• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna Uis Karo Pada Acara Adat

P. Uis Nipes

2.5 Makna Uis Karo Pada Acara Adat

Dalam kegiatan adat tradisonal masyarakat Karo, uis Karo menjadi sebuah perlengkapan yang harus yang dipergunakan. Uis Karo tersebut mempunyai tempat dan makna yang tersendiri bagi pemakai dan pemberi. Dalam upacara adat tradisional seperti mengket rumah mbaru, pernikahan, berita ceda ate, dan guro-guro aron.

Berikut pemaknaan uis Karo yang dirangkum dari buku Pdt. Dr.E.P. Gintings (1999) “Religi Karo: Mambaca Religi Karo dengan Mata yang Baru”

dan tulisan Andi Satria Putranta Barus (2016) “Memaknai Yesus lewat pemakaian uis dalam Adat suku Karo”. Pemaknaan uis Karo ini dikaji pada proses pemakaian, proses pemberian beserta maknanya yang berarti memiliki pesan dan harapan. Pemaknaan dalam uis Karo biasanya diberikan oleh seorang yang pandai dalam berbicara dan bercerita.

1. Pemaknaan uis Karo untuk laki-laki

Uis beka buluh, bulang-bulang ini memilki corak bergaris-garis warna putih dan bergaris-garis berwarna merah. Corak garis-garis warna putih menggambarkan: sebuah gambaran anak yang mampu mengambil keputusan yang bijak dan hati yang baik, garis-garis warna merah mengatakan yang benar mempertahankan hak, dalam memperjuangkan kepentingan umum dengan tidak membedakan-bedakan orang lain.

Uis beka buluh yang diletakkan di pundak mengatakan bahwa hari ini berubah ali-ali (tanda tahan bala) jadi céngkok-céngkok, gambaran berkat Tuhan

yang menyertai kehidupan juga setiap langkah kehidupan tetap sehat, damai sejahtera, dan hati orang yang jahat tidak sampai kepada diri kita, bukan bencana atau kabar buruk yang terjadi pada kehidupan kita.

Pemberian sarung uis gatip jongkiten berwarna hitam kepada kalimbubu, supaya yang memakainya mengetahui pantang mereha (hal-hal yang tidak boleh dilakukan, hal-hal tabu) di dalam kehidupan ini. Contohnya jika seorang anak beru menghadap kalimbubu, untuk menghindari jika resletingnya tidak sengaja terbuka di depan kalimbubu, sehinga disarungkan uis gatip jonggiten.

Pemberian uis pementing/ragi jenggi yang dililitkan pada pinggang

(benting) artinya i genditken kami, bentingken kami man ban ndu anakku ragi jenggi enda gelah ula kam pagi mejengging yang berarti semoga anak yang diberikan uispementing agar tidak tinggi hati.

Diletakkan sarung pada pundak, artinya supaya dia mengaku kepada

sangkep geluhnya yaitu senina, kalimbubu ras anak beru supaya satu pengharapan dalam merga silima, karena itu dia harus mengendong, menjinjing, menjunjung, tidak lebih tinggi atau lebih rendah dalam kehidupan.

Uis juga diberikan orang tua kepada anaknya sebagai upah perkawinan (sereh) ketika dia sudah meninkah sebagai lambang kasih sayang (kekelengen) orang tua kepada anaknya. Selain uis, tanah (taneh), rumah (jabu), perhiasan emas (emas), pakaian(uis) hewan (rubia) dan uang (penampat), sebagai modal (penampat) untuk anaknya.

2. Pemaknaan uis Karo untuk perempuan

Dipasangkan tudung berwarna hitam, bentuknya segi tiga, artinya semua

sangkep geluh orang Karo, senina, anak beru, kalimbubu, semua harus sama di depan mata, saling menghargai, semua saling menghargai supaya tidak ada kesenjangan sosial dalam kehidupan ini. Tetap teguh dalam kehidupan supaya hidup damai sejahtera.

Diberikan gonje (sarung, busana pria yang panjang), disebut uis pengalkal

(tabah). Demikianlah supaya seorang istri ngalkal (tabah) berpikir, dibelah tidak pecah, dipotong tidak putus dengan kata lain dia harus teguh berpikir dalam kejujuran. Dia juga harus mampu menjaga pantangan-pantangan dalam kehidupan di masa yang akan datang.

