Para ulama berbeda-beda dalam menyimpulkan maksud dari sab’ah aẖruf. Pendapat mereka bercabang-cabang, bahkan menurut sebagian keterangan, perbedaan tersebut mencapai 40 pendapat. Di antara pendapat-pendapat tersebut ada bisa diterima, ada juga yang tidak bisa diterima karena tidak bersandar kepada dalil kuat.64
Al-Qurthubî (w. 671 H) di dalam Tafsîr-nya mengatakan: “Para ulama berbeda-beda dalam memaknai al-aẖruf as-sab’ah hingga ada sampai 35 pendapat.”65
As-Suyûthî (w. 911 H) di dalam Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân mengatakan: “Ada perbedaan pendapat mengenai makna hadits sab’ah aẖruf ini hingga mencapai sekitar 40 pendapat.”66
Banyaknya pendapat-pendapat tersebut sebenarnya karena kebanyakan yang disampaikan dalam masing-masing pendapat tersebut saling masuk satu ke dalam yang lainnya. Juga karena di dalamnya ada pendapat-pendapat yang sangat lemah.67
64 ‘Itr, al-Aẖruf as-Sab’ah wa Manzilah al-Qirâ’ât Minhâ, hlm. 121.
65 Abû ‘Abdillâh Muẖammad ibn Aẖmad ibn Abî Bakr Syamsuddîn Al-Qurthubî, al-Jâmi’ li Aẖkâm al-Qur’ân: Tafsîr al-Qurthubî (Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyah, 1964), juz 1, hlm. 42.
66 As-Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, juz 1, hlm. 164.
67 Ismâ’îl, al-Aẖruf as-Sab’ah wa al-Qirâ’ât wa Mâ Utsîra H̲aulahâ min Syubuhât, hlm. 17.
Berikut ini adalah di antara pendapat-pendapat yang penulis rangkum dari berbagai sumber yang berbicara tentang sab’ah aẖruf:
Pendapat Pertama
Di antara para ulama ada yang memaknai sab’ah aẖruf dengan tujuh macam ilmu yang terkandung dalam al-Qur’an, yaitu:68
1. ‘Ilm al-Itsbât wa al-Îjâd, seperti dalam ayat:
ِض ْرَ اْ
لا َو ِت ٰو ٰم َّسلا ِقْ ل َخ ْيِف َّ
ن ِا
…
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi…”
(QS. Âli ‘Imrân [3]: 190)
2. ‘Ilm at-Tauẖîd wa at-Tanzîh, seperti dalam ayat:
ٍۚ ٌد َحَا ُ هللَّا َو ُه ْلُق ١
“Katakanlah (Muẖammad), ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa’.” (QS. Al-Ikhlâsh [112]: 1)
3. ‘Ilm Shifât adz-Dzât, seperti dalam ayat:
ِعْ لا ِللَّ َوه ِ ُة َّز
…
68 Abû ‘Abdillâh Badruddîn Muẖammad ibn ‘Abdillâh Az-Zarkasyî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân (Dâr Iẖyâ’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1957), juz 1, hlm.
224–25.
“Kekuatan itu hanyalah bagi Allah....” (QS. Al-Munâfiqûn [63]: 8)
4. ‘Ilm Shifât al-Fi’l, seperti dalam ayat:
َ ه
للَّا او ُد ُبعا َو ۞ْ
…
“Dan sembahlah Allah…” (QS. An-Nisâ’ [4]: 36) 5. ‘Ilm al-‘Afw wa al-‘Adzâb, seperti dalam ayat:
ُر ِفْغَّي ْنَمَو ُنُّ
ذلا َبْو ل ِاَّ
ُه للَّا ا
…
“Dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah?...” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 135)
6. ‘Ilm al-H̲asyr wa al-H̲isâb, seperti dalam ayat:
ٌة َيِتٰ اَ
ل ةَعا ََّ سلا َّ
ن ِا
…
“Sesungguhnya hari Kiamat pasti akan datang...” (QS.
