GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
B. Makam Dalem Cikundul
1. Sejarah dan Perkembangan Makam Dalem Cikundul
Pada tahun 1529, dalam rangka penyebaran agama Islam, Talaga direbut oleh Cirebon dari negara Pajajaran. Sejak itu kebanyakan rakyatnya masuk agama Islam, tetapi raja-raja Talaga masih tetap menganut agama lama, yakni Hindu. Urutan raja Talaga adalah sebagai berikut: a. Prabu Siliwangi
b. Mundingsari c. Mundingsari Leutik d. Pucuk Umum
e. Sunan Parung Gangsa f. Sunan Wanapri g. Sunan Ciburang
Sunan Ciburang mempunyai putera bernama Aria Wangsa Goparana. Dengan demikian Aria Wangsa Goparana merupakan keturunan (generasi) ketujuh dari Prabu Siliwangi terakhir. Aria Wangsa Goparana merupakan orang pertama yang masuk agama Islam. Oleh karena masuk agama Islam ini tidak direstui oleh orang tuanya, maka terpaksa Aria Wangsa Goparana meninggalkan keraton Talaga dan pergi menuju Sagaraherang. Di sini Aria Wangsa Goparana mendirikan Nagari (Sansk = Desa, Bld = negorij). Di Sagaraherang Aria Wangsa Goparana mendirikan pesantren dan menyebarkan agama Islam ke daerah sekitarnya. Aria Wangsa Goparana wafat pada akhir abad ke-17 dan dimakamkan di Kampung Nangkabeurit, Kecamatan Sagaraherang, Kabupaten Daerah Tingkat II Purwakarta. Putera-puterinya adalah: (1) Djayasasana, (2) Wiradiwangsa, (3) Candramanggala, (4) Santaaan Kumbang, (5) Yudanagara, (6) Nawing Candradirana, (7) Santaan Yudanagara, dan (8) Nyi Murti. Aria Wangsa Goparana menurunkan para bupati Cianjur yang bergelar Wira Tanu dan Wira Tanu Datar serta para keturunannya.37 Diantara putranya yang paling terkenal adalah Rd. Aria Wira Tanu yang nama kecilnya adalah Djayasasana. Sejak masa mudanya Djayasasana sangat takwa kepada Allah swt.,
tekun memperdalam agama, dan rajin bertapa Setelah dewasa, Jayasasana meninggalkan Sagaraherang yang diikuti oleh sejumlah rakyat, lalu bermukim
;@ $ $ 0 # $ ' ) ( > $, . 3 @ $( $
di Cijagang. Rakyatnya bertempat tinggal terpencar, yang umumnya di pinggir berbagai kali. Rd. Djayasasana sendiri bertempat tinggal di Cikundul. Oleh karena
itu, sub-nagari Cikundul menjadi ibunagari dari seluruh sub nagari tempat pemukiman rakyat Djayasasana. Beberapa tahun sebelum tahun 1680, keseluruhan sub nagari tempat pemukiman rakyat Djayasasana ini disebut Cianjur. Pada tahun kurang lebih 1652 rakyat Djayasasana tersebut di atas pernah dihitung oleh Puspawangsa (Ki Puspa dan Ki Wangsa) dan ternyata ada 300 umpi atau kurang lebih 1100 orang, yang diantaranya 200 orang diperintah oleh Mataram, selebihnya oleh Rd. Djayasasana sendiri, untuk menjaga batas Barat. Sejak saat itu, Rd. Djayasasana Aria Wira Tanu (Wira Tanu = senapati). Rakyatnya adalah orang merupakan satu kesatuan masyarakat. Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa kolonisasi rakyat Wira Tanu terjadi sebelum tahun 1652 dari Sagaraherang ke Cikundul dan sekitarnya. Pada saat yang bersamaan, banyaknya rakyat Wira Tanu, yang pada
