• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian perkara syiqaq : analisis putusan pengadilan agama sumber Cirebon nomor 011s/pdt.g/2009/pa,sbr

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penyelesaian perkara syiqaq : analisis putusan pengadilan agama sumber Cirebon nomor 011s/pdt.g/2009/pa,sbr"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

MUHAMMAD TAQIYUDDIN AL QISTHY NIM: 106044101425

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Program Strata Satu (S 1) pada Program Studi Ahwal Al Syakhshiyyah konsentrasi Peradilan Agama.

Jakarta, 17 Juni 2010 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 19550505191982031012

Panitia Ujian Munaqasah

1. Ketua : Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM(………….)

NIP. 19550505191982031012

2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH (………….)

NIP. 197202241998031003

3. Pembimbing I : Drs.H.Sayed Usman, SH, MH (………….)

NIP. 195607031983031002

4. Pembimbing II : Kamarusdiana, S.Ag, MH (………….) NIP.197202241998031003

5. Penguji I : Dr. H. Umar Al Haddad, M.Ag (………….)

NIP.196809041994011001

(3)

Nomor:0118/Pdt.G/2009/PA.SBR) Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

MUHAMMAD TAQIYUDDIN AL QISTHY NIM. 106044101425

Di bawah Bimbingan:

Pembimbing I Pembimbing II

Drs.H. Sayed Usman, SH, M.H Kamarusdiana, S.Ag, M.H

NIP.150 216 755 NIP.197202241998031003

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGAM STUDI AL-AHWAL AL-SAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(4)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh:

MUHAMMAD TAQIYUDDIN Al QISTHY NIM: 106044101425

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Sarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Juni 2010

(6)

serta kekuatan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai

bagian dari tugas akademis di konsentrasi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar

Muhammad SAW, beserta keluarganya, para sahabatnya, tabi’in dan tabi’at hingga

sampailah kepada kita yang mengikuti risalahnya sampai akhir zaman.

Skripsi yang berjudul “ Penyelesaian Perkara Syiqaq (Analisis Putusan Pengadilan Agama Sumber, Cirebon Nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR)”

akhirnya dapat terselesaikan sesuai dengan harapan penulis. Kebahagiaan yang tak

ternilai bagi penulis secara pribadi adalah dapat mempersembahkan yang terbaik

kepada orang tua, seluruh keluarga dan pihak-pihak yang telah ikut andil dalam

mensukseskan harapan penulis.

Sebagai bahan yang berharga ini perkenankan penulis menuangkan dalam

bentuk ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. Dekan Fakultas Syariah

Dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif HIdayatullah Jakarta yang

banyak memberikan nasihat-nasihat yang berharga demi meningkatkan kualitas

spiritual dan intelektual kepada mahasiswa/I Fakultas Syariah dan Hukum.

(7)

3. Kamarusdiana, S.Ag,MH. Sekertaris Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah yang

banyak membantu dengan tulus ikhlas kepada penulis selama proses perkuliahan

selama empat tahun ini dan membantu memudahkan mahasiswa secara birokrasi

dan administrasi kampus.

4. Drs.H.Sayed Usman,SH, MH dan Kamarusdiana, S.Ag, MH selaku dosen

pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu disela-sela kesibukan

kariernya masing-masing dalam memberikan masukan maupun nasihat dalam

penyusunan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama di bangku kuliah.

6. Drs.Oon Syahroni, SH Ketua Pengadilan Agama Sumber beserta seluruh staf

jajarannya baik Panitera, Panitera Muda Hukum, dan hakim-hakim wa bil khusus

kepada Bapak Drs.Ahmad Sodikin dan Drs. Bahruddin yang telah meluangkan

waktunya untuk diwawancarai demi terselesaikan penelitian ini. Di samping itu

juga membantu dalam memperoleh data dan informasi yang penulis butuhkan

dalam penyusunan skripsi ini.

7. Rasa Ta’zhim & terima kasih yang mendalam kepada ayahanda Drs.Mujahidin

dan Ibunda tercinta Ety Herawati, A.md.Pd., yang telah memberikan banyak

motivasi dan beaya pendidikan selama ini sampai ke jenjang Perguruan Tinggi

(8)

studi dan juga atas perjuangan mereka yang telah mendidik dan mengajarkan arti

kehidupan. Penulis persembahkan skripsi ini.

8. Adik-adikku tercinta, Ahmad Khotibul Umam dan Zaki Mahmud yang

memberikan support kepada penulis selama kuliah di kampus UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

10. Para Ustadz Madrasah Mu’allimin Muhammadiyyah Yogyakarta dan

teman-teman seperjuangan yang kini telah menjadi alumni yang telah memberikan

dukungan doa demi selesainya studi di kampus tercinta ini.

11. Sahabat-sahabat seperjuangan di kelas PA B angkatan 2006 yang tidak bisa

penulis sebutkan satu per satu yang telah bersama-sama berjuang dalam menuntut

ilmu baik dalam suasana suka maupun duka di Fakultas Syariah dan Hukum yang

tercinta dan atas persahabatan yang selama ini dibangun tak akan tergantikan

kapan dan di manapun itu tetap akan dikenang tak terlupakan oleh penulis.

12. Teman-teman Pengurus Badan Eksekutif Jurusan Peradilan Agama (BEMJ PA)

yang banyak memberikan pengajaran organsisasi selama penulis kuliah di

Fakultas Syariah dan Hukum tercinta.

Semoga amal yang telah diberikan kepada penulis dapat dibalas oleh Allah

SWT dengan pahala yang berlipat ganda. Demi kesempurnaan skripsi ini di masa

(9)

د

kita semuanya. Fastabiqul khoirot

Jakarta, 2 Juni 2010

Penulis

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Metode Penelitian ... 8

E. Review Studi Terdahulu... 14

F. Kerangka Teori... 16

G. Sistematika Penulisan ... 24

BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN A. Pengertian dan Dasar Hukum ... 25

B. Macam-macam Perceraian ... 35

C. Alasan-alasan Perceraian ... 43

D. Perbedaan Cerai Gugat dengan Cerai Talak ... 46

BAB III SYIQAQ DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Pengertian Syiqaq dan Landasan Hukum ... 48

B. Perbedaan Syiqaq dengan Nusyuz ... 51

C. Syarat-syarat dan Tugas Hakam... 55

D. Kedudukan Keluarga dalam Perkara Syiqaq ... 59

BAB IV PENYELESAIAN PERKARA SYIQAQ DI PENGADILAN AGAMA SUMBER, CIREBON A. Faktor-Faktor Terjadinya Syiqaq di Pengadilan Agama Sumber, Cirebon ... 63

B. Proses Pemeriksaan Perceraian dengan Alasan Syiqaq di Pengadilan Agama Sumber, Cirebon ... 64

(11)

vi BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 86 B. Saran-saran... 88

DAFTAR PUSTAKA... 90

LAMPIRAN

Profil Pengadilan Agama Sumber

Laporan Wawancara dengan Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Sumber

Laporan Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Sumber

Putusan Pengadilan Agama Sumber Nomor: 0118/PDt.G/2009/PA.SBR

Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di Pengadilan Agama Sumber

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan implementasi dari naluri sifat manusia, Allah secara tegas mengintrodusir ciptaan-Nya dalam Al Qur’an dengan berpasang-pasangan, dan berjodoh-jodoh. Untuk terwujudnya hidup berpasang-pasangan tersebut, maka perlu aturan yang disebut hukum perkawinan.1

Filosofi dasar perkawinan adalah upaya menciptakan kehidupan suami isteri yang harmonis dalam rangka membentuk dan membina rumah tangga sakinah, mawadah, dan rahmah. Setiap suami isteri tentu saja mendambakan kehidupan rumah tangga yang langgeng sepanjang hayat di kandung badan.2

Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat sakral dalam perjalanan kehidupan umat manusia. Dikatakan sakral karena dalam akad pernikahan yang dilangsungkan tersebut pihak suami mengucapkan akad nikah dimana dia dengan suka rela telah menyatakan qobul dari ucapan ijab wali calon isteri. Sebab dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2 disebutkan “Perkawinan menurut hukum Islam

1 Baharudin Ahmad , Hukum Perkawinan di Indonesia Studi Historis Metodologis (Jakarta : Gaung Persada Press, 2008), h.4.

(13)

adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk

menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah.3

Diadakan akad nikah adalah untuk selama-lamanya sampai suami isteri tersebut meninggal dunia karena yang diinginkan oleh Islam adalah langgengnya kehidupan perkawinan. Suami isteri bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga tempat berlindung, menikmati naungan kasih sayang dan dapat memelihara anak-anaknya hidup dalam pertumbuhan yang baik agar anak-anak bisa menjadi generasi yang berkualitas. Oleh karena itu, ikatan antara suami isteri adalah ikatan yang paling suci dan teramat kokoh4.

