan sebuah kritik yang

menantang tentang modernitas analisis gabungan akan anti-modernisme modern

dan modernisme. Jika kita tidak ingin menghapuskan diri kita sebagai

pribadi-pribadi, menurut Spaeman, maka “... we need to find a way of understanding ourselves that evades the dialectic of modernity.” Dengan demikian, Spaemann mengingatkan para pembacanya akan pengetahuan yang serba cukup bukti (

1

(19)

evident), yakni wawasan-wawasan yang sebenarnya kita telah ketahui tetapi cenderung melupakannya.

2.2. Latar Belakang Pendidikan dan Pemikiran yang Memengaruhi Robert Spaemann

Robert Spaemann menjalani masa studinya di University of Münster. Di

universitas itulah ia menerima penganugerahan Habilitation. Habilitation (bahasa Latin habilis berarti ‘cukup baik’, ‘dihargai secara sosial’, ‘cakap’) adalah kualifikasi akademik tertinggi yang dapat dicapai seorang sarjana melalui

berbagai usahanya di beberapa negara Eropa dan Asia. Bertolak dari

penganugerahan tersebut, Spaemann diharuskan menulis sebuah karya tesis yang

sering disebut dengan istilah Habilitationsschrift atau Habilitation thesis. Karya tulis akademis tersebut dilakukan atas dasar kesarjanaan yang telah diperolehnya

dan di-review serta harus dipertahankan di hadapan komite akademis seperti yang biasa dilakukan untuk karya-karya penelitian disertasi.

Spaemann seorang profesor filsafat di beberapa universitas, di antaranya

Universitas Stuttgart (hingga 1968), Universitas Heidelberg (hingga 1972),

Universitas Munich sampai tiba masa pensiun baginya di tahun 1992. Di

Universitas Salzburg ia dipekerjakan sebagai profesor pengabdi yang tanpa

menerima pembayaran (honorar-professor). Dia dianugerahi kehormatan doktor (honorary doctorate) oleh Catholic University of Lublin di tahun 2012.

Pemikiran Robert Spaemann sangat dipengaruhi oleh beberapa filsuf, baik

yang hidup di masa Yunani maupun yang hidup di masa modern. Para filsuf itu

antara lain; Aristoteles, Plato, Stoa, Epikuros, Immanuel Kant, Thomas Aquinas,

Agustinus, Gottfried Wilhelm Leibniz, Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan

George Edward Moore. Namun demikian, ada dua filsuf yang sangat

mempengaruhi Robert Spaemann, yaitu Aristoteles dan Immanuel Kant.

Robert Spaemann dikategorikan sebagai Neo-Aristotelian dan konservatif.

Sudah lama etika menghindar dari pertanyaan yang paling mendasar: Mengapa

(20)

Spaemann mengindentifikasi kebaikan hati dan persahabatan pada konsep

Aristoteles, sebagai fenomena paling mendasar. Moralitas, bagi Kant yang selama

ini dianggap sebagai persoalan kewajiban semata, dapat diketahui secara intuitif

dengan pengalaman cinta.

Spaemann mengembangkan intuisi-intuisi dasar dengan berdialog pada

filsafat Yunani. Ia mengangkat kembali suatu gaya berpikir yang selama satu

setengah ribu tahun menjadi pengetahuan terdalam filsafat Barat: kaitan antara

kebahagiaan dan kontemplasi, antara kebaikan moral dan pemenuhan eksistensi.

Spaemann membawa etika keluar dari jalan buntu metafisika dan epistemologi

pasca Kant.

2.3. Karya-karya Robert Spaemann

Di antara sekian banyak karya yang telah dituliskannya, karya Spaemann

yang berjudul Glück und Wohlwollen (Happiness and Benevolence, 1989) dan Personen (Persons, 1996) diakui sebagai karya-karyanya yang paling fenomenal. Di dalam buku Happiness and Benevolence, Spaemann mengemukakan sebuah tesis bahwa kebahagiaan berasal dari kebaikan hati dan keinginan menolong.

Spaemann mempercayai bahwa keberadaan kita sebagai manusia diciptakan oleh

Tuhan sebagai “... as social beings to help one another find truth and meaning in an often confused and disordered world.” “... sebagai makhluk sosial untuk menolong orang lain menemukan kebenaran dan makna dalam sebuah dunia yang

sering membingungkan dan kacau.”2

Berikut ini disampaikan sedikit di antara publikasi-publikasi untuk

tema-tema politik yang pernah dilakukan, yakni: ”Reflexion und Spontaneität. Studien über Fénelon“ (1963); “Zur Kritik der politischen Utopie“ (1977); “Philosophische Essays“ (1983); “Grenzen. Zur ethischen Dimension des

2

(21)

Handelns“ (Aufsätze, 2001); “Das unsterbliche Gerücht. Die Frage nach Gott und die Täuschung der Moderne“(2007).

Dalam hal karya-karya dan publikasi-publikasi yang dilakukannya, sebuah

majalah Jerman berjudul Cicero: Magazin für politische Kultur pernah memublikasikan peringkat pemikir-pemikir Jerman yang masih hidup dan

dianggap paling penting berdasarkan banyaknya publikasi atas karya-karyanya

pada Selasa, 20 Oktober 2009, dengan mendudukkan Robert Spaemann di urutan

ke-9 setelah pemikir-pemikir berikut ini: Jürgen Habermas (peringkat ke-1), Peter

Sloterdijk (peringkat ke-2), Julian Nida-Rümelin (peringkat ke-3), Hermann

Lübbe (peringkat ke-4), Hans Albert (peringkat ke-5), Richard Davis Precht

(peringkat ke-6), Nobert Bolz (peringkat ke-7), Dieter Thomä (peringkat ke-8).

Di samping kategori filsafat, majalah ini membuat kategori-kategori pada

urutan peringkat reputasi seseorang berdasarkan klasifikasi sebagai berikut:

natural science, economics, history, culture, film production, comedy, dan writers. Klasifikasi urutan peringkat tersebut berdasarkan kemunculan masing-masing di

dalam 160 surat kabar Jerman dan majalah-majalah.

Keberadaan klasifikasi urutan peringkat bagi para pemikir Jerman tersebut

untuk mengetahui beberapa hal berikut ini: Siapa yang menduduki peran

terhormat sebagai pemberi semangat jaman (Zeitgeist), siapa yang memprovokasi dengan tesis-tesis apa saja, siapa yang terlibat dalam perdebatan, dengan siapa,

dan terdapat di forum apa.