Ghâfir [40]: 59)
7. ‘Ilm an-Nubuwwât wa al-Imâmât, seperti dalam ayat:
َنْي ِر ِذْنُمَو َنْي ِر ِ شَبُّم ا ً ل ُس ُر
…
“Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan...” (QS. An-Nisâ’ [4]:
165)
Dhiyâ’uddîn ‘Itr di dalam al-Aẖruf as-Sab’ah wa Manzilah al-Qirâ’ât Minhâ mengatakan bahwa ini termasuk pendapat yang tidak memiliki dalil.
Pendapat Kedua
Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sab’ah aẖruf adalah: al-muthlaq dan al-muqayyad, al-âmm dan al-khâshsh, nash dan al-mu’awwal, an-nâsikh dan mansûkh, mujmal dan mufassar, al-istitsnâ’, serta al-aqsâm. Pendapat ini disebutkan oleh Abû al-Ma’âlî dari para imam fiqih.69
Pendapat Ketiga
Pendapat lain, disebutkan dari para ulama ahli bahasa, yaitu bahwa yang dimaksud dengan sab’ah aẖruf adalah:
al-ẖadzf dan ash-shilah, at-taqdîm dan at-ta’khîr, al-qalb dan al-isti’ârah, at-tikrâr dan al-kinâyah, al-ẖaqîqah dan al-majâz, al-mujmal dan al-mufassar, serta azh-zhâhir dan al-gharîb.70
Pendapat Keempat
Pendapat lain, disebutkan dari para ulama ahli nahwu, yaitu bahwa yang dimaksud dengan sab’ah aẖruf adalah:
at-tadzkîr dan at-ta’nîts, asy-syarth dan al-jazâ’, at-tashrîf dan al-i’râb, al-aqsâm dan jawabnya, al-jam’ dan at-tafrîq, at-tashghîr dan at-ta’zhîm, serta ikhtilâf al-adâwât.71
69 Ibid., juz 1, hlm. 225.
70 Ibid.
71 Ibid., juz 1, hlm. 225–26.
Pendapat Kelima
Pendapat lain, disebutkan dari para ulama ahli tasawuf, yaitu bahwa yang dimaksud dengan sab’ah aẖruf adalah tujuh bentuk muamalah dan mubâdalah: az-zuhd dan al-qanâ’ah disertai al-yaqîn, al-ẖazm dan al-khidmah disertai ẖayâ’, dan karam dan futuwwah disertai dengan faqr, mujâhadah dan murâqabah disertai dengan al-khauf, ar-rajâ’ dan at-tadharru’ juga al-istighfâr disertai dengan ar-ridhâ, asy-syukr dan ash-shabr disertai dengan al-muẖâsabah, serta al-maẖabbah dan asy-syauq disertai dengan al-musyâhadah.72
Catatan:
Menurut Dhiyâ’uddîn ‘Itr, lima pendapat tersebut termasuk kepada pendapat yang tidak bersandar pada dalil.
Mereka yang memegang kelima pendapat tersebut tidak dapat memberikan penjelasan lebih lanjut secara ilmiah yang menunjukkan bahwa itulah maksud tujuh huruf. Di samping itu, pendapat yang mereka kemukakan itu tidak sejalan dengan hadits-hadits tentang sab’ah aẖruf yang malah memberikan gambaran bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf itu adalah berkaitan dengan bacaan serta cara-cara mengucapkan lafazh-lafazh al-Qur’an. Juga pembatasan makna tujuh huruf yang mereka kemukakan itu
72 Ibid., juz 1, hlm. 226.
tidak mengandung hikmah keringanan kepada umat dalam hal bacaan.73
Pendapat Keenam
Menurut pendapat lainnya lagi, hadits sab’ah aẖruf itu termasuk yang musykil (sulit) untuk diketahui maknanya, karena huruf secara bahasa dapat diartikan dalam berbagai makna, antara lain hurûf al-hijâ’ atau kata atau makna atau al-jihah (arah). Pendapat ini disampaikan oleh Abû Ja’far Muẖammad ibn Sa’dân an-Naẖwî (w. 231 H).74 Juga as-Suyûthî (w. 911 H) di dalam Syarẖ-nya untuk Sunan an-Nasâ’î ketika mengomentari hadits tentang sab’ah aẖruf mengatakan: “Tentang maksud dari sab’ah aẖruf ada lebih dari 30 pendapat yang aku sampaikan di dalam al-Itqân.
Yang terpilih menurutku adalah bahwa ia termasuk mutasyâbih yang tidak diketahui penjelasannya.”75
Muẖammad ‘Alî Salâmah di dalam Manhaj al-Furqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân mengatakan bahwa walaupun al-ẖarf merupakan lafazh musytarak, namun tidak begitu saja membuatnya menjadi tidak bisa dipahami, sebab walaupun ia memiliki banyak makna, bisa diteliti makna mana yang paling tepat dari beberapa makna yang dikandungnya itu.
73 ‘Itr, al-Aẖruf as-Sab’ah wa Manzilah al-Qirâ’ât Minhâ, hlm. 124-125.
74 As-Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, juz 1, hlm. 164.
75 Jalâluddîn ‘Abdurraẖmân ibn Abî Bakr As-Suyûthî, Syarẖ as-Suyûthî li Sunan an-Nasâ’î (H̲alb: Maktab al-Mathbû’ât al-Islâmiyah, 1986), juz 2, hlm.
151.
Jika al-ẖarf diartikan sebagai huruf hijaiyah, maka tidak mungkin, sebab semua huruf hijaiyah masuk di dalam al-Qur’an, bukan hanya tujuh huruf saja. Jika diartikan dengan kalimah (kata), maka juga tidak mungkin, sebab al-Qur’an terdiri dari banyak kata, tidak hanya tujuh. Jika diartikan dengan al-ma’nâ (makna), juga al-Qur’an memiliki banyak makna. Maka, yang tersisa hanya pengertian al-jihah (arah).76
Pendapat Ketujuh
Pendapat berikutnya mengatakan bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan as-sab’ah (tujuh) bukanlah jumlah yang sebenarnya. Namun, yang dimaksud berarti memudahkan, meringankan, dan keleluasaan. Kata sab’ah dipakai untuk mengungkapkan makna banyak, sebagaimana juga tujuh puluh dan tujuh ratus yang tidak dimaksudkan pada jumlah tertentu. Ini adalah pendapat al-Qâdhî ‘Iyâdh (w. 544 H) dan pengikutnya.77
Yang juga condong pada pendapat ini adalah Jamâludîn al-Qâsimî (w. 1332 H). Di dalam tafsirnya—
Maẖâsin at-Ta’wîl—ia mengatakan: “Yang dimaksud dengan as-sab’ah itu bukanlah jumlah sebagaimana yang dikenal, melainkan banyaknya bentuk bacaan suatu kalimat, dalam rangka memudahkan, meringankan, dan
76 Muẖammad ‘Alî Salâmah, Manhaj al-Furqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân (Nahdhah Mishr, 2002), juz 1, hlm. 68.
77 As-Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, juz 1, hlm. 164.
memberikan keleluasaan. Kata as-sab’ah itu bermakna banyak dalam hitungan.”78
Demikian juga dengan Mushthafâ Shâdiq ar-Râfi’î (w.
1356 H) di dalam I’jâz al-Qur’ân wa al-Balâghah an-Nabawiyah. Menurutnya, al-ẖarf berarti al-lughah (bahasa) dan as-sab’ah (tujuh) dalam pandangan orang Arab adalah simbol kesempurnaan, terutama berkaitan dengan ilâhiyah, sebagaimana penyebutan as-samâwât as-sab’, al-aradhîn as-sab’, as-sab’ah al-ayyâm, termasuk juga tentang abwâb al-jannah wa al-jaẖîm.79
Namun, as-Suyûthî (w. 911 H) mengatakan bahwa pendapat ini dibantah oleh apa yang ada di dalam hadits riwayat Ibn Abbâs ra. bahwa Nabi saw. bersabda:
ُه ُدي ِزَ ت ْسَ
أ ْ ل َزَ
أ ْمَ لَ
ف ،ُهُت ْع َجا َرَ
ف ٍف ْر َح ىَ ل َع ُ
لي ِرْب ِج يِنَ أ َرْ
قَ أ ىَّت َح ي ِنُديِزَي َو
ٍف ُر ْحَ
أ ِة َعْب َس ىَ ل ِإ ىهَتْناَ
“Jibril membacakan (al-Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Maka berulang kali aku mendesak dan meminta agar huruf ditambah, dan ia pun menambahnya kepadaku
78 Muẖammad Jamâluddîn ibn Muẖammad Sa’îd Al-Qâsimî, Maẖâsin at-Ta’wîl (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1418), juz 1, hlm. 180.
79 Mushthafâ Shâdiq ibn ‘Abdirrazzâq ibn Sa’îd ibn Aẖmad ibn
‘Abdilqâdir Ar-Râfi’î, I’jâz al-Qur’ân wa al-Balâghah an-Nabawiyah (Beirut:
Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 2005), hlm. 51.
sampai dengan tujuh huruf.” (HR. al-Bukhârî)80 Demikian juga dengan riwayat-riwayat lain yang menunjukkan bahwa jumlah tersebut—yakni tujuh huruf—itu merupakan jumlah sebenarnya.81
Pendapat Kedelapan
Disampaikan oleh al-Khalîl ibn Aẖmad, bahwa ada pendapat lain yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh qirâ’ât. Sehingga, berdasarkan pendapat ini, maksud dari ẖarf adalah al-qirâ’ah.82 Hal ini sebagaimana contoh sebutan ẖarf Ibn Mas’ûd yang maksudnya adalah qirâ’ah Ibn Mas’ûd. Juga dalam ilmu qirâ’ât, jika kata tertentu bisa dibaca dengan beberapa bentuk (wajh) bacaan, maka masing-masing bentuk bacaan itu kadang disebut dengan ẖarf, kadang disebut juga dengan qirâ’ah.83 Ditambah lagi dengan jumlah qirâ’ât shaẖîẖah yang ditetapkan oleh Abû Bakr ibn Mujâhid (w. 324 H) hanya tujuh, yaitu qirâ’ah Ibn ‘Âmir,
80 Al-Bukhârî, al-Jâmi’ al-Musnad ash-Shaẖîẖ al-Mukhtashar min Umûr Rasûlillâh saw. wa Sunanih wa Ayyâmih; Shaẖîẖ al-Bukhârî, juz 6, hlm. 184, no. 4991.
81 As-Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, juz 1, hlm. 164–65.
82 ‘Itr, al-Aẖruf as-Sab’ah wa Manzilah al-Qirâ’ât Minhâ, hlm. 132.
83 Al-Mathrûdî, al-Aẖruf al-Qur’âniyah as-Sab’ah, hlm. 23.
Ibn Katsîr, ‘Âshim, Abû ‘Amr, H̲amzah, Nâfi’, dan al-Kisâ’î.84
Menurut Aẖmad ibn Abî ar-Ridhâ (w. 791 H) di dalam al-Qawâ’id wa al-Isyârât fî Ushûl al-Qirâ’ât, yang memegang pendapat ini adalah asy-Syâthibî. Namun, ia menolak pendapat ini. Menurutnya, yang benar adalah bahwa al-qirâ’ât as-sab’ (qirâ’ât yang tujuh) hanyalah satu huruf dari total tujuh huruf yang dimaksud.85
Di samping itu, sebelum Ibn Mujâhid menetapkan qirâ’ât sab’ (qirâ’ât tujuh), sebenarnya banyak ulama lain sudah lebih dulu menetapkan jumlah qirâ’ât. Misalnya Abû
‘Ubaid al-Qâsim ibn Sallâm (w. 224 H) menulis kitab yang memuat 15 qirâ’ât. Abû H̲âtim as-Sijistânî (w. 255 H) menulis kitab yang memuat 20 qirâ’ât. Aẖmad ibn Jubair al-Kûfî (w. 258 H) menulis kitab yang memuat 5 qirâ’ât.