Namun, dalam kenyataan harus diakui memang tidak mudah untuk membina suatu perkawinan yang bahagia, bahkan sering terlihat dalam berbagai informasi baik dari media cetak maupun elektronik terdapat berbagai kasus perceraian yang mengakibatkan perkawinan mereka kandas di tengah jalan. Bukannya kebahagiaan atau ketentraman yang diperoleh di dalam rumah tangga, tetapi yang terjadi adalah pertengkaran yang sengit antara suami isteri tersebut.

Dengan melihat hal itu, kehidupan rumah tangga ibarat seseorang yang mendaki gunung yang tinggi. Dimana pendaki gunung tersebut harus melewati berbagai rintangan yang harus dihadapi dengan penuh kesabaran dan ketelitian. Cara yang dilakukan oleh pendaki tersebut berbeda satu dengan yang lainnya dalam

3

Zainal Abidin Abu Bakar, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, Cet.3(Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 1993), h.307.

4

(14)

menghadapi serta menanganinya. Ada yang berhasil mendaki sampai puncak tertinggi dan ada pula yang berjatuhan di tengah perjalanan. Demikian juga keadaan setiap manusia yang sedang menjalani kehidupan rumah tangga, tidak berbeda dari pendaki gunung yang tinggi yang penuh dengan berbagai macam rintangan.

Dalam kenyataan menunjukkan bahwa hubungan suami isteri tidak selamanya dapat dipelihara secara harmonis, kadang-kadang suami isteri itu gagal dalam mendirikan rumah tangganya karena menemui beberapa masalah yang tidak dapat diatasi. Meskipun suami isteri sedang terbakar api kemarahan dan kebencian, tetapi pengakhiran dan penyelesaian persoalan harus dilakukan secara baik dan benar, sebagaimana ketentuan ajaran agama dan hukum yang berlaku. Upaya mengakhirkan kemelut berkepanjangan dapat diselesaikan melalui alternatif talak (perceraian).

Walaupun dengan pedoman tersebut Rasulullah SAW memperingatkan secara bijak bahwa tindakan itu tidaklah diinginkan, kecuali dalam situasi yang sangat darurat dimana sudah tidak ada harapan lagi untuk dipertahankan pernikahan mereka, sehingga solusi terakhir yang harus diambil kedua belah pihak yaitu perceraian demi menghindari kemudharatan yang diderita oleh pihak suami atau isteri yang mengalami percekcokan dan perselisihan dalam rumah tangganya.5

Untuk mengatasi kasus perceraian antara suami isteri yang beragama Islam, maka masing-masing pihak diberi hak oleh Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

5

(15)

Agama untuk mengajukan permohonan cerai talak bagi suami dan begitu pula bagi isteri diberi hak yang sama untuk mengajukan cerai gugat kepada Pengadilan Agama. Tentunya mereka harus mempunyai alasan yang kuat mengapa perceraian tersebut bisa terjadi.

Perceraian tidak dapat terjadi kecuali dengan sebab-sebab yang dapat dipertanggung jawabkan seperti yang telah diatur dalam kitab-kitab fiqih dan peraturan perundang-undangan. Tujuan dari aturan tersebut agar melindungi kehormatan suami dan istri, sehingga ucapan talak tidak sembarang dilontarkan oleh suami pada isterinya, akan tetapi dia harus mengajukan permohonan talak di depan sidang Pengadilan Agama.6

Dari salah satu sebab perceraian dalam kitab fiqih adalah syiqaq yaitu perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami isteri. Dimana keduanya memang saling bertengkar hebat sehingga perkawinan mereka hampir berujung retak. Oleh karena itu, Allah memberikan solusi yang sangat bijak agar menunjuk seorang hakam yaitu juru penengah, pendamai dari keluarga suami dan satu orang hakam

dari keluarga isteri. Dipilih hakam dari pihak keluarga karena biasanya mereka mengetahui keadaan yang terjadi dalam rumah tangga suami isteri yang sedang cekcok tersebut. Diharapkan orang yang ditunjuk sebagai hakam ini bisa menasehati suami isteri yang sedang bertengkar hebat tersebut, sehingga mereka bisa rukun

6

(16)

kembali perkawinannya dan mengurungkan niatnya untuk bercerai di depan sidang Pengadilan Agama.

Dari pengamatan yang penulis perhatikan ternyata kasus Perceraian dengan alasan syiqaq bisa dikatakan tergolong banyak terjadi di Pengadilan Agama Sumber, Cirebon, Jawa Barat apabila dihitung secara kuantitatif selama tahun 2009 mencapai 1.538 perkara.7 Sempat terlintas dalam benak penulis sebenarnya faktor-faktor apa saja yang mendorong para pihak mengajukan perceraian dengan alasan syiqaq, lalu setelah surat permohonan atau gugatan cerai tersebut diterima oleh Pengadilan Agama dan ditunjuk Majelis Hakim yang memeriksa perkara perceraian dengan alasan syiqaq. Maka, bagaimana tata cara Majelis Hakim dalam memeriksa perkara tersebut. Sejumlah pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendorong rasa ingin tahu penulis dan ini menarik untuk diteliti lebih lanjut, sehingga penulis menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul: “Penyelesaian Perkara Syiqaq (Analisis Putusan Pengadilan Agama Sumber, Cirebon No: 0118/ Pdt.G/2009/PA.SBR)”.

B.Batasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan ini tidak meluas, maka dalam penelitian ini penulis terfokus pada kasus gugatan perceraian yang diajukan oleh isteri dengan alasan syiqaq yang pada mulanya disebabkan oleh kecemburuan suami kepada isterinya,

(17)

sehingga menyebabkan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus, kemudian diajukan ke Pengadilan Agama Sumber, Cirebon dengan khusus menitikberatkan terhadap putusan No: 0118/ Pdt.G/2009/PA.SBR.

Dari data yang penulis ketahui di Pengadilan Agama Sumber, perceraian yang masuk dalam kategori syiqaq ini termasuk banyak, terbukti selama tahun 2009 perkara syiqaq yang telah diputus mencapai 1.538 perkara.8 Di samping itu, sebagaimana dirilis oleh situs resmi Badan Peradilan Agama (Badilag), Badilag.net dicantumkan bahwa sepanjang tahun 2009 dari seluruh Pengadilan

Agama yang tersebar di wilayah Indonesia ternyata Pengadilan Agama Sumber termasuk urutan kelima sebagai Pengadilan yang mendapat rating yang tinggi dalam menerima dan memutus perkara perceraian.9

2. Perumusan Masalah

Untuk memudahkan pembahasan tersebut, maka penulis merincinya dengan membuat beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya syiqaq di antara para pihak yang berperkara selama tahun 2009 di Pengadilan Agama Sumber ? 2. Bagaimana tata cara pemeriksaan kasus syiqaq yang diselesaikan oleh Majelis

Hakim Pengadilan Agama Sumber, Cirebon ?

3. Bagaimana pertimbangan hukum dan amar putusan yang digunakan oleh

8

Ibid.

9

Anonim, “Data Perkara Terbesar Pengadilan Agama Tahun 2009”, artikel diakses pada

(18)

Majelis Hakim tersebut dalam putusan perkara nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA. SBR?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap realitas hukum yang ada di lingkungan Pengadilan Agama, khususnya dalam ruang lingkup perkara perceraian dengan alasan syiqaq di Pengadilan Agama Sumber. Secara lebih rinci penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya syiqaq.

2. Memperoleh pengetahuan tentang tata cara pemeriksaan kasus syiqaq yang diselesaikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Sumber, Cirebon. 3. Mengetahui pertimbangan hukum dan amar putusan yang digunakan oleh

Majelis Hakim dalam putusan perkara nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA. SBR. 2. Manfaat Penelitian

Penulis berharap penelitian ini dapat memberi manfaat di antaranya sebagai berikut:

(19)

b. Secara praktis sebagai bahan rekomendasi bagi para advokat dan hakim

Pengadilan Agama untuk dijadikan referensi dalam menghadapi kasus perceraian dengan alasan syiqaq.

c. Memberikan pengetahuan secara mendalam mengenai pertimbangan Majelis Hakim pada putusan dalam memutus perceraian dengan alasan syiqaq.