Berikut ini adalah karya-karya Robert Spaemann yang dibagi ke dalam 3

kategori sebagai berikut:

1. Karya Buku

a. Dalam bahasa Inggris:

1) Basic Moral Concepts, trans. T.J. Armstrong. London: Routledge, 1990 (1982).

2) Essays in Anthropology: Variations on a Theme, trans. Guido De Graaff and James Mumford. Eugene, OR: Cascade Books, 2010 (1987).

(22)

4) Persons: The Difference between "Someone" and "Something", trans. Oliver O’Donovan. Oxford: Oxford University Press, 2006 (1996).

b. Dalam bahasa Jerman:

1) Rousseau – Mensch oder Bürger. Das Dilemma der Moderne. Klett-Cotta, Stuttgart 2008, ISBN 978-3-608-94245-3

2) Der letzte Gottesbeweis. Pattloch Verlag 2007, ISBN 978-3-629-02178-6

3) Das unsterbliche Gerücht. Die Frage nach Gott und der Aberglaube der Moderne. Klett-Cotta, Stuttgart 2005, ISBN 3-608-94452-4. Neuausgabe als: Natürliche Ziele. Klett-Cotta, Stuttgart 2005, ISBN

3-608-94121-5

4) Grenzen. Zur ethischen Dimension des Handelns. Klett-Cotta, Stuttgart 2001, ISBN 3-608-91027-1

5) Der Ursprung der Soziologie aus dem Geist der Restauration. Studien über Louise-Gabriel de Bonald. Kösel, München 1959; 2. A. Klett-Cotta, Stuttgart 1998, ISBN 3-608-91921-X

6) Töten oder sterben lassen? Worum es in der Euthanasiedebatte geht (mit Thomas Fuchs). Herder Verlag 1997

7) Personen. Versuche über den Unterschied zwischen „etwas“ und „jemand“. Klett-Cotta, Stuttgart 1996, ISBN 3-608-91813-2

8) Zur kirchlichen Erbsündenlehre. Stellungnahmen zu einer brennenden Frage (mit Albert Görres, Christoph Schönborn). (Sammlung Kriterien 87), Johannes Verlag Einsiedeln Freiburg 1994, ISBN 3-89411-303-0

9) Reflexion und Spontanität. Studien über Fénelon. Kohlhammer, Stuttgart 1963; 2. A. Klett-Cotta, Stuttgart 1990, ISBN 3-608-91334-3

10)Glück und Wohlwollen. Versuch über Ethik. Klett-Cotta, Stuttgart 1989, ISBN 3-608-91556-7

11)Das Natürliche und Vernünftige. Aufsätze zur Anthropologie. Piper Verlag (Serie Piper 702), München 1987, 3-492-10702-8

(23)

13)Moralische Grundbegriffe. Beck Verlag (Beck’sche Reihe 256), München 1982, ISBN 3-406-45442-9

14)Rousseau – Bürger ohne Vaterland. Von der Polis zur Natur. Piper Verlag, München 1980, ISBN 3-492-10579-3

15)Einsprüche. Christliche Reden. Johannes Verlag Einsiedeln Freiburg 1977, ISBN 3-265-10195-9

16)Die Frage Wozu? Geschichte und Wiederentdeckung des teleologischen Denkens (mit Reinhard Löw). Piper (Serie Piper 748), München 1981

17)Zur Kritik der politischen Utopie. Zehn Kapitel politischer Philosophie. Klett-Cotta, Stuttgart 1977, ISBN 3-12-910110-1

2. Karya Artikel

a. Dalam bahasa Inggris:

1) "Remarks on the Problem of Equality," Ethics 87 (1976-77), 363-69. 2) "Side-effects as a Moral Problem," trans. Frederick S. Gardiner,

Contemporary German Philosophy, vol. 2, ed. Darrel E. Christensen, Manfred Riedel, Robert Spaemann, Reiner Wiehl, Wolfgang Wieland

(University Park: Pennsylvania State University Press, 1983), 138-51.

3) "Remarks on the Ontology of 'Right' and 'Left,'" Graduate Faculty Philosophy Journal 10.1 (1984), 89-97.

4) "Is Every Human Being a Person?," trans. Richard Schenk, O.P., The Thomist 60 (1996), 463-74.

b Dalam bahasa Jerman

1) Hermann Lübbe (Hrsg.): Wozu Philosophie? Stellungnahmen eines Arbeitskreises. De Gruyter, Berlin 1978, ISBN 3-11-007513-X.

2) Robert Spaemann: Die christliche Religion und das Ende des modernen Bewusstseins. In: Internationale Katholische Zeitschrift Communio. Nr. 3. 1979, S. 256f.

(24)

Kritik der Tierversuche. Kübler Verlag, Lambertheim 1980, ISBN 3-921265-24-X, S. 27-31.

4) Peter Thomas Geach, Fernando Inciarte, Robert Spaemann:

Persönliche Verantwortung. Adamas, Köln 1982, ISBN 3-920007-78-6. 5) Robert Spaemann: Tierschutz und Menschenwürde. In: Ursula M.

Händel (Hrsg.): Tierschutz - Testfall unserer Menschlichkeit. Fischer Taschenbuchverlag GmbH, Frankfurt am Main 1984, ISBN

3-596-24265-7, S. 71–81.

6) Robert Spaemann, Wolfgang Welsch, Walther Christoph Zimmerli:

Zweckmässigkeit und menschliches Glück. Fränkischer Tag, Bamberg 1994, ISBN 3-928648-12-8.

7) Oswald Georg Bauer (Red.): Was heißt „wirklich“? Unsere Erkenntnis zwischen Wahrnehmung und Wissenschaft. Oreos, Waakirchen-Schaftlach 2000, ISBN 3-923657-54-4.

8) Walter Schweidler (Hrsg.): Menschenleben – Menschenwürde. Interdisziplinäres Symposium zur Bioethik. Lit, Münster 2003, ISBN 3-8258-6808-7.

9) Georg Muschalek (Hrsg.): Der Widerstand gegen die Alte Messe. Van Seth, Denkendorf 2007, ISBN 978-3-927057-16-6.

10) Robert Spaemann: Die schlechte Lehre vom guten Zweck. Der korrumpierende Kalkül hinter der Schein-Debatte. In: FAZ vom 23. Oktober 1999, Bilder und Zeiten I.

