• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Macam-macam Evaluasi Pendengaran

Uji Rinne membandingkan hantaran tulang dan hantaran udara pendengaran pasien. Tangkai penala yang bergetar ditempelkan pada mastoid pasien (hantaran tulang) hingga bunyi tidak lagi terdengar. Penala kemudian dipindahkan ke dekat telinga sisi yang sama (hantaran udara). Telinga normal masih akan mendengar penala melalui hantaran udara, temuan ini disebut Rinne positif ( HU>HT). Hasil ini dapat dijelaskan sebagai hambatan yang tak sepadan (Higler, 2000).

Pasien dengan gangguan pendengaran sensorineural juga akan memberi Rinne positif seandainya sungguh-sungguh dapat mendengar bunyi penala, sebab gangguan sensorineural seharusnya mempengaruhi baik hantaran udara maupun hantaran tulang ( HU>HT) (Hassan et al, 2007).

Istilah Rinne negatif dipakai bila pasien tidak dapat mendengar melalui hantaran udara setelah penala tidak lagi terdengar melalui hantaran tulang (HU<HT). (Stach, 1998).

Tabel 2.2 Interpretasi Hasil uji Rinne

Positif HU ≥ HT Normal atau gangguan sensorineural

Tak ada atau koklearis- retrokoklearis Negatif HU < HT Gangguan Konduktif Telinga luar atau

tengah

2. Uji Schwabach

Uji Schwabach membandingkan hantaran tulang pasien dengan pemeriksa. Pasien diminta melaporkan saat penala bergetar yang ditempelkan pada mastoidnya tidak lagi dapat didengar. Pada saat itu, pemeriksa memindahkan penala ke mastoidnya sendiri dan menghitung beberapa lama (dalam detik) ia masih dapat menangkap bunyi (Higler, 2000).

Uji Schwabach dikatakan normal bila hantaran tulang pasien dan pemeriksa hampir sama. Uji Schwabach memanjang atau meningkat bila hantaran tulang pasien lebih lama dibandingkan pemeriksa, misalnya pada kasus gangguan pendengaran konduktif. Jika telinga pemeriksa masih dapat mendengar penala setelah pasien tidak lagi mendengarnya, maka dikatakan Schwabach memendek. Interpretasi uji Schwabach (Hassan et al, 2007).

Tabel 2.3 Interpretasi Hasil uji Schwabach Hasil Uji

Schwabach Status Pendengaran Lokus

Normal Normal Tak ada

Memanjang Tuli konduktif Telinga luar dan/ atau tengah

Memendek Tuli sensorineural Koklearis dan/ atau retrokoklearis

3. Uji Weber

Uji Weber membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga pasien. Cara melakukan uji weber dengan menggetarkan garpu tala 512 Hz lalu tangkainya kita letakkan tegak lurus pada garis horizontal. Gagang penala yang bergetar ditempelkan di tengah dahi dan pasien diminta melaporkan apakah suara terdengar di telinga kiri, kanan atau keduanya (Hassan et al, 2007).

Umumya pasien mendengar bunyi penala pada telinga dengan konduksi tulang yang lebih baik atau dengan komponen konduktif yang lebih besar. Jika nada terdengar pada telinga yang dilaporkan lebih buruk, maka tuli konduktif perlu dicurigai pada telinga tersebut. Jika terdengar pada telinga yang lebih baik, maka dicurigai tuli sensorineural pada telingga yang terganggu. Fakta bahwa pasien mengalami lateralisasi pendengaran pada telinga dengan gangguan konduksi dan bukannya pada telinga yang lebih baik mungkin terlihat aneh bagi pasien dan kadang- kadang juga pemeriksa (Higler, 2000).

Uji Weber sangat bermanfaat pada kasus-kasus gangguan unilateral, namun dapat meragukan bila terdapat gangguan konduktif maupun sensorineural (campuran), atau bila hanya menggunakan penala frekuensi tunggal (Stach, 1998).

