• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PERSFEKTIF HUKUM HUMANITER

A. Mekanisme Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan

Pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional merupakan terjemahan langsung dari "Violation on International humanitarian law" Oleh karena berbagai perjanjian internasional baik Konvensi, statuta maupun protokol memberikan istilah pelanggaran untuk tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum Humaniter dan selanjutnya diantara pakar hukum Humaniter Haryomataram, menggunakan istilah "kejahatan perang" hal ini dimaksudkan bahwa penggunaan istilah " pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional " dapat dipahami dan diartikan sebagai kejahatan perang.

Di dalam Hukum Humaniter khususnya Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 kejahatan-kejahatan internasional terutama kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) terjadi apabila tindakan tertentu yang dilarang dilakukan sebagai bagian dari serangan skala luas atau sistematik terhadap penduduk sipil. Penduduk sipil yang dimaksud adalah kelompok sipil apapun. Kelompok ini termasuk, misalnya, kelompok yang mempunyai kaitan ideologi, politik atau budaya dan jenis kelamin, termasuk kelompok sipil yang menyuarakan kebebasan atau mendukung resistensi terhadap pendudukan. Tindakan yang dilarang termasuk: pembunuhan, pembinasaan (termasuk dengan tidak memberikan makanan), perbudakan; deportasi atau pemindahan paksa penduduk, kerja paksa, pemenjaraan, penyiksaan; perkosaan, memberikan hukuman karena alasan politik, ras, atau agama;penghilangan paksa; dan tindakan tidak manusiawi lainnya “yang memiliki sifat yang sama yangsecara sengaja menimbulkan penderitaan yang mendalam, atau luka berat baik fisik maupunmental atau kesehatan fisik”. Tindakan yang dilarang ini

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

dilakukan sebagai bagian dari seranganskala luas atau sistematis terhadap penduduk sipil. “Skala luas” artinya skala besar baikserangannyamaupun jumlah penduduk yang menjadi sasaran, sementara kata“sistematis”artinya tindakan yang sifatnya terorganisir dan tidak mungkin terjadi secara acak59

Kategori pertama adalah “pelanggaran berat” Konvensi Jenewa, adalah : Suatu “pelanggaran berat” terjadi apabila tindakan kejahatan tertentu dilakukan terhadap orang yang lemah, misalnya orang yang terluka, orang yang sakit, tawanan perang dan penduduk sipil.

.

Selanjutnya di dalam Konvensi Jenewa 1949 dikenal juga istilah kejahatan perang. Dua kategori kejahatan perang berlaku dalam konteks konflik bersenjata internasional, seperti konflik antara pasukan bersenjata Indonesia dan gerakan pembebasan nasional Timor-Lesteantara tahun 1975 dan 1999.

60

Menurut International Criminal Court sebuah serangan dianggap “berskala luas” apabila serangan itu berupa tindakan yang sering dilakukan dan berskala besar, yang dilakukan secara kolektif secara sungguh-sungguh dan ditujukan kepada korban dalam jumlah banyak. International Criminal Court mendefinisikan kata “sistematik” sebagai “tindakan terorganisir, yang mengikuti pola tetap, yang berasal dari kebijakan umum dan melibatkan sumber daya umum dan swasta yang besar harus ada unsur rencana atau kebijakan yang sudah ditetapkan. Rencana atau kebijakan tersebut tidak harus dinyatakan secara formal; Rencana atau kebijakan tersebut bisa dirunut dari kenyataan di lapangan, termasuk “skala tindakan kekerasan yang dilakukan.” Baik Indonesia dan Portugal meratifikasi Konvensi Jenewa tahun 1949 dan Protokol Tambahan I, tentang :

59

http://www.sekitarkita.com

60

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

a. Pembunuhan, disengaja, penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, secara sengaja

menyebabkan penderitaan yang mendalam atau luka parah baik fisik maupun kesehatan

b. Penghancuran besar-besaran dan perampasan harta benda yang tidak terkait dengan

keperluan militer dan dilakukan secara tidak sah dan semena-mena

c. Memaksa tawanan perang atau penduduk sipil untuk bertugas di pasukan musuh d. Secara sengaja menolak memberikan hak atas pengadilan yang tidak berat sebelah

kepada tawanan perang atau penduduk sipil

e. Deportasi atau pemindahan yang tidak sah atau pembatasan kebebasan penduduk sipil secara tidak sah; dan memperlakukan penduduk sipil sebagai sandera.