Diberikan kadang-kadang (sehelai kain yang digantungkan bebas di atas bahu). Biasanya langge-langge ragi barat artinya orang yang menghias diri terampil menampilkan diri beserta sangkep geluh. Ragi barat, maknanya bahwa semua pekerjaan harus diselesaikan hingga petik mejile (baik/sempurna), maka layaklah upah diterima. Barat maknanya pekerjaan yang dikerjakan dengan baik dan ragi artinya lakon tandang guna, yang tidak berguna menjadi berguna seperti yang diharapkan.

Kampil menandakan dan memperlihatkan kebijaksanaan dan kehormatan bagi sangkep geluh dan halayak ramai. Kampil merupakan tempat ramuan sirih yang terbuat dari pandan; tempat peluru; kampil gempang sawa, dipakai pria pemakan sirih, sebagai alat untuk memulai pembicaraan waktu pesta perkawinan sebanyak lima buah, yang diperuntukkan bagi: kalimbubu, puang kalimbubu

(singalo bere-bere), penghulu (pengulu pihak sinereh), kalimbubu (senina sinereh), dan anak beru. Jadi kampil adalah hal utama sebagai alat menghadap

kalimbubu di semua tahapan kehidupan. Contohnya, acara penabalan marga dan beru (ngampeken merga ras beru).

3. Pemaknaan uis Karo untuk teman meriah

Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Karo sangat menghormati teman meriah (sahabat karib) sebagai sesama yang saling membantu. Jika setelah sekian lama menjadi teman meriah, maka orang tersebut harus diangkat menjadi saudara (sembuyak). Melalui sebuah musyawarah adat sangkep nggeluh, kepada teman meriah tersebut diberikan kehormatan yaitu marga atau beru dan bebere juga singalo perninin, perkempun dan seterusnya.

Perninin adalah apabila anak beru menteri (anak perempuan dari keponakan (bere-bere) yang laki-laki) kawin, maka ia menerima perninin dan disebut kalimbubu singalo perninin. Hutang adat perninin ini, hanya ada di beberapa daerah Karo, seperti di Urung Julu, Lau Cih (Deli Serdang) serta Langkat, di daerah Langkat disebut kalimbubu singalo perkempun.

Sedangkan perkempun merupakan nama keluarga yang diwarisi seseorang (berasal) dari merga puang kalimbubunya, atau dari bere-bere ibunya, atau dari beru neneknya (ibu dari ibunya)

Tata cara pemberian marga atau beru dan bebere harus sesuai dengan perjalanan hidup pihak yang berkeinginan memberikan marga dan beru tersebut. Ketika memberikan marga, maka kalimbubu simada dareh (adalah saudara

laki-laki dari ibu, Jika saudara laki-laki-laki-laki dari ibu sudah tidak ada bisa juga dilakukan oleh isterinya dan bila itu juga sudah meninggal bisa dilakukan oleh anaknya yang laki-laki.) harus memberikan bulang-bulang (penutup kepala laki-laki, kehormatan adat). Beka buluh sebagai bulang-bulang memilki makna yang besar dalam kehidupan orang Karo yaitu kehormatan dan kewibawaan.

Kemudian diberikan gonje, uis gatip jongkit berwarna hitam. Makna dari pemberiannya adalah supaya si penerima kain ini mengetahui dan sadar menjaga hal-hal yang tabu dalam kehidupan. Dia senantiasa menjaga supaya sangkep nggeluh yang memberi marga tersebut dijaga harga dirinya, tidak menjadi malu atau mendapat aib.

Kemudian dia juga diberikan kampuh kadang-kadangen (sarung yang disandang di bahu), makna dari pemberian ini bahwa jika dia sudah mengaku mendapatkan sembuyak senasib sepenanggungan/sehati sepikir dalam merga silima, maka dia harus menggendong, menenteng dan menjunjung, tidak lebih tinggi atau lebih rendah dibanding dengan sangkep sembuyak (saudara angkat) yang telah menerima dia.

