• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab

Dalam dokumen Robert spaemann Cinta dan (1) (Halaman 60-67)

BAB IV. CINTA DAN PERSAHABATAN DALAM PERSPEKTIF ROBERT

4.4. Tanggung Jawab

Bagi Spaeman, kebaikan hati tidak dapat diasalkan dari imperatif, malainkan berasal dari persepsi akan kenyataan. Persepsi akan kenyataan ini mengandung suatu paradoks. Di satu sisi, persepsi akan kenyataan tersebut adalah anugerah, bukan sesuatu yang dapat kita usahakan atau berasal dari diri kita sendiri. Namun, persepsi tersebut adalah suatu anugerah, selama kita tidak dapat melihat kenyatan, kita tetap bersalah. Ada semacam suatu tuntutan bahwa kita dapat melihat kenyataan; dan kita memiliki tanggung-jawab untuk memenuhi tuntutan tersebut. Tindakan kita dinilai benar atau salah berdasarkan apakah kita dapat memenuhi tuntutan ini atau tidak.

Menurut Spaemann, setidaknya ada tiga kriteria untuk menilai apakah suatu tindakan adalah benar. Pertama, berdasarkan apakah tindakan tersebut mendukung tercapainya tujuan. Kedua, berdasarkan apakah tindakan tersebut mendukung tercapainya eudaimonia atau keseluruhan hidup yang berhasil. Namun, berbeda dari tujuan-tujuan lain, eudaimonia tidak dapat dijadikan tujuan langsung dari suatu tindakan. Ketika eudaimonia hendak dijadikan tujuan langsung dari suatu tindakan, malah eudaimonia seolah menghindar. Spaemann memberikan analogi tentang hukum kedua dari termodinamika, di mana ketika kita berusaha untuk membangun suatu sistem tertutup yang teratur, hal tersebut malah akan menyebabkan kekacauan pada lingkup yang lebih luas. Bagitu pula dengan eudaimonia, ketika seseorang berusaha untuk mengatur hidupnya demi mencapai eudaimonia, usaha tersebut tidak akan berhasil. Alasannya karena eudaimonia tidak hanya terbatas pada hidup seseorang saja, melainkan juga mencakup aspek-aspek di luar dirinya, misalnya keluarga, atau orang-orang yang dicintainya, bahkan hidup semua orang.

Dari sinilah, menurut Spaemann muncul kriteria ketiga untuk menentukan apakah suatu tindakan benar atau salah. Kriteria tersebut bersifat moral, yaitu apakah kita berhubungan secara bertanggung jawab dengan kenyataan. Di sini Spaemann sekali lagi menggunakan pembedaan yang dibuat Aristotels, yaitu antara poiesis dan praxis. Bila dalam poiesis, kita bertindak berdasarkan tujuan tertentu dan untuk mewujudkan tujuan tersebut. Sedangkan dalam praxis, kita bertindak demi tindakan itu sendiri. Dan ketika praxis diterapkan dalam relasi dengan orang lain, hal itulah yang memenuhi kriteria moral ini. Karena dalam praxis, orang lain dapat mengembangkan dirinya sendiri dan dapat tampil sebagai dirinya sendiri. Dalam praxis ini pula kita dapat melihat orang lain sebagai kenyatan. Karena itu, tepatlah bila relasi dengan orang lain yang bersifat praxis, dipandang sebagi tindakan moral.

Dalam relasi dengan orang lain yang bersifat praxis ini, di mana orang lain menampak dalam kesadaran, termuat tanggung jawab; dan tanggung jawab tidak dapat lepas dari perhatian. Tanggung jawab terwujud dalam peraturan bahwa saya peduli dengan keadaannya. Kepedulian tersebut, menurut Spaemann, mengacu pada mereka dengan siapa saya bergaul, atau mereka yang secara tidak langsung terkena dampak dari tindakan saya, baik pribadi maupun kolektif. Tanggung jawab dan kepedulian, hanya dapat mengacu pada makhluk yang memiliki karater teleologis, yaitu pada mereka yang dapat menangkap atau memberikan makna pada apa yang terjadi.

Menurut Spaemann, ada perbedaan antara ‘atas apa’ dan ‘kepada siapa; kita bertanggung jawab, atau objek dan alamat dari tanggung jawab kita. Pertama-tama, kita bertanggung jawab atas apa yang dapat memiliki arti bagi seseorang. Dengan menjadi alamat dari tanggung jawab kita adalah pribadi yang baginya sesuatu dapat memiliki arti. Pada prinsipnya, kita bertanggung jawab kepada siapapun yang dapat menuntut pertanggungjawaban kepada kita, dapat bertanya, “Mengapa?”, atau “Atas hak apa?.”

Kita dapat dengan mudah memahami tentang perbedaan antara objek dan alamat dari tanggung jawab ketika kita berhadapan dengan benda mati. Benda mati adalah objek dari tanggung jawab kita, tetapi kita tidak perlu dan tidak dapat

bertanggung jawab terhadap benda mati. Namun persoalannya menjadi lebih sulit ketika kita berhadapan dengan makhluk hidup lain selain manusia, misalnya binatang dan tumbuhan. Bagi Spaemann, walaupun binatang dan tumbuhan dapat tampil bagi kita sebagai kenyataan, sebagai pribadi, yang hanya bersifat analogi, tetaplah binatang dan tumbuhan hanya dapat menjadi objek dari tanggung jawab kita, dan bukan alamat bagi tanggung jawab kita. Alasannya karena bagi binatang dan tumbuhan, hidup mereka tidak dapat menjadi suatu keseluruhan. Binatang dan tumbuhan tidak memiliki kapasitas/kemampuan untuk memahami atau memandang hidup sebagai keseluruhan. Diperlukan pemikiran reflektif yang hanya dimungkinkan oleh adanya akal budi. Sedangkan binatang dan tumbuhan tidak memiliki akal budi.

Walaupun kepada binatang dan tumbuhan kita tidak bertanggung jawab, kita tetap memiliki tanggung-jawab atas mereka. Hal ini dimungkinkan karena mereka dapat menjadi kenyataan bagi kita. Spaemann memberikan contoh tentang seekor kumbang yang terbalik tubuhnya dan berusaha untuk membalikkan diri. Ketika kita melihat penderitaan kumbang tersebut, kumbang tersebut menjadi realitas bagi kita, umumnya kita langsung membantu kumbang tersebut untuk membalikkan tubuhnya. Berhadapan dengan penderitaan kumbang, hati kita tergerak oleh kebaikan hati untuk membantu meringankan atau membuat dia terbebas dari penderitaannya tersebut. Di sinilah terjadi kesatuan antara melihat kenyataan, kebaikan hati, dan mengambil tindakan. Semuanya itu tidak dapat dipisahkan. Hal ini berlaku bukan hanya ketika kita berhadapan dengan orang lain, melainkan juga ketika kita berhadapan dengan binatang dan tumbuhan, ketika mereka menjadi kenyataan bagi kita.

Menurut Spaemann, ketika berhadapan dengan binatang dan tumbuhan, kita tidak bertanggung jawab terhadap mereka, melainkan terhadap diri kita sendiri. Tindakan berhenti menjadi actus humanus, bila secara sengaja tindakan tersebut membuat kita buta. Martabat manusia muncul dari kenyatan bahwa manusia melangkah dari sentralitasnya dimana segala sesuatu yang dijumpai adalah tidak lagi sekedar sebagai ‘lingkungan’ mereka. Apa yang membuat manusia manjadi representasi dari yang ‘tak terbatas’ adalah bahwa manusia dapat

memiliki persepsi akan kondisi batin pihak lain, entah itu orang lain ataupun binatang. Memang tidak setiap penderitan binatang menjadi tangung jawab kita. Apa yang menjadi tanggung jawab kita adalah ketika binatang tersebut menjadi ‘tetangga’ kita. Sebagai prinsip umum memperlakukan binatang, Spaemann merumuskan, “pertama-tama, tidak setiap tindakan demi kepentingan manusia dapat digunakan untuk membenarkan penderitaan binatang. Kedua, ada batas toleransi dari penderitaan yang boleh kita sebabkan terhadap binatang. Untuk menentukan batas tersebut, lamanya penderitaan dibandingkan dengan usia harapan hidup dan bentuk kehidupan binatang tersebut dapat dijadikan petimbangan.

Bagi Spaemann, bila kita membunuh binatang pun, tidak berarti bahwa kita tidak bertanggung jawab. Memang membunuh binatang tanpa alasan adalah hal yang tidak bertanggung jawab. Namun, bagi binatang lamanya hidup tidaklah terlalu berarati. Karena itu, tanggung jawab kita terhadap binatang lebih berkenaan dengan bagaimana kehidupan mereka, dan bukan seberapa lama mereka hidup.