2.4. Penutup

Meskipun ringkas, dan oleh karenanya takkan mungkin membawa kita

pada pemahaman yang memadai mengenai pemikiran Robert Spaemann, namun

informasi yang telah penulis kemukakan dalam bab ini sekiranya cukup untuk

memperkenalkannya. Bagi penggiat filsafat di Indonesia, nama yang satu ini

barangkali relatif asing sehingga pembahasan mengenai pemikirannya diharapkan

(25)

hal etika. Arti penting pemikirannya Spaemann sendiri amat sayang untuk

diabaikan, karena dia berusaha membawa persoalan klasik yang sering kali

dilupakan dalam perdebatan etika ke dalam inti pembicaraan. Persoalan yang

dimaksud adalah pemisahan, bahkan pertentangan, antara kebahagiaan dan

kewajiban. Sementara sebagian filsuf gagal mengatasi pertentangan ini dan

sebagian lainnya justru memilih untuk mengabaikannya, Spaemann malah

berusaha mempertemukan keduanya, dan hingga titik tertentu dapat kita katakan

bahwa Spaemann telah berhasil. Oleh karena itu, pada bab-bab selanjutnya

penulis akan mengurai satu per satu konsep yang berkaitan dengan pemikiran

(26)

BAB III

KRITIK ROBERT SPAEMANN TERHADAP ETIKA EUDAIMONIA DAN ETIKA MODERN

3.0. Pengantar

Menurut Spaemann, pertama-tama etika dipahami sebagai ajaran untuk

mencapai hidup yang berhasil. Para filsuf Yunani memiliki kesepakatan bahwa

hidup manusia dapat berhasil bila manusia mencapai tujuannya. Dan tujuan pokok

hidup manusia adalah eudaimonia. Namun hanya sampai disinilah kesepakatan para filsuf tersebut. Etika dihadapkan pada pertanyaan berikutnya, yaitu “Apakah

yang dimaksud dengan eudaimonia?” dan “Bagaimana orang dapat mencapai eudaimonia?” para filsuf mengajukan jawaban yang berbeda-beda. Spaemann sendiri telah memiliki pendapat tentang bagaimana eudaimonia harus dipahami, yaitu sebagai hidup yang berhasil ketika terlihat secara keseluruhan. Spaemann

melihat bahwa eudaimonia hanya dapat bersifat formal, yaitu sebagai horizon yang mencakup seluruh tujuan-tujuan konkrit tindakan manusia. Spaemann

menulis :

We observe the phenomenon that the goals of our actions are relativized by the more comprehensive Why and Whither and What-for of these actions, even when this ultimate goal is understood as merely “unhindered progress from passion.” The acients named this horizon which encompasses all our concrete individual aims eudaimonia. We Spaeak here of “life’s turning out well.” Were there no such horizon, then the individual goals of our actions would be completely in commensurable with one another. We could not weigh one goal against the other in the any way (Spaemann, Happines and Benevolence 19).

Setiap usaha yang memberikan isi pada eudaimonia tidak akan berhasil. Spaemann akan menunjukkan kegagalan-kegagalan yang harus dialami oleh para

filsuf Yunani ketika berusaha memberikan isi pada eudaimonia, yang Spaemann hadapkan tentang pemahamannya terhadap eudaimonia sebagai hidup yang berhasil ketika dilihat secara keseluruhan. Dengan demikian, akan terlihat

kegagalan para filsuf Yunani, seperti Plato, Epikuros, Stoa, dan Aristoteles.

Kemudian juga akan dibahas tentang kritik Spaemann terhadap etika modern,

(27)

terhadap etika eudaimonia. Dan dilanjutkan dengan pemikiran Kant yang akhirnya sungguh mengeluarkan percakapan tentang eudaimonia dari wacana moralitas. Namun pemikiran Kant bukannya tanpa persoalan. Karena itu muncul

pemikiran tentang etika utilitarisme dan etika diskursus yang juga akan dibahas

pada bab ini.

3.1. Kritik Spaemann terhadap Etika Eudaimonia

3.1.1. Eudaimonisme

Konsep eudaimonia pertama kali dicetuskan oleh Aristoteles. Dalam

bukunya, Ethika Nikomakheia, Aristoteles memulai dengan menegaskan bahwa dalam setiap kegiatan manusia mengejar suatu tujuan. Dapat dikatakan dalam

setiap perbuatan, kita ingin mencapai suatu yang baik bagi kita. Sering kali kita

mencari suatu tujuan untuk mencapai suatu tujuan lagi. Dari sinilah maka timbul

pertanyaan, apakah ada juga tujuan yang dikejar karena dirinya sendiri dan bukan

karena sesuatu yang lain lagi; apakah ada kebaikan terakhir yang tidak dicari demi

sesuatu yang lain lagi.1 Menurut Aristoteles, semua orang akan menyetujui bahwa tujuan tertinggi dalam makna terakhir hidup manusia adalah kebahagiaan

(eudaimonia). Namun jika semua orang mudah menyepakati kebahagiaan sebagai tujuan terakhir manusia, itu belum memecahkan semua kesulitan, karena dengan

kebahagiaan mereka mereka mengerti banyak hal yang berbeda-beda. Ada yang

mengatakan kesenangan adalah kebahagiaan dan ada pula yang menganggap

status sosial atau nama baik sebagai kebahagiaan. Namun Aristoteles beranggapan

bahwa semua hal itu tidak bisa diterima sebagai tujuan terakhir.

Menurut Aristoteles, seseorang mencapai tujuan terakhir dengan

menjalankan fungsinya dengan baik. Jika manusia menjalankan fungsinya sebagai

manusia dengan baik, maka ia juga mencapai tujuan terakhirnya atau

kebahagiaan. Menurut Aristoteles, manusia mempunya fungsi yang khas dan

memiliki keunggulan dibanding makhluk lain, yakni terletak pada akal budi.

Karena itu manusia mencapai kebahagiaan dengan cara paling baik ketika

1

(28)

manusia melakukan kegiatan-kegiatan rasionalnya (theoria). Hal ini berarti bahwa kegiatan-kegiatan rasional itu harus dijalankan disertai dengan keutamaan. Bagi

Artstoteles ada dua macam keutamaan: keutamaan intelektual dan keutamaan

moral. Keutamaan intelektual menyempurnakan langsung dari rasio itu sendiri.

Dan pada keutamaan moral rasio menjalankan pilihan-pilihan yang perlu diadakan

dalam hidup sehari. Maka kebahagiaan yang lebih sesuai dengan kondisi manusia

terletak dalam praksis, partisipasi komunikatif dalam urusan bersama polis.

