• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PERSFEKTIF HUKUM HUMANITER

D. Proses Persidangan dalam Pengadilan Kejahatan Internasional

.

Sebagaimana yang diketahui bersama, bahwa yurisdiksi pengadilan kejahatan internasional terdiri dari empat jenis kejahatan, yaitu genoside, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan “agresi”. Namun, belum ada akan ada penuntutan untuk “agresi” sampai ada kesepatan tentang definisinya. Empat kategori kejahatan ini didefinisikan sebagai “kejahatan paling serius yang mengancam masyarakat internasional secara keseluruhan”. Diharapkan pengujian dari ‘keseriusan’ tersebut akan dipakai untuk memutuskan penuntutan dalam kasus-kasus actual yang mungkin bukan merupakan contoh serius dari kejahatan yang dipertanyakan.

Bagaimanapun, pengadilan tak akan dapat mencapai tujuannya apabila targetnya terbatas para prajurit seperti Dusko Tadic, yang kejahatannya (walaupun kejam) adalah kecil jika dibandingkan dengan orang-orang yang menghasut atau melakukan kejahatan seperti yang didefinisikan dalam Statuta Roma. Kejahatan- kejahatan dalam yurisdiksi ICC tersebut saling tumpang tindih. Misalnya, genoside yang sebenarnya juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Kemudian dalam kejahatan perang ada tindakan-tindakan yang pada waktu damai diklasifikasikan oleh Pengadilan Tingkat Banding dalam kasus Tadic, tak ada

67

Dalam sudut pandang berkaitan dengan kewenangan ini, sangatlah mengejutkan bahwa mereka yang menentang ICC dalam Kongres Amerika Serikat, macam senator Jesse Helms dan senator Rod Grams, mengkritik Statuta Roma sebagai sebuah upaya untuk memuarakan semua persoalan pada Dewan Keamanan. Grams lebih lanjut mengatakan bahwa Statuta Roma tersebut justru merupakan “sebuah kemenangan besar bagi mereka yang mengkritik Dewan Keamanan selama ini”. Padahal faktanya para pengkritik Dewan Keamanan yang paling keras, seperti India, Irak, dan Libya, justru menolak untuk mendukung Statuta ini, sementara tiga dari lima anggota tetap Dewan Keamanan justru mendukungnya.

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

alasan yang tepat mengapa tindakan negara dalam keadaan perang harus dinilai dengan cara yang berbeda dengan yang berlaku dalam konflik internal negara68

Perbedaan menurut hukum ini telah terlalu lama ada dalam Pengadilan Den Haag, dan hal yang sama juga akan terjadi dalam pelaksanaan ICC. Sulit untuk dimengerti mengapa pengadilan ini tidak memiliki yurisdiksi hanya atas kejahatan terhadap kemanusiaan, baik yang dilakukan pada masa perang, saat perang internal negara, saat terjadi pemberontakan atau kerusuhan, atau saat damai. Orang-orang yang bertanggung jawab atas pola meluas dari kekejaman yang dilakukan oleh negara (melalui politisi atau kepolisian atau militernya) atau oleh organisasi-organisasi militer yang berjuang untuk memperoleh atau menambah kekuasaannya, juga harus dituntut. Tuntutan terhadap mereka seharusnya tidak tergantung pada persoalan teknis karakterisasi legal dari latar belakang konflik

.

69

Di bawah Statuta Roma, Dewan Keamanan dapat merujuk sebuah situasi yang melibatkan wilayah atau bangsa dari suatu negara yang menjadi Pihak dalam Piagam PBB, sebagaimana Dewan Keamanan juga mempunyai otoritas untuk menyelenggarakan pengadilan ad hoc tanpa perlu mendapatkan persetujuan dari negara yang bersangkutan. Sebaliknya, rujukan Negara Pihak dan penyelidikan propio motu oleh Jaksa Penuntut sangatlah dibatasi dengan tegas. Jika “picu” tersebut telah ditekan, maka Mahkamah dapat melangkah maju hanya jika situasi yang ada melibatkan peristiwa yang terjadi di dalam wilayah sebuah negara yang telah menerima yurisdiksi Mahkamah atau yang dilakukan oleh negara itu sendiri (Pasal 12 ayat 2). Sebuah negara dinyatakan menerima yurisdiksi Mahkamah jika ia telah meratifikasi Statuta, meskipun negara tersebut dapat menunda penerimaannya atas

.