Kemudian diberikan lagi cengkok-cengkok, tempatnya diatas pundak kiri dan kanan. Maknan dari pemberian cengkok-cengkok ini supaya dalam kehidupannya dia senantiasa beroleh damai sejahtera, banyak rejeki, sehat sentosa, dan terhindar dari malapetaka.

Pisau juga diberikan, maknanya supaya dia dan saudara angkatnya (sembuyak) bisa menjadi seperti pisau yang tajam dalam mengerjakan tugas adat dari pihak kalimbubunya.

Setelah marga dan bebere diberikan kepada laki-laki selesai, maka diberikan beru, bebere dan seterusnya kepada si perempuan. Pertama dipasangkan tudung (penutup kepala adat bagi wanita). Maknanya bahwa dalam kehidupan orang Karo, sangkep nggeluh (kalimbubu, senina, anak beru) semuanya pada dasarnya sederajat, harus saling menghormati-dihormati.

Kemudian diberikan gonje, gatip pengkalkal, maknanya bahwa ia harus menjaga apa yang tabu, senantiasa tabah dalam berpikir, dibelah tiada bisa terbelah, dipotong terasa kenyal, dengan kata lain dia berpikiran teguh dalam kebaikan. Selanjutnya diberikan kadang-kadangen, maknanya bijaksana dalam menjaga penampilan dan mengambil hati terhadap sangkep nggeluh nya. Kampil

(tempat sirih), maknanya mampu menghormati sangkep nggeluh dan khalayak ramai.

Pada acara pemberian marga dan beru ini, diberi kata-kata petuah bahwa harta warisan si pemberi marga tidak ikut disertakan kepada si penerima marga untuk memiliki hak atau bagian. Namun pemberian marga dan beru ini menunjukkan rasa persaudaraan yang sehati-sepikir dan senasib sepenanggungan.

4. Pemaknaan Beka Buluh untuk pemimpin

Pada acara pemberian beka buluh sebagai tanda kehormatan tertinggi kepada seorang pemimpin yang terhormat, diiringi dengan kata-kata petuah sebagai berikut : anda sebagai pemimpin, begitu banyak masyarakat Karo, sebagai bapak pemimpin orang nomer satu ditanah Karo, ini kami berikan uis hasil tenunan orang karo yang bernama beka buluh yang berarti bermacam-macam

bambu, dalam beka buluh ini terdapat berbagai-bagai corak, yang berwana merah berarti berani karena benar, karena karena berani berasal dari darah, berani bertindak, warna belau malambangkan lingkungan kita yaitu bukit barisan, kemudian warna putih berarti jujur dalam menjalankan tugas, warna kuning yang berati jangan caci mencaci, sedikit pun salah kita jangan dibesar-besarkan.

Gambar 2.29 : Pemberian beka buluh untuk SBY sebagai simbol pemimpin pada silaturahmi masyarakat Karo di JCC

(Sumber : http://presiden.co.id)

2.6 Pakaian Adat Tradisional (Ose)

Pakaian adat tradisional merupakan salah satu unsur kebudayaan yang dihasilkan melalui pemikiran manusia. Perwujudannya tidak lepas dari rangkaian pesan yang hendak disampaikan kepada para anggota masyarakat lewat lambang- lambang yang dikenal dalam tradisi masyarakat secara turun-temurun. Pakaian adat tradisional mampu memberikan keselarasan, keharmonisan bagi tubuh manusia yang dapat menjelmakan rasa estetis.

Gambar 2.30 : Pakaian adat tradisional Karo pada tahun 80an

(Sumber : dokumentasi pribadi)

Pakaian adat tradisional adalah pakaian yang sudah dipakai secara turun-temurun dan merupakan salah satu identitas yang dapat dibanggakan oleh sebagian besar pendukung kebudayaan (Dharmika, 1988). Bentuk pakaian adat tradisional juga dapat menyampaikan pesan-pesan mengenai nilai-nilai budaya yang pemahamannya dapat dilakukan melalui berbagai simbol-simbol yang tercermin dalam ragam hias pakaian adat tradisional.

Gambar 2.31 : Pakaian adat tradisional Karo beserta perhiasannya

(Sumber : Tata Rias Pengantin Dan Busana Seluruh Indonesia, 2010, hal. 37 )

Ose merupakan istilah masyarakat Karo yang berarti seperangkat pakaian adat tradisional Karo beserta assesorisnya. Menurut kamus Darwin Prinst dalam Kamus Karo-Indonesia, Ose adalah sejenis kain yang dipakai pada upacara-upacara adat.Ose juga disebut pakaian ganti atau tukar. Sedangkan Rose yaitu memakai kain adat untuk suatu upacara adat. Rose juga berarti ipejileken, ras

ipetunggungken yang berarti anggun, cantik, berhias agar mehaga ras mehamat

yang berarti menghormati dan dihormati. Osei ini pada dasarnya yang memakaikannya kepada pemakai adalah orangtua dari istri atau saudaranya, pakaian adat pengantin harus disediakan/dipinjamkan dan dipasangkan oleh

Kalimbubu beserta sembuyaknya. Pakaian pengantin pria disediakan oleh

kalimbubu singalo ulu emas, sedangkan pakaian wanita disiapkan oleh kalimbubu singalo bere-bere. Mereka Ngosei pengantin di rumah masing-masing pengantin. Selain manusia, bangunan juga bisa dipakaikan uis Karo yang disebut dengan istilah Karo ngoseken binangun.

Gambar 2.32 : Ngosei (Sumber : Anton Sitepu)

Sebagian wanita suku Karo yang sudah berusia lanjut masih menyimpan

Ose lama di dalam keranjang ritual (baka) atau keranjang kulit kayu (kepuk) yang ditempatkan dalam lemari.

Gambar 2.33: Kepuk (Sumber : Sora Surilo)

Secara umum, pakaian tadisional menurut buku Tanah Karo, Selayang Pandang (2014) masyarakat Karo dapat dibedakan atas 3 bagian, yaitu pakaian sehari-hari, pakaian untuk pesta dan pakaian kebesaran.

Gambar 2.34: Penggunaan Tudung dan Beka Buluh pada Masyarakat Karo

(Sumber : Dokumen Pribadi)

Pakaian sehari-hari terbagi 2 yaitu untuk pria dan wanita. Pakaian pria terdiri dari baju Gunting Cina lengan panjang, celana panjang bukan pentelon, tutup kepala yang disebut tengkuluk atau bulang ditamah sarung. Pakaian wanita

terdiri dari baju kebaya leher bulat, abit (kain sarung) atau tenunan, tutup kepala (tudung) dan uis gara yang diselempangkan.

Pakaian untuk berkunjung hampir sama dengan pakaian sehari-hari. Hanya saja pakaian hendaknnya bersih atau baru dan dikenakan dengan sopan. Pakaian kebesaran ialah pakaian adat lengkap, baik untuk wanita demikian juga untuk pria. Pakaian tersebut dikenakan pada waktu ada pesta seperti pesta perkawinan, pesta kematian, memasuki rumah baru, dan pesta adat lainnya.

a) Pakaian sehari-hari masyarakat Karo

Pakaian tradisional ini pada umumnya dipakai oleh orang-orang tua yang tinggal di perkampungan Karo. Laki-lakinya membawa kampuh (sarung) baik dikampuhkan maupun hanya sekedar dipakaikan saja. Wanita pakai tudung limpek

dan langge-langge (selendang). Pakaian sehari-hari juga sama seperti masyarakat Indonesia seperti kemeja, baju, celana, topi dan lain-lain.

b) Ose Pernikahan 1) Ose Pengantin Pria

a. Beka buluh sebagai bulang-bulang.

b. Sertali untuk hiasan bulang-bulang dan kalung-kalung. c. Rudang-rudang untuk hiasan bulang-bulang.

d. Uis jungkit gatib 9 sebagai abit/gonje (sarung penutup bagian bawah). e. Songket/beka buluh, sebagai kadang-kadangen (selempang).

g. Cincin tapak gajah, cincin kerunggun atau cincin kepala raja sebagai hiasan jari.

h. Gelang sarong sebagai hiasan tangan kanan. i. Pisau tumbuk lada sebagai penghias pinggang. j. Ragi jenggi/uis pementing sebagai ikat pinggang.

Dokumen terkait