3.1.2. Etika Kebahagiaan Menurut Plato

Dalam pandangan Plato, orang dikatakan baik apabila dikuasai akal budi,

buruk apabila dikuasai oleh hawa nafsu. Karana ketika seseorang dikuasai hawa

nafsu dan emosi, seseorang dikuasai sesuatu yang diluar dirinya.2 Plato melihat bahwa hidup yang berhasil dapat dicapai bila manusia menjalankan hidup

berdasarkan akal budinya. Manusia yang hidup berdasarkan akal budinya dapat

mengetahui dan sekaligus akan memilih yang baik, dan menolak hal-hal yang

buruk. Dengan hidup berdasarkan akal budi, manusia akan mencapai ketenangan,

kesatuan dengan dirinya, dan pendekatan diri yang tenang. Kebalikan dari

manusia yang dikuasai oleh akal budi adalah mereka yang hidupnya dikuasai oleh

hawa nafsu. Mereka menjalani hidup dalam ketidakteraturan, terombang-ambing.

Dan hidup semacam itu berarti kesengsaraan. Hidup yang didasarkan pada akal

budi berkaitan erat dengan penguasaan diri. Namun Plato lebih menekankan unsur

akal budi daripada unsur penguasaan diri. Dapat saja penguasaan diri dipandang

sebagai syarat untuk hidup yang dikuasai akal budi. Ketika orang mampu

menguasai diri, maka akal budinya yang menguasai dan mengarahkan hidupnya.

Plato lebih memandang akal budilah yang memampukan manusia untuk

menguasai dirinya. Ketika seseorang tahu apa yang baik, maka pengetahuan itu

akan membuat seseorang memilih yang baik.

Di sini dapat muncul pertanyaan tentang bagaimanakah sesungguhnya

Plato memahami akal budi. Bagi Plato, akal budi tidaklah terbatas pada rasio.

2

(29)

Akal budi lebih merupakan kesatuan dari unsur-unsur batin manusia yang

meliputi rasio, kehendak, dan perasaan. Dengan demikian manusia yang dikuasai

oleh akal budi berarti adalah manusia yang utuh, integral. Di dalam dirinya tidak

ada lagi pertentangan-pertentangan antara unsur batin, rasio dan perasaan. Karena

itulah Plato dapat mengatakan bahwa manusia yang mengetahui apa yang baik,

tentulah memilih apa yang baik tersebut. Hal ini dikarenakan adanya keterkaitan

antara unsur rasio, kehendak, dan perasaan.

Seseorang berkat akal budinya dapat mengetahui yang baik. Pertama-tama,

yang baik ini berarti apa yang baik bagi diriku. Yang baik ini bersifat partikular.

Namun hal-hal yang baik bersifat partikular ini tidak berdiri sendiri, melainkan

berasal dari satu ide tertinggi, yaitu ide Sang Baik. Sang baik melingkupi seluruh hal-hal yang baik partikular. Untuk mengatakan tentang ‘yang baik’, Plato

menggunakan dua istilah, yaitu kalon dan agathon. Kalon adalah yang baik universal, atau “yang indah”, sedangkan agathon berarti yang baik partikular, atau yang baik bagiku.

Menurut Plato dengan mengetahui yang baik bagiku, manusia sampai pada

keutamaan. Dan ketika manusia mengetahui atau lebih tepat memandang Sang Baik, pada saat itulah manusia mencapai kebahagiaan/eudaimonia. Memandang Sang Baik terjadi dalam theoria atau kontemplasi. Puncak dari etika menurut Plato adalah kesatuan antara kalon dan agathon, antara keutamaan (yang baik bagiku) dan kebahagiaan (dalam memandang Sang Baik), menjadi kalonkagathon.

Spaemann berpendapat bahwa Plato sudah melihat adanya dua unsur yang

dapat saling bertentangan, yang nyata tercermin dalam sejarah pemikiran etika,

yaitu antara keutamaan dan kebahagiaan. Dan Plato sudah berusaha untuk

mempertemukan kedua unsur tersebut, yaitu persatuan antara kalon dan agathon, kalonkagathon.3 Pemahaman Spaemann sesungguhnya dapat dimengerti sebagai

3

(30)

upaya untuk mengaktualisasikan Plato, menemukan kembali persatuan antara

yang baik bagiku dan Sang Baik.4

3.1.3. Etika Kebahagiaan Menurut Epikuros

Epikuros melihat, setiap manusia dalam kodratnya selalu mencari

kenikmatan. Namun kesenangan yang dimaksudkan Epikuros tidak sekedar

kenikmatan dalam tahap badani, kenikmatan adalah suatu gejala psikis yang

merupakan perluasan dari kesenangan badani. Ia juga tidak membatasi

kenikmatan pada pada kesenangan aktual saja. Dalam menilai kenikmatan,

menurut Epikuros kita harus memandang kehidupan sebagai keseluruhan,

termasuk juga masa lampau dan masa depan.5

Jawaban terhadap hedonisme yang diberikan oleh Epikuros adalah salah

satu jawaban terhadap pertanyaan tentang apa yang menjadi isi bagi eudaimonia. Terhadap pertanyaan tentang apa yang menjadi isi bagi eudaimonia, Epikurus

menjawab bahwa yang menjadi tujuan manusia adalah kenikmatan. Jawaban ini

berangkat dari hasil pengamatan bahwa ternyata sikap makhluk hidup secara

kodrat bergerak untuk mencari kenikmatan. Namun pada manusia, kenikmatan

yang dimaksud oleh Epikuros lebih merupakan kenikmatan psikologis, yaitu

perasaan tenang, tak terganggu, damai. Hakikat nikmat terdiri dalam ketenteraman

jiwa yang tenang, yang tidak dapat dikejutkan dan dibingungkan. Orang yang

batinnya tenang, damai adalah orang yang hidupnya berhasil, karena orang

tersebut bukan hanya memiliki apa yang dia yakini layak untuk diinginkan, tapi

memiliki apa yang memang sesungguhnya dia inginkan.6

Dalam ajaran Epikuros, Spaemann menemukan adanya beberapa

kelemahan, yang bahkan pada akhirnya Epikuros sendiri mengakui bahwa

etikanya tidak memadai. Kritik pertama dari Spaemann adalah tentang klaim

hedonisme bahwa motif dasar dari tindakan setiap orang adalah kenikmatan

4 Magnis-Suseno, Franz, Kewajiban dan Kebahagiaan. Percobaan Robert Spaemaan

untuk kembali ke dasar Etika, dalam Atma nan Jaya, 1994, no.3, hal.1-17. 5

Bertens, K.,Op.Cit., hal. 237. 6

(31)

