• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komodifikasi Kain Tradisional Karo Pada Era Globalisasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komodifikasi Kain Tradisional Karo Pada Era Globalisasi"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia telah menghasilkan karya-karya seni budaya yang luar biasa.

Karya-karya ini merupakan aspek dari hubungan lokal dan hubungan yang lebih

luas dalam bidang perdagangan, agama, kekerabatan dan juga politik.

Pengetahuan tradisional Indonesia seperti batik, tenun, wayang, tarian, yang ada

sepanjang sejarah telah dipraktekkan sebagaimana layaknya pengetahuan

tradisional lainnya. Indonesia adalah salah satu negara yang terdiri atas berbagai

macam suku dan sangat kaya akan keragaman tradisi dan budaya. Salah satunya

adalah kebudayaan dari suku Karo.

Menurut M.O. Parlindungan, Suku Karo yang merupakan bagian dari ras

Proto Malayan hidup damai bermukim di perbatasan Burma/Myanmar dengan

India. Beberapa komunitas tersebut yang kemudian menjadi cikal-bakal bangsa

adalah kelompok Bangsa Karen, Toradja, Tayal, Ranau, Bontoc, Meo serta trio

Naga, Manipur, Mizoram. Tiga yang terakhir ini sekarang menjadi negara India.

Adat istiadat dan aksesoris pakaian yang mereka miliki sampai sekarang masih

memilki persamaan dengan pakaian suku Karo, misalnya pernak-pernik dan

warna kain tenun.

Kehidupan masyarakat suku Karo, tidak terlepas dari penggunaan kain

tenun, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam berbagai upacara adat.

(2)

yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya istimewa

untuk memberikan perlindungan. Menurut beberapa penelitian, penggunaan tenun

khususnya ulos oleh suku bangsa Batak dan uis pada suku Karo memperlihatkan

kemiripan dengan bangsa Karen di perbatasan Myanmar, Muangthai dan Laos,

khususnya pada ikat kepala, kain dan tenunnya.

Uis Karo merupakan pakaian adat yang digunakan dalam kegiatan adat

dan budaya Suku Karo dari Sumatera Utara. Selain digunakan sebagai pakaian

resmi dalam kegiatan adat dan budaya, pakaian ini sebelumnya digunakan pula

dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tradisional Karo. Uis Karo didominasi

warna merah dan hitam, serta dihiasi pula berbagai ragam tenunan dari benang

berwarna emas, dan putih. Secara umum uis terbuat dari bahan kapas yang

kemudian dipintal dan ditenun secara manual dan diwarnai menggunakan zat

pewarna alami. Pembuatannya secara tradisional tidak jauh berbeda dengan

pembuatan ulos Toba, yaitu menggunakan gedogan.

Uis Karo merupakan bagian dari pengetahuan tradisional, karena uis

dibuat secara bertahap oleh masyarakat Karo secara turun temurun sejak dahulu di

Sumatera Utara. uis terdiri dari berbagai jenis dan motif yang masing-masing

mempunyai makna, fungsi, waktu dan kegunaannya tersendiri.

Uis Karo pada dasarnya adalah sebuah produk kebudayaan materi dalam

suatu kurun sejarah peradaban suku Karo hingga masa kini. Sejarah awal mula uis

belum diketahui dengan pasti sejak kapan. Masanya dipastikan setelah leluhur

(3)

tanaman kapas. Menurut catatan sejarah, uis sudah dikenal masyarakat Batak pada

abad ke-14 sejalan dengan masuknya alat tenun tangan dari India ke Nusantara.

Pada mulanya fungsi uis adalah untuk menghangatkan badan, tetapi kini

uis memiliki fungsi simbolik untuk hal-hal lain dalam segala aspek kehidupan

orang Karo. Uis tidak dapat dipisahkan dari kehidupan suku Karo. Setiap uis

mempunyai nama yang berbeda, makna masing-masing, artinya mempunyai sifat,

keadaan, fungsi, dan hubungan dengan hal atau benda tertentu. Sekarang uis

memiliki fungsi simbolik untuk berbagai aspek kehidupan masyarakat Karo dan

menjadikan uis menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan adat

masyarakat Karo.

Ada beberapa jenis uis Karo seperti Uis Beka Buluh, Uis Gatip Jongkit,

Uis Gatip, Uis Nipes Padang Rusak, Uis Nipes Benang Iring, Uis Ragi Barat, Uis

Nipes Mangiring, Uis Arinteneng dan Perembah.