D.Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini, maka penulis menggunakan beberapa metode antara lain:

1. Pendekatan Penelitian

Dari segi metode penelitian hukum, dengan melihat objek pembahasan ini tertuju pada penelitian suatu putusan Pengadilan, maka kajian ini termasuk pada penelitian hukum normatif. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, yang dimaksud dengan penelitian hukum normatif, yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.10

Dalam kaitannya dengan penelitian hukum normatif dapat digunakan beberapa pendekatan yang bisa membantu penulis dalam menganalisis putusan Pengadilan, yakni: pendekatan perundang-undangan (statute approach),

10

(20)

pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan analitis (analytical approach).11

Maksud masing-masing pendekatan tersebut secara operasional adalah

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan ini digunakan untuk mengetahui peraturan perundang-undangan yang digunakan oleh majelis hakim Pengadilan Agama Sumber sebagai dasar hukum dalam pertimbangan hukum dan amar putusan yang dijatuhkan.

b. Pendekatan konseptual (conceptual approach), dilakukan berkenaan dengan konsep perceraian dalam hukum Islam termasuk juga doktrin fiqih dalam kaitannya dengan persoalan syiqaq, dan asas-asas yang terdapat dalam hukum acara Peradilan Agama termasuk pemeriksaan perkara perceraian dengan alasan syiqaq yang menjadi lex specialis (aturan khusus) dari ketentuan perceraian pada umumnya.

c. Pendekatan analitis (analytical approach), dilakukan untuk mengetahui pengertian hukum, asas hukum, dan kaidah hukum yang tersimpan dalam putusan majelis hakim Pengadilan Agama Sumber khususnya perkara syiqaq yang sejatinya merupakan upaya positivisasi hukum Islam terkait dengan hukum keluarga.

11

(21)

2. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian setelah penulis melihat data yang dibutuhkan dalam judul skripsi ini, maka termasuk dalam kategori penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang atau perilaku yang diteliti.12 Dalam hal ini karena termasuk pendekatan normatif, maka jenis penelitian ini bisa disebut sebagai penelitian kepustakaan.

3. Sumber Data

Sebagai suatu penelitian hukum normatif yang hanya ditujukan pada putusan Pengadilan Agama Sumber, maka jenis data yang diperlukan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah berupa bahan-bahan hukum.13 Dalam hal ini, baik yang bersumber dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.14

Adapun bahan-bahan hukum dimaksud adalah: a. Bahan hukum Primer

Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Di antara yang termasuk kategori tersebut adalah peraturan perundang-undangan dan

12

Sudarman Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h.51.

13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3 (Jakarta: UI Press, 1986), h.51. 14

(22)

putusan hakim.15 Dari penjelasan tersebut jika dikaitkan dengan objek pembahasan ini, maka bahan hukum primer itu terdiri dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Di samping itu berupa putusan cerai dengan alasan syiqaq dengan nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA. SBR yang diperoleh dari Pengadilan Agama Sumber, Cirebon.

b. Bahan Hukum Sekunder

Dari penelitian ini sebagai pelengkap data dalam mencari jawaban dari permasalahan yang disebutkan sebelumnya, maka diperlukan bahan hukum sekunder baik berupa kitab-kitab fikih yang merupakan hasil karya para ahli dalam bidang hukum Islam,16 jurnal-jurnal hukum, kamus hukum,17 dan hasil interview (wawancara) dalam bentuk tertulis.18

Dalam hal ini penulis melakukan interview (wawancara) terstruktur terhadap panitera muda hukum sebagai pejabat peradilan yang membuat laporan tertulis berupa data-data perkara di Pengadilan yang didokumentasi

15

Ibid.

16 Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h.52. 17Peter Mahmud, Penelitian Hukum, h.155. 18

(23)

setiap tahun. Di samping itu, penulis juga melakukan wawancara kepada salah satu hakim Pengadilan Agama Sumber yang memeriksa perkara ini, kemudian data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan masalah yang dikaji.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Mengumpulkan berbagai referensi baik berupa buku-buku, jurnal-jurnal hukum, dan kitab-kitab fikih yang khusus berbicara tentang penyelesaian perkara syiqaq lalu dihubungkan dengan putusan majelis hakim Pengadilan Agama Sumber nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR dan peraturan perundang-undangan yang mengatur syiqaq khususnya pada Pasal 76 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Pasal 134 Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan Pasal 19 (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo 116 (f) Kompilasi Hukum Islam. Dari data tersebut diolah sedemikian rupa, sehingga akan terlihat dengan jelas sebagai jawaban atas rumusan masalah yang dikaji. b. Interview atau wawancara, yakni tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih

(24)

diwawancara.19 Dalam hal ini penulis melakukan wawancara terstruktur dengan pihak-pihak yang ada kaitannya dengan judul skripsi ini yaitu panitera muda hukum dan hakim yang memeriksa perkara syiqaq ini. Dengan tujuan agar memperoleh data yang lengkap sebagai alat dalam membantu menemukan jawaban atas permasalahan yang diteliti dalam skripsi ini.

5. Teknik Analisis Data

Metode analisis data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data tersebut secara jelas dan mengambil isinya dengan menggunakan content analysis. Data kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan bahasa

penulis sendiri, dengan demikian akan nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti.

Untuk memperjelas analisis data tersebut, maka penulis menggunakan dua teori yang relevan yaitu teori strukturalis fungsional sebagai pisau analisis untuk melihat faktor-faktor penyebab terjadinya syiqaq selama tahun 2009 di Pengadilan Agama Sumber dan teori konkretisasi hukum yang digagas oleh Hans Kelsen lalu dikembangkan oleh Hans Nawiasky sebagai pijakan teori dalam menganalisis pertimbangan hukum dan amar putusan majelis hakim Pengadilan Agama Sumber Nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR.

19

(25)

6. Teknik Penulisan

Adapun untuk teknis penulisan ini penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.”

E.Review Studi Terdahulu

Penulis menemukan beberapa judul skripsi yang pernah ditulis oleh mahasiswa-mahasiswa sebelumnya yang berkaitan erat dengan judul skripsi yang akan diteliti oleh penulis. Ternyata setelah penulis membaca beberapa skripsi tersebut ditemukan pembahasan yang berbeda dengan judul skripsi yang akan penulis ajukan, sehingga dalam penulisan skripsi ini nantinya tidak akan timbul kecurigaan plagiasi. Untuk itu di bawah ini akan penulis kemukakan 2 buah skripsi yang pernah ditulis oleh mereka, diantaranya sebagai berikut:

1. Judul: “Hakam Menurut Imam Mazhab dan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, serta peranannya dalam menyelesaikan sengketa perceraian (Studi Kasus Pengadilan Agama Jakarta Utara)” yang ditulis oleh Budi Setiawan/ PF/PMH/2006.

(26)

Peradilan Agama terhadap Hakam, serta bentuk dan upaya Hakam dalam mendamaikan.

Juga peranan Hakam di Pengadilan Agama Jakarta Utara yang terdiri dari sekilas tentang Pengadilan Agama Jakarta Utara, jenis perkara yang ditangani Hakam, serta peranan Hakam dalam sengketa perceraian di Pengadilan Agama

Jakarta Utara.

Perbedaan skripsi ini dengan judul yang penulis angkat ialah pada skripsi ini lebih menekankan pada pembahasan Hakam ditinjau dari pendapat Fukoha dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sedangkan judul yang penulis angkat membahas tentang penyelesaian perceraian dengan alasan syiqaq (Analisis Putusan Pengadilan Agama Sumber, Cirebon Nomor: 0118/

Pdt.G/2009/PA.SBR).

2. Judul: “Kedudukan dan Kewenangan Hakam Dalam Penyelesaian Masalah Syiqaq Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam (Studi Kasus di BP 4 Ciputat)”yang ditulis oleh Hidayati Hanubun/ PH/PMH/2008.

Skripsi ini membahas seputar pandangan hukum positif dan hukum Islam tentang pengertian Hakam dan fungsinya, kedudukan dan kewenangan BP 4 sebagai Hakam dalam masalah syiqaq. Selain itu dalam skripsi ini membahas efektifitas BP 4 sebagai Hakam dalam penyelesaian masalah syiqaq.

(27)

sedangkan skripsi penulis akan menbahas tentang faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya syiqaq diantara para pihak yang berperkara, bagaimana proses pemeriksaan kasus syiqaq yang diselesaikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Sumber, Cirebon; dan pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim tersebut.

F. Kerangka Teori

Dalam pembahasan yang akan diteliti selanjutnya jelas berkaitan erat dengan masalah sosial yang mempengaruhi jumlah perceraian dengan alasan syiqaq antara para pihak yang berperkara di mana mereka bertempat tinggal baik di desa maupun kota sekitar wilayah dalam yurisdiksi Pengadilan Agama Sumber, Cirebon.

Dari hasil temuan berupa data-data yang diperoleh dari laporan maupun hasil wawancara pribadi dengan Panitera Muda Hukum dan hakim Pengadilan Agama Sumber terutama yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab terjadinya syiqaq selama tahun 2009, maka selanjutnya penulis akan menggunakan salah satu teori dalam sosiologi yang relevan untuk menganalisis faktor-faktor tersebut, yakni teori fungsional struktural. Penjelasan mengenai teori tersebut akan dipaparkan pada

pembahasan berikut ini.