68

Geoffrey Robertson QC, op.cit. hal. 409.

69

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

yurisdiksi kejahatan perang selama tujuh tahun (Pasal 124) atau dengan cara menandatangani deklarasi ad hoc yang menyatakan menerima otoritas Mahkamah (Pasal 12 ayat 1 dan 3). Banyak, atau bisa dibilang kebanyakan, negara yang di wilayahnya banyak terjadi tindak kejahatan sebagaimana yang termasuk dalam yurisdiksi Mahkamah, atau yang warga negaranya cenderung bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan tersebut, bukanlah yang termasuk pertama-tama menandatangani Statuta Roma ini. Prakondisi berkaitan dengan wilayah dan kewarganegaraan ini mengandung arti bahwa untuk beberapa tahun tampaknya Mahkamah Pidana Internasional akan menjadi Mahkamah-nya Dewan Keamanan. Harapan kelompok pembela HAM dan pendukungnya adalah pada akhirnya bisa tercapai sebuah kesepakatan universal, yang memungkinkan Mahkamah “melayani” generasi mendatang sebagai institusi peradilan yang independen dan efektif.

Ada dukungan yang luas dalam Konferensi ini untuk mengikutsertakan negara-negara yang persetujuannya dianggap dapat memberi dasar bagi yurisdiksi Mahkamah. Negara yang sedang melakukan penahanan terhadap tersangka, dan negara dimana korban adalah warganya. Tekanan dari Amerika Serikat dan negara- negara kuat lainnya, sayangnya, mengalahkan inisiatif ini, dan menghasilkan kesepakatan yang hanya sekedar mendekati. Jika mengikutsertakan kesepakatan yang hanya sekedar tersangka kejahatan dalam yurisdiksi Mahkamah secara signifikan akan meluaskan jangkauan Mahkamah. Dalam Statuta yang sekarang ini, Mahkamah tidak mempunyai kuasa untuk menuntut dan memproses seorang individu yang dituduh melakukan genocide yang sedang berada dalam tahanan di sebuah negara penandatangan. Ini sekaligus juga meniadakan beberapa dasar yurisdiksi yang lain. Mengikutsertakan negara dimana korban menjadi warganya, juga akan meluaskan

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

jangkauan Mahkamah. Yang utama adalah, memberi perlindungan lebih kepada tentara penjaga perdamaian yang berasal dari negara perratifikasi yang sedang melakukan misi ke negara non perratifikasi. Mahkamah akan bisa menerapkan yurisdiksinya atas kejahatan perang yang menimpa pasukan penjaga perdamaian, walaupun terjadi di wilayah sebuah negara atau dilakukan oleh warga negara yang tidak menerima yurisdiksi Mahkamah. Ironinya, negara-negara yang paling kukuh membatasi jangkauan yurisdiksi Mahkamah justru mereka yang menyatakan perhatiannya pada hubungan antara Mahkamah dengan pasukan penjaga perdamaian internasional.

Kelompok pembela HAM berargumen bahwa prinsip “yurisdiksi universal” haruslah melekat pada Mahkamah. Yurisdiksi universal adalah sebuah prinsip hukum internasional yang telah diterima secara luas, yang menyatakan bahwa negara manapun dapat menuntut para pelaku genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang, tanpa perlu mempedulikan batas-batas wilayah dan kewarganegaraan. Sebagai contoh praktis, kemampuan Mahkamah untuk menentukan kejahatan apa saja yang masuk dalam yurisdiksinya akan bisa ditingkatkan jika diberi yurisdiksi universal. Tak perlu banyak komentar kiranya, Statuta ini akhirnya, dengan prakondisi yang “ketat” untuk penerapan jurisdiksinya, merefleksikan kemunduran substansial dari jurisdiksi universal. Ini barangkali hal yang paling mengecewakan selama Konferensi.