Spaemann juga mengulas tanggung jawab atas tumbuhan. Landasan pertimbangan apa yang dapat membenarkan sikap tanggung jawab kita atas tumbuhan?, menurut Spaemann, mempertentangkan antara ‘bagi kepentingan manusia sendiri’ dan ‘bagi kepentingan tumbuhan sendiri’ adalah kekeliruan paradigma. Spaemann memberikan contoh tentang keberlangsungan suatu spesies tumbuhan tertentu dengan memberikan semacam pertimbangan estetis, bahwa spesies tumbuhan itu tetap ada dan hal itu membuat kita senang, kegembiraan estetis. Spaemann mengacu pada Kant yang mengatakan bahwa nikmat yang dihasilkan oleh sesuatu yang indah adalah suatu kenikmatan yang tidak bersifat egoistis atau tidak mengacu kepada kepentingan diri. Dan peduli karna sesuatu berdasarkan pertimbangan estetis, tidak berarti peduli atas sesuatu bagi ‘kepentingan manusia.’ Melainkan kemampuan untuk memiliki ketertarikan pada sesuatu yang tidak memberikan apapun adalah karakteristik dari manusia. Karena itu ‘apapun’ yang tidak dapat dihasilkan kembali atau tidak dapat diperbaiki masuk dalam lingkup tanggung jawab manusia.

Menurut Spaemann, pertanggungjawaban hanya dapat diberikan kepada mereka yang dapat meminta pertanggungjawaban dan terbuka terhadap akal budi; dan yang hanya memiliki persyaratan tersebut adalah manusia. Memang hanya kepada manusialah kita bertanggung jawab; dan kita bertanggung jawab bukan hanya kepada orang lain, tetapi juga terhadap diri sendiri. Pihak yang meminta pertanggungjawaban dalam diri sendiri adalah apa yang disebut sebagai suara hati. Kita bertanggung jawab terhadap suara hati. Namun dengan adanya suara hati ini tidak berarti kita terbebas dari tanggung jawab terhadap orang lain.

Pada prinsipnya kita bertanggung jawab terhadap semua orang. Namun bentuk tanggung jawab terhadap orang lain ini berbeda dari tanggung jawab kita terhadap binatang atau tumbuhan, karena manusia atau orang lain adalah makhluk yang memiliki kebebasan. Untuk dapat membantu orang lain, kita membutuhkan persetujuan dari orang lain tersebut. Kita tidak dapat memaksa untuk membantu orang lain selama dapat saja orang tersebut memang tidak menghendakinya. Ketika kita memaksakan bantuan, itu berarti kita melanggar kebebasannya. Memang ada kasus-kasus khusus di mana kita berhadapan dengan orang yang tidak lagi memiliki kesadaran, sehingga kita tidak dapat meminta persetujuannya. Dalam kasus-kasus seperti itu, dapat dibenarkan bahwa kita bertindak menurut apa yang kita anggap baik demi orang tersebut, di mana kita bertindak sebagai wakilnya dalam membuat keputusan. Namun, berhadapan dengan orang yang memiliki kesadaran, tanggung jawab kita atas mereka adalah terbatas sejauh mereka meminta bantuan kita. Alasannya adalah karena ada pihak yang lebih bertanggung jawab atas diri mereka dibandingkan diri kita, yaitu diri mereka sendiri.

Menurut Spaemann, karena ada batas antara relasi kita dengan orang lain, yaitu kebebasannya, maka tanggung jawab kita yang paling pokok terhadap orang lain hanya dapat dirumuskan secara negatif, yaitu: menghindari untuk mempengaruhi orang lain dengan cara-cara yang tidak menghormati mereka sebagai pribadi. Berbeda dari setiap kewajiban positif yang harus terikat pada situasi dan kondisi, kewajiban untuk tidak melanggar wilayah kebebasan orang lain yang akan mengabaikan dimensi diri mereka sebagai pribadi, berlaku tanpa

syarat dan tidak tergantung pada situasi dan kondisi. Tentu saja ada kasus-kasus di mana kita harus melanggar kebebasan seseorang demi menghalangi dia melakukan tindakan yang akan merugikan orang lain, misalnya dengan memasukkan seseorang ke dalam penjara. Namun perlakuan tersebut, yang dilakukan untuk menghalangi seseorang menggunakan kebebasannya tidaklah melanggar martabatnya sebagai manusia. Tindakan tersebut hanya menghalangi dia untuk melakukan tindakan yang bukan merupakan haknya.