Teori Fungsional Struktural

Fungsional struktural adalah salah satu paham atau perspektif di dalam

(28)

bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain dan bagian-bagian yang satu tak dapat berfungsi tanpa ada hubungan dengan yang lain.20

Selanjutnya perubahan yang terjadi pada salah satu bagian akan menyebabkan ketidakseimbangan dan pada gilirannya akan menciptakan perubahan pada bagian lain. Asumsi dasar teori ini ialah bahwa semua elemen atau unsur kehidupan masyarakat harus berfungsi, sehingga masyarakat secara keseluruhan bisa menjalankan fungsinya dengan baik.21

Karena yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini berkaitan dengan isi putusan Pengadilan Agama yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka menurut hemat penulis sebagaimana dikemukakan oleh Cik Hasan Bisri untuk menjelaskan putusan Pengadilan dapat digunakan teori yang relevan, yakni teori konkretisasi hukum (stufenbau theory) yang digagas oleh Hans Kelsen kemudian dikembangkan selanjutnya oleh muridnya yang bernama Hans Nawiasky.22

Dari teori tersebut dipakai sebagai pijakan analisis penulis nantinya terhadap putusan Pengadilan Agama Sumber nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR yang bisa dikatakan mempunyai kontribusi dalam upaya proses penerapan hukum Islam yang berkaitan dengan bidang Perkawinan, sehingga hukum Islam yang tertera dalam Al Qur’an, Sunnah Nabi, dan ijtihad Ulama dalam kitab-kitab fiqih dapat terus

20 Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern (Jakarta : Prestasi Pustakaraya, 2007), h.48. 21 Ibid.

22

(29)

dilanjutkan dan diimplementasikan oleh masyarakat sepanjang masa di seluruh tempat terlebih di Negara Indonesia yang notabene mempunyai warga Negara yang mayoritas beragama Islam.

Agar menjadi jelas dalam pembahasan selanjutnya, maka berikut ini akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai teori tersebut.

Teori Stufenbau Hans Kelsen

Salah satu teori yang masih dipakai sampai sekarang darinya adalah teori Jenjang (Stufenbautheorieder normen) yang sering disingkat teori stufenbau yang digagas oleh Hans Kelsen dan kemudian dikembangkan oleh muridnya yang bernama Hans Nawiasky. Kelsen mengemukakan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang–jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti , suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu norma dasar (Grundnorm).23

23

(30)

Sebagai norma yang tertinggi, grundnorm tersebut harus diterima secara aksiomatis (kenyataan yang diterima sebagai kebenaran tanpa perlu pembuktian lebih

lanjut.24

Teori Kelsen di atas memang masih bersifat umum karena tidak ditujukan khusus kepada norma hukum. Artinya, norma apapun (agama, kesusilaan, sopan santun, dan hukum) mengalami lapisan-lapisan dari yang terendah sampai yang tertinggi. Dalam perkembangan selanjutnya, teori itu dikembangkan oleh muridnya yang bernama Hans Nawiasky, dengan teorinya Die Stufenordnung der Rechtnormen atau Die Lehre von dem Stufenaufbau der Rechtsordnung. Berbeda dengan Kelsen, teori Nawiasky lebih bersifat khusus, karena ia sudah menerapkannya terhadap norma hukum sebagai aturan-aturan yang yang dikeluarkan oleh Negara.25

Nawiasky membagi norma hukum dalam empat kelompok norma, yaitu : (1) Staatsfundamental norm, (2) Staatsgrund gesetz, (3) Formulle Gesetze, dan (4)

verordnungen dan Autonome Satzungen. Dari pembagian di atas jelas terdapat

perbedaan istilah antara Nawiasky dengan Kelsen terutama yang berkaitan dengan norma dasar Negara. Kalau Nawiasky menyebut norma dasar Negara dengan istilah Staatsfundamental norm, bukan grundnorm atau Staatsgrundnorm seperti pendapat

Kelsen, dengan pertimbangan apabila dipakai Grundnorm itu mempunyai kecenderungan bahwa norma dasar Negara tidak berubah atau bersifat tetap,

24

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia (Jakarta : PT Gramedia Utama, 1995), h.223.

(31)

sedangkan di dalam suatu Negara norma dasar itu negara itu dapat berubah sewaktu-waktu oleh adanya suatu pemberontakan, kudeta, dan sebagainya.26

Di dalam sistem norma hukum Negara Indonesia, Pancasila merupakan norma fundamental Negara yang merupakan norma hukum yang tertinggi, dan kemudian secara berturut-turut diikuti oleh Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR, serta hukum dasar tidak tertulis atau disebut juga Konvensi Ketatanegaraan sebagai Aturan Dasar Negara/ Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz), Undang-undang (formel gesetz) serta Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom (verordnung & Autoneme Satzung) yang dimulai dari Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, dan peraturan pelaksanaan serta peraturan otonom lainnya.27

Dari teori peringkat hukum yang tersusun dari rechtidee (cita hukum/hukum abstrak), norma antara, dan norma konkret tersebut, apabila ditarik untuk melembagakan hukum Islam, maka yang menjadi cita hukum adalah nilai-nilai Islam yang terdapat dalam Al Qur’an dan hadits Nabi. Norma abstrak ini bersifat universal dan tidak boleh dilakukan perubahan sedikitpun oleh manusia. Norma antara adalah asas-asas hukum Islam dan pengaturannya sebagaimana dikembangkan oleh ahli hukum Islam.28 Norma antara ini merupakan asas-asas hukum yang dihasilkan oleh

26 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, h.47-48. 27 Ibid., h.57.

28

(32)

ijtihad para Ulama untuk merealisasikan nilai-nilai dalam norma abstrak berdasarkan situasi dan kondisi sosial budaya manusia yang bersangkutan. Sedangkan yang menjadi norma konkret adalah semua hasil penerapannya dalam masyarakat dan penegakannya melalui Pengadilan. (dalam bentuk living law dan hukum positif).29

Menurut Rifyal Ka’bah sebagaimana dikutip oleh Samsul Bahri, sebelum menjadi hukum positif, hukum Islam membutuhkan formulasi dalam bentuk kode-kode hukum Islam (dalam bentuk bahasa hukum umum) yang siap pakai dengan kebutuhan penyelenggaraan hidup berbangsa dan bermasyarakat.30

Menurut Jimly As Shiddiqi sebagaimana dikutip oleh Samsul Bahri, dalam pembentukan hukum dapat ditempuh melalui dua jalur yaitu dengan melalui prosedur legislasi dan melalui yurisprudensi.31

Pada pembahasan ini akan lebih ditekankan pada positivisasi hukum Islam melalui yurisprudensi karena erat kaitannya dengan putusan majelis hakim Pengadilan Agama Sumber perkara nomor : 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Dalam mengupayakan positivisasi hukum Islam yang dilakukan melalui yurisprudensi, maka hakim akan melakukan ijtihad untuk menemukan asas dan kaidah hukum dalam norma yang terkandung dalam Al Qur’an melalui fiqh yang merupakan norma antara, agar bisa diterapkan dalam kasus konkret. Di samping itu,

29 Ibid., h.52.

(33)

untuk dapat merealisasikan asas norma dalam Al Qur’an pada kasus konkret hakim harus mengerti dan tidak boleh menyimpang dari maqashid al-syari’ah, yaitu tujuan tujuan umum dari norma yang dikandung dalam Al Qur’an yang tidak lain adalah ruh ajaran agama demi kemaslahatan manusia.32

Menurut Padmo Wahjono, norma abstrak hukum Islam berbentuk nilai-nilai yang dikandung dalam kitab suci Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Karena berisi nilai-nilai Al Qur’an, maka norma abstrak dalam sistem hukum Islam bersifat universal, abadi, dan tidak dapat diubah oleh manusia. Norma antara dalam sistem hukum Islam berupa asas-asas dan kaidah pengaturan yang dihasilkan oleh kreasi manusia yang terikat dengan situasi, kondisi, ruang, dan waktu. Norma antara ini adalah karya ilmiah para Ulama, pakar/ ilmuwan Islam (fuqaha), termasuk Kompilasi Hukum Islam (KHI).33

Sedangkan norma konkret hukum Islam adalah semua hasil penerapan dan pelayanan hukum kreasi manusia (yang bersumber dari norma abstrak melalui norma antara) serta penegakan hukum di Pengadilan.34

Kesejajaran hubungan stufenbau theorie dalam positivisasi hukum Islam dapat digambarkan sebagai berikut:

32

Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), h.304.

33

Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar, Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), h.150.