pribadi. Bila memang demikian, apakah arti dari tindakan para hedonis yang

mengajarkan kepada orang lain tentang seni hidup? Apakah mereka mengajar

demi kepuasan diri mereka sendiri, ataukah agar orang lain juga dapat bahagia

seperti mereka? bila yang benar adalah alternatif pertama, maka orang perlu

curiga tehadap ajaran mereka, sebab di sini orang lain dijadikan sarana oleh kaum

hedonis untuk mencapai nikmat. Bisa jadi mereka mengajarkan itu karena

ketidakmampuan mereka untuk mencapai kebahagiaan yang berasal dari hal-hal

lain, misalnya cinta, persahabatan, pengorbanan bagi orang yang dicintai. Dengan

kata lain, mereka tidak senang bila ada orang lain yang lebih bahagia dari mereka

sehingga mereka mengajarkan bahwa kebahagiaan hanya terletak pada

kinikmatan. Sedangkan bila alternatif kedua yang benar, bahwa mereka

melakukan itu agar orang lain juga dapat berbahagia, berarti sudah terdapat

kontradiksi dengan ajaran mereka sendiri. Mereka mengajarkan bahwa motif

dasar orang lain adalah nikmat, sedangkan mereka mengajarkan itu demi

kebahagiaan orang lain.

Kritik kedua berkenaan dengan pemahaman Epikuros tentang

waktu/temporalitas. Tujuan ajaran dari Epikuros adalah agar manusia mencapai

nikmat setiap saat, di mana nikmat dipahami sebagai tiadanya rasa sakit dan

keadaan batin yang tenang, tidak terganggu atau gelisah. Persoalannya adalah dari

pengalaman, kita mengetahui bahwa hidup adalah suatu dinamika perasaan. Ada

saatnya kita merasa senang, gembira, dan ada saatnya pula kita merasa sedih,

kecewa, takut. Kita tidak dapat senang atau tenang terus-menerus.

Kemudian, Epikuros mengajarkan bahwa agar kita dapat selalu tenang,

kita harus hidup hanya dalam saat ini. Kesulitannya adalah manusia terkait dengan

waktu. Dan waktu itu berkesinambungan, yakni ada masa lalu, masa kini, dan

masa yang akan datang. Dan itu berarti pula manusia selalu hidup dengan ingatan

akan masa lalu dan harapan akan masa depan. Bila konsisten dengan ajaran

Epikuros tentang hidup di masa kini, berarti manusia harus menghapus ingatan

masa lalu dan tidak berharap akan masa depan.

Sesungguhnya Epikuros pun menyadari bahwa hidup terdiri dari masa

(32)

ingatan akan masa lalu dan harapan akan masa depan terhadap hidup dalam

kekinian. Namun Epikuros malah melihat bahwa masa lalu dapat

menyumbangkan nikmat terhadap masa kini dengan hanya mengingat hal-hal

yang menyenangkan di masa lalu. Demikian juga dengan harapan akan masa

depan, mengharapkan nikmat di masa depan juga sudah memberikan nikmat pada

masa kini.7

Masih ada satu masalah lagi berkenaan dengan pemahaman Epikuros

tentang waktu, dimana dia melihat waktu sebagai satu-satuan yang terpisah.

Padahal menurut Spaemann, pemahaman atau pengalaman akan waktu yang

seperti itu hanya terdapat pada hewan, juga pada bayi yang memang belum

memiliki kemampuan transendensi diri. Sedangkan pada manusia yang

berkembang normal, berkembanglah kemampuan transendensi diri yang membuat

momen-momen waktu tidak dialami sebagai kesatuan-kesatuan yang terpisah,

melainkan momen yang berkesinambungan. Berkat transendensi diri, waktu

dialami sebagai satu kesatuan. Kemudian disini terlihat bahwa pemahaman

Epikuros tentang waktu malah membuat manusia turun ke taraf yang lebih rendah.

Spaemann juga membandingkan pemahaman Epikuros tentang waktu

dengan pemahaman mistik tentang waktu. Menurut Spaemann memang ada

kesatuan antara keduanya, yaitu menekankan momen kekinian. Dalam

pemahaman mistik yang ada adalah kekinian, dimana waktu tidak memiliki lagi

realitasnya. Dalam pengalaman ini, para mistikus berhasil mengatasi waktu,

keluar dari ikatan waktu. Namun perbedaan mendasar antara kekinian dalam

pengalaman mistik dengan kekinian versi Epikuros adalah dalam pengalaman

mistik, kekinian dapat dicapai lewat transendensi diri, sedangkan pada Epikuros,

kekinian dipelihara lewat mengisolasi diri, meniadakan diri terhadap waktu.

Kritik ketiga Spaemann terhadap Epikuros adalah tentang isi dari

kebahagiaan. Pada Epikuros, kebahagian diartikan sebagai perasaan tenang. Dan

perasaan semacam itu tidak memiliki objek keterarahan. Sedangkan menurut

Spaemann, dengan mendasarkan diri pada pemikiran Max Scheler, juga psikologi

modern, kita sama-sama mengetahui bahwa kebahagiaan yang bernilai tinggi yang

7

(33)

dapat dirasakan oleh manusia haruslah memiliki objek keterarahan. Dangan kata

lain, kebahagiaan tersebut berasal dari luar diri manusia. Kebahagiaan yang

sekedar perasaan tenang, gembira yang tanpa sebab tidaklah selalu berarti.

Spaemann juga menunjukkan bahwa Sokrates pun sudah menyadari ini. Sokrates

menyamakan perasaan nikmat semacam itu sebagai rasa gatal yang kemudian

digaruk dan menimbulkan perasaan nikmat.

Namun di samping beberapa kritik tersebut, Spaemann menemukan bahwa

Epikuros telah melihat adanya satu kegiatan manusia yang bahkan merupakan

sumber kebahagiaan terbesar, yang dapat membantah fondasi etikanya, bahwa

kebahagiaan manusia terletak pada nikmat, dan setiap kegiatan manusia dilakukan

demi nikmat tersebut. Epikuros mengakui bahwa salah satu sumber kebahagiaan

terbesar manusia adalah persahabatan. Memiliki seorang sahabat adalah suatu

kebahagiaan terbesar. Dan Epikuros menyadari bahwa persahabatan hanya

mungkin terjalin bila dibangun demi persahabatan itu sendiri, demi sahabatnya,

bukan demi kenikmatan yang diperoleh dari persahabatan tersebut. Kenikmatan

yang muncul dari persahabatan merupakan efek sampingan dari persahabatan, dan

tidak dapat menjadi tujuan dari persahabatan. Bahkan, kenikmatan yang muncul

akibat dari persahabatan hanya akan muncul ketika manusia tidak terpaku pada

nikmat itu sendiri.