Al-Qâdhî Ibn Isẖâq ibn H̲ammâd (w. 282 H) menulis kitab yang memuat 20 qirâ’ât. Abû Ja’far ibn Jarîr ath-Thabarî (w. 310 H) menulis kitab yang memuat 22 qirâ’ât. Juga Abû Bakr Muẖammad ibn ‘Umar ad-Dajûnî (w. 324 H) menulis kitab yang memuat 8 qirâ’ât. Para ulama juga sepakat bahwa qirâ’ât shaẖîẖah tidak hanya tujuh saja.86
84 Lihat: Aẖmad ibn Mûsâ ibn al-‘Abbâs Abû Bakr ibn Mujâhid Al-Baghdâdî, Kitâb as-Sab’ah fî al-Qirâ’ât (Beirut: Dâr al-Ma’ârif, 1400), hlm. 53 dst.
85 Aẖmad ibn ‘Umar ibn Muẖammad ibn Abî ar-Ridhâ Al-H̲amawî, al-Qawâ’id wa al-Isyârât fî Ushûl al-Qirâ’ât (Damsyiq: Dâr al-Qalam, 1986), hlm.
24. 86 Al-Mathrûdî, al-Aẖruf al-Qur’âniyah as-Sab’ah, hlm. 26-29.
Pendapat Kesembilan
Pendapat berikutnya hampir sama dengan pendapat sebelumnya, yaitu bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah setiap kata bisa dibaca dengan satu, dua, atau tiga cara atau bahkan lebih, sampai tujuh cara baca.87
Namun, lagi-lagi dibantah bahwa di dalam al-Qur’an ada kata-kata tertentu yang bisa dibaca lebih dari tujuh cara baca. Bahkan menurut az-Zurqânî (w. 1367 H) di dalam Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, kalimat wa
‘abadath-thâghût ( َت ْوُ
غا َّطلا َدَبع َوَ ) di surah al-Mâ’idah [5]: 60
itu bisa dibaca sampai 22 cara baca yang berbeda, dan kata uff ( ٍفُ
ا) di surah al-Isrâ’ [17]: 23 ada 37 bentuk bacaan.88 Pendapat Kesepuluh
Pendapat ketujuh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sab’ah aẖruf adalah kaifiyah atau cara pengucapan suatu bacaan, yaitu menyangkut idghâm dan izhhâr, tafkhîm dan tarqîq, imâlah dan isybâ’, madd dan qashr, tasydîd dan takhfîf, serta talyîn dan taẖqîq.89 Namun, jika diperhatikan, apa yang disebutkan dalam pendapat ini hanya enam bentuk saja.90
87 As-Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, juz 1, hlm. 165.
88 Muẖammad ‘Abdul’azhîm Az-Zurqânî, Manâhil ‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân (Beirut: Dâr al-Fikr, t.thn.), juz 1, hlm. 122.
89 As-Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, juz 1, hlm. 166.
90 ‘Itr, al-Aẖruf as-Sab’ah wa Manzilah al-Qirâ’ât Minhâ, hlm. 133.