(34)

Norma Hukum Konkret:

Pedoman di dalam penjelasan pasal 28,

Hukum konkret harus berdimensi demokratis,kemanu- siaan dan keadilan sosial

Norma Hukum Indonesia

Teori Stufenbau Hukum Islam

Keterangan:

=garis kesejajaran =garis hubungan

transformasi

Sumber: buku Samsul Bahri,Membumikan Syariat Islam, h.132 Staats- fundamental norm Norma Hukum Antara: UUD 1945 menciptakan pokok pikiran dalam

pasal-pasal. Aturan untuk penyelenggaraan aturan pokok Norma konkret: semua hasil penerapan dan penegakan di Pengadilan Norma Hukum Antara:

Asas dan kaidah pengaturan hasil karya manusia Norma Hukum

(35)

G.Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagai berikut:

Bab Pertama : memuat Pendahuluan yang mencakup Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Rumusan Masalah, Manfaat dan Tujuan Penelitian, Metode Penelitian, Review Studi Terdahulu, Kerangka Teori, dan Sistematika Penulisan.

Bab Kedua : memuat Pengertian tentang Perceraian dan Dasar Hukum, Macam-macam Perceraian, Alasan-alasan Perceraian, dan Perbedaan Cerai Gugat dengan Cerai Talak.

Bab Ketiga : memuat Pengertian Syiqaq dan Landasan Hukum, Perbedaan Syiqaq dengan Nusyuz, Syarat-syarat dan Tugas Hakam, Kedudukan Keluarga dalam Perkara Syiqaq.

BabKeempat: memuat Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Syiqaq di Pengadilan Agama Sumber, Proses Pemeriksaan Perceraian dengan Alasan Syiqaq di Pengadilan Agama Sumber, Cirebon, Duduk Perkara dan pertimbangan hukum, putusan hakim Pengadilan Agama Sumber, dan Analisis Penulis.

(36)

BAB II

KETENTUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN

A.Pengertian dan Landasan Hukum

Perceraian terambil dari kata “cerai” dan dalam bahasa Arab sering disebut

dengan “thalaq” (ق ). Thalaq secara etimologis sebagaimana tertera dalam kitab

Lisan al ‘Arab karangan Ibnu Manzur berarti لﺎ ْر ْﻟاو ﻟا” , artinya “melepaskan

atau meninggalkan”.1 Menurut terminologis thalaq didefinisikan oleh beberapa

Ulama dengan redaksi yang berbeda sebagaimana akan disebutkan di bawah ini:

Sayyid Sabiq dalam kitabnya “Fiqh Al Sunnah” memberikan definisi thalaq

ialah

ﺔ ﺟْوﺰﻟا

ﺔ ﺎ ﻌْﻟا

ءﺎﻬْإو

جاوﺰﻟا

ﺔﻄ ار

.

2

Artinya: “melepaskan ikatan perkawinan atau menyelesaikan hubungan

perkawinan.”

Sedangkan Dr. Wahbah Zuhaily dalam kitabnya “Al Fiqh Al-Islami Wa

Adilatuhu” memberikan definisi thalaq sebagai berikut

ْﻘ

ْوأ

حﺎﻜ ﻟا

ﻄﻟا

ﻆْ

حﺎﻜ ﻟا

و

ق

ﻮْ

.

3

1

Imam Al ‘Allamah ibn Manzur, Lisan al ‘Arab (Kairo: Dar Al Hadis, 2003), h.630.

2

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 2 (Beirut: Dar Al Fikr, 1983), h.206.

3

(37)

Thalaq ialah “melepaskan ikatan pernikahan atau melepaskan tali akad nikah dengan

lafaz At-Thalaq dan semisalnya.”

Menurut Abdurrahman Al Jaziry dalam kitabnya “Al Fiqh ‘Ala Mazahib Al

Arba’ah” thalaq didefinisikan sebagai berikut:

ﻄﻟا

صْﻮ ْ

ﻆْ

نﺎ ْﻘ

ْوأ

حﺎﻜ ﻟا

ﺔﻟازإ

ق

.

4

Thalaq ialah “menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi melepaskan

ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu.”

Jadi, beberapa definisi yang dibuat oleh Ulama di atas meskipun

berbeda-beda redaksinya, tetapi sebenarnya mempunyai substansi yang sama di mana talak

ialah salah satu bentuk putusnya perkawinan antara suami dengan isteri karena

sebab-sebab tertentu yang memang sudah tidak dapat diteruskan lagi ikatan

pernikahan mereka demi menghilangkan kesengsaraan yang diderita. Dalam

kitab-kitab fiqh benar bahwa talak itu merupakan hak mutlak suami dan dia dapat

menggunakannya di mana saja dan kapan saja, tanpa harus minta izin terlebih

dahulu. Berbeda dengan khulu’ dimana perceraian dengan kehendak isteri karena dia

merasa khawatir tidak dapat menegakkan ketentuan Allah yang berkaitan dengan hak

dan kewajibannya, sehingga isteri harus memberikan ‘iwadh kepada suaminya.

Talak disyari’atkan berdasarkan Kitab Al Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Di

bawah ini akan disebutkan perinciannya:

4

(38)

Adapun Al Qur’an mengatur talak dalam surat Al Baqarah ayat 229 yang berbunyi:

)

ةﺮﻘ ﻟا

/

2

:

229

(

Artinya:

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik..”(Al Baqarah/2:229).

Dalam surat yang lain juga Allah juga berfirman yang berbunyi:

)

ق ﻄﻟا

/

65

:

1

(

Artinya:

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)”.(Ath Thalaq/65:1).

Adapun Sunnah didasarkan atas sabda Nabi Saw yang menyatakan:

ْا

و

ﺗأﺮْ ا

أ

ﺎ ﻬْ

ﻟا

-ٌ ﺋﺎ

هو

-ﻟا

لﻮ ر

ﺪْﻬ

ρ

لﺄﺴ

ﻟا

لﻮ ر

ρ

ﻚﻟذ

ْ

?

لﺎﻘ

:

"

ﻬْﻌﺟاﺮ ْ

ْﺮ

,

ﺮﻬْﻄﺗ

ﺎﻬْﻜﺴْ ْﻟ

,

,

ﺮﻬْﻄﺗ

,

ﺪْﻌ

ﻚﺴْ أ

ءﺎﺷ

ْنإ

,

ْنأ

ﺪْﻌ

ءﺎﺷ

ْنإو

,

ﺎﻬﻟ

ﻖ ﻄﺗ

ْنأ

ﻟا

ﺮ أ

ﻟا

ةﺪﻌْﻟا

ﻚْ

ءﺎﺴ ﻟا

.

)

ْ

ٌﻖ

(

.

5 5
(39)

Artinya:

“Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Abdullah bin Umar telah menceritakan isterinya ketika haid di zaman Rasulullah SAW masih hidup, lalu Umar bertanya kepada Rasulullah tentang hal itu, maka Rasulullah SAW menjawab: “Perintahkan ia untuk merujuknya kemudian agar dia pegang isterinya sampai waktu suci, kemudian dia berhaid lalu suci lagi, kemudian jika ia mau, ia tetap boleh pegang isterinya setelah itu. Tetapi, jika ia mau mentalak sebelum ia mencampurinya, maka yang demikian itulah iddah yang diperintahkan oleh Allah untuk mentalak isteri-isteri.” (Muttafaq ‘alaih).

ْا

-ﺎ ﻬْ

ﻟا

ر

-لﺎ

:

ﻟا

لﻮ ر

لﺎ

ρ

:

ﻟا

ﺪْ

لﺎ ْﻟا

ْأ

قﺎ ﻄﻟا

.

)

اور

دواد

ﻮ أ

,

ْ ﺟﺎ

ْاو

,

آﺎ ْﻟا

و

,

ﻟﺎ ْرإ

ﺗﺎ

ﻮ أ

ﺟرو

)

.

6 Artinya:

“Dari Ibnu Umar semoga Allah Swt meridhoi keduanya berkata: Rasulullah SAW bersabda: perbuatan halal yang dibenci oleh Allah SWT ialah talak.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, dan Hakim, serta dikuatkan oleh Abu Hatim).

Ijma’. Semua orang telah sepakat mengenai kebolehan talak, secara rasional juga

dikuatkan, karena apabila pernikahan tetap dipertahankan dengan rusaknya keadaan

hubungan antara suami isteri, maka itu mengakibatkan kerusakan dan menimbulkan

kesengsaraan semata dengan mengharuskan suami memberi nafkah dan tempat

tinggal bagi isteri yang akan dicerai.7

Putusnya perkawinan di mana salah satu dari macam-macamnya berupa talak

telah diatur secara panjang lebar dalam kitab-kitab fiqh. Bagi Indonesia meskipun

bukan Negara Islam, tetapi penduduknya yang mayoritas beragama Islam

memerlukan suatu produk perundang-undangan yang dapat mengatur semua

6

Abu Abdullah Muhammad ibn Yazid Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah (Jordan: Baitul Afkar Al Dauliyyah, 2004), h.219.