Dihadapkan pada fenomena persahabatan, Epikuros harus mengakui

bahwa etikanya tidak memadai. Kenikmatan tidak dapat dijadikan tujuan hidup

manusia. Juga kebahagiaan lebih daripada sekedar kenikmatan, keadaan tanpa

rasa sakit, dan jiwa yang tenang.

3.1.4. Etika Kebahagiaan Menurut Stoa

Stoa mengambil sikap yang bertolak dari pengertian bahwa manusia

adalah makhluk dalam dimensi waktu, ia sadar bahwa kenikmatan sesaat tidak

menjamin kebahagiaan. Makin manusia beridentifikasi dengan keseluruhan,

makin ia mencapai autarkia, kemandirian, dimana ia tidak dapat mengalami

(34)

keterkejutan. Dalam ataraxia itu manusia bahagia, apabila apapun yang

dialaminya itu sesuai dengan kehendaknya.

Menurut Spaemann, ada beberapa keunggulan dari etika Stoa

dibandingkan dengan etika Epikuros. Etika Epikuros mengalami masalah besar

berkenaan dengan dimensi waktu. Etika tersebut tidak dapat menampung dimensi

waktu ke dalam sistem etikanya. Etika Epikuros gagal untuk memandang

eudaimonia sebagai keseluruhan proses hidup seseorang. Sedangkan etika Stoa berhasil melihat eudaimonia sebagai kondisi di mana hidup seseorang dinilai secara keseluruhan. Artinya hidup seseorang dikatakan berhasil atau tidak berhasil

bila yang dijadikan materi penilaian adalah keseluruhan perjalanan hidupnya.

Pada Stoa, seseorang mencapai eudaimonia, atau dapat dikatakan hidupnya berhasil bila dia dapat mempertahankan diri, dapat menyesuaikan dirinya dengan

hukum alam.

Dengan demikian, Stoa menemukan dasar bagi kehidupan manusia:

perbuatan yang baik adalah menyesuaikan dengan diri dengan hukum alam,

perbuatan buruk adalah tidak mau menyesuaikan diri. Di situ orang bijak

menunjukkan diri. Dengan sadar ia menerima apa yang tidak dapat dihindari.

Filsafat Stoa mengungkapkan cita-cita itu sebagai autarki. Autaraki adalah

kemandirian manusia dalam dirinya sendiri. Autarki/autarkia adalah pertahanan

diri sempurna, keberhasilan akhir kehidupan manusia. Dalam menyatu dengan

seluruh realitas, manusia tidak tergantung lagi pada apa pun diluar dirinya. Dalam

situasi apa pun ia berada pada dirinya sendiri, adalah autarki.8

Yang menjadi dasar persoalannya adalah pada premis dasar, bahwa tujuan

manusia adalah mempertahankan diri. Bagi Spaemann, mempertahankan diri

hanyalah prasyarat awal untuk hidup, namun tidak memadai untuk dijadikan

tujuan hidup manusia. Dengan membatasi tujuan manusia pada sekedar

mempertahankan hidup, Stoa telah mereduksi aspek-aspek lain dari kehidupan

manusia, yang sesungguhnya merupakan langkah selanjutnya dari

mempertahankan diri.

8

(35)

Bagi Spaemann, pemahaman Stoa tentang eudaimonia telah mendekati apa yang seharusnya menjadi eudaimonia, yaitu sebagai hidup yang berhasil ketika dilihat secara keseluruhan. Pada Stoa, eudaimonia dicapai dengan menyesuaikan diri dengan hukum alam sehingga diri seluruhnya dapat menyatu

dengan alam. Diri tidak lagi dibingungkan atau dikacaukan oleh segala yang

terjadi, baik penderitaan, kekecewaan, dan kegembiraan. Diri telah mecapai

autarki, penuh pada dirinya sendiri dan tidak lagi membutuhkan apapun dari luar

dirinya. Memang paham eudaimonia semacam ini memenuhi kriteria Spaemann tantang eudaimonia, yaitu hidup yang berhasil ketika dilihat secara keseluruhan. Pribadi Stoa pada dirinya sendiri mendapati dirinya bahagia, dan kebahagiaan

mereka pun memiliki dimensi objektif sehingga orang lain pun dapat memulai

hidup mereka sebagai bahagia.

Namun terdapat masalah pada pemahaman Stoa tentang autarki. Orang

yang autarki, yang penuh pada dirinya sendiri sesunggguhnya telah menutup diri

pada kemungkinan terjadinya pemenuhan di masa yang akan datang. Spaemann

mempertentangkan antara autarki/penuh pada dirinya sendiri dengan

kemungkinan terjadinya pemenuhan, misalnya dalam cinta. Hanya orang yang

menemukan dirinya tidak utuh atau kosong yang dapat mengusahakan

pemenuhannya, dan terbuka pada kemungkinan pemenuhannya. Pemenuhan

tersebut, menurut Spaemann, dapat dipandang sebagai kebahagiaan/eudaimonia.

Sedangkan orang yang cukup pada dirinya sendiri tertutup pada unsur-unsur lain

dari luar dirinya sendiri, misalnya cinta. Menurut Spaemann, tidanya cinta adalah

bayaran yang cukup mahal untuk suatu ketercukupan diri/autarki.

3.1.5. Etika Kebahagiaan Menurut Aristoteles

Menurut Aristoteles manusia mendua. Ia berpatisipasi pada nous atau logos ilahi. Maka kebahagiaan tertinggi yang dicapai manusia adalah theoria, memandang hal-hal abadi. Kekhasan manusia adalah sebagai zon politicon, yaitu mahkluk yang dapat mengembangkan diri dengan menjalankan secara paling baik

(36)

lingkungan-lingkungan sosial manusia, dimana yang paling luas adalah polis.9 Maka

kebahagiaan yang lebih sesuai dengan kondisi manusia terletak dalam praksis,

partisipasi komunikatif dalam urusan bersama polis. Karena itu Aristoteles

berusaha untuk mencari eudaimonia yang berangkat dari kondisi keseharian manusia.