Namun, pendapat yang mengatakan seperti ini seakan tidak menyadari bahwa di dalam qirâ’ât juga ada bagian lain yang disebut dengan farsy al-ẖurûf, yaitu perbedaan cara baca kata-kata tertentu di dalam al-Qur’an yang sebenarnya juga masuk ke dalam bagian dari sab’ah aẖruf.91
Pendapat Kesebelas
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa sab’ah aẖruf adalah bahwa berkaitan dengan adanya sebagian ayat-ayat al-Qur’an yang bisa dibaca dengan tujuh bentuk bacaan. Namun, tidak berlaku untuk semuanya, melainkan hanya pada beberapa tempat saja. Misalnya ayat yang di dalamnya terdapat kata uff ( ٍفُ
ا) bisa dibaca dengan tujuh bentuk bacaan; dengan nashab, jarr, rafa’, serta masing-masing juga bisa disertai tanwîn, dan yang ketujuh adalah dengan jazm.92
Namun, apa yang disebutkan oleh pendapat ini, jika dilihat dari hadits-hadits yang ada tentang sab’ah aẖruf, tidak bisa memenuhi hikmah kemudahan dan keleluasan dalam membaca al-Qur’an yang bisa dipahami dari hadits-hadits tersebut.93
Pendapat Kedua Belas
91 Ismâ’îl, al-Aẖruf as-Sab’ah wa al-Qirâ’ât wa Mâ Utsîra H̲aulahâ min Syubuhât, hlm. 18.
92 Az-Zarkasyî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, juz 1, hlm. 223.
93 ‘Itr, al-Aẖruf as-Sab’ah wa Manzilah al-Qirâ’ât Minhâ, hlm. 134.
Pendapat lain menyebutkan bahwa maksud sab’ah aẖruf adalah zhahr, bathn, fardh, nadb, khushûsh, ‘umûm, dan amtsâl.94 Mereka berdalil di antaranya dengan hadits dari Ibn Mas’ûd ra.:
ِزْنُ
ْ أ لا َ
ل ْرُ ْه َظ ا َهْن ِم ٍةَيآ ِلُ ق
كِل ، ٍف ُر ْحَ
أ ِة َعْب َس ىَ ل َع ُ
نآ ٌن ْطَب َو ٌر
“Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf. Setiap ayat mempunyai makna zahir dan batin.”95
Pendapat Ketiga Belas
Pendapat lainnya lagi mengatakan bahwa sab’ah aẖruf adalah penutup-penutup ayat tertentu.
ٍف ُر ْحَ
أ ِة َعْب َس ىَ ل َع ُ
نآ ْرُ قْ
لا َ ل ِزْنُ ًمي ِك َح ،اًميِلَع ، أ
اًمي ِح َر ،ا ًروُ فَ
غ ،ا
“Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf; ‘Alîm(an), H̲akîm(an), Ghafûr(an), Raẖîm(an).” (HR. Aẖmad)96
Pendapat Keempat Belas
Menurut pendapat lain lagi, sab’ah aẖruf adalah tujuh macam makna yang dengannya Allah menurunkan Qur’an, yaitu seperti az-zajr, amr, ẖalâl, ẖarâm,
al-94 As-Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, juz 1, hlm. 173.
95 Al-Bazzâr, Musnad al-Bazzâr al-Mansyûr bi Ism al-Baẖr az-Zakhkhâr, juz 5, hlm. 441.
96 Asy-Syaibânî, Musnad al-Imâm Aẖmad ibn H̲anbal, juz 14, hlm. 120, no. 8390.
mûhkam, al-mutasyâbih, dan al-amtsâl.97 Di antara dalil yang mereka pegang adalah riwayat dari Ibn Mas’ûd ra., dari Nabi saw.:
َو ، ٍد ِحا َو ٍباَب ْن ِم َ ل َزَن ُ
ل َّوَ أْ
لا ُباَت ِكْ لا َ
ناَ ِحا َو ٍف ْر َح ىَ ك
َ ل َع ل َزَن َو ، ٍد
ٍف ُر ْحَ
أ ِة َعْب َس ىَ
ل َع َو ، ٍبا َوْبَ
أ ِة َعْب َس ْن ِم ُ نآ ْرُ
قْ لا ، ٍلا َ .