Statuta Roma juga mengijinkan jaksa penuntut untuk menginisiasi sebuah penyelidikan atas mosinya sendiri (propio motu). Para pendukung pengadilan yang independen dan efektif merasa bahwa seorang jaksa penuntut dengan wewenang propio motu merupakan sumbangan yang esensial bagi penyerahan Dewan Keamanan

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

dan Negara Pihak. Meskipun penyerahan semacam itu penting artinya, tapi tidak akan cukup jika pengadilan yang ada belumlah efektif dalam menghukum dan mencegah tindakan pidana internasional. Dewan Keamanan merupakan sebuah badan politis yang seringkali dilumpuhkan oleh hak veto para anggota tetapnya. Sementara para negara seringkali segan untuk mengajukan pengaduan jka berkaitan dengan kedaulatan negara lain, terutama jika bisa merusak hubungan diplomatik dan ekonomi, atau jika bisa mengundang pengaduan balasan. Konsekuensinya, jaksa penuntut yang independen sangat penting artinya jika kasus yang ditangani ada dalam situasi tindak kriminal yang sangat keji dimana kemauan politik untuk memprosesnya sangatlah kurang.

Statuta Roma sangat membatasi hak propio motu jaksa penuntut. Sebelum seorang penuntut bisa memulai inisiatifnya, ia harus meyakinkan terlebih dahulu dewan hakim bahwa “ada suatu dasar yang masuk akal untuk melanjutkan dengan penyelidikan, dan bahwa kasus itu tampak masuk ke dalam yurisdiksi Mahkamah,” (Pasal 15 ayat 4). Jaksa Penuntut juga harus menghormati penyelidikan yang dilakukan oleh otoritas nasional, kecuali jika dewan hakim memutuskan bahwa otoritas yang ada benar-benar tidak berniat atau tidak mampu melakukan penyelidikan atau penuntutan (Pasal 17 dan 18). Tambahan lainnya : Mahkamah dan Jaksa Penuntut harus menunda proses sampai masa 12 bulan dan bisa diperpanjang, jika Dewan Keamanan memintanya (Pasal 16). Terakhir, Jaksa Penuntut dibatasi hak inisiatifnya hanya pada kasus-kasus yang terjadi dalam wilayah negara yang telah menerima yurisdiksi Mahkamah, atau tindakan dilakukan oleh negara tersebut70

70

Pihak Amerika Serikat menentang pemberian hak propio motu dengan dasar, seperti yang diungkapkan duta besar David Scheffer, “hanya akan membuat Mahkamah terbebani dengan pengaduan dan pengalihan masalah yang melimpah, sekaligus membuat Mahkamah terlibat dalam kontroversi, pengambilan keputusan politik, dan kebingungan”. Meskipun sang duta besar

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

Berbagai sistem dan prosedur bisa dikembangkan demi penanganan informasi pengaduan yang adil dan efisien. Bahkan jika sang Jaksa Penuntut memang menerima banyak sekali pengaduan, kenyataan bahwa subyek yurisdiksi Mahkamah yang dibatasi bisa menyediakan “saringan” yang efektif yang akan menyaring limpahan pengaduan tersebut. Lebih lanjut, prakondisi yang dibutuhkan untuk menjalankan yurisdiksi Mahkamah juga berperan sebagai mekanisme penyaring. Dan terhadap bahaya “pengambilan keputusan politik”, cara paling pasti untuk menghindari hal tersebut adalah mekanisme yang ada dalam statuta : Jaksa Penuntut yang independen yang tunduk pada sudut pandang hukum, hanya menangani tindak kejahatan sebagaimana yang telah dijelaskan secara tegas dan diterima secara luas.

Seperti diketahui, Amerika Serikat menentang Statuta Roma. Alasan utama yang diberikan oleh AS kenapa mereka “menentang” Statuta Roma adalah bahwa Mahkamah akan dapat menerapkan yurisdiksinya atas peristiwa yang terjadi di dalam wilayah sebuah negara yang telah menerima yurisdiksi Mahkamah. AS mendesak agar Mahkamah hanya dapat menerapkan yurisdiksinya jika negara dimana tersangka adalah warganya telah menerima yurisdiksi. Dubes Scheffer mencela basis teritorial bagi yurisdiksi Mahkamah sebagai “sebuah bentuk yurisdiksi yang dipaksakan atas negara-negara yang bukan Negara Pihak” ini menurutnya, “bertentangan dengan prinsip paling mendasar dari hukum perjanjian”. Meskipun ungkapan itu bisa dibilang keras, tidak ada yang luar biasa jika sebuah negara punya kuasa untuk memutuskan bagaimana menghakimi sebuah kejahatan yang terjadi di dalam wilayahnya, terutama jika kejahatan itu termasuk diantara yang paling serius yang bisa dibayangkan. Memang kenyataannya, basis teritorial bagi yurisdiksi mengekspresikan perhatian yang mendalam, masih perlu dipertanyakan apakah yang diperingatkannya itu benar-benar “membahayakan” keseluruhan Statuta.