Spaemann melihat bahwa etika Aristoteles merupakan upaya untuk

mengatasi kontradiksi-kontradiksi yang dihadapi oleh konsep eudaimonia. Walaupun Aristoteles sependapat dengan Plato bahwa eudaimonia sejati manusia dicapai lewat theoria, dia sadar bahwa hidup manusia tidak dapat hanya terdiri dari theoria saja. Manusia bukan semata-mata makhluk rohani sehingga dapat melepaskan diri dari keseharian. Melainkan manusia adalah makhluk campuran,

terdiri dari rohani dan jasmani, yang karenanya terikat pada keseharian.

Aristoteles melihat bahwa kebahagiaan tercapai apabila manusia merealisasikan

dirinya.

Kemudian, menurut Spaemann, dengan menempatkan manusia ke dalam

polis, Aristoteles berusaha untuk memenuhi tuntunan bahwa hidup yang berhasil

haruslah dapat dinilai secara subjektif sekaligus objektif. Dengan mengarahkan

tindakannya bagi kepentingan polis, individu mendapatkan kepuasan karena dapat

berbuat sesuatu bagi polis atau sesama warga negara lainnya, sekaligus juga

tindakan tersebut memang nyata memberikan manfaat bagi polis. Aristoteles juga

berhasil memecahkan persoalan yang dihadapi oleh etika eudaimonia yang lain, di mana walupun eudaimonia merupakan tujuan manusia, tindakan manusia tidak dapat langsung ditujukan untuk mencapai kebahagiaan/eudaimonia. Ketika tindakan dilakukan dengan tujuan memperoleh kebahagiaan, maka kebahagiaan

malah tidak dapat dicapai. Pemecahan Aristoteles dapat dipandang sebagai jalan

memutar, yaitu dengan mengarahkan tindakan demi kepentingan polis, maka

individu secara tidak langsung memperoleh kebahagiaan.

Tapi kemudian, menurut Spaemann, yang juga telah disadari oleh

Aristoteles, jalan keluar yang ditawarkan ini hanya akan menghasilkan

9

(37)

eudaimonia yang bersifat relatif. Hal ini karena kehidupan polis yang sesungguhnya tidak pernah sempurna, pasti banyak kekecewaan, kegagalan.

Namun memang kebahagiaan yang ditawarkan Aristoteles adalah kebahagiaan

yang paling mungkin bagi manusia, karena sesuai dengan kondisi manusia.

3.2. Kritk Robert Spaemann terhadap Etika Modern

3.2.1 Etika Kristiani

Setelah membahas etika eudaimonia yang pada akhirnya harus berhadapan dengan sifat antinominya sendiri, Spaemann mulai membahas tradisi etika lain

yang juga dapat dipandang sebagai reaksi terhadap etika eudaimomia, yaitu etika Kristiani. Dalam membahas etika Kristiani, Spaemann memulainya dengan

menunjukkan pertentangan antara etika Kristiani dengan etika eudaimonia. Menurut Spaemann, tokoh-tokoh etika Kristiani, seperti Agustinus dan Thomas

Aquinas sangatlah akrab dengan etika eudaimonia. Pemikiran mereka yang bersumberkan pada ajaran agama Kristiani, tetaplah dipengaruhi oleh

pemikiran-pemikiran yang berkembang pada masanya, di antaranya adalah etika eudaimonia.

Etika Yunani pasca Plato tidak berhasil. Eudemonisme Yunani lemah

karena eudemonia tidak berhasil di rumuskan. Kebahagiaan sebagai sekedar perasaan puas tidak memadai, sedangkan sebagai keberhasilan kehidupan terlihat

tidak menjamin pengalaman kebahagiaan yang kiranya juga termasuk

eudaimonia. Keberhasilan kehidupan mengandaikan suatu perspektif dimana hidup kita dilihat sebagai kesatuan. Antisipasi kebahagiaan yang menurut

Aristoteles, konstitutif bagi segala tindakan kita, bukan sesuatu yang empiris.

Wawasan keberhasilan kehidupan itu secara hakiki transenden, yakni meluap ke

dimensi pasca kematian. Filsafat moral Yunani pasca Plato gagal, karena tidak

terbuka terhadap dimensi transenden tersebut. Etika Kristiani menegaskan bahwa

(38)

Menurut Spaemann, berbeda dari etika eudaimonia yang tidak memberikan tempat pada unsur transenden, etika Kristiani malah berpusat pada

unsur transenden tersebut, yaitu Ketuhanan. Untuk memberikan tempat bagi unsur

ini, dalam pemikiran etika Kristiani, Agustinus dan Thomas Aquinas mulai

dengan menunjukkan bahwa etika eudaimonia lebih merupakan suatu fiksi atau utopia. Bagi Agustinus dan Aquinas, eudaimonia tidak dapat disamakan dengan hidup bermoral. Alasannya karena dalam konsep eudaimonia terkandung pemahaman bahwa eudaimonia haruslah melampaui kematian. Padahal ketika berhadapan dengan kematian, moralitas pun akan musnah. Sekalipun seseorang

hidup secara bermoral, namun ketika dia mati, maka tidak ada lagi yang tersisa.

Demikianlah bila eudaimonia disamakan dengan hidup bermoral. Padahal, bagi Spaemann, seharusnya eudaimonia bersifat abadi, melampaui kematian.

Etika Kristiani menunjukkan bahwa etika eudaimonia tidak memadai karena tidak dapat bertahan berhadapan dengan fakta kematian manusia, etika

Kristiani masuk dengan menawarkan konsep baru tentang kebahagiaan. Bagi etika

Kristiani, kebahagiaan adalah ketika manusia dapat bersatu dengan Tuhan, yakni

setelah kematian. Dan bagi etika Kristiani, tidak ada usaha apapun yang dapat

yang dapat dilakukan oleh manusia agar nanti setelah kematian dapat bersatu

dengan Tuhan. Manusia dapat bersatu dengan Tuhan sepenuhnya karena

rahmatNya, karena Tuhan telah menjanjikannya. Yang kini dapat dilakukan oleh

manusia dalam hidup ini adalah menanti pemenuhan janji tersebut dengan penuh

harapan. Dan harapan itulah yang menjadi kebahagiaan bagi manusia selama ia

masih di dunia ini.

Selain memahami kebahagiaan sebagai bersatu dengan Tuhan nanti di

surga, etika Kristiani juga memahami moralitas sebagai bentuk ekspresi cinta

manusia akan Tuhan. Jadi bagi etika kristiani, moralitas bukanlah kebahagiaan itu

sendiri, ataupun sarana untuk memperoleh ganjaran di surga. Melainkan cinta

akan Tuhan-lah yang menjadi motivasi manusia untuk bertindak moral.