7

(40)

kelompok umat Islam di Indonesia, sehingga dalam melaksanakan hukum Islam

terutama salah satunya yang berkaitan dengan perkawinan sudah mempunyai

unifikasi hukum yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Aturan talak yang tadinya hanya diatur dalam kitab fiqh sekarang telah

mengalami transformasi ke dalam produk perundang-undangan di Indonesia. Hal ini

bisa dilihat dalam Pasal 38 UU Nomor 1/1974 yang menjelaskan bentuk putusnya

perkawinan dengan rumusan:“Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian; b.

Perceraian; dan c. Atas keputusan Pengadilan.”

Pasal ini dipertegas kembali dengan bunyi yang sama dalam Kompilasi

Hukum Islam (KHI) pasal 113 dan kemudian diuraikan dalam pasal 114 dengan

rumusan: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi

karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.”

Pengertian talak dalam Pasal 114 ini ini dijelaskan dalam Pasal 117. Talak

adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu

sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129,

130, dan 131.

1. Hukum Talak

Para Ahli Fiqh berbeda pendapat mengenai hukum talak ini. Secara garis

besar akan diuraikan sebagai berikut:

Menurut Jumhur Ulama (Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah) bahwa

(41)

memutuskan kasih sayang kecuali karena alasan.8 Sedangkan menurut

Hanafiyyah bahwa terjadinya talak itu mubah (dibolehkan)9 berdasarkan

kemutlakan ayat-ayat Al Qur’an seperti Firman Allah Swt:

..

)

ق ﻄﻟا

/

65

:

1

(

Artinya :

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)”.(Ath Thalaq/65:1).

Kemudian dalam surat yang lain Firman Allah yang berbunyi:

)

ةﺮﻘ ﻟا

/

2

:

236

(

Artinya:

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu..”(Al Baqarah/2:236).

Alasan yang lain juga didasarkan atas Nabi Saw yang mentalaq Hafsah

demikian juga yang dilakukan oleh sahabat Nabi, Hasan bin Ali R.A

memperbanyak nikah dan talak di Kufah.

8

Ibid., h.6879.

(42)

Menurut Ibnu ‘Abidin talak itu dibenci oleh Allah, tetapi tidak menafikan

hukumnya menjadi halal, meskipun demikian halalnya talak itu mengandung

makruh.

Akan tetapi, pendapat yang paling tepat di antara pendapat itu ialah

pendapat yang mengatakan bahwa suami dilarang menjatuhkan talak, kecuali

karena darurat (terpaksa).10

Mereka beralasan bahwa menjatuhkan talak berarti mengkufuri nikmat

Allah, sebab pernikahan itu termasuk nikmat Allah atas hamba-Nya.11

Di antara darurat yang dibolehkan tadi yaitu bila suami meragukan

perilaku isterinya atau sudah tidak punya rasa cinta dengannya.

Talak hukumnya bisa berubah menjadi wajib, haram, mubah, dan sunah

ketika berhadapan dengan suatu kondisi tertentu. Sebagaimana pendapat

Hanabilah sebagai berikut:12

Talak menjadi wajib bagi suami atas permintaan isteri dalam hal suami

tidak mampu menunaikan hak-hak isteri serta menunaikan kewajibannya sebagai

suami seperti suami tidak mendatangi isteri. Talaq wajib terjadi pada kasus syiqaq

jika kedua hakam berpendapat bahwa talak itulah satu-satunya jalan untuk

mengakhiri perpecahan suami isteri yang sudah berat.

10

Ahmad Ghundur, At Thalaq fi Syari’at Islamiyyah Wa Al Qonun (Mesir: Dar Al Ma’arif, t.th), h.37-38.

11

Ibid.,h.38. lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh As Sunnah, Juz 2, h.207.

12

(43)

Talak menjadi haram tatkala dijatuhkan tanpa alasan yang jelas karena

dapat merugikan pihak suami dan isteri dan melenyapkan kemaslahatan suami

isteri. Talak yang demikian bertentangan dengan sabda Nabi Muhammad SAW:

ﻚﻟﺎ

ْ

ْ ﻳ

ﺎ ﺛﺪ

لﺎ

م

ص

ﷲا

لْﻮ ر

نأ

ْ أ

ْ

يزﺎ ﻟا

ْ ﻳ

ْ

وﺮْ

ْ

:

ر

و

را

.

)

اور

ﻟا

ﺮ و

آﺎ

أ

إ

ﺟﺎ

اور

ﺮ ﺁ

دﺎ ﺈ

،يرﺪ ﻟا

ﺪ ﻌ

سﺎ

(

13 Artinya:

Yahya Berkata kepada kami dari Malik dari ‘Amr ibn Yahya Al Maziy dari ayahnya bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Tidak boleh membuat kemudharatan dan membalas kemudharatan.”(HR.Hakim dan lainnya dari Sa’id AlKhudri, dengan sanad yang lain H.R.Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas).

Talak menjadi mubah bila memang perlu terjadi perceraian dan tidak ada

pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu, sedangkan manfaatnya bisa

dirasakan nantinya.14

Talak disunnahkan jika isteri rusak akhlaknya, berbuat zina atau

melanggar larangan-larangan agama dan meninggalkan kewajiban-kewajiban

agama seperti salat, puasa, dan sebagainya sementara suami tidak mampu

memaksanya agar dia menjalankan kewajibannya tersebut, atau isteri kurang rasa

malunya.15

13

Imam Malik Ibn Anas, AlMuwattha’(Beirut: Dar Al Kitab Al’Arabi, 2004M), h.315. Lihat juga Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, h.252.

14

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h.201.

15

(44)

2. Rukun dan Syarat Talak

Rukun talak sebagaimana dikemukakan oleh Malikiyyah ada empat di

antaranya akan dijelaskan secara garis besarnya di bawah ini.

a. Orang yang berhak menjatuhkannya yaitu suami atau penggantinya atau

walinya jika dia masih kecil. Supaya sah talaknya suami yang menjatuhkan

talak disyaratkan harus: 1. Berakal, 2. Baligh, dan 3. Atas kemauan sendiri.16

b. Perempuan yang ditalak ( ﻘﺔﻄ ﻟا)

Adapun persyaratannya yaitu:

1) Perempuan yang ditalak itu berada di bawah kekuasaan laki-laki yang

mentalak yaitu isteri yang masih terikat dalam tali perkawinan dengannya.

Demikian juga isteri yang menjalin masa iddah talak raj’I karena statusnya

dipandang masih berada dalam perlindungan kekuasaan suami.

2) Kedudukan isteri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan

yang sah.17

c. Shighat Talak

Shighat talak ialah lafaz yang menunjukkan atas terputusnya ikatan

pernikahan baik berbentuk sharih (jelas) maupun kinayah (sindiran)18.

16

Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala al-Madzahib Al Arba’ah, h.216-217.

17

Ibid., h.218.

(45)

Yang dimaksud dengan sharih itu adalah ucapan yang secara jelas

digunakan untuk ucapan talak, sedangkan yang dimaksud dengan lafaz kinayah

atau sindiran adalah lafaz atau ucapan yang sebenarnya tidak digunakan untuk

talak tetapi dapat dipakai untuk menceraikan isteri.19

Syaratnya menurut Ulama untuk ucapan kinayah harus diiringi dengan

niat, sehingga dapat dipandang jatuh talaqnya, sedangkan ucapan shorih tidak

perlu dengan adanya niat, sehingga dengan keluarnya ucapan itu jatuh talak

meskipun dia tidak meniatkan apa-apa atau meniatkan selain dari talak. Khusus

untuk ucapan shorih dipersyaratkan orang yang mengucapkan talak itu harus

mengerti apa yang dikatakannya.20

d. Qashdu (sengaja), artinya dengan ucapan talak itu memang ditujukan hanya

untuk talak bukan maksud yang lain.21 Imam Nawawi secara khusus

dibicarakan dalam Kitabnya “Minhaj Al Thalibin” dimana menyebutkan antara

niat dengan Qashdu terdapat perbedaan yaitu kalau niat itu kesengajaan hati,

sedangkan Qashd berarti tekad atau kehendak untuk berbuat.22

19

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Cet. ke-2(Jakarta:Kencana Pranada Media Group, 2006), h.209.

20 Ibid.

21

Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Cet. Ke.2 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h.204.

22

(46)

B.Macam-Macam Perceraian

Di dalam kitab fiqh putusnya perkawinan disebut dengan istilah “furqoh”.