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

memang sangat kuat, bahkan lebih kuat dari kewarganegaraan. Sangat mengejutkan jika pemerintah AS mengklaim bahwa negara-negara yang berdaulat punya yurisdiksi yang terbatas di wilayah mereka sendiri71

Dewasa ini berkembang wacana di dunia internasional untuk melakukan intervensi terhadap masalah-masalah internasl negara-negara berdaulat agar menghentikan kekejaman dan penindasan sistematis. Kewajiban tersebut dalam jangka waktu yang panjang serta meluas, diucapkan oleh Theoore Roosevelt pada masa transisi abad ke-20

.

Kalau dianalisa lebih lanjut, ada banyak kompromi dibuat oleh negara- negara yang ikut Konferensi Roma dengan maksud menghasilkan sebuah perjanjian yang bisa mendapatkan dukungan luas. Hasil yang dicapai tidak seperti yang diharapkan oleh kelompok-kelompok pembela HAM, meskipun di beberapa bagian justru melenceng lebih jauh dari yang diharapkan oleh beberapa negara. Tapi yang jelas, Statuta Roma ini menyediakan sebuah kerangka (framework) dari keadilan internasional bagi generasi mendatang. Pengorbanan nyawa manusia dan penderitaan akibat rantai impunity akan semakin panjang jika kita tidak memberi kesempatan bagi kerangka kerja ini untuk diterapkan.

72

71

AS dengan cerdik merujuk pada “yurisdiksi yang dipaksakan atas negara-negara yang bukan Negara Pihak” yang secara akurat menegaskan bahwa sebuah perjanjian atau Statuta tidak dapat mengikat negara-negara yang bukan penandatangan. Statuta Roma ini, walau bagaimanapun, tidak menyetujui yurisdiksi Mahkamah atas “negara manapun”.Selebihnya, Mahkamah mempunyai yurisdiksi atas individu, dan tidak mengikat negara yang bukan termasuk Negara Pihak. Beberapa negara tertentu tidak mempunyai kewajiban, misalnya, untuk menyerahkan tersangka, bekerja sama dalam penyelidikan, atau melakukan hal-hal lainnya

72

Geoffrey Robertson QC, op.cit, hal. 499-500.

. Ia menaruh perhatian untuk menjustifikasi peperangan untuk membatasi tindakan barbar Spanyol di Panama dan Kuba, yang juga dalam rangka mengamankan kepentingan Amerika Serikat. Pada abad ke-19, terjadi intervensi sporadis oleh kekuatan Eropa terhadap kekaisaran Ottoman Turki, yang

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

didorong oleh pembunuhan massal kaum Nasrani di Bosnia, Kreta dan Syria. Ekspedisi hukuman ini dibenarkan atas nama agama tanpa banyak masalah tentang keabsahannya.

Ketika ahli-ahli hukum internasional pada awal-awal abad seperti Grotius dan Vattel mencari definisi dari peperangan demi “keadilan”, mereka terus menerus memasukkan alasan penyelamatan bagi rakyat tertindas. Jika untuk berdirinya negara, tirani menjadi demikian tak tertahankan kekejamannya, setiap kekuatan asing berhak untuk menolong rakyat yang tertindas, yang meminta bantuannya73

Kesulitan muncul dalam hukum ketika korban-korban bukanlah penduduk mayoritas dari negara. Mereka hanya merupakan rakyat dari sebuah propinsi atau sekelompok ras tertentu atau keduanya. Kita bisa membayangkan betapa konyoknya sebuah tuntutan yang dibuat atas nama mereka, yang ditunjukkan dalam tuntutan Hitler, sebagai hak untuk menginvasi Cekoslowakia untuk melindungi minoritas Jerman dari tuduhan kebrutalan bangsa Chez. Dengan dasar itu pula, Hitler . Inilah perkembangan yang logis dari teori Locke tentang pemerintahan yang didasarkan atas persetujuan bersama. Jika para tiran dapat dijatuhkan ketika mereka menyalahgunakan kekuasaannya dan membunuh rakyat, maka rakyatnya wajib dilindungi. Dengan demikian, pemerintahan negara dapat dipandang sah memberikan ‘bantuan kemanusiaan”. Sesungguhnya jika tirani dipandang sebagai kekuatan colonial yang melakukan kekejaman yang meluas dan ditentang oleh mayoritas penduduk asli (rakyatnya), maka hak akan “bantuan kemanusiaan” merupakan hak dalam mendukung penentuan nasib sendiri.