Bagi Spaemann, etika Kristiani memang berhasil mengatasi persoalan

(39)

Tuhan di surga. Namun kemudian kebahagiaan tersebut hanya akan terpenuhi

nanti setelah kematian. Etika Kristiani juga dapat memberikan alasan mengapa

orang bertindak moral, yaitu sebagai ekspresi cinta akan Tuhan. Tetapi dengan

demikian tidak ada kaitan langsung antara kebahagiaan/eudaimonia dengan

moralitas. Di sinilah kritik Spaemann terhadap etika Kristiani, bahwa etika

Kristiani tidak berhasil menyatukan kebahagiaan dengan moralitas, antara “yang

baik” dan “yang indah”, antara yang bermanfaat bagiku dan yang “luhur”. Kaitan

antara kebahagiaan dengan moralitas menjadi tidak langsung. Dengan demikian,

seseorang melakukan tindakan moral bukanlah karena tindakan itu sendiri

memberikan kebahagiaan. Padahal seharusnya, suatu tindakan haruslah memiliki

daya tarik sehingga orang mau untuk melakukannya. Barulah ketika tindakan

memiliki daya tarik yang dapat membuat orang mau untuk melakukannya, di situ

tercapai kesatuan antara “yang baik” dan “yang indah”.

3.2.3. Etika Kant

Menurut Kant, bahwa tindakan manusia berada dibawah keterikatan moral

yang mutlak dan dapat dituntut pertanggungjawaban oleh orang lain. penilaian

dan tindakan moral harus dapat dibenarkan dengan argumentasi yang rasional.

Adapun Kant menempatkan argumentasi itu atas dasar sebuah prinsip moralitas

tertinggi.10 Perdebatan dengan Kant terjadi di mana etika dewasa ini sendiri tidak lagi sepakat tentang penentuan prinsip moral itu. Filsafat moral Kant merupakan

salah satu model etika terpenting. Dengan serangannya yang frontal terhadap etika

hedonisme, etika Kant merupakan salah satu alternatif dalam usaha perumusan

prinsip moralitas, yakni pada dua pola dasar etika universalitik: eudaimonisme

dan etika kewajiban Kant.

Etika Kant berada dalam jalur yang searah dengan etika Kristiani. Etika

Kristiani memisahkan antara kebahagian dengan moralitas, di mana moralitas

tidak menjadi syarat satu-satunya untuk mencapai kebahagian. Etika Kristiani

menolak pemahaman tentang relasi antara moralitas dan kebahagiaan sebagai

10

(40)

relasi antara sebab dan akibat. Begitu juga dengan Kant yang kemudian sama

sekali menolak moralitas atau tindakan baik yang didasarkan oleh motif untuk

memperoleh eudaimonia/kebahagiaan pribadi. Bagi Kant, tindakan baik yang

dilakukan dengan maksud memperoleh eudaimonia/kebahagiaan tidak lain

daripada sikap egoistis. Kant bertolak dari pengandaian bahwa eudaimonia, perhatian terhadap kehidupan yang berhasil, bersifat instrumentalistik dan

egoistik. Artinya, moralitas direndahkan menjadi sarana untuk mencapai

kebahagiaan, adalah kepentingan pribadi. Moralitas, menurut Kant, adalah

tindakan semata-semata karena hormat terhadap hukum.11 Spaemann melihat bahwa kritik Kant terhadap etika eudaimoniaadalah disebabkan kesalahan dalam memahami moralitas. Kesalahan Kant adalah memandang bahwa moralitas harus

berarti bebas dari segala kepentingan pribadi, sedangkan pengajaran atas

kebahagiaan di pandang sebagai sikap egoistis.

Kemudian Spaemann membahas tentang bagaimana etika Kristiani dan

Kant masih tetap dapat mempertahankan moralitas, ketika moralitas tidak lagi

dipandang sebagai syarat mutlak untuk memperoleh eudaimonia. Menurut Spaemann, kunci dari etika Kristiani adalah konsep tentang cinta akan Tuhan.

Pada etika Kristiani, cinta akan Tuhan menjadi dasar bagi semua moralitas,

sebagai forma virtutum.12 Sedangkan pada Kant, yang menjadi dasar moralitas adalah rasa hormat terhadap hukum, terhadap apa yang menjadi kewajiban. Kant

memang mengakui akan adanya kebaikan tertinggi yang merupakan kesatuan

antara berbuat baik dan kebahagiaan. Namun kebaikan tertinggi tersebut haruslah

dipahami sebagai sifat ekstrinsik dari moralitas. Dan kebaikan tertinggi tersebut

bukanlah komponen pokok dari moralitas itu sendiri, melainkan kepercayaan yang

kadang mendukung moralitas.

3.2.4. Utilitarisme

Aliran ini berasal dari pemikiran moral di United Kingdom dan kemudian

hari berpengaruh ke seluruh kawasan yang berbahasa Inggris. Pada Jermy

11

Bertens, K.,Op.Cit., hal. 256. 12

Referensi

Dokumen terkait

Menurut domeena renshaw dari universitas loyola, "ketika jatuh cinta, aliran darah ke pusat otak akan meningkat." peningkatan aliran darah tersebut terjadi di bagian otak

Spine mempunyai lekukan-lekukan yang normal ketika dilihat dari samping, namun tampak lurus ketika dilihat dari depan.Skoliosis dapat terjadi pada thoracal dan

Ketika pelaksanaan upacara bendera, sikap kedisiplinan itu sudah tidak tampak. Peserta didik yang berbaris seolah-olah mereka tidak sedang melakukan sesuatu kegiatan

Bila kita perhatikan ketiga definisi di atas, maka akan segera tampak bahwa ada tiga pokok penting dalam definisi-definisi tersebut, yaitu

Pada pertanyaan pertama , pilihlah karakter-karakter yang diharapkan pada pemimpin kota Medan menurut pendapat Anda dengan cara melingkari karakter-karakter tersebut

Untuk kronologis menurut pendapat kami, peneliti sudah menjelaskan secara terperinci, hal tersebut dapat dilihat dari: Penjabaran peristiwa dilematis antara

Pengertian Pendidikan Karakter Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia definisi karakter adalah tabiat atau kebiasaan.25 Secara umum karakter diartikan sebagai perilaku yang dilandasi

Bentuk prilaku sosial yang berhasil untuk penyesuaian sosial yang berhasil tampak dan mulai berkembang dalam periode ini.Dalam tahun pertama masa kanak-kanak bentuk penyesuaian ini