• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN

B. Macam-macam Perceraian

Di dalam kitab fiqh putusnya perkawinan disebut dengan istilah “furqoh”. Di antara macam-macam bentuk furqoh diantaranya berupa: talak, khulu’, dan fasakh. Setelah pembahasan secara umum mengenai talak pada sub bab terdahulu, maka berikut ini akan dijelaskan secara umum mengenai khulu’ dan fasakh, sehingga akan terihat perbedaannya nanti.

1. Khulu’

Khulu’ secara etimologis berarti ﺔﻟازﺈْﻟاو عﺰ ﻟا yang artinya perselisihan dan menghilangkan. Sedangkan secara terminologis Ulama Syafi’iyyah mendefinisikan khulu’ adalah perceraian antara suami isteri dengan suatu ‘iwadh (tebusan) dengan lafaz ٌقﺎ atau ٌ ْ seperti perkataan suami kepada isteri: ﻚ ْﻘ atau ﻚ ْﻌﻟﺎ maka ia menerima.23

Menurut Hanabilah khulu’ ialah perceraian suami atas isterinya dengan ‘iwadh dimana suami menerima ‘iwadh tersebut dari isterinya atau selainnya dengan lafaz-lafaz tertentu, maka khulu’ menurut mereka harus melalui perantara ‘iwadh.24

23

Wahbah Zuhailiy, AlFiqhAlIslamiy Wa Adillatuhu, Juz IX, h.7008.

24

a. Hukum Khulu’

Khulu’ itu perceraian dengan kehendak isteri. Hukumnya boleh atau mubah menurut Jumhur Ulama25, karena kebutuan manusia kepadanya dengan terjadinya syiqaq, perselisihan, dan tidak adanya kesesuaian antara suami isteri, terkadang isteri membenci suaminya dengan tidak suka hidup bersamanya karena sebab-sebab yang bersifat fisik jasmani atau perangai atau keagamaannya atau takut tidak bisa melaksanakan hak Allah dalam mentaati, maka Islam mensyari’atkan kepadanya dalam menghadapi talak yang khusus dengan suami sebagai keikhlasan dari suami isteri untuk menolak kesulitan dan menghilangkan kemudaratan.26

Adapun dasar kebolehannya terdapat dalam Al Qur’an dan juga terihat dalam hadis Nabi. Dari Kitab Allah termaktub pada surat Al Baqarah ayat 229 yang berbunyi:

)

ةﺮﻘ ﻟا

/

2

:

229

(

Artinya :

“…Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya..”(Al Baqarah/2:229).

25

Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd al Qurthubi. Bidayat Al Mujtahid wa Nihayat Al Muqtashid, Juz 2 (Beirut: Dar Ihya’ Turats al ‘Arabi, 1996), h.67.

26

Sebagai dasar hukum dari hadis, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbas:

سﺎ ْا ْ

ﺎ ﻬْ ﻟا

-ﻟا ْ ﺗأ ْ ْ ﺎﺛ ةأﺮْ ا نأ

ρ

ْ ﻟﺎﻘ

:

ﺎﻳ

ﻟا لﻮ ر

!

ﻳد ﺎﻟو ﻖ ْ أ ﺎ ْ ْ ﺎﺛ

,

ﺮْﻜْﻟا ﺮْآأ ﻜﻟو

ا

مﺎ ْ ﺈْﻟ

,

ﻟالﻮ ر لﺎ

ρ

"

ﻘﻳﺪ ْ ﻳدﺮﺗأ

?

"

,

ْ ﻟﺎ

:

ْ ﻌ

.

ﻟا لﻮ ر لﺎ

ρ

"

ﺔﻘﻳﺪ ْﻟا ْا

,

ﺔﻘ ْﻄﺗﺎﻬْﻘ و

.

)

ور

يرﺎ ْﻟا ا

(

.

27 Artinya:

Dari Ibnu Abbas R.A bahwa Isteri Tsabit bin Qais datang mengadu kepada Nabi Saw dan berkata: “Ya Rasul Allah Tsabit bin Qais itu tidak ada kurangnya dari segi kelakuannya dan tidak pula dari segi keberagamaannya. Cuma saya tidak senang akan terjadi kekufuran dalam Islam. Rasul Allah Saw berkata: “Maukah kamu mengembalikan kebunnya ? “ Si Isteri menjawab: “ Ya mau “. Nabi berkatakepada Tsabit: “Terimalah kebun dan ceraikanlah dia satu kali cerai.(HR.Bukhari).

b. Rukun Khulu’