1652 sudah ada 300 umpi atau kurang lebih 1100 orang, tentunya sudah bertambah dan cukup banyak untuk satu padaleman atau kabupatian. Oleh karena itulah tidak mengherankan jika VOC pada tahun 1680 menyebut Wira Tanu sebagai “regent” dan yang dimaksud dengan “negorye” Cianjur tidak lain dari pada kabupatian Cianjur, karena wilayah kekuasaan “regent” dinamakan “regenschap”. Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
padaleman atau kabupatian Cianjur lahir atas prakarsa sendiri pada tahun 1677, pada saat kekuasaan “de facto’ atas daerah cianjur khususnya dan sebelah Barat Citarum umumnya, ada pada daerah yang bersangkutan. Jadi, Cianjur adalah merdeka secara “de facto”. Rd. Aria Wira Tanu, yang dimakamkan di Cikundul, disebut “Dalem”
Cikundul. Aria Wira Tanu adalah Dalem, atau bupati pertama dan penghabisan dari Cianjur yang merdeka secara “de facto” R. Wira Tanu wafat tahun 1633 dimakamkan di Kampung Majalaya, Desa Cijagang, Kecamatan Cikalongkulon, Kabupaten Cianjur. Sekarang banyak orang yang berziarah ke makam beliau. Makam tersebut diberi nama “Dalem Cikundul”. Beliaulah yang paling populer di antara anak cucu keturunan R. Wangsa Goparana. 2. Sakralitas makam Dalem Cikundul
Pensakralan terhadap makam Dalem Cikundul bersumber dari Kharisma yang dimiliki R. Wira Tanu. Dulu, pada saat Dalem Cikundul dilahirkan, banyak kejadian-kejadian yang menandai kelahirannya. Di antara ciri-ciri yang dimiliki oleh Dalem Cikundul: a. Dalam penuturan sebagian penduduk: saat sang bayi lahir, diketahui
oleh kakek dan nenek ahli Sunda Sanghyang dari Negeri Talun (kini termasuk Desa Ponggang, Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang) bahwa jari telunjuk dan jari tengah sang bayi sama tinggi dan sama besarnya. Menurut terkaan si kakek, sang bayi inilah yang besok akan menjadi raja Sunda.
b. Pangeran Jaya Lalana/Jaya Sasana/R. Dalem Cikundul sejak burey (anak sekitar umur tiga tahun) mempunyai kegemaran naik ke bukit dan menghadap ke arah kiblat, dengan seolah-olah merenung serta menerawang. Banyak penduduk mengetahui bahwa sang burey itu mempunyai indera yang tajam luar biasa, terutama pendengaran, penglihatan, perabaan, dan gaung suara yang berat (sekali pun berisik, tapi masih dapat didengar oleh orang yang dipanggil).
c. Beberapa minggu sebelum sang jabang bayi dilahirkan, di langit sebelah tenggara muncul bintang kemukus yang berwarna kuning keemasan, dengan ekornya menunjuk ke arah kiblat. Kemudian, begitu sang jabang bayi lahir dengan selamat, tanpa disadari bintang kemukus tersebut hilang dari pandangan.
d. Nama Sagalaherang bukan dari kata “Sagara dan Herang”, melainkan dari sebuah kondisi: yakni begitu adzan berkumandang tanda syukur atas lahirnya seorang jabang bayi, yang kemudian diberi nama Pangerana Jaya Lalana, terdengar oleh rakyat di daerah Dayeuh Kolot dan Cibodas yang secara naluriah tahu bahwa sang jabang bayi putranda dari Kiyai Aria Wangsa Gofarana telah lahir. Sehingga, secara serentak segala tabuh-tabuhan di Mesjid, Musholla, gardu-gardu, kentongan-kentongan antarkampung, ditalu dengan gemuruh. Pelita dipasang di segala tempat, jalan-jalan, tempat-tempat pemandian dan tempat-tempat orang berkumpul, jembatan-jembatan sampai ke tempat
pekuburan rakyat/desa. Maka, muncullah sebutan “Sagalaherang”, yang artinya: segalanya bercahaya terang benderang.
BAB IV