Dilihat dari kacamata senirupa, uis adalah suatu karya kriya tenun yang

memiliki nilai tertentu, hal ini bisa dilihat dari motif yang terkandung pada uis.

Kekhasaan uis Karo dalam berbagai hal menjadikannya sebagai sebuah identitas

budaya suku Karo. Kekhasan tersebut terlihat pada motif ragam hiasnya yang

merupakan refleksi budaya Karo yang kaya akan makna. Pada sehelai uis Karo

terdapat ragam hias. Uis Karo juga memiliki keaslian, keunikan, serta teknik

pembuatan yang khas membuat karakternya kuat dan berbeda dengan kain tenun

asli Nusantara lainnya. Kini penggunaan uis Karo sekarang sudah lebih luas,

bukan hanya untuk kebutuhan adat dan agama, namun juga sudah mulai

(4)

Dalam perkembangannya, uis juga diberikan kepada orang bukan dari

suku Karo. Hal ini bisa diartikan penghormatan dan kasih sayang kepada

penerima uis, misalnya pemberian uis kepada Presiden atau pejabat yang

berkunjung ke tanah Karo diiringi ucapan (berkat atau pasu-pasu). Uis juga

menjadi simbol persaudaraan antara masyarakat suku Karo yang merantau ke luar

kota termasuk ke luar negeri.

Perkembangan industri kreatif dan trend fashion di era globalisasi ini juga

memberikan efek kepada uis Karo. Ide-ide baru berserta gagasan baru dari

kebudayaan global mempengaruhi indutri uis Karo. Sekarang industri kreatif

menggunakan bahan dasar uis Karo untuk menciptakan produk-produk fashion

bertema budaya lokal. Mereka memodifikasi uis Karo dalam bentuk desain dan

fungsi. Bentuk-bentuk komodifikasi ini terjadi dalam bentuk motif, warna, desain,

proses produksi, dan fungsinya.

Modifikasi uis Karo termasuk dalam fenomena komodifikasi budaya. Kata

komodifikasi berasal dari kata komoditi yang berarti barang atau jasa yang

bernilai ekonomi (dapat diperjualbelikan) dan modifikasi yang berarti perubahan

fungsi atau bentuk sesuatu. Komodifikasi tidak dapat dipisahkan dari nilai

ekonomi yang selalu mengaitkan segala sesuatunya berdasarkan nilai untung dan

rugi.

Produk-produk kerajian modifikasi uis Karo tidak lagi memperlihatkan

nilai-nilai adat luhur dari simbol-simbol sakral yang penuh dengan makna dan

nilai di dalam uis Karo tersebut. Para pelaku industri lebih mengedepankan ambisi

(5)

komodifikasi uis Karo dipandang perlu dilakukan untuk mendeskripsikan,

menjelaskan dan dalam perspektif kajian budaya.

Berdasarkan pemaparan yang penulis deskripsikan diatas, penulis memilih

judul untuk penelitian ini, sebagai berikut : “Komodifikasi Kain Tradisional

Karo pada Era Globalisasi”

1.2 Pokok Permasalahan

Agar pembahasan lebih terarah maka ditentukan pokok permasalahan.

Dalam tesis nantinya, masalah yang akan dibahas adalah:

1. Bagaimana bentuk komodifikasi kain tradisional Karo?

2. Mengapa terjadi komodifikasi kain tradisional Karo?

3. Apakah dampak dan makna komodifikasi kain tradisional Karo pada

masyarakat Karo?

1.3 Tujuan dan Manfaat

1.3.1 Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan berbagai macan bentuk-bentuk komodifikasi kain

tradisional Karo.

2. Untuk menganalisis alasan terjadinya komodifikasi kain tradisional Karo .

3. Untuk menganalisis dampak dan makna komodifikasi kain tradisional Karo

(6)

1.3.2 Manfaat

Manfaat yang diambil dari penelitian yang diwujudkan dalam tesis ini adalah:

1. Menambah referensi tulisan mengenai uis Karo.

2. Sebagai salah satu upaya pelestarian uis Karo.

3. Sebagai bahan masukan bagi pembaca khususnya mahasiswa yang bergelut

dalam seni kriya tekstil.

4. Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneliti lain di bidang tenun

tradisional Indonesia.