Di antara macam-macam bentuk furqoh diantaranya berupa: talak, khulu’, dan

fasakh. Setelah pembahasan secara umum mengenai talak pada sub bab terdahulu,

maka berikut ini akan dijelaskan secara umum mengenai khulu’ dan fasakh, sehingga

akan terihat perbedaannya nanti.

1. Khulu’

Khulu’ secara etimologis berarti ﺔﻟازﺈْﻟاو عﺰ ﻟا yang artinya perselisihan dan

menghilangkan. Sedangkan secara terminologis Ulama Syafi’iyyah

mendefinisikan khulu’ adalah perceraian antara suami isteri dengan suatu ‘iwadh

(tebusan) dengan lafaz ٌقﺎ atau ٌ ْ seperti perkataan suami kepada isteri: ﻚ ْﻘ

atau ﻚ ْﻌﻟﺎ maka ia menerima.23

Menurut Hanabilah khulu’ ialah perceraian suami atas isterinya dengan

‘iwadh dimana suami menerima ‘iwadh tersebut dari isterinya atau selainnya

dengan lafaz-lafaz tertentu, maka khulu’ menurut mereka harus melalui perantara

‘iwadh.24

23

Wahbah Zuhailiy, AlFiqhAlIslamiy Wa Adillatuhu, Juz IX, h.7008.

24

(47)

a. Hukum Khulu’

Khulu’ itu perceraian dengan kehendak isteri. Hukumnya boleh atau

mubah menurut Jumhur Ulama25, karena kebutuan manusia kepadanya dengan

terjadinya syiqaq, perselisihan, dan tidak adanya kesesuaian antara suami isteri,

terkadang isteri membenci suaminya dengan tidak suka hidup bersamanya

karena sebab-sebab yang bersifat fisik jasmani atau perangai atau

keagamaannya atau takut tidak bisa melaksanakan hak Allah dalam mentaati,

maka Islam mensyari’atkan kepadanya dalam menghadapi talak yang khusus

dengan suami sebagai keikhlasan dari suami isteri untuk menolak kesulitan dan

menghilangkan kemudaratan.26

Adapun dasar kebolehannya terdapat dalam Al Qur’an dan juga terihat

dalam hadis Nabi. Dari Kitab Allah termaktub pada surat Al Baqarah ayat 229

yang berbunyi:

)

ةﺮﻘ ﻟا

/

2

:

229

(

Artinya :

“…Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya..”(Al Baqarah/2:229).

25

Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd al Qurthubi. Bidayat Al Mujtahid wa Nihayat Al Muqtashid, Juz 2 (Beirut: Dar Ihya’ Turats al ‘Arabi, 1996), h.67.

26

(48)

Sebagai dasar hukum dari hadis, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbas:

سﺎ

ْا

ْ

ﺎ ﻬْ

ﻟا

-ﻟا

ْ ﺗأ

ْ

ْ

ﺎﺛ

ةأﺮْ ا

نأ

ρ

ْ ﻟﺎﻘ

:

ﺎﻳ

ﻟا

لﻮ ر

!

ﻳد

ﺎﻟو

ْ

أ

ْ

ْ

ﺎﺛ

,

ﺮْﻜْﻟا

ﺮْآأ

ﻜﻟو

ا

مﺎ ْ ﺈْﻟ

,

ﻟا

لﻮ ر

لﺎ

ρ

"

ﻘﻳﺪ

ْ

ﻳدﺮﺗأ

?

"

,

ْ ﻟﺎ

:

ْ ﻌ

.

ﻟا

لﻮ ر

لﺎ

ρ

"

ﺔﻘﻳﺪ ْﻟا

ْا

,

ﺔﻘ ْﻄﺗ

ﺎﻬْﻘ و

.

)

ور

يرﺎ ْﻟا

ا

(

.

27 Artinya:

Dari Ibnu Abbas R.A bahwa Isteri Tsabit bin Qais datang mengadu kepada Nabi Saw dan berkata: “Ya Rasul Allah Tsabit bin Qais itu tidak ada kurangnya dari segi kelakuannya dan tidak pula dari segi keberagamaannya. Cuma saya tidak senang akan terjadi kekufuran dalam Islam. Rasul Allah Saw berkata: “Maukah kamu mengembalikan kebunnya ? “ Si Isteri menjawab: “ Ya mau “. Nabi berkatakepada Tsabit: “Terimalah kebun dan ceraikanlah dia satu kali cerai.(HR.Bukhari).

b. Rukun Khulu’

Rukun Khulu’ menurut Jumhur selain Hanafiah diantaranya ada 5 yaitu:

Pertama, Suami. Syarat suami yang menceraikan isterinya dalam bentuk

khulu’ seperti apa yang berlaku dalam talaq yaitu seseorang yang ucapannya

telah dapat diperhitungkan secara syara’, yaitu akil baligh, dan bertindak atas

kehendaknya sendiri, serta dengan kesengajaan.28

27

Imam Bukhari, Shohih Bukhari, h.615, lihat juga Hafiz Ahmad ibn Ali ibn Hajar Al ‘Asqalani. Bulugh al MaramMin jam’I AdilatiAl Ahkam (Kairo: Dar Al Hadis, 2003), h.182. Lihat juga Muhammad ibn Ali ibn Muhammad As Syaukani, Nail Al Author Juz 5(Maktabah al Iman, t.th), h.271.

28

(49)

Kedua, Isteri yang dikhulu’. Di antara persyaratan yang harus dipenuhi yaitu: a.

Ia berada dalam wilayah suami dalam arti isterinya atau yang telah diceraikan,

tetapi masih dalam masa iddah raj’i, b. Ia dipandang telah dapat bertindak atas

harta karena dalam rukun khulu’ ini isteri harus menyerahkan harta. Dengan

demikian isteri adalah orang yang telah baligh, berakal, tidak berada di bawah

pengampuan, dan sudah cerdas bertindak atas harta.29

Ketiga, adanya uang tebusan, atau ganti rugi, atau ‘iwadh. Tentang ‘iwadh

dimasukkan sebagai salah satu rukun khulu’ memang terjadi perbedaan

pendapat di kalangan Ulama. Menurut Jumhur Ulama memasukkan ‘iwadh

sebagai rukun yang tidak boleh ditinggalkan untuk sahnya khulu’. Namun,

pendapat yang berbeda satu riwayat dari Ahmad dan Malik yang mengatakan

boleh terjadi khulu’ tanpa iwadh.30 Tetapi Kompilasi Hukum Islam (KHI)

mengambil pendapat Jumhur yang mengharuskan adanya ‘iwadh dalam khulu’.

Mengenai ‘iwadh itu dalam bentuk sesuatu yang berharga dan dapat dinilai

Ulama menyepakatinya.31

Keempat, Shighat atau ucapan cerai yang disampaikan oleh suami dalam

ungkapan tersebut dinyatakan “uang ganti” atau ‘iwadh. Yang dimaksud

shighat di sini ialah lafaz khulu’ atau apa yang semakna dengannya seperti

29 Ibid.

30 Ibid.

31

(50)

kata-kataءا ْﺮﻹا،ةءرﺎ ﻟا ،ءاﺪﻟا ،ءاﺪْﻹاbaik berbentuk shorih (jelas) atau kinayah

(samar), maka tidak sah tanpa lafaz seperti annikah dan at-thalaq.32

c. Perbedaan antara Khulu’ dengan Talak

Dalam literatur fiqh memang bab Khulu’ ditempatkan dalam ruang

lingkup pembahasan talak, sehingga ketentuan yang berlaku dalam talak

sebagian besarnya berlaku juga untuk khulu’. Namun demikian, ada perbedaan

antara khulu’ dengan talak yakni:

1) Dalam hal waktu dijatuhkannya di mana khulu’ boleh terjadi pada waktu

yang tidak boleh terjadi talak, sehingga boleh terjadi ketika isteri sedang

haid, nifas, atau dalam keadaan suci yang telah digauli.33

2) Dari segi siapa yang berkehendak untuk putusnya perkawinan, maka dapat

dibedakan bahwa khulu’ diajukan atas kehendak isteri dengan menyerahkan

‘iwadh kepada suaminya. Sedangkan talak diajukan atas kehendak suami

dengan alasan tertentu dan dinyatakan dengan ucapan tertentu.34

2. Fasakh a. Definisi

32

Wahbah Zuhailiy, Al Fiqh Al Islamiy Wa Adillatuhu, Juz IX, h.7014.

33

Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Cet. Ke-2,h.225.

34

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h.197.