Kategori kedua terdiri dari pelanggaran hukum dan kebiasaan perang. Hal initermasuk misalnya, pembunuhan, penyiksaan, perlakuan buruk atau deportasi penduduk sipil; pembunuhan atau perlakuan buruk terhadap tawanan perang; perampokan harta benda milik pribadi maupun milik negara; dan penghancuran semena-mena kota atau desa atau perusakan yang tidak terkait dengan keperluan militer. Dalam sebuah konflik bersenjata internal, seperti antara pengikut Fretilin pada tahun 1975, kejahatan perang terdiri dari pelanggaran yang paling berat seperti yang tertuang dalam Penjelasan Umum Pasal 3 Konvensi Jenewa atau dalam hukum dan kebiasaan perang61

Selanjutnya di dalam Pasal Umum 3 termasuk tindak kejahatan terhadap orang yang tidak ikut terlibat dalam perseteruan, seperti anggota pasukan bersenjata

.

61

ICRC (International Committee of The Red Cross), Protocol Additional to the Geneva

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

yang elah meletakkan senjata atau yang sakit, terluka atau dalam tahanan. Tindak kejahatan demikian meliputi pembunuhan, kekerasan terhadap orang, mutilasi, perlakuan kejam dan penyiksaan; melakukan tindakan terkait dengan martabat orang, khususnya perlakuan yang mempermalukan atau merendahkan; menjadikan sandera; dan memutuskan hukuman dan melaksanakan eksekusi tanpa proses hukum yang layak.

Selanjutnya mengenai masalah Pembunuhan yang sah dan penahanan. Pembunuhan dan penahanan penempur oleh anggota pasukan musuh tidak dianggap melanggar hukum humaniter internasional apabila pembunuhan tersebut dilakukan dalam batas-batas cara perang yang bisa diterima. Tindakan semacam ini karena itu dimasukkan dalam definisi pelanggaran hak asasi manusia yang dipakai Komisi. Tindakan tersebut tidak dicakup dalam Laporan ini, dan tidak dimasukkan dalam tindakan-tindakan yang didefinisikan sebagai pelanggaran untuk maksud analisa statistik. Untuk negera Indonesia, sebagai instrumen internasional, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi dan menjadi peserta (pihak) Konvensi Jenewa Tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang (International Conventions for the Protection of Victims of War) dengan cara aksesi berdasar UU Nomor 59 Tahun 1958 mengenai keikutsertaan RI dalam keempat konvensi tersebut.

Dalam konvensi tersebut Pasal 49 dan 50 juga dimasukkan beberapa pengaturan mengenai tindakan terhadap penyalahgunaan dan pelanggaran. Dalam Pasal 49 dinyatakan peserta agung berjanji menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberikan sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang melakukan salah satu di antara pelanggaran berat (grave breaches) dalam konvensi. Dengan kewajiban, mencari orang-orang yang disangka telah melakukan atau

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

memerintahkan pelanggaran berat atau segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan konvensi.

Dalam Pasal 50 dinyatakan pelanggaran tersebut meliputi perbuatan apabila dilakukan terhadap orang atau milik yang dilindungi konvensi, pembunuhan disengaja, penganiayaan atau perlakuan tak berperikemanusiaan, termasuk percobaan biologis, menyebabkan dengan sengaja penderitaan besar atau luka berat atas badan atau kesehatan, serta penghancuran yang luas dan tindakan perampasan atas harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan dilaksanakan dengan melawan hukum dan semena-mena.