ل َح َو ، ٍرْمَ
أ َو ، ٍرْج َز
َأ َو ، ٍهِبا َشَتُمَو ، ٍمَ كْح ُ
م َو ، ٍما َر َحَو ٍلاث ْمَ
“Kitab yang pertama dahulu diturunkan dari satu pintu dengan satu huruf, sedangkan al-Qur’an diturunkan dari tujuh pintu dengan tujuh huruf, yaitu zâjir, ‘âmir, ẖalâl, ẖarâm, muẖkam, mutasyâbih, dan amtsâl.”98
Namun, mereka yang berpendapat bahwa sab’ah aẖruf adalah tujuh macam makna yang dengannya Allah menurunkan al-Qur’an, berbeda-beda dalam menyebutkan tujuh rincian tersebut. Selain satu yang disebutkan di atas, yaitu az-zajr, amr, ẖalâl, ẖarâm, mûhkam, al-mutasyâbih, dan al-amtsâl, masih banyak lagi rincian yang berbeda, yaitu:
1. Amr, zajr, targhîb, tarhîb, jadal, qashash dan matsal.
2. H̲alâl, ẖarâm, amr, nahy, zajr, khabar mâ huwa kâ’in ba’d dan amtsâl.
97 Al-Mathrûdî, al-Aẖruf al-Qur’âniyah as-Sab’ah, hlm. 30.
98 Ath-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, juz 1, hlm. 68.
3. Wa’d, wa’îd, ẖalâl, ẖarâm, mawâ’izh, amtsâl dan iẖtijâj.
4. Amr, nahy, bisyârah, nidzârah, akhbâr, amtsâl.
5. Muẖkam, mutasyâbih, nâsikh, mansûkh, khushûsh,
‘umûm, qashash
6. Amr, nahy, ẖadd, ‘ilm, sirr, zhahr, dan bathn.
7. Nâsikh, mansûkh, wa’d, wa’îd, targhîb, ta’dîb dan indzâr.
8. H̲alâl, ẖarâm, iftitâẖ, akhbâr, fadhâ’il dan ‘uqûbât.
9. Awâmir, zawâjir, amtsâl, anbâ’, ‘itab, wa’zh dan qashash.
10. H̲alâl, ẖarâm, amtsâl, khushûsh, ‘umûm, qashash dan ibâẖât.
11. Zhahr, bathn, fardh, nadb, khushûsh, ‘umûm dan amtsâl.
12. Amr, nahy, wa’d, wa’îd, ibâẖah, irsyâd dan i’tibâr.
13. Muqaddam, mu’akhkhar, farâ’idh, ẖudûd, mawâ’izh, mutasyâbih dan amtsâl.
14. Amr ẖatm, amr nadb, nahy ẖatm, nahy nadb, akhbâr, ibâẖât.
15. Amr fardh, nahy ẖatm, amr nadb, nahy mursyid, wa’d, wa’îd dan qashash.
16. Izhhâr ar-rubûbiyah, itsbât waẖdâniyah, ta’zhîm al-ulûhiyah, ta’abbud lillâh, mujânibah al-isyrâk, at-targhîb fî ats-tsawâb dan at-tarhîb min al-‘iqâb.
17. Nama-nama Allah, semisal al-Ghafûr, ar-Raẖîm, as-Samî’, al-Bashîr, al-H̲akîm.
18. Ayat tentang sifat-sifat Dzât, ayat yang tafsirnya ada dalam ayat lain, ayat yang tafsirnya ada pada sunnah, ayat tentang kasih nabi dan rasul, ayat penciptaan segala sesuatu, ayat tentang surga, dan ayat tentang neraka.
19. Ayat tentang sifat Pencipta, ayat tentang penetapan keesaan-Nya, ayat tentang penetapan sifat-sifat-Nya, ayat tentang penetapan rasul-rasul-Nya, ayat tentang penetapan kitab-kitab-Nya, ayat tentang penetapan Islam, dan ayat tentang pengingkaran terhadap kekufuran.