(51)

Fasakh berasal dari bahasa Arab dari akar kata fa-sa-kha yang secara

etimologi berarti rusak dan membatalkan ( ﻀْﻘوٌﺪﺴ).35 Kalau dikaitkan kata ini

dengan akad nikah maka berarti membatalkannya dan melepaskan ikatan

pertalian antara suami isteri.36

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia secara istilah pengertian fasakh

ialah pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan

tuntutan isteri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau

karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan.37

Definisi fasakh tersebut nampaknya sudah disesuaikan dengan hukum yang

berlaku di Indonesia, sehingga tidak persis sama dengan definisi yang

ditemukan dalam literatur fiqh. Hal itu terbukti dengan disebutkannya sebuah

institusi Pengadilan Agama. Ini pertanda bahwa aturan fiqh sudah diakomodir

ke dalam hukum Islam di Indonesia yang dirumuskan dalam Peraturan

Perundang-undangan seperti terlihat dalam Undang-Undang Perkawinan yang

di dalamnya mengatur tentang batalnya perkawinan dalam tujuh Pasal (Pasal

22-28 UU Nomor 1 Tahun 1974) dan khusus fasakh ini (bentuk kedua)

diakomodir ke dalam KHI yaitu Pasal 70.

b. Macam-Macam

35

Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: Krapyak, 1984), h. 1133.

36

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 2,h.268.

37

(52)

Dalam kitab fiqh fasakh secara garis besar dibagi menjadi dua macam

ditinjau dari segi alasan terjadinya fasakh, yaitu:

Pertama, perkawinan yang sudah berlangsung beberapa waktu dan baru

diketahui di kemudian hari ternyata tidak terpenuhi persyaratan yang

ditentukan dalam akad nikah, baik pada rukun maupun syaratnya; atau terdapat

halangan (mawani’) yang tidak membolehkan terjadinya perkawinan.38

Contoh fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi dalam akad

perkawinan:39

a. Setelah akad nikah ternyata isterinya adalah saudara sesusuan atau ada

hubungan nasab, musaharah (perkawinan). Maka, perkawinan seperti ini

harus dibatalkan oleh hakim karena memang diharamkan oleh Islam.

b. Suami isteri masih kecil diakadkan oleh selain ayah atau kakeknya,

kemudian setelah dia dewasa maka ia berhak memilih untuk meneruskan

ikatan perkawinannya dahulu itu atau mengakhirinya. Khiyar ini disebut

dengan khiyar baligh.

Kedua, Fasakh yang terjadi karena pada diri suami atau isteri terdapat sesuatu

yang menyebabkan perkawinan tidak mungkin dilanjutkan, sebab kalau

38

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia., h.243.

39

(53)

diteruskan akan menyebabkan kerusakan pada suami atau isteri atau keduanya

sekaligus. Bentuk fasakh ini disebut sebagai khiyar fasakh dalam kitab fiqh.40

Di antara penyebab terjadinya fasakh yaitu:41

a. Karena ketidak mampuan memberi nafkah,

b. Karena cacat atau penyakit,

c. Karena syiqaq atau buruknya pergaulan antara suami isteri,

d. Karena ghaib,

e. Karena dipenjara,

f. Karena riddah

Adapun setelah melihat uraian fasakh di atas, maka pada dasarnya

hukum fasakh itu adalah mubah atau boleh, dengan pertimbangan

kemaslahatan yang ingin dicapai oleh suami isteri tersebut dan menghilangkan

kemudharatan yang dideritanya42 karena sebagaimana kaidah fiqhiyyah

menyatakan: 43لاﺰﻳرﺮﻀﻟا artinya “Kemudaratan itu wajib dihilangkan.”

c. Perbedaan antara Talak dengan Fasakh

40

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h.244.

41

Wahbah Zuhailiy, Al Fiqh Al Islamiy Wa Adillatuhu, Juz IX, h.7040.

42

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h.244.

43

(54)

Menurut pendapat Hanafiah, talak itu mengakhiri pernikahan dan

menetapkan hak-hak yang terdahulu dari mahar dan semisalnya, dan dikurangi

tiga kali kesempatan talak yang dimiliki oleh suami atas isterinya, serta talak

tidak terjadi, kecuali dalam akad yang benar. Sedangkan fasakh itu

membatalkan akad dari asalnya atau dilarang meneruskan pernikahan itu, dan

tidak mengurangi bilangan talak, serta pada umumnya terjadi pada akad yang

fasid (rusak).44

Imam Malik menambahkan perbedaan tersebut jika dilihat dari sebab

yang menyebabkan perceraian, maka apabila dari kehendak Syara’ bukan dari

suami itu disebut fasakh contohnya nikah yang diharamkan karena sepersusuan

atau nikah dalam masa iddah.45

C. Alasan-alasan Perceraian

Setelah diuraikan pada sebelumnya mengenai bentuk-bentuk perceraian baik

berupa talak, khulu’, dan fasakh dalam perspektif fikih, maka kini penulis perlu

mengkaitkannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia

khususnya yang diatur dalam UU Perkawinan, PP Nomor 9 Tahun 1975 sebagai

aturan pelaksanaan dari UUP, dan diperinci dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Bentuk putusnya perkawinan diatur dalam Pasal 38 UUP jo 113 KHI dengan

rumusan:

44

Wahbah Zuhailiy, Al Fiqh Al Islamiy Wa Adillatuhu, Juz IX, h.7041.

45

(55)

“Perkawinan dapat putus karena: a.Kematian, b. perceraian, dan c. Atas keputusan

Pengadilan.”

Selain sebab kematian yang dapat memutuskan ikatan pernikahan antara

suami isteri dikenal pula istilah talak, khulu’, dan fasakh sebagaimana dijelaskan

dalam kitab fiqh. Talak dan khulu’ termasuk dalam kelompok perceraian, sedangkan

fasakh sama maksudnya dengan perceraian atas putusan Pengadilan. Disamping itu

juga gugatan perceraian dimasukkan dalam kelompok perceraian (Pasal 114 KHI).46

Ada yang menarik jika dikomparasikan antara aturan fiqh dengan UU

Perkawinan diantaranya dalam fiqh mazhab manapun tidak diatur tentang keharusan

perceraian di Pengadilan. Misalnya: dalam khulu’ tidak perlu diajukan kepada hakim

(qodhi) menurut pendapat Hanabilah47 begitu pula dengan talak yang menjadi hak

mutlak seorang suami bebas digunakannya dimana dan kapan saja semaunya dia.

Namun demikian, aturan dalam fiqh tersebut diperbaharui oleh para Ulama

Indonesia dengan berani berijtihad bahwa perceraian harus dilakukan di depan

sidang Pengadilan dengan pertimbangan kemaslahatan, sehingga pihak isteri tidak

mengalami penderitaan akibat ditalak oleh suaminya kapan saja dan diamana saja

semaunya sendiri. Ini adalah sebuah prestasi besar yang patut diapresiasi oleh umat

Islam sebagai penghargaan atas gagasan yang dihasilkan oleh pakar hukum Islam di

Indonesia, sehingga hal itu terlihat dalam pasal 39 UU Perkawinan yang berbunyi:

46

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h.227.

47

(56)

1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri

itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan

perundangan sendiri.

Adapun alasan-alasan perceraian yang dimaksud dalam ayat (2) Pasal 39

UUP di atas diperinci lebih lanjut dalam Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975, yaitu ada

enam alasan sebagai syarat diajukannya perceraian, yaitu sebagai berikut:48

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

f. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan

tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Pasal 19 PP ini diulangi dalam KHI pada Pasal 116 dengan rumusan

Referensi

Dokumen terkait

Strategi yang dapat dikembangkan untuk memberdayakan zakat produktif ini, mulai dari produk hukumnya sampai pada membangun jaringan dalam bentuk kemitraan investasi

Asumsi tersebut berdasarkan anggapan bahwa populasi dari jenis-jenis ektoparasit yang secara bersama-sama terbentuk, berinteraksi satu dengan lainnya, termasuk dengan

Pada perairan yang lebih dalam spons cenderung memiliki tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat dari lingkungan yang lebih stabil apabila dibandingkan dengan

Atas karunia yang Allah berikan penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan judul: “Asuhan Keperawatan Pada Tn.S Dengan Sistem Gangguan Persyarafan :

merupakan dorongan untuk mempengaruhi orang lain agar tunduk kepada kehendaknya. Mc Clelland mengungkapkan bahwa motivasi berprestasi merupakan motivasi yang

Hal ini menunjukkan dengan pemberian dosis pupuk Urea 30 g, Sp-36 30 g dan KCl 30 g sudah dapat mencukupi ketersedianya unsur hara pada tanah, sehingga peningkatan dosis tidak

Kualitas kehidupan kerja yang terjaga dengan baik akan membuat suasana kerja menjadi baik pula, sedangkan suasana kerja yang- baik akan berpengaruh terhadap daya tahan

bahan cetak elastomer polieter dan silikon adisi yang menunjukkan bahwa bahan cetak silikon adisi lebih baik dalam kestabilan dimensinya dari pada bahan cetak