Tanggung jawab kita atas dan terhadap manusia yang didasarkan pada klaim bahwa setiap orang harus diperlakukan oleh setiap orang bukan sekedar sebagai objek, melainkan sebagai pribadi. Spaemann menulis :

Our responsibility for and to humans is grounded in the claim of every human being to be taken by every other rational being not just as an object, but man as a self-being. That this claim cannot at every moment be made good by everyone toward everyone is due to the finitude of humans, and this finds its rational expression in that which we have named, following the tradition, ordo amoris (Spaemann, Happines and Benevolence 182). Bahwa klaim tersebut tidak dapat direalisasikan setiap waktu, oleh setiap orang, dan terhadap setiap orang adalah karena keterbatasan manusia. Namun kondisi ini telah menemukan pemecahannya dalam apa yang disebut sebagai ordo amoris. Berkat universalitas akal budi kita yang memiliki kemampuan untuk melihat kenyataan, dan dari ketergantungan setiap orang terhadap dukungan dari sesamanya untuk merealisasikan kodratnya sebagai pribadi, sebagai subjek kebebasan, dalam kasus tertentu dapat saja tiba-tiba orang lain yang tidak kita kenal menjadi ‘tetangga’ kita yang menghimbau kita untuk membantunya. Pada saat itulah kita memiliki tanggung jawab terhadap orang tersebut. Tanggung jawab ini, sekali lagi, tidaklah didasarkan pada prinsip ataupun maksim, melainkan persepsi atas kenyataan orang lain sebagai pribadi.

Munurut Spaemann, untuk semakin memahami tentang tanggung jawab, kita dapat melihat dua macam bentuk tanggung jawab, yaitu tangung jawab atas diri sendiri dan tanggung jawab atas diri orang lain. Pertama-tama, kita menyadari bahwa kita bertanggung jawab atas diri kita sendiri dengan memenuhi apa yang menjadi tuntutan dari kebutuhan-kebutuhan dasar kita. Namun ada juga tuntutan yang tidak berasal dari kebutuhan-kebutuhan dasar, misalnya untuk mengembangkan diri. Dan sesungguhnya mengembangkan diri pun adalah

kewajiban kita, tanggung jawab kita terhadap diri sendiri. Dalam tanggung jawab atas diri sendiri, di sini atas dan kepada siapa kita bertangung jawab memang tumpang tindih. Bagi Spaemann, kepeutusan untuk berbicara tentang tanggung jawab semacam ini, yakni terhadap diri sendiri, bersifat metafisik. Hal ini tergantung pada bagaimana kita memahami diri kita. Dan hanya ketika kita memahami diri tidak sebatas apa yang nampak, melainkan sebagai representasi dari ‘yang absolut’ maka pemikiran tentang tanggung jawab terhadap diri sendiri menjadi mungkin. Sebaliknya, bila kita memahami diri hanya sebatas pada kerangka pikir sosiologis, psikologis, ataupun biologis, maka pembicaraan tentang tanggung jawab terhadap diri sendiri menjadi tidak dapat ditampung.

Menurut Spaemann, selain tanggung jawab atas diri sendiri kepada diri sendiri, ada juga macam tanggung jawab atas diri sendiri kepada orang lain, misalnya kepada mereka yang hidupnya tergantung pada diri saya. Tanggung jawab semacam ini, yaitu tanggung jawab atas hidup saya demi orang lain, hanya mungkin nampak sebagi kenyataan bagi saya; dan itu berarti adalah dalam momen kebaikan hati. Kepedulian terhadap diri saya sebagai bagian dari dunia orang lain adalah bagian dari kebaikan hati kepada orang lain. Walaupun demikian tanggung jawab saya tersebut tidaklah lebih besar daripada tanggung jawab saya terhadap diri sendiri.

Kasus lain yang dapat membantu kita untuk lebih memahami tentang tanggung jawab adalah kasus pasien yang sudah kehilangan kesadaran diri, di mana tidak ada lagi orang yang merasa rugi dengan tidak adanya orang tersebut. Bagi Spaemann, dari sini terlihat bahwa nilai dari hidup seseorang tidak boleh direlatifkan, tetapi harus dihormati begitu saja tanpa perlu nengacu pada siapa atau apapun. Dan hal ini hanya dapat dipahami dalam perspektif tentang ‘yang absolut’, bahwa ada ‘yang absolut’, dan ‘yang absolut’ ini pun harus dipahami secara simbolik, bukan sebagai semesta yang kemudian harus dioptimalisasikan. Karena bila ‘yang absolut’ ini dapat dipahami sebagai sesuatu yang empiris, sebagai totalitas dunia, maka tanggung jawab kita malah menjadi terlalu besar, bahkan semuanya menjadi tanggung jawab kita.

Dalam dokumen Robert spaemann Cinta dan (1) (Halaman 60-67)

Dokumen terkait