4. Audiometri

Audiometri berasal dari kata audir dan metrios yang berarti mendengar dan mengukur. Audiometri dikembangkan awal 1920-an, mencontoh rangkaian oktaf dari skala C seperti pada penala. Intensitas nada dapat dipertahankan pada tingkat tertentu, tidak seperti penla di mana intensitas nada segera berkurang setelah dibunyikan. Nada dapat pula diinterupsi sesuai kehendak, atau intensitas dapat dilemahkan pada interval tertentu dengan hambatan elektris, dengan demikian intensitas bunyi dapat dihitung. Hanya tinggal menambahkan satuan intensitas, suatu notasi

desibel dan kontinuitas intensitas, dan lahirlah suatu era modern audiometri nada murni. Desibel (dB) adalah satuan yang sangat cocok yaitu, logaritma dari rasio dua daya atau tekanan (Higler, 2000).

a. Audiometri Nada Murni

Audiometer nada murni adalah suatu alat elektronik yang menghasilkan bunyi yang relatif bebas bising ataupun energi suara pada kelebihan nada, karenanya disebut “murni”. Terdapat beberapa pilihan nada terutama dari oktaf skala C : 125, 250, 500, 1000, 2000, 4000, dan 8000 Hz. Tersedia pula nada-nada dengan interval setengah oktaf (750, 1500, 3000 dan 6000 Hz). Audiometer memiliki tiga bagian penting yaitu suatu osilator dengan berbagai frekuensi untuk menghasilkan bunyi, suatu peredam yang memungkinkan berbagai intensitas bunyi (umumnya dengan peningkatan 5 dB), dan suatu transduser (earphone atau penggetar tulang dan kadang-kadang pengeras suara) untuk mengubah energi listrik menjadi energi akustik (Stach, 1998).

Ada dua sumber bunyi, yang pertama adalah dari earphone yang ditempelkan pada telinga. Masing-masing telinga diperiksa secara terpisah dan hasilnya digambarkan sebagai audiogram hantaran udara. Sumber bunyi kedua adalah suatu osilator atau vibrator hantaran tulang yang ditempelkan pada mastoid (atau dahi) melalui suatu head band. Vibrator menyebabkan osilasi tulang tengkorak dan menggetarkan cairan dalam koklea. Hasil pemeriksaan digambar sebagai audiogram hantaran tulang, dan biasanya diinterpretasikan sebagai suatu metoda yang memintas telinga tengah, sebagai alat pengukur cadangan koklearis dan mencerminkan keadaan sistem saraf pendengaran (Higler, 2000).

Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran pasien pada stimulus nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekuensi yang berbeda-beda. Secara kasar bahwa pendengaran yang

normal grafik berada diatas. Grafiknya terdiri dari skala desibel, suara dipresentasikan dengan aerphon (air conduction) dan skala skull vibrator (bone conduction). Bila terjadi air bone gap maka mengindikasikan adanya CHL. Turunnya nilai ambang pendengaran oleh bone conduction menggambarkan SNHL (Stach, 1998).

Langkah-langkah melakukan tes audiometri nada murni yaitu (Stach, 1998) :

a. Tes telinga yang normal terlebih dahulu yang ditanya kepastiannya melalui anamnese. Ambang batas telinga normal akan berperan penting untuk tujuan masking. Jika pendengaran kedua telinga dilaporkan sama maka dimulai dari telinga kanan,

b. Ambang batas dimulai pada 1000 Hz yang mudah diterima dan biasanya frekuensi yang baik untuk pendengaran,

c. Nada terus-menerus atau bergelombang diperdengarkan selama 1 detik,

d. Mulai dengan memberikan nada pada intensitas dimana penderita dapat mendengarnya secara jelas. Apabila pendengarannya normal, maka dimulai pada 40 dB. Jika pendengaranya mengalami gangguan ringan, maka dimulai pada intensitas yang lebih tinggi,

e. Jika pasien tidak merespon, tingkatkan intensitas sebanyak 20 dB sampai ada respon. Jika pasien merespon maka mulai mencari ambang batas pendengaran,

f. Untuk mencari ambang batas dipakai aturan “naik 10, turun 5”. Aturan ini menyatakan bahwa jika pasien mendengar nada maka diturunkan 10 dan apabila tidak mendengar nada maka dinaikkan 5,

g. Dikatakan ambang batas bila penderita merespon 50 % saat diperika. Misalnya, merespon dua atau tiga kali dari enam kali diberikan nada,

h. Ketika ambang batas sudah ditentukan pada 1000 Hz, lakukan tes pada 2000 Hz, 3000 Hz, 4000 Hz, 6000 Hz, 8000 Hz, 1000z, 500 Hz dan 250 Hz. Mengulangi tes pada 1000 z pada telingan yang sudah diperiksa untuk memastikan bahwa respon tidak membaik walaupun pasien sudah mengetahui cara kerja pemeriksaan,

i. Lakukan tes pada telinga yang lain dengan cara yang sama. Hasilnya ditunjukkan dalam desibel (dB) dan dimasukkan ke bentuk audiogram. Audiogram nada murni yang lengkap terdiri dari 4 plots yang berbeda yaitu hantaran tulang dan tulang masing- masing untuk telingan kanan dan kiri. Juga mempunyai simbol untuk hantaran udara (O) dan hantaran tulang (∆). Kombinasi audiometri hantaran tulang dan udara akan membagi gangguan pendengaran menjadi konduktif, sensorineural dan campuran (Stach, 1998).