20. Sab’ jihât (tujuh sisi) dari sifat-sifat Dzat bagi Allah yang tidak terjadi takyîf padanya.
21. Beriman kepada Allah, menentang kemusyrikan, menetapkan berbagai perintah, menjauhi berbagai larangan, teguh dalam keimanan, mengharamkan yang Allah haramkan, dan menaati rasul-Nya.99
Pendapat-pendapat di atas sebagian besar saling masuk satu sama lain, dan kebanyakan tidak memiliki dalil.100
Di dalam al-Itqân, as-Suyûthi (w. 911 H) menyampaikan bahwa sebagian ulama menjawab pendapat tersebut bahwa bukanlah yang dimaksud dengan sab’ah
99 Al-Mathrûdî, al-Aẖruf al-Qur’âniyah as-Sab’ah, hlm. 31-33.
100 Ibid., hlm. 33.
aẖruf itu sebagaimana yang mereka kemukakan dengan berpegangan pada hadits tersebut. Namun hadits-hadits yang menyebutkan sab’ah aẖruf itu menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah kalimat itu dibaca dengan dua atau tiga cara, bahkan sampai tujuh untuk mempermudah. Sebab satu hal itu tidak mungkin menjadi halal dan haram dalam satu ayat.101
Ibn ‘Athiyah (w. 542 H) mengatakan bahwa pendapat ini dha’îf (lemah), karena keputusan ‘ijma’ mengatakan bahwa at-tausi’ah (keleluasaan) itu tidak berarti mengharamkan yang halal, tidak pula menghalalkan yang haram, tidak pula mengubah sesuatu dari makna-makna yang telah disebutkan.102
Abû ‘Alî Ahwazî (w. 446 H) dan Abu ‘Alâ’ al-Hamdzânî (w. 596 H) mengatakan bahwa kalimat yang dimulai dari zajrin wa amrin ( ٍرْمَ َو ٍرْجَز
أ ) dalam hadits tersebut bukanlah sebagai penjelasan untuk makna sab’ah aẖruf, melainkan permulaan kalimat baru, dan yang maksudnya kembali kepada al-Qur’an.103
Abû Syâmah (w. 665 H) berkata: “Kemungkinan penafsiran yang dimaksud dari sab‘ah abwâb, bukan sab’ah aẖruf.”104
101 As-Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, juz 1, hlm. 171.
102 Ibid.
103 Ibid.
104 Ibid., juz 1, hlm. 172.
Pendapat Kelima Belas
Pendapat berikutnya dipegang oleh Abû H̲âtim as-Sijistânî (w. 255 H). Menurutnya, sab’ah aẖruf yang dimaksud adalah tujuh bentuk perbedaan dalam bahasa (al-lughât) sebagaimana berikut:105
1. Ibdâl (mengganti) suatu lafazh dengan lafazh lain.
Contohnya dalam al-Qur’an; Lafazh fas’au ilâ dzikrillâh ( ِه
للَّا ِرْ كِذ ىٰ
ل ِا ا ْو َع ْساَ
ف) oleh ‘Umar ibn al-Khaththâb ra. dibaca famdhû ilâ dzikrillâh ( اَ
ف Mas’ûd ra. dengan kash-shûfil-manfûsy ( لاْ َ
ِف ْو ُّص ك
2. Ibdâl (mengganti) suatu huruf dengan huruf lain.
Contohnya adalah kata ash-shirâth ( َطا َر ِ صلا) yang bisa dibaca dengan shâd (ص) dan sîn (س). Termasuk adanya perbedaan para penulis mushaf tentang ayat 248 surah
Contohnya adalah kata ash-shirâth ( َطا َر ِ صلا) yang bisa dibaca dengan shâd (ص) dan sîn (س). Termasuk adanya perbedaan para penulis mushaf tentang ayat 248 surah