Rukun Khulu’ menurut Jumhur selain Hanafiah diantaranya ada 5 yaitu:

Pertama, Suami. Syarat suami yang menceraikan isterinya dalam bentuk

khulu’ seperti apa yang berlaku dalam talaq yaitu seseorang yang ucapannya telah dapat diperhitungkan secara syara’, yaitu akil baligh, dan bertindak atas kehendaknya sendiri, serta dengan kesengajaan.28

27

Imam Bukhari, Shohih Bukhari, h.615, lihat juga Hafiz Ahmad ibn Ali ibn Hajar Al ‘Asqalani. Bulugh al MaramMin jam’I AdilatiAl Ahkam (Kairo: Dar Al Hadis, 2003), h.182. Lihat juga Muhammad ibn Ali ibn Muhammad As Syaukani, Nail Al Author Juz 5(Maktabah al Iman, t.th), h.271.

28

Kedua, Isteri yang dikhulu’. Di antara persyaratan yang harus dipenuhi yaitu: a. Ia berada dalam wilayah suami dalam arti isterinya atau yang telah diceraikan, tetapi masih dalam masa iddah raj’i, b. Ia dipandang telah dapat bertindak atas harta karena dalam rukun khulu’ ini isteri harus menyerahkan harta. Dengan demikian isteri adalah orang yang telah baligh, berakal, tidak berada di bawah pengampuan, dan sudah cerdas bertindak atas harta.29

Ketiga, adanya uang tebusan, atau ganti rugi, atau ‘iwadh. Tentang ‘iwadh

dimasukkan sebagai salah satu rukun khulu’ memang terjadi perbedaan pendapat di kalangan Ulama. Menurut Jumhur Ulama memasukkan ‘iwadh sebagai rukun yang tidak boleh ditinggalkan untuk sahnya khulu’. Namun, pendapat yang berbeda satu riwayat dari Ahmad dan Malik yang mengatakan boleh terjadi khulu’ tanpa iwadh.30 Tetapi Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengambil pendapat Jumhur yang mengharuskan adanya ‘iwadh dalam khulu’. Mengenai ‘iwadh itu dalam bentuk sesuatu yang berharga dan dapat dinilai Ulama menyepakatinya.31

Keempat, Shighat atau ucapan cerai yang disampaikan oleh suami dalam

ungkapan tersebut dinyatakan “uang ganti” atau ‘iwadh. Yang dimaksud shighat di sini ialah lafaz khulu’ atau apa yang semakna dengannya seperti

29 Ibid. 30 Ibid. 31 Ibid.,h.236.

kata-kataءا ْﺮﻹا،ةءرﺎ ﻟا ،ءاﺪﻟا ،ءاﺪْﻹاbaik berbentuk shorih (jelas) atau kinayah (samar), maka tidak sah tanpa lafaz seperti annikah dan at-thalaq.32

c. Perbedaan antara Khulu’ dengan Talak

Dalam literatur fiqh memang bab Khulu’ ditempatkan dalam ruang lingkup pembahasan talak, sehingga ketentuan yang berlaku dalam talak sebagian besarnya berlaku juga untuk khulu’. Namun demikian, ada perbedaan antara khulu’ dengan talak yakni:

1) Dalam hal waktu dijatuhkannya di mana khulu’ boleh terjadi pada waktu yang tidak boleh terjadi talak, sehingga boleh terjadi ketika isteri sedang haid, nifas, atau dalam keadaan suci yang telah digauli.33

2) Dari segi siapa yang berkehendak untuk putusnya perkawinan, maka dapat dibedakan bahwa khulu’ diajukan atas kehendak isteri dengan menyerahkan ‘iwadh kepada suaminya. Sedangkan talak diajukan atas kehendak suami dengan alasan tertentu dan dinyatakan dengan ucapan tertentu.34

2. Fasakh a. Definisi

32

Wahbah Zuhailiy, Al Fiqh Al Islamiy Wa Adillatuhu, Juz IX, h.7014.

33

Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Cet. Ke-2,h.225.

34

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h.197.