5. Pengembangan ilmu estetika, semiotika dan komodifikasi bagi pendidikan.

1.4 Kajian Pustaka

Penelitian ini memfokuskan bagaimana Proses komodifikasi budaya

terhadap uis Karo dalam berbagai perspektif kajian budaya. Penelitian ini akan

menjelaskan gambaran umum uis Karo, berbagai bentuk komodifikasi terhadap

uis Karo, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya komodifikasi, dan dampak

sosial, budaya ekonomi serta makna komodifikasi uis Karo tersebut di era

globalisasi. Konteks dari penelitian komodifikasi uis Karo ini adalah dimana

kondisi industri kreatif yang dipengaruhi oleh ide-ide globalisasi dalam

fenomenda kapitalisasi pada dimensi kebudayaan. Objek materi dari penelitian ini

adalah uis Karo sebagai karya kebudayaan masyarakat Karo yang mengandung

nilai-nilai estetika tinggi dan memilki suatu potensi sebagai komoditi yang

(7)

Referensi yang tersedia adalah literatur - literatur kepustakaan teoritis dan

berbagai wacana mengenai komodifikasi uis Karo. Kajian dan Penelitian yang

terkait dengan komodifikasi uis Karo belum pernah dilakukan sebelumnnya.

Karena itu penelitian ini merunjuk pada berbagai penelitian yang terkait dengan

komodifikasi tenun di luar uis Karo.

A.A. Ngr Anom Mayun K. Tenaya (2014) dalam tesisnya yang berjudul

“Komodifikasi Kain Tenun Songket Bali Di Tengah Perkembangan Industri

Kreatif Fashion Di Denpasar” mengangkat sebuah fenomena komoditisasi

terhadap artefak budaya yaitu kain tenun tradisional Songket Bali.

Pada mulanya hak produksi dan konsumsi Songket Bali secara terbatas

hanya dimiliki secara eksklusif oleh keluarga bangsawan dan para pendeta Hindu

Bali. Tenaya menjelaskan Songket Bali dahulu ditenun secara khusus dengan

menggunakan bahan-bahan berkualitas seperti benang emas, benang perak dan

sutra. Dengan meningkatnya sektor pariwisata dan industri kreatif di Bali,

Songket Bali menjadi sebuah objek komodifikasi. Unsur estetika Songket Bali

yang dilatarbelakangi oleh budaya Bali yang adiluhung mengalami pedangkalan

makna, daur ulang, parodi, kekacauan tanda dan seterusnya. Proses ini

menjadikan Songket Bali sebagai komoditi dan Proses demokrasi menjadikanya

milik semua lapisan masyarakat.

Dalam tesis ini, Tenaya memfokuskan pada pembahasan mengenai bentuk

komodifikasi kain tenun Songket Bali faktor-faktor yang menyebabkan

komodifikasi kain tenun Songket Bali dan dampak dan makna komodifikasi kain

(8)

metode kualitatif, dengan alat analisis teori-teori kritis yaitu Teori Komodifikasi,

Teori Perubahan Sosial dan Budaya, Teori Simeotika dan Teori estetika Post

Modern.

Tenaya mendeskripsikan berbagai bentuk komodifikasi Songket Bali,

kemudian faktor perubahan struktur sosial masyarakat, peningkatan kesejahteraan,

pendidikan, pengaruh media dan globalisasi, serta berkembangnya pariwisata dan

industri kreatif fashion di Bali. Dampak komodifikasi Songket Bali secara sosial

budaya adalah memperkuat kecenderungan membentuk masyarakat yang makin

konsumtif dan erosi budaya, serta secara ekonomi adalah peluang bagi

peningkatan pendapatan masyarakat melalui industri kreatif fashion.

Komodifikasi Songket Bali juga mengandung makna-makna lain seperti makna

sakral ke profan, egalitarian, kesejahteraan, kreativitas, pelestarian, identitas, dan

estetika.

Kajian yang dilakukan Tenaya menjadi sangat relevan dengan penelitian

yang peneliti lakukan karena memberikan pemahaman tentang komodifikasi pada

artefak budaya, khususnya pada komodifikasi tenun. Penelitian Tenaya tersebut

telah memberi inspirasi untuk melakukan penelitian terhadap objek lain yaitu

komodifikasi pada uis Karo. Persamaan antara kajian Tenaya dengan kajian

penulis adalah dalam hal penggunaan konsep dan teori komodifikasi, sedangkan

perbedaannya yaitu objek penelitian Tenaya di atas adalah Songket Bali

sedangkan penulis menggunakan objek uis Karo.

