• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PERSFEKTIF HUKUM HUMANITER

B. Mahkamah Ad Hoc Kejahatan Internasional

Dalam sejarah ada dikenal 2 (dua) mahkamah yang mengadili Penjahat Perang Dunia II, yaitu Mahkamah Tokoy dan Mahkamah Nuremberg. Mahkamah Tokyo dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Jepang, sedangkan mahkamah Nuremberg dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Nazi, Jerman.

Mahkamah Nuremberg dibentuk berdasarkan Piagam Nuremberg (Nuremberg Charter) atau biasa juga disebut dengan nama Piagam London (London Charter). Sejak terbentuknya, mahkamah ini telah menjatuhkan hukumannya kepada dua puluh empat tersangka.

Ada tiga kategori pelanggaran atau kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari mahkamah Nuremberg ini, yaitu :

1. kejahatan terhadap perdamaian (crimes againts peace). 2. kejahatan perang (crimes war)

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

Di samping memberikan penjelasan terminologi dari tiga bentuk kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari mahkamah Nuremberg. Berdasarkan Pasal 6 Piagam Nuremberg ditegaskan bahwa tanggung jawab individual dari pelaku kejahatan- kejahatan yang dimaksud. Ini berarti pelaku kejahatan tersebut tidak dapat berdalih bahwa perbuatannya tersebut untuk kepentingan atau karena perintah negara. Dengan demikian, setiap pelaku ketiga kejahatan tersebut di atas tidak dapat kemudian dengan menggunakan dalih tanggung jawab negara.

Mahkamah Penjahata Perang Tokyo dibentuk pada tanggal 19 Januari 1946. Nama resmi dari mahkamah ini adalah International Military Tribunal for the Far East. Berbeda dengan mahkamah Nuremberg yang dibentuk Treaty yang disusun oleh beberapa negara, Tokyo Tribunal dibentuk berdasarkan suatu pernyataan atau proklamasi Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di Timur Jauh, Jenderal Douglas MacArthur. Kemudian oleh Amerika Serikat disusun Piagam untuk mahkamah ini yang pada dasarnya mengacu kepada Piagam Mahkamah Nuremberg.

Sama halnya dengan mahkamah Nuremberg, mahkamah Tokyo juga mempunyai yurisdiksi terhadap 3 (tiga) kejahatan, yaitu : 62

Di dalam Piagam Mahkamah Tokyo dikatakan bahwa alasan tindakan negara (Act of State) dan perintah atasan tidak dapat dijadikan dasar untuk membebaskan tanggung jawab si pelaku, tetapi hal tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengurangi 1. kejahatan terhadap perdamaian (crimes againts peace).

2. kejahatan perang (crimes war)

3. kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity).

62

Rumusan dan pengertian dari ketiga bentuk kejahatan yang menjadi yurisdiksi mahkamah Tokyo ini adalah sama dengan apa yang terdapat dalam mahkamah Nuremberg. Hanya saja mengenai

war crimes di Piagam Mahkamah Tokyo dirumuskan sebagai Conventional War Crimes yang diartikan

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

hukumannya. Hal yang sama juga diterapkan jika si pelaku melakukan tindakan tersebut dalam kapasitasnya sebagai pejabat resmi.

Lebih dari setengah abad sejak peradilan Nuremberg dan Tokyo, banyak negara gagal membawa mereka yang bertanggung-jawab atas genosida, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang ke pengadilan. Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional (Statuta Roma) akan membantu penanganan masalah ini dengan membentuk Pengadilan Pidana Internasional yang permanen bagi para pelaku kejahatan untuk diadili dan membantu para korban, ketika negara tidak mampu atau tidak ingin melakukannnya. Keberhasilan ini akan bergantung pada meluasnya ratifikasi atas Statuta Roma.

Berdasarkan peraturan umum, peradilan harus dilaksanakan di tempat terjadinya kejahatan selama peradilan tersebut bukan beradilan yang curang dan tidak adil, dan tidak memberlakukan hukuman mati. Peradilan seringkali dirasa lebih efisien dan sangat berpengaruh ketika terjadi di tempat di mana bukti banyak ditemukan, tertuduh dan sebagian besar korban dan saksi tinggal dan menetap dan pihak-pihat tersebut mengenal sistem hukum dan bahasa setempat dengan baik. Namun, di banyak kasus, peradilan yang memenuhi standar hampir tidak pernah mungkin dilaksanakan di negara di mana kejahatan terjadi. Hukum yang mengatur kejahatan demikian mungkin tidak ada atau sistem hukum telah runtuh. Mungkin negara tersebut tidak memiliki sumber daya untuk peradilan yang demikian atau tidak mampu memberikan perlindungan bagi para tersangka, korban, saksi atau pihak lain yang terlibat pengadilan. Jaksa Penuntut mungkin tidak memiliki kemauan politik untuk melakukan penyelidikan. Mereka juga mungkin dihalang-halangi untuk melakukan penyelidikan dan penuntutan oleh lembaga eksekutif – karena beberapa

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

dai mereka mungkin terlibat atau oleh aturan-aturan amnesti, permberian maaf dan langkah-langkah yang menyerupai berujung pada impunitas.