Fasakh berasal dari bahasa Arab dari akar kata fa-sa-kha yang secara etimologi berarti rusak dan membatalkan ( ﻀْﻘوٌﺪﺴ).35 Kalau dikaitkan kata ini dengan akad nikah maka berarti membatalkannya dan melepaskan ikatan pertalian antara suami isteri.36

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia secara istilah pengertian fasakh ialah pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan isteri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan.37 Definisi fasakh tersebut nampaknya sudah disesuaikan dengan hukum yang berlaku di Indonesia, sehingga tidak persis sama dengan definisi yang ditemukan dalam literatur fiqh. Hal itu terbukti dengan disebutkannya sebuah institusi Pengadilan Agama. Ini pertanda bahwa aturan fiqh sudah diakomodir ke dalam hukum Islam di Indonesia yang dirumuskan dalam Peraturan Perundang-undangan seperti terlihat dalam Undang-Undang Perkawinan yang di dalamnya mengatur tentang batalnya perkawinan dalam tujuh Pasal (Pasal 22-28 UU Nomor 1 Tahun 1974) dan khusus fasakh ini (bentuk kedua) diakomodir ke dalam KHI yaitu Pasal 70.

b. Macam-Macam

35

Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: Krapyak, 1984), h. 1133.

36

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 2,h.268.

37

Tim redaksi KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (PT Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka, 2005), h.314.

Dalam kitab fiqh fasakh secara garis besar dibagi menjadi dua macam ditinjau dari segi alasan terjadinya fasakh, yaitu:

Pertama, perkawinan yang sudah berlangsung beberapa waktu dan baru

diketahui di kemudian hari ternyata tidak terpenuhi persyaratan yang ditentukan dalam akad nikah, baik pada rukun maupun syaratnya; atau terdapat halangan (mawani’) yang tidak membolehkan terjadinya perkawinan.38

Contoh fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi dalam akad perkawinan:39

a. Setelah akad nikah ternyata isterinya adalah saudara sesusuan atau ada hubungan nasab, musaharah (perkawinan). Maka, perkawinan seperti ini harus dibatalkan oleh hakim karena memang diharamkan oleh Islam.

b. Suami isteri masih kecil diakadkan oleh selain ayah atau kakeknya,

kemudian setelah dia dewasa maka ia berhak memilih untuk meneruskan ikatan perkawinannya dahulu itu atau mengakhirinya. Khiyar ini disebut dengan khiyar baligh.

Kedua, Fasakh yang terjadi karena pada diri suami atau isteri terdapat sesuatu yang menyebabkan perkawinan tidak mungkin dilanjutkan, sebab kalau

38

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia., h.243.

39

diteruskan akan menyebabkan kerusakan pada suami atau isteri atau keduanya sekaligus. Bentuk fasakh ini disebut sebagai khiyar fasakh dalam kitab fiqh.40

Di antara penyebab terjadinya fasakh yaitu:41 a. Karena ketidak mampuan memberi nafkah, b. Karena cacat atau penyakit,

c. Karena syiqaq atau buruknya pergaulan antara suami isteri, d. Karena ghaib,

e. Karena dipenjara, f. Karena riddah

Adapun setelah melihat uraian fasakh di atas, maka pada dasarnya hukum fasakh itu adalah mubah atau boleh, dengan pertimbangan kemaslahatan yang ingin dicapai oleh suami isteri tersebut dan menghilangkan kemudharatan yang dideritanya42 karena sebagaimana kaidah fiqhiyyah menyatakan: 43لاﺰﻳرﺮﻀﻟا artinya “Kemudaratan itu wajib dihilangkan.”

c. Perbedaan antara Talak dengan Fasakh

40

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h.244.

41

Wahbah Zuhailiy, Al Fiqh Al Islamiy Wa Adillatuhu, Juz IX, h.7040.

42

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h.244.

43

Jalaluddin Abdurrahman As Suyuti. Al Asybah wa Nazhair fi qawaid wa Furu’ Fiqh Syafi’iyyah (Beirut: Dar AlKutubAl Ilmiyyah, t.th), h.83. Lihat juga Abdul Aziz Muhammad Azzam. Al Qawa’id Al Fiqhiyyah (Kairo: Dar Al Hadis, 2005), h.126.

Menurut pendapat Hanafiah, talak itu mengakhiri pernikahan dan menetapkan hak-hak yang terdahulu dari mahar dan semisalnya, dan dikurangi tiga kali kesempatan talak yang dimiliki oleh suami atas isterinya, serta talak tidak terjadi, kecuali dalam akad yang benar. Sedangkan fasakh itu membatalkan akad dari asalnya atau dilarang meneruskan pernikahan itu, dan tidak mengurangi bilangan talak, serta pada umumnya terjadi pada akad yang fasid (rusak).44

Imam Malik menambahkan perbedaan tersebut jika dilihat dari sebab yang menyebabkan perceraian, maka apabila dari kehendak Syara’ bukan dari suami itu disebut fasakh contohnya nikah yang diharamkan karena sepersusuan atau nikah dalam masa iddah.45

Dokumen terkait