73

Vattel, dikutip oleh Michael J. Bazyler, Re-ezamining the Doctrine of Humanitarian

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

menginvasi Polandia untuk menyelamatkan minoritas Jerman dari tuduhan tidak manusiawinya bangsa Polandia.

Bagaimanapun Hitler telah memberikan label buruk pada hak untuk melakukan “intervensi kemanusiaan”. Namun, kemudian terdapat preseden-preseden dari abad ke-20 yang lebih baik. Setelah Perang Dunia I, ketika hak-hak minoritas diatur oleh Liga Bangsa-Bangsa, pertanyaan tentang pemisahan diri disebut dalam dua laporan para ahl hukum yang meminta Liga menentukan hari depan kepulauan Aalan milik Finlandia. Mereka melaporkan pada tahun 1920, bahwa Liga berhak mempertimbangan tuntutan kelompok minoritas untuk memisahkan diri jika terjadi perlakukan kejam yang nyata dan berkelanjutan, yang mengakibatkan kerusakan sebagian atau seluruh penduduk sebuah negara74

Kasus kepulauan Aalan inilah yang membayangi Kosovo, tahun 1999, sebuah propinsi yang terbentuk oleh sejaran, terdiri dari 90% orang Albania muslim yang dipaksa keluar dari rumah-rumah mereka karena perlakuan yang kejam dari Milosevic terus berlanjut terhadap kekuatan Serbia yang berdaulat. Jiak Kosovar (penduduk Kosovo), telah mempunyai hak untuk memisahkan diri, apakah jeritan mereka untuk meminta bantuan mewajibkan NATO untuk menanggapinya ? Ini tergantung pada apakah setiap hak untuk melakukan intervensi kemanusiaan atau hak mendukung upaya pemisahan diri dapat diperbolehkan di luar ikatan rejim hukum internasional yang dibuat oleh Piagam PBB. Pertanyaan ini juga berlaku pada setiap persetujuan internasional yang lainnya

.

75

74

Antonio Cassesse, Self Detemination of People, Cambrige University Press, 1995, hal. 27- 33, dikutip di dalam

. Hal mana sebenarnya di dalam Pasal 7 dari North Atlantic Treaty gugur, bahwa keanggotaan NATO tidak mempengaruhi

75

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

tanggung jawab utama dari Dewan Keamanan PBB untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional.

Selanjutnya di dalam Pasal 27 Piagam PBB, memperbolehkan PBB sendiri untuk melakukan intervensi dalam masalah-masalah yang pada dasarnya berada dalam “yurisdiksi domestic dari negara-negara manapun”, namun hanya dalam rangka penerapan tindakan-tindakan penegakan oleh Dewan Keamanan yang terlebih dahulu harus “menentukan ada tidaknya ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran perdamaian atau tindakan agresi lainnya”76

Untuk memenuhi “perang demi keadilan” yang diperbolehkan oleh Bab VII dari Piagam PBB, kecaman Dewan Keamanan terhadap pelaku kejahatan-

. Kemudian jika tindakan-tindakan dari kekerasan bersenjata masih tidak mencukupi, Dewan Keamanan dapat mengambil tindakan dengan mempergunakan angkatan udara, laut atau kekuatan darat yang mungkin diperlukan untuk memelihara atau memulihkan perdamaian serta keamanan internasional.

Argumentasi dari mereka yang melontarkan kritik-kritik pada tindakan NATO adalah bahwa organ PBB ini wewenangnya mencakup hal intervensi yang implikasinya kemudian menghilangkan setiap hak-hak untuk melakukan intervensi kemanusiaan yang didasarkan pada hukum kebiasaan, baik itu dari suatu negara atau sebuah kelompok regional, tanpa persetujuan dari Dewan Keamanan. Hal ini bertujuan untuk menambah kepercayaan mereka dan tak satupun tindakan dapat diambil di bawah pengaturan-pengaturan badan regional tanpa pemberian wewenang dari Dewan Keamanan, walaupun dalam kenyataannya hal itu merujuk pada situasi- situasi dimana PBB telah mempergunakan badan-badan regional.