Pengadilan di seluruh negara memiliki wewenang dan tugas di bawah hukum internasional, untuk membawa mereka yang bertanggung jawab atas genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang di mana pun ke pengadilan. Praktik yuridiksi universal oleh pengadilan nasional tersebut akan sangat bermanfaat pada saat para tersangka mengunjungi atau mencari perlindungan di negara mereka atau ketika negara di mana kejahatan terjadi mengekstradisi para tersangka. Yuridiksi universal juga membantu mengisi kekosongan Statuta Roma dengan mengizinkan mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan di wilayah negara yang belum meratifikasi Statuta Roma yang akan dibawa ke pengadilan. Namunr, jumlah kasus tersebut sepertinya masih akan terbatas pada masa-masa yang akan datang.

Mengapa pengadilan ad hoc atas kejahatan internasional tidak langsung dibentuk saat dibutuhkan? Lebih dari setengah abad sejak Nuremberg dan Tokyo, Dewan Keamanan PBB hanya membentuk dua pengadilan kejahatan internasional ad hoc. Meskipun Pengadilan Kejahatan Internasional bagi bekas Yugoslavia yang dibentuk pada tahun 1993 dan Pengadilan Kejahatan Internasional bagi Rwanda, yang dibentuk pada tahun 1994 telah cukup efektif, dimana mayoritas dari mereka yang sudah diketahui terlibat dan mereka dengan kasus-kasus yang akan disidangkan sudah ditahan, keduanya masih terbatas pada kejahatan yang dilakukan di dua wilayah tertentu dan dalam dua peristiwa tertentu saja. Sejak tahun 1993, Dewan Keamanan gagal membentuk pengadilan ad hoc serupa untuk peristiwa berat lain, seperti di Kamboja, Chechnya, Timor Timur, Guatemala, Irak, Liberia, Sierra Leone dan

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

Somalia. Keterlambatan ini sebagian disebabkan oleh mahalnya pembentukan lembaga-lembaga baru dan kurangnya keinginan politik.

Dalam hal ini International Criminal Court akan mampu bertindak ketika pengadilan negara di mana kejahatan terjadi atau negara yang warganya menjadi tersangka tidak mampu atau tidak mau membawa mereka yang bertanggung-jawab ke pengadilan. Ketika Jaksa Penuntut International Criminal Court mendapatkan ijin untuk melakukan penyelidikan, berdasarkan infomasi dari berbagai sumber, termasuk para korban dan keluarga, LSM, organisasi kepemerintahan seperti PBB, dan negara, para Jaksa Penuntut tidak lagi bergantung pada sumber-sumber dari Dewan Keamanan PBB. Dibandingkan dengan pengadilan nasional, ICC akan dapat “bersuara” lebih keras atas nama seluruh masyarakat internasional. Hampir dua pertiga negara anggota PBB memutuskan untuk mengadopsi Statuta Roma pada tahun 1998, dan yang lain kemungkinan akan meratifikasinya dalam waktu dekat.

Meskipun anggara tahunan International Criminal Court mencapai $100 juta, jumlah tersebut masih lebih kecil dibandingkan biaya yang dihabiskan oleh negara- negara yang melakukan penyelidikan dan penuntutan terhadap kejahatan biasa di seluruh dunia. Terlebih lagi, karena International Criminal Court bisa mencegah terjadinya kejahatan seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang untuk terjadi lagi di masa datang, maka International Criminal Court jauh lebih banyak menghemat kemungkinan pengeluaran-pengeluaran tersebut.

Statuta Roma memuat banyak pengaman yang menjamin penyelidikan dan penuntutan hanya untuk kepentingan keadilan, bukan politik. Meskipun Dewan Keamanan PBB dan negara dapat merujuk kepada Jaksa Penuntut International Criminal Court, keputusan untuk melaksanakan penyelidikan diserahkan kepada

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

Jaksa Penuntut. Namun, Jaksa Penuntut tidak akan bergantung pada Dewan Keamanan atau rujukan negara, melainkan akan membuka penyelidikan berdasarkan informasi dari berbagai sumber. Jaksa Penuntut haruslah bermoral tinggi dan mempunyai kemampuan di dibangnya serta memiliki pengalaman praktik yang mendalam dalam hal penuntutan atau pengadilan atas kasus-kasus pidana. Jaksa Penuntut tersebut harus bertindak secara mandiri. Jaksa Penuntut harus meminta kewenangan dari Majelis Pra-Peradilan (Pre-Trial Chamber) baik untuk melakukan penyelidikan maupun penuntutan dan permintaan tersebut dapat digugat oleh negara.