Langa Lambertus (2013) dalam tesisnya “Komodifikasi Warisan Budaya

(9)

menjelaskan suatu pergeseran nilai dan fungsi warisan budaya berupa tenun ikat

masyarakat Bena yang diakibatkan oleh perkembangan dunia Pariwisata.

Lambertus menjelaskan awalnya budaya tenun ikat memiliki nilai-nilai

budaya berfungsi sebagai kelengkapan berbagai upacara dalam ritus-ritus budaya

Bena maupun Ngadha, kemudian bergeser menjadi produk yang bernilai

ekonomis dalam bentuk barang dagangan atau komoditas. Pergeseran tersebut

terjadi pada berbagai tahapan baik produksi, distribusi maupun tahapan konsumsi.

Penelitian Lambertus difokuskan pada masalah-masalah, berbagai bentuk

komodifikasi warisan budaya tenun ikat, faktor-faktor yang mendorong terjadinya

komodifikasi dan dampak dan makna komodifikasi. Teori yang dipakai

Lambertus pada menganalisa penelitian ini adalah menggunakan teori

komodifikasi, teori perubahan sosial, dan teori semiotika. Penelitian ini

menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan kajian budaya yang bersifat

kritis, interdisipliner, dan multidimensional.

Lambertus menemukan pemahaman tentang komodifikasi warisan budaya

khususnya tenun ikat dalam era globalisasi yang dikaitkan dengan pengembangan

pariwisata, dengan harapan akan berdampak terhadap berbagai kebijakan,

program dan kegiatan pariwisata budaya.

Data penelitian dalam tesis Lambertus, diperoleh melalui teknik

pengumpulan data observasi, wawancara mendalam terhadap nara sumber yang

ditentukan secara purposif serta studi dokumen terkait. Analisis data dilakukan

dengan menggunakan teori komodifikasi, teori perubahan sosial, dan teori

(10)

Hasil penelitian Lambertus menunjukan bahwa komodifikasi telah

merambah semua aspek kehidupan tenun ikat Bena (produksi, distribusi dan

konsumsi) dengan bentuk-bentuk komodifikasi seperti komodifikasi produksi

tenun ikat Bena, komodifikasi distribusi tenun ikat Bena, dan komodifikasi

konsumsi tenun ikat Bena. Bentuk-bentuk komodifikasi tersebut dipengaruhi oleh

faktor-faktor internal yaitu terbatasnya sumber daya produksi tenun ikat Bena,

adanya orientasi ekonomi, dan idiologi/pandangan hidup masyarakat Bena,

faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi komodifikasi tenun ikat Bena adalah

globalisasi dan pengembangan pariwisata. Dampak komodifikasi adalah dampak

ekonomi, dampak sosial, dan dampak budaya. Sementara makna komodifikasinya

adalah makna efisiensi, makna inovasi, dan makna pelestarian.

Persamaan antara kajian Lambertus dengan kajian penulis adalah dalam

hal penggunaan konsep dan teori komodifikasi, sedangkan perbedaannya yaitu

objek penelitian Lambertus di atas adalah tenun ikat masyarakat Bena sedangkan

penulis menggunakan objek uis Karo. Penulis mengadopsi proses bentuk

komodifikasi pada tesis Tenaya dan Lambertus. Bentuk komodifikasi pada kedua

tesis mereka adalah komodifikasi produksi (komodifikasi desain, motif dan warna

pakem), komodifikasi distribusi, dan komodifikasi konsumsi.

Sandra Niessen (2009) dengan bukunya “Legacy in Cloth, Batak textile of

Indonesia” mendeskripsikan mengenai tenun di Sumatera Utara khususnya

didaerah Samosir, Simalungun, Karo, Si Tolu Huta, Holbung/Uluan dan

Silindung. Buku ini memilki isi mengenai berbagai jenis uis Karo dari bentuk,

(11)

Fadlin Muhammad Djafar pada jurnalnya “Songket Melayu Batubara:

Eksistensi Dan Fungsi Sosio budaya” mengkaji keberadaan dan fungsi Songket

Melayu Batubara di Desa Padang Genting, Kecamatan Talawi, Kabupaten

Batubara, Provinsi Sumatera Utara. Kajian budayanya bertumpu kepada eksistensi

(etnografi, teknologi, dan organisasi) dan fungsi sosiobudaya, dengan

pendekatan-pendekatan antropologi.

Penelitian ini menjelaskan Songket Melayu Batubara di Sumatera Utara

memiliki ciri-ciri umum dan khusus dalam konteks dunia Melayu seperti

kesamaan secara konseptual, aktivitas dan dalam bentuk artefak adalah memiliki

kesamaan-kesamaan dengan budaya Songket di kawasan Melayu lainnya, seperti

yang ada di Semenanjung Malaysia. Kesamaan-kesamaan itu boleh dilihat melalui

ide yang terkandung di dalam Songket, motif-motif, warna, dan cara

pembuatannya.

Persamaan ciri khas dan perbedaan kebudayaan Songket Batubara dengan

kawasan lainnya adalah dikaji sesuai dengan lingkungannya. Songket dan kain

tenunan tradisional di Sumatera Utara menggunakan tiga jenis alat, yaitu: okik

untuk Songket, partonunan untuk Ulos, uis dan Abit Batak, serta alat tenun bukan

mesin (ATBM) seperti yang disarankan pemerintah Indonesia.

Ciri khas lainnya bahwa tenunan Songket Batubara selain digunakan oleh

masyarakat Melayu, ia juga digunakan oleh masyarakat Karo, Batak Toba,

Simalungun pada acara-acara kebudayaan. Fungsi Songket secara fisik adalah

untuk baju, kain samping, sarung, selendang, bantal, bag, dompet dan lainnya.

(12)

stabilitas budaya Melayu, juga sebagai wahana integrasi dan masuknya seorang

menjadi Melayu, penguat identitas Melayu, sebagai penunjuk strata sosial dan

sebagai ungkapan rasa cinta serta fungsi lainnya.

Penelitian ini menjelaskan Songket di kawasan Batubara juga

mencerminkan strata sosial orang yang menggunakannya. Kalangan atas biasanya

memakai Songket yang berkualitas dan berhargarelatif mahal. Sementara kelas

sosial menengah dan sosial ke bawah menggunakan Songket sesuai dengan

kemampuan ekonominya. Sehingga Songket yang diproduksi ada yang berharga

relatif dari termahal sampai termurah.

Dalam mengkaji industri uis Karo di masyarakat saat ini, penulis

menggunakan skripsi Leavanny Laurie S “Analisis Bauran Pemasaran Dalam

Meningkatkan Penjualan Kain Tenun Tradisional Karo Pada Trias Tambun

Kabanjahe” sebagai referensi pustaka. Penelitian ini menggunakan penelitian

deskriptif dengan pendekatan kualitatif ini bertujuan untuk : (1) mengetahui

strategi bauran pemasaran kain tenun tradisional Karo pada Trias Tambun

Kabanjahe, (2) mengetahui tingkat penjualan kain tenun tradisional Karo pada

Trias Tambun Kabanjahe, dan (3) mengetahui peranan bauran pemasaran dalam

meningkatkan penjualan kain tenun tradisional Karo pada Trias Tambun

Kabanjahe.

Buku “Estetika : Sebuah Pengantar” tulisan A.A.M. Djelantik terbitan

Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Buku “Estetika” karya Dharsono (Sony

(13)

uis Bara” dipergunakan sebagai mengaji unsur-unsur estetika pada visual ragam

hias modifikasi uis Karo.

Dalam mengkaji berbagai jenis uis Karo, corak, makna dan bentuk ragam

hiasnya penulis menggunakan buku A.G.Sitepu yang berjudul “Ragam Hias

(ornamen tradisional) Karo”, “Mengenal Seni Kerajinan Tradisional Karo”, dan

“Mengenal Aksara-Merga-Orat Tutur Seni Kerajinan dan Ornamen Karo”. Pada

ketiga buku tersebut dijelaskan berbagai macam uis Karo, berikut coraknya, dan

maknanya. Penulis juga menggunakan buku Ragam Hias (ornamen) Rumah Adat

Batak Karo dan Laporan Penelitian Pengumpulan dan Dokumentasi Ornamen

Tradisional di Sumatera Utara tahun 1977/1980 sebagai referensi tambahan dalam

mengkaji penerapan ragam hias pada uis Karo.

Referensi dalam mengkaji berbagai budaya tradisional masyarakat Karo,

penulis menggunakan buku “Pilar Budaya Karo” tulisan Sempa Sitepu, Bujur

Sitepu, A.G. Sitepu yang diterbitakan Forum Komunikasi Masyarakat Karo

Sumatera Utara, kemudian buku “Intisari Adat Istiadat Karo Jilid I”, “Sejemput

Adat Budaya Karo” yang disusun oleh U.C. Barus dan Drs. Mberguh Sembiring,

S.H, kemudian buku “Tanah Karo: Selayang Pandang” karya Leo Joosten

Ginting dan Kriswanto Ginting, dan buku “Mengenal Suku Karo” karya Roberto

Bangun.

Buku-buku karya Drs. Sarjani Tarigan, MSP juga dijadikan sebagai

referensi tambahan dalam mengenal masyarakat Karo seperti “Dinamika Orang

(14)

Kehidupan Masa Kini” (1986) dan “Mengenal Rasa, Karsa dan Karya

Kebudayaan Karo” (2016).

Dalam mengkaji makna pemberian uis Karo, penulis menggunakan buku

Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru, tulisan Pdt. Dr. E.P.

Gintings terbitan Abdi Karya tahun 1999 dan tulisan Andi Satria Putranta Barus

(2016) “Memaknai Yesus lewat pemakaian uis dalam Adat suku Karo”.

Untuk menganalisis dampak dan makna komodifikasi uis Karo pada

masyarakat Karo, penulis menggunkan teori semiotika dan hipersemiotika yang

diambil dari buku “Semiotika Komunikasi Visual” karya Sumbo Tinarbuko

terbitan Jalasutra Yogyakarta tahun 2008 dan “Hipersemiotika, Tafsir Cultural

Studies Atas Matinya Makna” karya Yasraf Amir Piliang terbitan Jalasutra

Yogyakarta tahun 2003.

1.5 Konsep

Dalam sebuah penelitian konsep sangat penting agar dapat membangun

teori. Dalam penelitian ini akan dikemukakan dua konsep yang mendukung

penelitian, yaitu konsep komodifikasi pada uis Karo dan globalisasi pada

masyarakat Karo.

1.5.1 Komodifikasi pada Uis Karo

Uis Karo merupakan salah satu kebudayaan masyarakat suku Karo di

Sumatera Utara. Uis Karo merupakan seperangkat pakaian adat yang digunakan

(15)

mengenal tekstil buatan luar, Uis(kain) artinya dalam bahasa Karo adalah pakaian

sehari-hari hingga perkembangannya membuat uis Karo menjadi berbagai jenis,

corak dan fungsi.

Pada umumnya uis dibuat dari bahan kapas, dipintal dan ditenun secara

manual menggunakan gedogan dan alat tenun bukan mesin (ATBM). Pembuatan

benang pada sebagai bahan dasar uis Karo pada awalnya menggunakan zat

pewarna alami dan tidak menggunakan bahan kimia pabrikan. Namun ada juga

beberapa diantaranya menggunakan bahan kain pabrikan yang dicelup (diwarnai)

dengan pewarna alami dan dijadikan uis.

Uis Karo memiliki warna dan motif yang berhubungan dengan

penggunaannya atau dengan pelaksanaan kegiatan budaya. Beberapa diantara uis

tersebut sudah langka karena tidak lagi digunakan dalam kehidupan sehari-hari,

atau hanya digunakan dalam kegiatan ritual budaya yang berhubungan dengan

kepercayaan animisme dan saat ini tidak dilakukan lagi.

Komodifikasi adalah sebuah proses yang mengubah sebuah objek benda

atau kebendaan yang awalnya bukan untuk diperdagangkan kemudian menjadi

komoditas perdagangan (Pilliang, 2006). Komodifikasi atau Commodification

adalah sebuah istilah yang awalnya populer pada kisaran tahun 1977 yang

menjelaskan sebuah konsep fundamental dari pemikiran Marxisme tentang

bagaimana kapitalisme berkembang.

Karl Marx memberi makna, apa pun yang diproduksi dan untuk

(16)

untuk diperjualbelikan. Sebagai komoditas ia tidak hanya penting untuk berguna,

tetapi juga berdaya jual (Smith & Evans, 2004).

Kata komodifikasi berasal dari kata komoditi yang berarti barang atau jasa

yang bernilai ekonomi (dapat diperjualbelikan) dan modifikasi yang berarti

perubahan fungsi atau bentuk sesuatu. Komodifikasi tidak dapat dipisahkan dari

paham kapitalisme yang selalu mengaitkan segala sesuatunya berdasarkan nilai

untung dan rugi.

Perkembangan Industri kreatif di era globalisasi ini juga memberikan efek

kepada uis Karo. Ide-ide baru berserta gagasan baru dari kebudayaan global

mempengaruhi indutri kretif uis Karo. Demikian pula industri kreatif yang

menggunakan bahan dasar uis Karo untuk menciptakan produk-produk baru yang

mampu memenuhi permintaan masyarakat.

Pada penggunaan produk yang menggunakan memodifikasi uis Karo

memiliki suatu perubahan dalam bentuk desain dan fungsi. Bentuk-bentuk

komodifikasi ini terjadi dalam bentuk motif, warna, desain, proses produksi, dan

fungsinya. Aspek yang dikomodikasi pada uis Karo meliputi, nilai-nilai artistik,

nilai-nilai makna, berserta nilai material uis Karo. Uis yang dimodifikasi oleh

pelaku kreatif umumnya hanya memodifikasi jenis uis yang masih dipakai oleh

masyarakat Karo pada umumnya seperti Uis Nipes, Uis Beka Buluh, dan Uis Julu.

Nilai-nilai jual estetika dalam pendekatan modifikasi mendorong

pelanggaran aturan-aturan tradisional. Bentuk, fungsi, dan makna uis Karo telah

mengalami pergeseran seiring dengan berkembangnya budaya masyarakat Karo

(17)

1.5.2 Globalisasi pada masyarakat Karo

Globalisasi merupakan sebuah fenomena sosial modern yang

diterjemahkan sebagai proses intergrasi manusia yang melewati batas-batas

negara (Pieterse, 2000). Proses integrasi manusia ini tidak hanya terjadi dalam

wilayah ekonomi, tetapi juga dalam wilaya budaya dan identitas.

Menurut Kearney (1995) globalisasi berkaitan erat dengan ide

“deteritorialisasi” yang mengacu pada pemahaman bahwa aktivitas produksi,

konsumsi, ideologi, komunitas, politik, budaya dan identitas melepaskan diri dari

ikatan lokal.

Globalisasi telah menyeret hal-hal yang bersifat lokal dan terikat dalam

karateristik asal-usul menjadi sesuatu yang bersifat global dan beredar bebas

melewati batas-batas lokal.

Salah satu dampak dari globalisasi adalah ketimpangan budaya.

Ketimpangan budaya adalah suatu kenyataan bahwa masuknya unsur-unsur

golobalisasi tidak terjadi secara serempak. Unsur-unsur yang terkait dengan

teknologi masuk sedemikian cepatnya, sedangkan unsur-unsur sosial budaya,

seperti masyarakat perkotaan yang yang begitu cepat menyerap dan menerima

unsur-unsur globalisasi, dibanding dengan masyarakat perdesaan yang lambat

menerima unsur-unsur globalisasi. Akibat dari perbedaan lama cepatnya masuk

unsur globalisasi tersebut masyarakat mengalami ketimpangan.

Modernisasi sangat berkaitan erat dengan globalisasi. Dapat dikatakan

(18)

abad-21 tidak akan terlepas dari teknologi canggih seperti internet. Sejak

diluncurkan, internet telah menjadi kebutuhan disetiap wilayah di seluruh dunia.

Melalui media penyebaran dan pencampuran informasi kebudayaan sangat cepat

keseluruh belahan dunia.

Dickens (2004) mengatakan bahwa globalisasi berhubungan dengan

penyebaran budaya kontemporer. Semakin merebaknya gaya hidup konsumerisme

dan hedonism, masyarakat akan cenderung menganut prinsip pragmatisme

sehingga terjadi erosi budaya dengan lenyapnya identitas budaya asli nasional dan

tradisional.

Pada kajian budaya ini, globalisasi merupakan faktor utama yang

melatarbelakangi komodifikasi kebudayaan pada masyarakat Karo. Globalisasi

menjelaskan bagaimana terjadinya fenomena sosial seperti komodifikasi budaya,

perkembangan media, lunturnya nilai-nilai adat budaya, pariwisata dan gaya

hidup.