Kedua telinga yang tidak ditutup secara rapat akan menyebabkan telinga yang tidak diuji juga ikut mendengar nada yang diterima telinga yang diuji karena suara tsb akan dihantarkan melalui hantaran tulang. Karena itu, salah satu cara untuk mencegah hal tsb adalah dengan melakukan masking atau memberikan suara ke telinga yang tidak diuji. Hantaran tulang dan udara juga sering megalami persilangan nada (crossover) yaitu apabila nada diberikan kepada telinga hingga intensitas tertentu maka telinga lainnya juga akan menerima nada tersebut. Sedangkan interaural attenuation adalah ketika nada diberikan pada telinga maka akan berkurang intensitasnya saat sampai ke telinga lainnya. Jumlah dari interaural attenuation tergantung dari tipe transduser yang digunakan, Jika memakia supra-aural earphone adalah 40 dB sedangkan insert earphone adalah 50 dB dan hantaran tulang 0 dB. Insert earphone mempunyai jumlah interaural attenuation yang tinggi tetapi crossover yang kecil karena insert earphone

menghasilkan getaran suara yang tidak langsung atau jarang berhubungan langsung dengan kulit sehingga getaran yang ditransmisikan ke tulang sangat kecil. Supra-aural earphone berhubungan langsung dengan kulit sehinnga mengurangi jumlah interaural attenuation tetapi meningkatkan resiko crossover. Transduser pada hantaran tulang menggetarkan kulit dan tulang secara langsung yang mengakibatkan penurunan jumlah interaural attenuation dan meningkatkan resiko crossover (Stach, 1998).

Tabel 2.4 Klasifikasi Kehilangan Pendengaran

Kehilangan dalam

Desibel Klasifikasi

0-15 Pendengaran normal

>15-25 Kehilangan pendengaran kecil >25-40 Kehilangan pendengaran ringan >40-55 Kehilangan pendengaran sedang >55-70 Kehilangan pendengaran sedang sampai

berat

>70-90 Kehilangan pendengaran berat >90 Kehilangan pendengaran berat sekali

b. Audiometri Tutur

Audiometri tutur adalah sistem uji pendengaran pasien yang menggunakan kata-kata terpilih yang telah dibakukan, dituturkan melalui suatu alat yang telah dikaliberasi, untuk mengukur beberapa aspek kemampuan pendengaran. Prinsip audiometri tutur hampir sama dengan audiometri nada murni, hanya disini sebagai alat uji pendengaran digunakan daftar kata terpilih yang dituturkan pada penderita. Kata-kata tersebut dapat dituturkan langsung oleh pemeriksa

melalui mikropon yang dihubungkan dengan audiometri tutur, kemudian disalurkan melalui telepon kepada telinga yang diperiksa pendengarannya, atau kata-kata rekam lebih dahulu pada piringan hitam atau pita rekaman, kemudian baru diputar kembali dan disalurkan melalui audiometri tutur. Penderita diminta untuk menirukan dengan jelas setiap kata yang didengar, dan apabila kata- kata yang didengar makin tidak jelas karena intensitasnya makin dilemahkan, pendengar diminta untuk menebaknya. Pemeriksa mencatat presentase kata-kata yang ditirukan dengan benar dari tiap denah pada tiap intensitas. Hasil ini dapat digambarkan pada suatu diagram yang absisnya adalah intensitas suara kata-kata yang didengar, sedangkan ordinatnya adalah presentasi kata-kata yang diturunkan dengan benar. Dari audiogram tutur dapat diketahui dua dimensi kemampuan pendengaran yaitu

- Kemampuan pendengaran dalam menangkap 50 % dari sejumlah kata-kata yang dututurkan pada suatu intensitas minimal dengan benarm yang lazimnya disebut persepsi tutur atau NPT dan dinyatakannya dengan satuan desibel (dB),

- Kemampuan maksimal pendengaran untuk mendiskriminasikan tiap satuan bunyi (fonem) dalam kata-kata yang ditutukan yang dinyatakan dengan nilai diskrimiasi tutur atau NDT. Satuan pengukuran NDT itu adalah presentasi maksimal kata-kata yang ditirukan dengan benar, sedangkan intensitas suata beberapa saja., Dengan demikian, berbeda dengan audiometri nada murni pada audiometri tutur intensitas pengukuran pendengaran tidak saja pada tingkat nilai ambang (NPT) tetapi juga diatasnya (Stach, 1998).

Dokumen terkait