76

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

kejahatan kemanusiaan tidaklah cukup. Harus adar resolusi untuk menggunakan kekerasan yang disetujui oleh setidaknya 9 dari 15 anggota dan tidak ada satupun dari lima anggota permanent, seperti Amerika Serikat, China, Rusia, Prancis dan Inggris yang melemparkan veto.

Hak untuk intervensi kemanusiaan muncul dalam keadaan darurat, untuk menghentikan tindakan kriminal terhadap kemanusiaan yang terus berlanjut. Tidak pernah disarankan bahwa catatan hak asasi manusia yang buruk kemudian tanpa menjustifikasi intervensi bersenjata. Pendapat International Court of Justice tentang kasus “Nicaragua” melumpuhkan hipotesa “hak melakukan intervensi ideology” yang seringkali menjustifikasi destablisasi sistem politik tertentu. Tidak diputuskan apakah sebuah kelompok regional negara-negara berhak untuk menggunakan kekerasan guna menghentikan negara lain dimana pembunuhan massal atau sebagian penduduk sedang berlangsung. Sesungguhnya International Court of Justice terus menekankan bahwa Piagam PBB tidak mencakup keseluruhan area peraturan penggunaan kekerasan dalam hubungan internasional terus ada untuk hidup bersama dengan hukum perjanjian, misalnya Piagam PBB77

Apakah hak intervensi kemanusiaan benar-benar eksis dalam hukum kebiasaan menjadi isu yang dihindari oleh International Court of Justice, dua bulan setelah pemboman NATO terhadap Yugoslavia. International Court of Justice menolak permintaan Yugoslavia yang meminta adanya “tindakan sementara (provisional measure)”. International Court of Justice menyatakan keprihatian yang mendalam atas penggunaan kekerasan di Yugoslavia. Mungkin hal ini terjadi karena

.

77

Sebagian pakar hukum berpendapat, bahwa kritik yang dilontarkan pada NATO adalah salah. Piagam PBB tidak mengatur masalah itu dan meniadakan penggunaan kekerasan senjata sesuai dengan kaidah hukum kebiasaan yang telah mengkristal secara bebas terlepas dari hukum perjanjian.

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009

International Court of Justice mempunyai tanggung jawab di bawah Piagam PBB untuk membantu memelihara perdamaian dan keamanan dan situasi saat itu (pemboman) menjadi isu hukum internasional yang paling serius. Bodohnya kemudian isu itu sperti menjadi sebuah permintaan bahwa semua pihak harus bertindak sesuai dengan kewajiban mereka menurut hukum. Kewajiban yang kemudian tidak diuraikan dengan jelas, selain digambarkan sebagai sesuatu yang serius. Namun, satu hal yang harus dipahami bahwa perlunya prinsip hukum internasional yang memperbolehkan intervensi dalam keadaan darurat kemanusiaan, jika perlu tanpa dukungan suara bulat dari anggota Permanen Dewan Keamanan PBB.

BAB V

Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.

USU Repository © 2009 A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat dikemukakan di dalam skripsi ini, adalah :

1. Kejahatan-kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan internasional, adalah : a).Genocide (genosida)

b). Crime Againts Humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan) c). War crimes (Kejahatan Perang)

d). Aggression (kejahatan Agresi)

2. Prinisip-prinsip hukum Internasional terhadap Kejahatan-kejahatan internasional, sebagaimana yang diketahui bersama, bahwa yurisdiksi pengadilan kejahatan internasional terdiri dari empat jenis kejahatan, yaitu genoside, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan “agresi”. Namun, belum ada akan ada penuntutan untuk “agresi” sampai ada kesepatan tentang definisinya. Empat kategori kejahatan ini didefinisikan sebagai “kejahatan paling serius yang mengancam masyarakat internasional secara keseluruhan”. Diharapkan pengujian dari ‘keseriusan’ tersebut akan dipakai untuk memutuskan penuntutan dalam kasus-kasus aktual yang mungkin bukan merupakan contoh serius dari kejahatan yang dipertanyakan.

2. Mekanisme Penegakan Hukum Humaniter Internasional terhadap kejahatan- kejahatan Internasional Pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional