BAB II
GAMBARAN UMUM
UIS
KARO
Uis Karo merupakan istilah umum masyarakat Karo dalam penyebutan
kain tradisional Karo. Uis Karo dipergunakan sebagai pakaian adat dalam
berbagai kegiatan masyarakat Karo dalam upacara adat, seperti pesta pernikahan,
pesta kesenian, upacara kematian, pesta memasuki rumah baru, pesta tahunan dan
acara adat lainnya. Menurut kamus Darwin Prinst dalam Kamus Karo-Indonesia,
uis adalah nama umum untuk semua pakaian, kain baju yang dikenakan.
Gambar 2.1 : Pa Sendi, Sibayak Lingga bersama keluarganya dengan memakai
Uis Karo sebagai pakaiannya.
(Sumber : Photograph Archive KIT 1000 5426- Legacy in Cloth)
Uis Karo memiliki perbedaan didalam warna, corak dan fungsi. Perbedaan
tersebut berkaitan dengan waktu dan tempat penggunaannya pada pelaksanaan
kegiatan upacara tradisional adat Karo. Masyarakat Karo memahami bahwa uis
kebudayaan masyarakat Karo. Uis Karo merupakan suatu unsur kelengkapan
dalam budaya masyarakat Karo yang mampu menjadi identitas dan keberadaaan
suku Karo ditengah masyarakat banyak.
2.1 Uis Karo sebagai Tenun Ikat
Uis Karo termasuk dalam kategori tenun ikat. Tenun ikat merupakan seni
kriya tenun yang berupa kain yang ditenun dari helaian benang pakan (melintang
horizontal) dan benang lungsin (membujur vertikal) yang sebelumnya diikat dan
dicelupkan ke dalam zat pewarna alami.
Gambar 2.2 : Alat tenun primitif.
(Sumber : Ling Roth, Studies in Primitif Looms)
Persebaran tenun ikat sebagai budaya Indonesia terjadi semenjak
prasejarah, yaitu pada awal periode Neolitikum. Pada periode Neolitikum ini,
sekitar tahun 2000 SM nenek moyang bangsa Indonesia bermigrasi dari daratan
berupa sarung, selimut dan selendang yang pemanfaatannya masih terbatas
sebagai alat pelindung badan, status sosial, upacara adat dan kebudayaan. Pada
zaman tersebut, keterampilan mendisain ragam hias masih bersifat monoton
dengan ukuran tertentu dan tidak berubah. Tehnik menenun merupakan
pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur.
Gambar 2.3 : Salah satu bentuk tehnik tenun ikat.
(Sumber : nejad.com)
Menurut Bungaran Simanjuntak, seorang antropolog Universitas Negeri
Medan, tak ada catatan pasti sejak kapan orang Batak mulai menenun. Dia
memperkirakan, tenun Ulos telah ada sejak ribuan tahun lampau seiring
terbentuknya masyarakat Batak itu sendiri, ada Ulos dan ada Batak. Dalam buku
Seni Budaya Batak yang ditulis Jamaludin S Hasibuan (1985), teknik ikat dalam
tenun Batak berasal dari kebudayaan Dongson yang berkembang di kawasan
Indochina. Kebudayaan ini terjadi sekitar 700 SM dan berasal dari Tonkin serta
Assam Utara. Tehnik tenun tersebut meliputi teknologi pencelupan benang
dengan warna alam sebelum ditenun. Tehnik ini berkembang di Nusantara akibat
dari pengaruh Dongson dan Chou akhir. Ragam hias yang dihasilkan yaitu
garis lurus, garis putus-putus, dan lain-lainnya. Motif-motif tersebut di atas
diambil dari artefak perunggu kebudayaan Dongson. seperti nekara, kapak
upacara, dan genderang perang.
2.2 Pembuatan Uis Karo pada awalnya
Pada zaman dahulu sebelum kedatangan bangsa Belanda ke tanah Karo,
pakaian tradisional masyarakat Karo ditenun oleh wanita suku Karo sendiri dan
bahan bakunya juga berasal dari daerah suku Karo sendiri.
Gambar 2.1 : Perempuan Karo yang menenun (1857-1910)
(Sumber : Tropenmuseum)
Dalam buku Manusia Adat Karo, Tridah Bangun menjelaskan hanya
sebagian kecil saja dari wanita suku Karo yang dapat mengerjakan penenunan uis
Karo mulai dari bagian yang halus sampai kepada bagian yang kasar. Pekerjaan
pembuatan benang dan penenunannya yang memakan waktu cukup lama. Satu
helai uis Karo biasanya dapat diselesaikan dalam waktu satu minggu dengan
waktu pengerjaan 9 jam sehari.
Menurut Sitepu (1980) Mengenal Seni Kerajinan Tradisional Karo, Bahan
utama untuk membuat uis Karo adalah kembayat, yaitu kapas yang berasal dari
hasil perkebunan warga yang kemudian dipintal menjadi sebuah benang.
Kemudian bahan untuk mewarnai benang dipergunakan air abu dapur, kapur,
kuning gersing (kunyit) dan telep yaitu sebuah tumbuhan yang bernama sarap.
Gambar 2.5 : Perempuan Karo dalam memintal benang (1914-1919)
(Sumber : Photograph Tassilo Adam. Photoarchives KIT 1001 4379)
Keempat bahan tersebut diaduk dalam sebuah wadah sampai menimbulkan
warna belau maupun warna gelap. Setelah itu gulungan benang dicelupkan ke
dalam wadah yang berisi ramuan tersebut. Cara mewarnai benang tersebut dalam
bahasa Karo ipelabuken yang berarti dicelup. Setelah benang tersebut berwarna
diremas). Kemudian benang tersebut dikeluarkan, kemudian disisir dan dijemur.
Setelah kering benang tersebut ikulkuli (digulung), kemudian isawean yaitu dibuat
ukuran sepanjang uis Karo dan ditenun melalui alat tenun gedokan. Jenis uis Karo
yang ditenun adalah Batu Jala, Ambu-ambu dan Kelam-kelam. Setelah selesai
ditenun ipiuhi (dipintal), kemudian diketang-ketang yaitu dibentuk ornamen dan
motif pada pinggir kanan dan kiri uis tersebut.
Pada zaman dulu, alat mewarnai benang cukup terbatas, masyarakat Karo
membuatnya sendiri dari bahan-bahan yang ada tersedia. Oleh karena itu warna
dasar dari berbagai jenis warna untuk masyarakat Karo hanya ada 3, yaitu putih
sebagai warna dasar, hitam dan merah. Seiring perkembangan zaman maka
ditemukan pewarna lain seperti warna kuning, hijau dan biru tua. Fungi warna
pada uis Karo adalah untuk menghidupkan motif.
2.3 Penenunan pada masyarakat Karo
Masyarakat Karo khususnya wanita bukanlah penenun seperti wanita
Batak Toba. Wanita Karo lebih memilih berladang karena keuntungan dari hasil
bertani yang begitu besar dibandingkan menenun. Menurut Liwen Tarigan salah
satu bukti masyarakat Karo bertenun adalah terdapat dalam mangmang (mantra,
nyanyian, kalimat sakti dan pendek berupa nasihat) pada Beka Buluh yang
dilakukan pada acara adat berbunyi: enda ia, iampeken kami man bandu nakku,
Dalam bukunya Legacy in Cloth: Batak Textiles of Indonesia (2009) dan
Batak Cloth and Clothing: A Dynamic Indonesian Tradition (1993) disebutkan,
setidaknya sudah sangat lama orang Karo berhenti menenun uis. Hal ini sebabkan
suburnya tanah Karo berkat keberadaan gunung berapi, seperti Sinabung sehingga
membuat pertanian di Karo lebih menjadi penopang hidup masayarkat Karo.
Sehingga aktivitas menenun uis Karo pun ditinggalkan demi pertanian. Dari hasil
pertanian ini, masyarakat Karo, masyarakat Karo mampu membeli tekstil impor
yang didatangkan dari India (Tamil) dan Eropa oleh para pedagang di wilayah
Kesultanan Aceh.
Gambar 2.6 : Gambar penenun tradisional edisi Sumatera Utara terdapat pada desain mata uang kertas tahun 1958 bernilai 25 Rupiah.
(Sumber : uang kuno magelang)
Usaha penenunan di tanah Karo tidak terlalu banyak seperti suku Batak
the Malay World Historical, Cultural and Social (2002), ada 2 kelompok kecil
dalam memproduksi bahan baku uis Karo, yaitu Sinuan Bunga dan Sinuan
Gamber. Kelompok Sinuan Bunga adalah masyarakat fokus memproduksi dan
mengembangkan kapas, mereka biasanya berdomisili di Binjai, Sunggal, Laucih,
Delitua dan Patumbak. Hasil pemintalan mereka diperdangkan ke masyarakat
Karo yang datarannya lebih tinggi, seperti daerah Sibolangit, Kelompok ini
dijuluki Sinuan Gamber (penanam gambir) karena mereka memproduksi gambir
untuk memproduksi pewarna tenunan yang dicelupkan pada benang kapas. Kapas
didagangkan dari wilayah Sinuan Bunga ke bagian lebih tinggi dari Tanah Karo
setelah diadakan pemintalan oleh orang-orang Karo.
Masyarakat Karo juga melakukan satu Proses penenunan yaitu
pencelupan. Niessen (2009) mengemukakan kota Kabanjahe pernah menjadi
menjadi pusat pencelupan benang. Proses pencelupan benang tersebut ini disebut
dalam bahasa Karo yaitu ertelep. Setelah benang tersebut dicelup, benang tersebut
dikirim melalui tenaga pemikul ke daerah Kuta Ketengahen (Kampung
Pertengahan) yang dalam istilah Batak disebut dengan sitolu huta (Tiga Desa),
yakni Tongging, Paropo, dan Silalahi yang terletak di pesisir utara Danau Toba.
Kampung berbatasan dengan masyarakat Karo di kecamatan Merek. Di tiga
kampung ini uis Karo ditenun kembali sesuai dengan pemesanan. Hasil
penenunan dijemput kembali oleh perlanja sira dan menyerahkannya kepada
Gambar 2.7 : Peralatan tenun tradisional Karo yang dibuat oleh masyarakat Toba pada tahun 1989
(Sumber : The Bataks, A.S. 192)
Seiring dengan era globalisasi, para pekerja di uis Karo meninggalkan
profesinya yang berhubungan dengan dunia tenun dan beralih ke profesi yang
lain. Ada mereka yang berpindah profesi karena tuntutan zaman yang
mengharuskan mereka bekerja di sektor-sektor seperti perkebunan, menjadi
petani, menjadi pegawai pemerintah, menjadi buruh di kota hingga yang merantau
ke luar Sumatera. Sejak masa itulah bekerja di bidang uis Karo semakin banyak
ditinggalkan oleh masyarakat Karo yang lebih disibukkan dengan usaha menanam
cabe, jeruk, kopi, tomat, dan palawija lainnya. Perlahan namun pasti, kegiatan
menenun uis Karo menjadi hal yang langka dari tanah Karo. Kini di tanah Karo
sudah tidak terdapat lagi penenun tradisional. Kebutuhan masyarakat Karo akan
2.4 Jenis-jenis Uis Karo
Pada umunya uis Karo ini dipakai dan digunakan dalam upacara adat
untuk jile-jile (kemegahan) dengan cara igonjeken (diselempangkan ke pinggang
hingga menutup mata kaki) atau icabingken (dipakai di bahu menutup badan
bagian atas terutama dada dan punggung). uis Karo juga dipergunakan sebagai
tudung oleh wanita dan bulang-bulang oleh pria pada pesta perkawinan.
Gambar 2.8 : Penggunaan Uis Karo pada tari Terang Bulan tempo dulu (Sumber : Postcard Karo)
Selain pemakaian pada tubuh, uis Karo juga diaplikasikan masyarakat
Karo sebagai dekorasi dalam upacara perkawinan seperti alas dari pinggan tempat
memberikan tukur atau perdalin emas yang berupa mahar. Uis Karo juga dipakai
oleh pengatin baru masyarakat Karo dengan disangkutkan sebagai hiasan tempat
tidur mereka agar pengantin hidup dengan tenang dalam mengarungi bahtera
rumah tangga ke depannya. Jenis uis yang dipakai pengantin baru ini adalah jenis
uis Nipes dan uis Kapal.
dengan istilah Ngosei binangun supaya nanti rumah dan penghuninnya tetap kuat
dan sehat.
Berdasarkan laporan penelitian pengumpulan dan dokumentasi ornamen
tradisional di Sumatera Utara tahun 1977/1980, uis Karo memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Bidang tengah kain biasanya berisi unsur-unsur corak geometri seperti
garis-garis lurus, garis-garis putus-putus dan bersifat hanya sebagai penghias.
2. Pengetang-ngetang/Ketang-ketang yakni batas antara bidang tengah kain
dengan ambu-ambu yang berfungsi sebagai penguat ujung-ujung kain berupa
hiasan geometris.
3. Sebagian uis Karo memilki ambu-ambu/rambu, yaitu hiasan berupa benang
berjumbai pada pinggir atas dan bawah kain.
4. Gadingna merupakan batas antara bidang tengah kain dan pinggir kain.
Menurut A.G. Sitepu pada bukunya mengenai seni kerajinan tradisional
Karo seri B, terdapat 18 corak jenis uis Karo. Dia juga berpendapat bahwa jumlah
jenis uis berbeda-beda pada setiap daerah, hal ini diakibatkan oleh pengaruh dari
kebudayaan suku luar dan keadaan geografis. Dalam buku Pilar Budaya Karo
tulisan Sempa Sitepu, Bujur Sitepu dan A.G Sitepu, dalam masyarakat Karo
terdapat 19 jenis uis Karo. uis Karo tersebut adalah uis julu, uis teba, uis
mbacang, uis nipes padang rusak, uis nipes mangiring, dan uis nipes benang iring.
Gambar 2.9 : Penerapan simbol Uis Karo dalam logo Pijer Podi (Sumber : Pemerintah Kabupaten Karo)
Beberapa diantara uis Karo tersebut sekarang sudah langka karena tidak
lagi digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Uis Karo tersebut hanya digunakan
dalam kegiatan acara budaya yang berhubungan dengan kepercayaan animisme
sehingga saat ini tidak digunakan dan ditenun lagi.
Berikut jenis-jenis uis Karo dan fungsinya menurut Sitepu (1980) : A. Uis Julu
Uis ini memilki warna hitam kebiru-biruan dengan corak garis-garis putih
berbentuk liris. Ketang-ketangnnya berwarna merah dan hitam yang disebut juga
ketang-ketang bujur. Selain itu, ada juga jenis uis julu yang memiliki ketang-ketang sirat yang diberi ragam corak ukiran. Pada pinggir ujung uis ini terdapat
memilki rambu (jumbai). Uis ini memiliki ketebalan seperti uis jongkit/gatip.
1. Sebagai pakaian wanita yang berfungsi sebagai pembalut tubuh dari dada
bagian atas hingga ke pergelangan kaki (abit) pada upacara adat yang
mengharuskan berpakaian adat lengkap.
2. Uis ini dijadikan sebagai tanda rasa hormat kepada Kalimbubu
(manéh-manéh) pada saat orang tua (baik pria maupun wanita) yang sudah lanjut usia
telah meninggal dunia (istilah Karo cawir metua, ketika semua anaknya telah
menikah).
3. Nambari (mengganti) pakaian orang tua laki-laki.
4. Sebagai cabin (sebagai selimut).
5. Gonjé atau sarung untuk laki-laki.
B. Uis Teba
Uis ini termasuk uis yang tebal. Uis teba memiliki warna hitam
kebiru-biruan dengan corak daris-garis putih berbentuk liris yang memilki kemiripan
dengan uis julu, yang perbedaannya adalah garis-garis pada uis teba agak jarang
sedangkan pada uis julu agak rapat. Uis ini memiliki rambu (jumbai) pada bagian
pinggir ujungnya. Uis teba ini juga memilki ketang-ketang berwarnanya merah
dan putih. Selain itu ada juga jenis uisteba yang memilki sirat atau ukiran. Fungsi
dari uisteba adalah :
1. Sebagai manéh-manéh, contohnya jika seorang perempuan meninggal dunia
maka manéh-manéhnya diberikan uis teba kepada saudaranya laki-laki.
2. Sebagai tudung bagi wanita (hanya boleh ditudungkan oleh orang tua yang
berumur lebih kurang 50 tahun keatas).
3. Untuk nambari uis orang tua (memberikan uis kepada orang tua perempuan
jika usianya sudah lanjut dan semua anaknya telah berumah tangga).
4. Sebagai alas pinggan, yaitu sebagai tempat emas kawin sewaktu
melaksanakan pembayaran kepada pihak perempuan.
Gambar 2.11 : Uis Teba (Sumber : dokumentasi pribadi)
Gambar 2.12 : Seorang perempuan Karo yang menggunakan Uis Teba sebagai
kain penggendong anak
C. Uis Arinteneng
Jenis uis ini berwarna hitam agak pekat polos dan memakai ambu-ambu.
Pada bagian sebelah atas dan bawah uis ariteneng terdapat les berwarna putih dan
biru muda. Pada bagian kiri dan kanan uis ini terdapat pengetang-ngetang dalam
bentuk ragam hias. Uis ini termasuk uis tebal. Fungsi dari uis ariteneng adalah :
1. Sebagai alas pinggan pasu yaitu tempat emas kawin yang akan diberikan
kepada keluarga pengantin perempuan.
2. Sebagai alas pinggan pasu (memiliki arti supaya roh-roh menjadi tenang).
3. Sebagai alas tempat makanan bagi pengantin sewaktu acara mukul (makan
6. Sebagai alat membayar utang adat kepada kalimbubu dalam acara adat duka
10. Diberikan sebagai parembah apabila seseorang anak laki-laki termama-mama
tendinya atau seseorang anak perempuan terbibi (saudara ayahnya yang
perempuan) tendinya.
11. Sebagai lapik (alas) bibit padi di ladang
12. Pada upacara njujung beras piher, uis ini di pakai dengan makna “tenang
tendi i rumah” yang berarti ketentraman
13. Sebagai isi lemari, yang bermaksud supaya pemikiran sang empunya rumah
teneng (tenang). uis Karo ini diikat dengan padang teguh supaya tendi (roh)
tetap berada di dalam rumah.
14. Pada logo tanah Karo Pijer Podi, uis Arinteneng dipakai dalam melambangkan
kesentosaan.
D. Uis Batu Jala
Uis ini memilki warna hitam pekat. Pada sebelah pinggir kanan dan kiri uis ini terdapat warna putih dengan ragam hias cekili kambing. Uis baru jala ini
tipis dan tidak memakai ambu-ambu. Fungsi dari uisbaru jala adalah :
1. Sebagai tudung bagi anak gadis pada waktu pesta guro-guro aron (pesta
muda-mudi)
2. Sebagai kadangen yaitu uis yang diselendangkan pihak laki-laki dengan tiga
lapis yaitu uis batu jala, uis rambu-rambu dan uis kelam-kelam.
Gambar 2.14 : UisBatu Jala dan penggunaanya
(Sumber : Dokumentasi pribadi – Koleksi Norma br Tarigan, Early twentieth century. Photoarchive KIT 6002 8077)
E. Uis Kelam-kelam
hitam. Meskipun jenis uis Karo ini termasuk tipis, uis ini memiliki sifat yang lebih
keras. Fungsi dari Uis kelam-kelam adalah :
1. Sebagai tudung orang tua
2. Sebagai morah-morah (kado untuk laki-laki pada pesta upacara kematian
wanita lanjut usia) dan yang menerima morah-morah ini ialah puang
kalimbubu.
3. Sebagai Kadangen yaitu uis yang diselendangkan pihak laki-laki dengan tiga
lapis yaitu uis batu jala, uis rambu-rambu dan uis kelam-kelam
Gambar 2.15 : Uis Kelam-kelam (Sumber : Dokumentasi pribadi)
F. Uis Beka Buluh
Uisbeka buluh memiliki warna dasar merah cerah dan pada bagian tengah
terdapat garis-garis berwarna kuning violet, ungu, putih. Warna beka buluh zaman
hias Karo dengan benang emas. Jenis uis Karo ini juga sering disebut
bulang-bulang. Menurut aturan adat dahulu yang boleh memakai uis beka buluh adalah
hanya laki-laki. Fungsi dari Beka Buluh adalah :
1. Sebagai bulang-bulang yaitu penutup kepala. Pada saat pesta Adat, uis ini
dipakai putra Karo sebagai mahkota di kepalanya pertanda bahwa untuk untuk
dialah pesta tersebut diselenggarakan. Uis ini dilipat dan dibentuk menjadi
mahkota pada saat pesta perkawinan, mengket rumah (peresmian bangunan),
dan cawir metua (upacara kematian bagi orang tua yang meninggal dalam
keadaan umur sudah lanjut)
2. Sebagai pertanda (céngkok-céngkok/tanda-tanda) yang diletakkan di pundak
sampai ke bahu dengan bentuk lipatan segitiga.
3. Sebagai maneh-maneh yaitu setiap putra Karo dimasa mudanya diberkati oleh
Kalimbubu (paman, saudara laki-laki dari ibu, pihak yang dihormati) agar dia
berhasil dalam hidupnya.
4. Pada saat acara duka, pihak keluarga akan membayar berkat yang diterima
tersebut dengan menyerahkan tanda syukur yang paling berharga kepada
pihak kalimbubu tersebut berupa mahkota yang biasa dikenakannya yaitu uis
beka buluh.
5. Uis beka buluh memiliki ciri gembira, tegas dan elegan. Uis ini merupakan
simbol wibawa dan tanda kebesaran bagi seorang putra Karo.
6. Uis ini juga biasa diletakkan di atas tudung wanita sebagai pengganti uis
7. Uis ini juga memiliki posisi yang tinggi karena letaknya pada pada bagian atas
seperti kepala dan bahu yang melambangkan kepemimpinan.
8. Pada logo Pijer Podi tanah Karo, uis ini dipakai dalam melambangkan
kepemimpinan.
Gambar 2.16 : Uis Beka Buluh (Sumber : dokumentasi penulis)
G. Uis Gobar Dibata
Uis Gobar ini termasuk uis yang tipis dan berukuran kecil. Uis ini memilki
warna biru tua, hitam, merah dan putih. Uis ini juga sering disebut uis Jinujung.
Fungsi utama dari uis gobar dibata adalah untuk berberjinujung (pemuja roh
nenek moyang), uis ini dipakai sewaktu erpangir kulau dan ngelandekken galuh
Gambar 2.17 : Uis Gobar
(Sumber : Legacy in Cloth, Batak textile of Indonesia : Catalog 3.2a)
H. Uis Gatip Gewang
Uis gatip gewang ini memilki warna hitam dan memiliki corak ragam hias
berwarna putih. Uis gatip gewang ini termasuk jenis uis yang tebal dan memakai
ambu-ambu. Fungsi dari uisgatip gewang sama dengan uisgatip cukcak yaitu uis
yang dipergunakan sebagai ndawa bagi perempuan dan sebagai abit (sarung) bagi
laki-laki. Perbedaannya dengan uis gatip cukcak adalah tidak memakai benang
Gambar 2.18 : Uis Gatip Gewang dan penggunaanya (Sumber : dokumentasi pribadi – koleksi AG Sitepu, 1870 Tropenmuseum)
I. Uis Gatip Jongkit/Kapal Jongkit
Uis gatip jongkit ini termasuk jenis uis yang tebal dan memilki ambu-ambu. Warna dasar dari uis ini adalah warna merah dan bercorak putih dan hitam.
Fungsi dari uis gatip jongkit ini adalah sebagai gonje (sebagai kain sarung) pada
laki-laki ketika acara pesta adat. uis ini dipakai oleh laki-laki untuk semua upacara
Adat seperti: acara pesta perkawinan, memasuki rumah baru, guro-guro Aron
yang mengharuskan berpakaian adat lengkap. Uis gatip jongkit ini juga
menunjukkan karakter kuat dan perkasa. Uis ini juga diberikan sebagai cabin
Gambar 2.19 : Uis Gatip Jongkit (Sumber : Dokumetasi Pribadi)
J. Uis Gatip Cukcak/Uis Kapal
Uis ini termasuk jenis uis yang tebal sehingga masyarakat Karo
menyebutnya uis Kapal. Uis ini termasuk uis yang memiliki ambu-ambu. Uis ini
berwarna hitam dan memilki corak bintik-bintik putih pada bagian tengah. Fungsi
dari uis gatip cukcak ini sama dengan uis gatip gewang yaitu digunakan sebagai
ndawa bagi perempuan dan sebagai abit (sarung) bagi laki-laki.
K. Uis Gara-gara
Uis ini termasuk jenis uis yang tebal dan memilki ambu-ambu. Warna
putih di bagian tengah yang mempunyai ragam hias bermotif ular sawah. Uis ini
juga mengunakan benang berwarna emas. dari uis gara-gara ini adalah :
1. Dipergunakan sebagai tudung pada pesta adat seperti pesta perkawinan dan
pesta memasuki rumah baru. Tudung ini bentuknya lebih pendek dari tudung
teger limpek.
2. Sebagai ndawa anak-anak (ketika anak-anak digendong, uis ini diabitkan
sekalian menjadi selimutnya ketika tidur).
3. Dipakai wanita sehari-hari sebagai penutup kepala di desa.
Gambar 2.20 : Uis Gara-gara (Sumber : dokumentasi pribadi)
L. Uis Pementing
Uis Karo ini termasuk jenis uis yang tebal dan memiliki ambu-ambu. Uis
ini berwarna gelap dan memilki corak putih berukuran kecil. Uis ini dipakai
memakai uis julu sebagai sarung. Uis ini juga disebut dalam bahasa Toba adalah
ulos ragi jenggi.
Gambar 2.21 : Uis Pementing dan penggunaan Uis Pementing sebagai ikat
pinggang
(Sumber : dokumentasi pribadi – koleksi AG Sitepu, Tropenmuseum)
M. Uis Pengalkal
Uis pengalkal hampir sama bentuknya dengan uis pementing. Uis ini
memilki warna hitam dan bergaris-garis dipinggirnya. Uis digunakan oleh
perempuan untuk mengikat ndawa.
N. Uis Parembah
putih dan kuning. Penggunaan uis ini harus sepasang yaitu parembah ndawa dan
uis pangalkal. Fungsi dari uis perembah ialah sebagai alat menggendong anak
kecil. Pada umumnya pihak anak beru membawa anaknya kepada kalimbubu
dengan maksud meminta uis perembah, sehingga pihak kalimbubu harus
menyediakan dan menyerahkan seperangkat uis perembah. Pemberian uis
perembah ini bermaksud agar anak tersebut sehat-sehat, dengan doa lampas mbelin ula sakit-sakit, sirang lau ras beras maka sirang ernande erbapa yang
berarti mendoakan supaya anak tersebut lekas besar dan sehat-sehat, panjang
umur, dan mampu mandiri dengan berpisah dengan ibu dan ayah.
Gambar 2.22 : UisPerembah (Sumber : dokumentasi pribadi – koleksi AG Sitepu)
O. Uis Jujung-Junjungen
sebagai jujungen yang diletakkan diatas tudung sewaktu mendadakan pesta
seperti, pesta perkawinan (dipakai oleh pengantin perempuan), guro-guro aron
(pesta muda-mudi) dan pesta mengket rumah mbaru oleh kemberahan (istri tuan
rumah). Pada saat uis ini jarang digunakan, dan diganti dengan uis beka buluh.
Menurut Norma Br Tarigan, pergantian uis jujung-jujungen menjadi uis beka
buluh untuk tudung berawal dari tukang salon yang pinter menghias yang
bernama Pudin, bukan dari suku Karo. Dari hasil desain tudung yang yang mirip
dengan suku minang, masyarakat Karo mengikuti tudung dengan uis beka buluh.
Gambar 2.23: Uis Jujung-jujungen
(Sumber : Legacy in Cloth, Batak textile of Indonesia : Catalog 7.10)
P. Uis Nipes
Uis nipes biasanya digunakan sebagai maneh-maneh (kado untuk
Kain ini jenisnya lebih tipis dari jenis uis Karo lainnya dan uis ini memilki
bermacam-macam motif dan warnanya seperti warna merah, coklat, hijau, dan
ungu. Pemakaian kain ini sering dipakai sebagai selendang bagi wanita.
Gambar 2.24 : Berbagai jenis warna UisNipes (Sumber : dokumentasi pribadi)
Berikut jenis-jenis uisnipes : a) Uis Nipes Ragi Mbacang
Uis ragi mbacang sering juga disebut dengan Uis Ragi Barat. Uis nipes ragi mbacang memiliki warna dasar merah bergaris emas. Uis ini termasuk jenis uis yang tipis. Uis nipes ragi mbacang dipakai sewaktu waktu pesta adat hanya
untuk perempuan sebagai langge-langge yaitu lapisan sebelah luar kain sarung.
Uis nipes ragi mbacang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pakaian
Gambar 2.25 : Uis Nipes Ragi Mbacang
(Sumber : Legacy in Cloth, Batak textile of Indonesia : Catalog 7.10)
b) Uis Nipes Padang Rusak
Warna dasar uis nipes padang rusak adalah merah dan memilIki corak
ragam hias yang beragam. Uis nipes padang rusak ini juga dipakai sebagai
langge-langge (selendang) oleh perempuan baik pada pesta maupun dalam
Gambar 2.26 : Uis Nipes Padang Rusak (Sumber : dokumentasi pribadi – koleksi AG Sitepu))
c) Uis Nipes Mangiring
Uis nipes mangiring ini berwarna merah dengan corak garis merah, kuning
dan putih, kainnya tipis. Fungsi uis nipes ini sebagai langge-langge (selendang
Gambar 2.27 : Corak UisNipes Mangiring
(Sumber : Legacy in Cloth, Batak textile of Indonesia : Catalog 5.7d)
d) Uis Nipes Benang Iring
Uis nipes benang iring ini berwarna merah bergaris putih ditambah benang
emas, Fungsi uis nipes ini sebagai langge-langge (selendang bahu bagi
perempuan) dalam upacara adat duka cita.
2.5 Makna Uis Karo Pada Acara Adat
Dalam kegiatan adat tradisonal masyarakat Karo, uis Karo menjadi sebuah
perlengkapan yang harus yang dipergunakan. Uis Karo tersebut mempunyai
tempat dan makna yang tersendiri bagi pemakai dan pemberi. Dalam upacara adat
tradisional seperti mengket rumah mbaru, pernikahan, berita ceda ate, dan
guro-guro aron.
Berikut pemaknaan uis Karo yang dirangkum dari buku Pdt. Dr.E.P.
Gintings (1999) “Religi Karo: Mambaca Religi Karo dengan Mata yang Baru”
dan tulisan Andi Satria Putranta Barus (2016) “Memaknai Yesus lewat pemakaian
uis dalam Adat suku Karo”. Pemaknaan uis Karo ini dikaji pada proses
pemakaian, proses pemberian beserta maknanya yang berarti memiliki pesan dan
harapan. Pemaknaan dalam uis Karo biasanya diberikan oleh seorang yang pandai
dalam berbicara dan bercerita.
1. Pemaknaan uis Karo untuk laki-laki
Uis beka buluh, bulang-bulang ini memilki corak bergaris-garis warna
putih dan bergaris-garis berwarna merah. Corak garis-garis warna putih
menggambarkan: sebuah gambaran anak yang mampu mengambil keputusan
yang bijak dan hati yang baik, garis-garis warna merah mengatakan yang benar
mempertahankan hak, dalam memperjuangkan kepentingan umum dengan tidak
membedakan-bedakan orang lain.
Uis beka buluh yang diletakkan di pundak mengatakan bahwa hari ini
yang menyertai kehidupan juga setiap langkah kehidupan tetap sehat, damai
sejahtera, dan hati orang yang jahat tidak sampai kepada diri kita, bukan bencana
atau kabar buruk yang terjadi pada kehidupan kita.
Pemberian sarung uis gatip jongkiten berwarna hitam kepada kalimbubu,
supaya yang memakainya mengetahui pantang mereha (hal-hal yang tidak boleh
dilakukan, hal-hal tabu) di dalam kehidupan ini. Contohnya jika seorang anak
beru menghadap kalimbubu, untuk menghindari jika resletingnya tidak sengaja
terbuka di depan kalimbubu, sehinga disarungkan uis gatip jonggiten.
Pemberian uis pementing/ragi jenggi yang dililitkan pada pinggang
(benting) artinya i genditken kami, bentingken kami man ban ndu anakku ragi jenggi enda gelah ula kam pagi mejengging yang berarti semoga anak yang
diberikan uispementing agar tidak tinggi hati.
Diletakkan sarung pada pundak, artinya supaya dia mengaku kepada
sangkep geluhnya yaitu senina, kalimbubu ras anak beru supaya satu
pengharapan dalam merga silima, karena itu dia harus mengendong, menjinjing,
menjunjung, tidak lebih tinggi atau lebih rendah dalam kehidupan.
Uis juga diberikan orang tua kepada anaknya sebagai upah perkawinan
(sereh) ketika dia sudah meninkah sebagai lambang kasih sayang (kekelengen)
orang tua kepada anaknya. Selain uis, tanah (taneh), rumah (jabu), perhiasan emas
(emas), pakaian(uis) hewan (rubia) dan uang (penampat), sebagai modal
2. Pemaknaan uis Karo untuk perempuan
Dipasangkan tudung berwarna hitam, bentuknya segi tiga, artinya semua
sangkep geluh orang Karo, senina, anak beru, kalimbubu, semua harus sama di
depan mata, saling menghargai, semua saling menghargai supaya tidak ada
kesenjangan sosial dalam kehidupan ini. Tetap teguh dalam kehidupan supaya
hidup damai sejahtera.
Diberikan gonje (sarung, busana pria yang panjang), disebut uis pengalkal
(tabah). Demikianlah supaya seorang istri ngalkal (tabah) berpikir, dibelah tidak
pecah, dipotong tidak putus dengan kata lain dia harus teguh berpikir dalam
kejujuran. Dia juga harus mampu menjaga pantangan-pantangan dalam kehidupan
di masa yang akan datang.
Diberikan kadang-kadang (sehelai kain yang digantungkan bebas di atas
bahu). Biasanya langge-langge ragi barat artinya orang yang menghias diri
terampil menampilkan diri beserta sangkep geluh. Ragi barat, maknanya bahwa
semua pekerjaan harus diselesaikan hingga petik mejile (baik/sempurna), maka
layaklah upah diterima. Barat maknanya pekerjaan yang dikerjakan dengan baik
dan ragi artinya lakon tandang guna, yang tidak berguna menjadi berguna seperti
yang diharapkan.
Kampil menandakan dan memperlihatkan kebijaksanaan dan kehormatan
bagi sangkep geluh dan halayak ramai. Kampil merupakan tempat ramuan sirih
yang terbuat dari pandan; tempat peluru; kampil gempang sawa, dipakai pria
pemakan sirih, sebagai alat untuk memulai pembicaraan waktu pesta perkawinan
(singalo bere-bere), penghulu (pengulu pihak sinereh), kalimbubu (senina sinereh), dan anak beru. Jadi kampil adalah hal utama sebagai alat menghadap kalimbubu di semua tahapan kehidupan. Contohnya, acara penabalan marga dan beru (ngampeken merga ras beru).
3. Pemaknaan uis Karo untuk teman meriah
Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Karo sangat menghormati teman
meriah (sahabat karib) sebagai sesama yang saling membantu. Jika setelah sekian
lama menjadi teman meriah, maka orang tersebut harus diangkat menjadi saudara
(sembuyak). Melalui sebuah musyawarah adat sangkep nggeluh, kepada teman
meriah tersebut diberikan kehormatan yaitu marga atau beru dan bebere juga
singalo perninin, perkempun dan seterusnya.
Perninin adalah apabila anak beru menteri (anak perempuan dari
keponakan (bere-bere) yang laki-laki) kawin, maka ia menerima perninin dan
disebut kalimbubu singalo perninin. Hutang adat perninin ini, hanya ada di
beberapa daerah Karo, seperti di Urung Julu, Lau Cih (Deli Serdang) serta
Langkat, di daerah Langkat disebut kalimbubu singalo perkempun.
Sedangkan perkempun merupakan nama keluarga yang diwarisi seseorang
(berasal) dari merga puang kalimbubunya, atau dari bere-bere ibunya, atau dari
beru neneknya (ibu dari ibunya)
Tata cara pemberian marga atau beru dan bebere harus sesuai dengan
perjalanan hidup pihak yang berkeinginan memberikan marga dan beru tersebut.
laki-laki dari ibu, Jika saudara laki-laki-laki-laki dari ibu sudah tidak ada bisa juga dilakukan
oleh isterinya dan bila itu juga sudah meninggal bisa dilakukan oleh anaknya yang
laki-laki.) harus memberikan bulang-bulang (penutup kepala laki-laki,
kehormatan adat). Beka buluh sebagai bulang-bulang memilki makna yang besar
dalam kehidupan orang Karo yaitu kehormatan dan kewibawaan.
Kemudian diberikan gonje, uis gatip jongkit berwarna hitam. Makna dari
pemberiannya adalah supaya si penerima kain ini mengetahui dan sadar menjaga
hal-hal yang tabu dalam kehidupan. Dia senantiasa menjaga supaya sangkep
nggeluh yang memberi marga tersebut dijaga harga dirinya, tidak menjadi malu
atau mendapat aib.
Kemudian dia juga diberikan kampuh kadang-kadangen (sarung yang
disandang di bahu), makna dari pemberian ini bahwa jika dia sudah mengaku
mendapatkan sembuyak senasib sepenanggungan/sehati sepikir dalam merga
silima, maka dia harus menggendong, menenteng dan menjunjung, tidak lebih
tinggi atau lebih rendah dibanding dengan sangkep sembuyak (saudara angkat)
yang telah menerima dia.
Kemudian diberikan lagi cengkok-cengkok, tempatnya diatas pundak kiri
dan kanan. Maknan dari pemberian cengkok-cengkok ini supaya dalam
kehidupannya dia senantiasa beroleh damai sejahtera, banyak rejeki, sehat
sentosa, dan terhindar dari malapetaka.
Pisau juga diberikan, maknanya supaya dia dan saudara angkatnya
(sembuyak) bisa menjadi seperti pisau yang tajam dalam mengerjakan tugas adat
Setelah marga dan bebere diberikan kepada laki-laki selesai, maka
diberikan beru, bebere dan seterusnya kepada si perempuan. Pertama
dipasangkan tudung (penutup kepala adat bagi wanita). Maknanya bahwa dalam
kehidupan orang Karo, sangkep nggeluh (kalimbubu, senina, anak beru)
semuanya pada dasarnya sederajat, harus saling menghormati-dihormati.
Kemudian diberikan gonje, gatip pengkalkal, maknanya bahwa ia harus
menjaga apa yang tabu, senantiasa tabah dalam berpikir, dibelah tiada bisa
terbelah, dipotong terasa kenyal, dengan kata lain dia berpikiran teguh dalam
kebaikan. Selanjutnya diberikan kadang-kadangen, maknanya bijaksana dalam
menjaga penampilan dan mengambil hati terhadap sangkep nggeluh nya. Kampil
(tempat sirih), maknanya mampu menghormati sangkep nggeluh dan khalayak
ramai.
Pada acara pemberian marga dan beru ini, diberi kata-kata petuah bahwa
harta warisan si pemberi marga tidak ikut disertakan kepada si penerima marga
untuk memiliki hak atau bagian. Namun pemberian marga dan beru ini
menunjukkan rasa persaudaraan yang sehati-sepikir dan senasib sepenanggungan.
4. Pemaknaan Beka Buluh untuk pemimpin
Pada acara pemberian beka buluh sebagai tanda kehormatan tertinggi
kepada seorang pemimpin yang terhormat, diiringi dengan kata-kata petuah
sebagai berikut : anda sebagai pemimpin, begitu banyak masyarakat Karo, sebagai
bapak pemimpin orang nomer satu ditanah Karo, ini kami berikan uis hasil
bambu, dalam beka buluh ini terdapat berbagai-bagai corak, yang berwana merah
berarti berani karena benar, karena karena berani berasal dari darah, berani
bertindak, warna belau malambangkan lingkungan kita yaitu bukit barisan,
kemudian warna putih berarti jujur dalam menjalankan tugas, warna kuning yang
berati jangan caci mencaci, sedikit pun salah kita jangan dibesar-besarkan.
Gambar 2.29 : Pemberian beka buluh untuk SBY sebagai simbol pemimpin
pada silaturahmi masyarakat Karo di JCC
(Sumber : http://presiden.co.id)
2.6 Pakaian Adat Tradisional (Ose)
Pakaian adat tradisional merupakan salah satu unsur kebudayaan yang
dihasilkan melalui pemikiran manusia. Perwujudannya tidak lepas dari rangkaian
pesan yang hendak disampaikan kepada para anggota masyarakat lewat lambang-
lambang yang dikenal dalam tradisi masyarakat secara turun-temurun. Pakaian
adat tradisional mampu memberikan keselarasan, keharmonisan bagi tubuh
Gambar 2.30 : Pakaian adat tradisional Karo pada tahun 80an
(Sumber : dokumentasi pribadi)
Pakaian adat tradisional adalah pakaian yang sudah dipakai secara
turun-temurun dan merupakan salah satu identitas yang dapat dibanggakan oleh
sebagian besar pendukung kebudayaan (Dharmika, 1988). Bentuk pakaian adat
tradisional juga dapat menyampaikan pesan-pesan mengenai nilai-nilai budaya
yang pemahamannya dapat dilakukan melalui berbagai simbol-simbol yang
Gambar 2.31 : Pakaian adat tradisional Karo beserta perhiasannya
(Sumber : Tata Rias Pengantin Dan Busana Seluruh Indonesia, 2010, hal. 37 )
Ose merupakan istilah masyarakat Karo yang berarti seperangkat pakaian
adat tradisional Karo beserta assesorisnya. Menurut kamus Darwin Prinst dalam
Kamus Karo-Indonesia, Ose adalah sejenis kain yang dipakai pada
upacara-upacara adat.Ose juga disebut pakaian ganti atau tukar. Sedangkan Rose yaitu
ipetunggungken yang berarti anggun, cantik, berhias agar mehaga ras mehamat
yang berarti menghormati dan dihormati. Osei ini pada dasarnya yang
memakaikannya kepada pemakai adalah orangtua dari istri atau saudaranya,
pakaian adat pengantin harus disediakan/dipinjamkan dan dipasangkan oleh
Kalimbubu beserta sembuyaknya. Pakaian pengantin pria disediakan oleh kalimbubu singalo ulu emas, sedangkan pakaian wanita disiapkan oleh kalimbubu singalo bere-bere. Mereka Ngosei pengantin di rumah masing-masing pengantin.
Selain manusia, bangunan juga bisa dipakaikan uis Karo yang disebut dengan
istilah Karo ngoseken binangun.
Gambar 2.32 : Ngosei (Sumber : Anton Sitepu)
Sebagian wanita suku Karo yang sudah berusia lanjut masih menyimpan
Ose lama di dalam keranjang ritual (baka) atau keranjang kulit kayu (kepuk) yang
Gambar 2.33: Kepuk (Sumber : Sora Surilo)
Secara umum, pakaian tadisional menurut buku Tanah Karo, Selayang
Pandang (2014) masyarakat Karo dapat dibedakan atas 3 bagian, yaitu pakaian
sehari-hari, pakaian untuk pesta dan pakaian kebesaran.
Gambar 2.34: Penggunaan Tudung dan Beka Buluh pada Masyarakat Karo (Sumber : Dokumen Pribadi)
Pakaian sehari-hari terbagi 2 yaitu untuk pria dan wanita. Pakaian pria
terdiri dari baju Gunting Cina lengan panjang, celana panjang bukan pentelon,
terdiri dari baju kebaya leher bulat, abit (kain sarung) atau tenunan, tutup kepala
(tudung) dan uis gara yang diselempangkan.
Pakaian untuk berkunjung hampir sama dengan pakaian sehari-hari. Hanya
saja pakaian hendaknnya bersih atau baru dan dikenakan dengan sopan. Pakaian
kebesaran ialah pakaian adat lengkap, baik untuk wanita demikian juga untuk
pria. Pakaian tersebut dikenakan pada waktu ada pesta seperti pesta perkawinan,
pesta kematian, memasuki rumah baru, dan pesta adat lainnya.
a) Pakaian sehari-hari masyarakat Karo
Pakaian tradisional ini pada umumnya dipakai oleh orang-orang tua yang
tinggal di perkampungan Karo. Laki-lakinya membawa kampuh (sarung) baik
dikampuhkan maupun hanya sekedar dipakaikan saja. Wanita pakai tudung limpek
dan langge-langge (selendang). Pakaian sehari-hari juga sama seperti masyarakat
Indonesia seperti kemeja, baju, celana, topi dan lain-lain.
b) Ose Pernikahan 1) Ose Pengantin Pria
a. Beka buluh sebagai bulang-bulang.
b. Sertali untuk hiasan bulang-bulang dan kalung-kalung.
c. Rudang-rudang untuk hiasan bulang-bulang.
d. Uis jungkit gatib 9 sebagai abit/gonje (sarung penutup bagian bawah).
e. Songket/beka buluh, sebagai kadang-kadangen (selempang).
g. Cincin tapak gajah, cincin kerunggun atau cincin kepala raja sebagai hiasan
jari.
h. Gelang sarong sebagai hiasan tangan kanan.
i. Pisau tumbuk lada sebagai penghias pinggang.
j. Ragi jenggi/uis pementing sebagai ikat pinggang.
2) Ose Pengantin Wanita
a. Uiskelam-kelam dan uis batu jala sebagai tudung (teger limpek).
b. Uisjujung-jujungen, sebagai jujungen.
c. Uis julu atau teba, sebagai abit (sinjang).
d. Uisnipes sebagai uispengalkal (pingikat).
e. Uisjungkit gatib 20 sebagai gonje (sarung penutup bagian bawah).
f. Uisnipes, sebagai langge-langge.
g. Sertali besar sebagai kalung.
h. Sertali kecil sebagai hiasan tudung.
i. Padung raja mehuli, padung kawiten jantung, padung curu-curu sebagai
anting-anting.
j. Gelang sarung sebagai gelang.
k. Cincin manca-manca, cincin ketanaken, cincin tapak gajah dapat dipilih
sebagai penghias jari tangan.
l. Kampil beserta isinya
a. Uisbeka buluh sebagai bulang-bulang.
b. Uis arinteneng sebagai gonje.
c. Songket/uis nipes, sebagai kadang-kadangen (selempang).
d. Uisnipes sebagai cengkok-cengkok.
e. Ragi jenggi, sebagai ikat pinggang (benting).
4) Ose orang tua pengantin (Nande)
a. Uis kelam-kelam, sebagai tudong (teger limpek).
b. Uisjujung jujungen, sebagai jujungen.
c. Uisarinteneng, sebagai abit.
d. Uisnipes, sebagai langge-langge.
e. Sepasang baju kebaya.
f. Kampil beserta isinya.
Menurut adat dan kebiasaan masyarakat Karo, pakaian kebesaran secara
lengkap hanya dipakai pada suatu pesta besar oleh yang berpesta. Pakaian
kebesaran untuk pengantin dan orang tua sama saja, hanya waktu penggunaannya
yang berbeda. Pada pesta besar (kerja sintua) dan Pesta sedang (kerja sitengah)
pihak yang berpesta sama-sama menggunakan pakaian kebesaran tersebut. Dalam
pesta kecil yang biasanya dilakukan di rumah saja (kerja singuda), pakaian
adatnya hanya menggunakan tanda-tanda saja. Seiring dengan perkembangan
zaman, jenis-jenis kain tenun dari luar mulai dipakai oleh para masyarakat Karo
seperti songket. Jenis songket yang mahal biasanya memeliki nilai plus bagi
c) OseMukul dan Ngulihi Tudung
Pengesahan perkawinan secara adat diikuti dengan unsur kepercayaan
tradisional masyarakat Karo yaitu mukul (persadaan tendi) yang merupakan
semacam acara doa bersama tentang perkawinan tersebut dan diikuti dengan
makan malam bersama pengantin. Acara adat ini dilakukan pada malam hari
setelah acara pesta pernikahan selesai digelar. Acara mukul merupakan acara
makan bersama kedua pengantin bersama sanak keluarga terdekat. Acara ini
diadakan di rumah kedua pengantin. Jika pengantin baru tersebut belum memiliki
rumah, maka akan diadakan dirumah orang tua pengantin laki-laki. Osei
pengantin sesudah selesai pesta siang, maka malamnya acara mukul dan acara
ngobah tutur. Untuk itu pengantin di Osei lagi, pengantin pria biasanya memakai
uis jungkit gatib 9 sebagai abit/gonje, beka buluh sebagai bulang-bulang dan uis teba sebagai sebagai kadang-kadangen (selempang). Pengantin wanita biasanya
memakai tudung, uisjulu sebagai abit dan uis nipes sebagai selendang. Pada acara
mukul ini kedua pengantin tidak lagi memakai aksesoris.
Setelah acara mukul, maka dilaksanakan acara ngulihi tudung. Acara adat
ini dilaksanakan setelah 2-4 hari setelah hari pesta pernikahan berlalu. Orang tua
pengantin laki-laki kembali datang kerumah orang tua pengantin perempuan
dengan membawa makanan khas Karo yaiut tasak telu dan cipera. Dalam proses
ngulihi tudung, kedua pengantin baru tidak perlu diosei lagi, hanya perempuan
saja yang memakai uis nipes sebagai selendang. Acara ini dilakukan bertujuan
tertinggal di tempat pihak perempuan disaat pesta adat digelar. Acara adat ini juga
dilakukan untuk minta doa agar sungguh-sungguh dalam menjalani kehidupan
yang baru karena sejak saat ini kedua mempelai secara resmi sejak itu sudah
dilepas dari tanggung jawab orang tua, sehingga diangggap seperti berpisah dari
orang tua.
d) OseMengket Rumah Mbaru
Mengket rumah mbaru adalah salah suatu pesta sukacita adat masyarakat
Karo. Mengket dalam bahasa Karo berarti masuk, dan mbaru berarti baru. Secara
harafiah, mengket rumah mbaru adalah pesta yang diadakan masyarakat Karo saat
hendak memasuki rumah yang baru. Pesta ini tergolong sebagai pesta sukacita dan
mulia karena pesta ini menggambarkan kesuksesan tuan rumah (penyelenggara
pesta) dan melibatkan keluarga besar dan rakut sitelu.
1. Ose Laki-laki
a. Beka buluh sebagai bulang-bulang (tutup kepala).
b. Uisarinteneng sebagai gonje (sarung).
c. Uisjongkit sebagai selempang.
d. Uisnipes sebagai kadang-kadang (penutup bahu).
e. Ragi jenggi sebagai benting (pengikat pinggang).
2. Ose Perempuan
b. Uisrambu-rambu emas sebagai junjungen (lapis atas tudung).
c. Uisarinteneng sebagai abit (sarung).
d. Uisnipes sebagai langge-langge (selendang).
e) OseiKerjaCeda Ate
Kerja ceda ate merupakan acara adat duka cita atau kemalangan dalam
istilah masyarakat Karo. Ceda ate memilki arti berbelasungkawa dalam
pengertian bahasa Karo yaitu hati saya sedih atau rusak. Pakaian adat khusus
acara duka cita ini dikhususkan untuk orang yang meninggal sudah lanjut usia
(mate cawir metua) dengan meninggalkan kondisi anak-anaknya sudah berumah
tangga semuanya.
Bila ada seseorang meninggal dalam kondisi cawir metua, maka semua
kerabat dari pihak kalimbubunya (pihak mertua dari istri anak-anaknya yang
laki-laki) harus menyediakan ose yaitu menyediakan perhiasan emas, kain serta
pakaian yang indah-indah (kain adat), untuk dikenakan oleh saudara laki-laki serta
anak laki-laki beserta istri serta janda almarhum (kalau yang meninggal dunia
laki-laki). Perhiasan dan pakaian yang indah ini, sebagai suatu tanda kehormatan
dari pihak kalimbubunya kepada yang meninggal (almarhum).
Pakaian adat pada acara duka cita ini kebanyakan bebas akan tetapi tidak
f) Osei Penari (Osei Guro-Guro Aron)
Gendang guro-guro aron adalah salah satu kesenian tradisional
masyarakat Karo yang sering diadakan saat pesta-pesta adat dan acara syukuran
seusai panen. Seni tradisional ini digelar sebagai ungkapan rasa syukur kepada
Yang Maha Kuasa atas kecukupan rezeki atau hasil panen yang berlimpah atau
pun juga perayaan atas kegembiraan yang dirasakan. Pada pesta Gendang
guro-guro aron tersebut masyarakat Karo bernyanyi dan menari bersukaria yang
biasanya dilakukan sepanjang malam, sambil beradu pantun di bawah cahaya
bulan purnama.
Pakaian adat yang digunakan dalam acara guro – guro aron ini, khususnya
pengulu aron dan kemberahen aron haruslah rose tapi tidak memakai emas - emas
(berpakaian adat Karo lengkap tapi tidak memakai emas - emas). Mereka dibantu
oleh pembantu pengulu aron dan pembantu nande aron yang juga rose sebagai
simantek guru-guro aron yang terdiri dari kelima merga. Laki-laki simantek,
memakai sarung palekat dan memakai bulang-bulang dari beka buluh, kemudian
dipakaikan cengkok-cengkok dari kain beka buluh, yang dilipat berbentuk segi tiga
dan diletakkan di atas bahu. Perempuan memakai tudung dari uis kelam -kelam.
Sebagai abit (dasar/sarung pelekat) dengan memakai kain songket. Perempuan
juga memakai bungaerpalas sebagai rudang – rudang atau hisan tudung. Khusus
bagi nande aron maka di atas tudungnya dia harus erjungjungen atau pun
diletakan di atas tudungnya kampil kecil beserta dengan tikar kecil yang berwarna
putih (amak cur). Seiring dengan perkembangan zaman, nande aron tidak lagi
saja. Merekalah yang mewakilkan dari kelima merga baik bapa aron dan nande
aron.
2.7 Uis Karo dalam sudut pandang estetika Klasik
Kebudayaan masyarakat Karo beraneka ragam jenisnya dimulai dari
rumah adat, tata bahasa, adat istiadat, tarian, lagu, musik, dan kerajinan. Uis Karo
adalah salah satu hasil dari hasil budaya masyarakat Karo yang masih dilestarikan
saat ini. Uis Karo merupakan suatu karya seni rupa dalam bentuk kriya tekstil
yang berjenis tenun ikat yang memiliki persamaan dengan kriya tenun di sumatera
utara seperti ulos pada masyarakat Toba, biou pada pada masyarakat Simalungun,
oles pada pada masyarakat Pak-pak dan abit pada masyarakat
Angkola/Mandailing.
Menurut Juliana (2014) dalam jurnalnya yeng berjudul Kreasi Ragam Hias
uis Barat, uis Karo merupakan bagian dari desain struktur dalam dunia textile,
yang mana desain struktur merupakan rancangan yang dibentuk dari perpaduan
maupun penyilangan benang pakan dan benang lungsi menjadi sehelai kain
panjang. Sehingga corak yang dihasilkan pada uis dikarenakan penyilangan
benang pakan dengan benang lungsi. Contoh lain yang merupakan buah hasil dari
desain struktur yakni: songket, anyaman, tapis dan rajutan. Uis Karo selalu di
proses secara manual dengan tangan-tangan terampil pengrajin, sehingga ragam
hias yang dihasilkan bersifat etnik dan memiliki makna estetika.
Estetika adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan
(A.A.M. Djelantik, 1999). Istilah estetika berasal dari kata bahasa Yunani
‘aisthanesthai’ yang berarti mengamati secara lahiriah, jasmani, inderawi. Filsafat
keindahan, nilai seni dan karya seni sudah dibahas sejak zaman Yunani kuno.
(Ensiklopedi,1989)
Dalam filsafat keindahan, pengalaman estetis berbicara mengapa ada objek
yang disebut indah. Objek itu dikaji melalui pendekatan yang berdasarkan pada
nilai-nilai estetis atau unsur-unsur estetis atau estetika dari objek tersebut dimana
di penelitian ini obejek tersebut adalah uis Karo. Estetika yang terdapat dalam
ragam hias uis Karo berkaitan dengan berbagai macam unsur yang dapat
mendukung nilai-nilai estetika atau keindahan tersebut. Unsur-unsur estetika
tersebut meliputi wujud yang menyangkut masalah bentuk, struktur,
keseimbangan (keseimbangan simetri dan non simetri), komposisi, gerak (irama),
harmoni menyangkut masalah kesesuaian atau keserasian. Uis Karo ini
mempunyai nilai seni yang tinggi karena rancangannya sesuai dengan
prinsip-prinsip seni diantaranya nilai kesatuan, keseimbangan, harmoni, dan penonjolan
bentuk ragam hiasnya diterapkan dengan baik.
Ragam hias disebut juga dengan ornamen. Ornamen berasal dari bahasa
Yunani yaitu dari kata ornarel yang artinya hiasan atau perhiasan (Soepratno,
1987). Ragam hias atau ornamen terdiri dari berbagai jenis yang digunakan
sebagai penghias sesuatu yang ingin kita aplikasikan kepada suatu objek. Ragam
hias atau ornamen dimaksudkan untuk menghias suatu bidang atau benda,
Dalam pengaplikasian ragam hias tersebut ada yang hanya berupa satu
motif saja, dua motif atau lebih, pengulangan motif, kombinasi motif dan ada pula
yang dimodifikasi, distilasi atau digayakan. Sebuah ragam hias dapat pula
diartikan sebagai sebuah desain atau pola sesuai dengan pengertian umum, dan
dalam konteks yang terbatas, mengingat masing-masing istilah itu memiliki
pengertiannya dan kegunaan-kegunaan tersendiri (Gustami Sp., 1980).
Pada dasarnya jenis ragam hias itu terdiri atas:
1. motif geometris berupa garis lurus, garis patah, garis sejajar, lingkaran dan
sebagainya,
2. motif naturalis berupa tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia, unsur-unsur
alam, dan lain sebagainya, dengan demikian ragam hias lahir menjadi
simbol-simbol atau perlambangan tertentu (Budhyani, 2010).
Secara umum ragam hias yang berkembang pada prinsipnya ada lima jenis
yakni: ragam hias geometris, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia, dan
unsur-unsur alam yang didesain sesuai dengan penempatannya (Seraya, 1980/1981).
Pada buku Ensiklopedia Indonesia dijelaskan bahwa ragam hias merupakan
pangkal bagi tema suatu karya seni kriya. Sejalan dengan pendapat itu, jika dilihat
dari kacamata seni rupa, jika terdapat suatu goresan sebuah garis lengkung, maka
goresan tersebut dapatlah disebut sebagai suatu ragam hias, yaitu ragam hias garis
lengkung.
Apabila garis lengkung tersebut diulang-ulang secara simetris atau non
simetris kemudian menjadi sebuah pola. Apabila pola yang telah diperoleh itu
kedudukannya adalah sebagai hiasan pada karya seni kriya tersebut (Gustami,
1980).
Pengaplikasian sebuah ragam hias yang memiliki posisi simetris dapat
menggambarkan sebuah unsur keseimbangan yang banyak dilakukan oleh para
seniman atau budayawan di masa lampau. Hasil dari penerapan ragam hias
dengan posisi simetris ini dapat pula dihubungkan cara hidup serba seimbang,
hidup rukun bergotongroyong, bahu membahu yang biasa dilakukan masyarakat
desa dimasa lampau. Kondisi masyarakat tersebut mencerminkan suatu timbal
balik yang sepadan, yang tampaknya sangat mempengaruhi penciptaan-penciptaan
karya seni dan inspirasi hingga saat ini.
Penciptaan ragam hias memiliki maknanya yang dalam, merupakan
ungkapan-ungkapan idealisasi atau gagasan-gagasan pencipta dari perasaan seni
terhadap lingkungannya. Pada pendiptaan sebuah ragam hias, unsur-unsur visual
dalam seni rupa berupa garis, bidang, warna, tekstur dan lain-lain itu akan
memberi warna baru pada karya-karya seni yang lahir, menjadi seimbang
merupakan ungkapan-ungkapan estetik dengan perimbangan yang sempurna.
Selain unsur keseimbangan (balance), masih ada terdapat unsur pokok
estetika yang berkaitan dengan keindahan seperti kesatuan (unitiy), keselarasan
(harmony), kesetangkupan (symetri), dan perlawanan (contras). Kesemua unsur
tersebut dapat menjadi suatu dasar dalam mengkaji mengenai nilai estetika suatu
karya seni.
Selain istilah estetika, dalam wacana seni rupa dikenal juga istilah bahasa
mempergunakan berbagai tanda yang memiliki kaidah, asas, atau konsep berupa
titik, garis, ukuran, warna, tekstur, ruang dan sebagainya. Dalam pengertian luas,
bahasa rupa mencakup segala sesuatu yang kasat oleh mata.
Menurut Primadi Tabrani bahasa rupa gambar bisa berbentuk ekspresif,
deskriptif, abstrak, geometris, stilasi, estetik, simbolik, semiotik. Uis Karo
merupakan bagian dari bahasa rupa yang mempunyai keindahan tersendiri. Visual
yang tampak pada keindahan corak uis dilihat dari berbagai konsep berupa garis,
bentuk, warna, tekstur dan sebagainya. Dari keseluruhan visual tersebut
merupakan simbolik yang mengandung makna tertentu, bisa berupa asal usul
sejarah daerah tersebut maupun adat kebudayaan masyarakat.
Gambar 2.35 : Beberapa contoh ragam hias tradisional Karo
(Sumber : kendesign.com)
Ragam hias (ornamen) dalam Bahasa Karo disebut juga dengan istilah
ukir-ukiren. Awalnya masyarakat Karo menciptakan ragam hias dengan
mengedepankan fungsi spiritual, yakni menangkal bala dan mengusir roh-roh
jahat. Namun dalam perkembangannya, ragam hias tersebut berubah menjadi
pola artistik yang meiliki nilai estetik keindahan dan dapat diterapkan ke dalam
biadang baik pada uis Karo, perhiasan badan, alat-alat perkakas rumah tangga,
hingga bangunan. Pada awalnya setiap ragam hias yang diciptakan oleh leluhur
ini yang mempengaruhi kaum bangsawan pada zaman dahulu kala terlihat paling
aktif dalam menggunakan ragam hias dalam kesehariannya. Ragam hias mampu
memberi ciri khas pembeda antara bagi golongan masyarakat.
Gambar 2.36 : Alat dan pembuatan ragam hias Karo
(Sumber : Collectie Tropenmuseum)
Menurut ahli ragam hias A.G Sitepu, kesemua jenis ornamen lemah yang
berbentuk garis, titik, bidang sama sisi yang terdapat pada uis Karo terjadi akibat
tehnik penenunan yang masih sangat tradisional (gedongan) dan tidak memilki
kemampuan alat yang tinggi dalam membentuk ornamen yang rumit, salah satu
contohnya adalah yang pengaplikasi ornamen pengeret-ret pada beka buluh.
Menurut Netty Juliana pada jurnalnya Kreasi Ragam Hias uis Nipes bentuk
visual dalam uis Karo umumnya berbentuk geometrik, simetris, dan stilasi.
Aspek-aspek nilai estetika dalam uis Karo meliputi: titik, garis, bidang,
bentuk ornamen, warna dan tekstur
Titik yaitu motif pada uis ini memiliki aspek titik dari sudut pandang di
ujung garis terputus-putus. Yang disebut juga aliran geometri. Motif ini terdapat
pada jenis uis beka buluh, uis gobar dibata, uis gatip gewang, uis gatip jongkit,
Gambar 2.37 : Motif titik-titik pada Uis Beka Buluh dan Uis Gatip Gewang (Sumber : dokumentasi pribadi)
Garis pada motif uis Karo ini terdiri dari dominasi garis-garis, vertikal,
horizontal. Garis dalam uis Karo disebut juga dengan lis yang berarti batas. Lis
pada uis Karo berfungsi sebagai batas atau acuan dalam pemakaiannya, seperti lis
warna biru pada uis batu jala yang menjadi panutan dalam membuat tudung.
Motif garis terdapat pada jenis uis julu, uis teba, uis batu jala, uis beka buluh, uis
gobar dibata, uis gatip gewang, uis gatip jongkit, uis gara-gara, uis pementing, uis parembah, uis jujung-jujungen, dan uis nipes.
Bidang pada setiap uis Karo memiliki aspek bidang berbentuk segi empat
hingga segi empat memanjang.
Gambar 2.39 : Bidang Uis Pementing (Sumber : dokumentasi pribadi – koleksi AG Sitepu)
Ada beberapa jenis bentuk ragam hias pada uis Karo, seperti ragam hias
geometris pakau-pakau pada uis gara, uis gatip jongkit, dan uis nipes padang
rusak, Ragam Hias geometris piala-piala pada uis parembah dan ragam hias
tumbuhan pacung-pacung cekala pada beka buluh. Ragam hias pada kedua sisi
samping beka buluh juga sering disebut dengan legot-legot yang terinspirasi dari
ragam hias pengeret-ret. Fungsi sakral ornamen pada uis adalah sebagai penolak
bala (pelindung tubuh) dan fungsi profannya adalah sebagai penghias.
Gambar 2.41 : Ragam hias geometris pakau-pakau pada Uis Gara Berjongkit (Sumber : dokumentasi pribadi – AG Sitepu)
Gambar 2.42 : Ragam hias piala-piala pada UisParembah (Sumber : dokumentasi pribadi – AG Sitepu)
Gambar 2.43 : Ragam hias bunga lawang pada Uis Nipes (Sumber : dokumentasi pribadi – motif alam dalam batik dan songket melayu)
Warna pada uis Karo didominasi oleh dua warna yaitu gelap (mbiring)
diterima, militan, dan warna merah (megara) yang berarti merawa. Setiap jenis
uis Karo memilki tekstur tenun yang kuat, ada yang halus dan ada yang kasar.
Kesatuan dari berbagai jenis bentuk ragam hias saling berkaitan dapat
dilihat dari pola pengulangan pada uis Karo. Unsur keseimbangan ragam hias
pada uis Karo ini terletak pada tata letak ragam hias yang beraneka ragam jenis
bentuknya yang susunan bentuk teratur, terukur, sistematis.
Gambar 2.44 : Unsur kesatuan dan keseimbangan pada ragam hias uis nipes (Sumber : AG Sitepu)
Juliana (2004) berpendapat ragam hias pada uis Karo juga mengalami
banyak perkembangan, banyak modifikasi motif, munculnya bentuk-bentuk motif
yang baru namun tidak menghilangkan ciri khas yang aslinya.
Latar belakang munculnya motif uis nipes berkaitan erat dengan interaksi
perdagangan wilayah kesukuan Karo dengan kerajaan di sekitarnya, seperti Aceh
di sebelah utara, Melayu di sebelah timur, Pakpak di sebelah barat, dan Toba di
selatan. Contohnya seperti motif parang rusak yang berasal dari Aceh selatan
yaitu suku Gayo yang berarti (tanduk rusa) yang memiliki arti sama dengan
Gambar 2.45 : Persamaan motif kain Aceh Rosak dengan Uis Nipes Padang Rusak
(Sumber : Tekstil Tenunan Melayu, Keindahan Budaya Tradisional Nusantara dan Legacy in Cloth, Batak textile of Indonesia)
Ada 3 warna dominan dalam uis Nipes, yakni merah, jingga (keemasan),
dan biru. Warna biru dalam kain tenun uis Karo adalah lambang perlawanan
terhadap Kesultanan Melayu yang mencaplok wilayah mereka di pesisir timur
Sumatera Utara, dengan dibantu kolonial Belanda. Warna merah dan jingga
(keemasan) merupakan khas Melayu, terlanjur mendarah daging dalam
kebudayaan Karo. Kemudian ada warna hitam, yang secara keharusan dan
kebanyakan dipergunakan dalam suasana acara dukacita. Menurut Sitepu, warna
merah dalam uis Karo berarti berarti kebahagian, yang berarti jiwa seseorang yang
memakai uis tersebut membara.bangga karena dirundung rasa kebahagiaan.
Ada sebuah filosofi warna yang menjadi dasar dalam kehidupan
masyarakat Karo yaitu benang sitelu rupa. Umumnya simbol ini dipergunakan
sesuai dengan posisi karakter dalam upacara dalam adat tradisional suku Karo.
Megara (matawari) yaitu warna merah yang melambangkan simbol panas, hangat,
gairah, darah, kehebatan dan kekuatan. Mbentar (cahaya) yaitu warna terang yang
melambangkan symbol suci, bersih, dan Ketuhanan. Mbiring yaitu warna