1.6 Landasan Teori

Pada dasarnya yang disebut teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang

telah menjadi hukum umum sehingga dipergunakan untuk membahas suatu

peristiwa atau fenomena dalam kehidupan manusia. Teori-teori yang digunakan

dalam penelitian ini adalah teori-teori kritis cultural studies. Adapun teori-teori

yang digunakan, yaitu (1) Teori Komodifikasi, (2) Teori Perubahan Sosial dan

(19)

1.6.1 Teori Komodifikasi

Teori Komodifikasi diperkenalkan oleh Karl Marx dalam Encyclopedia of

Marxism, yang berarti transformasi hubungan, sesuatu yang sebelumnya bersih

dari perdagangan, menjadi hubungan komersial, hubungan pertukaran, membeli

dan menjual. Dengan kata lain komodifikasi adalah sesuatu yang awalnya tidak

termasuk ke dalam area pasar berubah menjadi sesuatu yang komersial, menjadi

komoditas yang dapat diperjualbelikan. Salah satu komoditas yang dapat

diperjualbelikan adalah kebudayaan. Kebudayaan tersebut mencakup nilai baku

budaya dan nilai material budaya tersebut.

Menurut Piliang (2003) komodifikasi tidak saja menunjuk pada

barang-barang kebutuhan konsumerisme, tetapi telah merambat ke bidang seni dan

kebudayaan pada umumnya. Pilliang menjelaskan bagaimana sebuah artefak

budaya mengalami Proses komersialisasi dan diperdagangkan. Komodifikasi tidak

hanya terjadi pada barang-barang kebutuhan konsumer, juga merambah pada

kehidupan seni dan budaya. Kapitalisme telah berhasil membuat seni dan budaya

patuh pada hukum-hukumnya.

Kebudayaan yang tadinya dilatarbelakangi oleh aspek-aspek sentimental

seperti nilai religi, atau penghormatan kepada leluhur, upacara adat, dan termasuk

kekeluargaan sekarang menjadi bergeser. Nilai yang dominan adalah nilai

komersial, yakni motivasi mendapatkan untung. Produsen penghasil suatu produk

kebudayaan dituntut kreativitasnya untuk merekayasa dan menyesuaikan

(20)

Komodifikasi memunculkan budaya populer yang berawal dari konsumsi

massa, masyarakat komoditas atau masyarakat konsumenlah sebagai penyebabnya

Menurut Dobie (2009), komodifikasi juga adalah pengaruh kapitalisme pada

psikis konsumen yang menilai barang bukan lagi dari kegunaannya (use value),

namun dari merek (sign value) dan nilai tukar (exchange value). Kita membayar

bukan karena sesuatu itu berguna, namun untuk mengesankan orang lain atau

menaikkan harga diri.

Dalam kaitan dengan tema penelitian ini, uis Karo telah muncul menjadi

objek dari suatu komodifikasi budaya. Pada penelitian ini teori komodifikasi

diposisisikan sebagai teori dasar dan digunakan sebagai landasan kajian untuk

menganalisis bentuk dan fungsi komodifikasi uis Karo dalam perkembangan

industri kreatif pada masyarakat Karo.

1.6.2 Teori Perubahan Sosial dan Budaya

Kebudayaan memilki peran yang kuat dalam dinamika sosial di

masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan

bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh

kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu

adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai

sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain. Herskovits

juga mengemukakan bahwa budaya bersifat fleksibel dan memiliki banyak

kemungkinan pilihan dalam kerangka kerjanya. Salah satu paradoks jelas yang

(21)

dinamis yang berkelanjutan. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor

internal dan pengaruh external. Perubahan ini dibenarkan melalui berbagai

mekanisme budaya dan disesuaikan dengan berbagai norma yang sudah ada

sebelumnya; jika tidak, budaya akan kehilangan koherasi dan stabilitas yang

dibutuhkan.

Perubahan sosial merupakan perubahan pada kehidupan masyarakat yang

berlangsung terus-menerus. Perubahan yang dialami masing-masing masyarakat

tidaklah sama, ada yang cepat, ada yang mendominasi dan ada pula yang

tersendat. Perubahan ini tidak akan pernah berhenti, karena tidak ada satu

masyarakat pun yang berhenti pada suatu titik tertentu pada suatu masa.

Perubahan tersebut dapat mengarah pada kemajuan maupun kemunduran.

Pada intinya bahwa perubahan pada hakikatnya merupakan fenomena manusiawi

dan fenomena alami. Perubahan adalah suatu proses yang menyebabkan terjadi

perbedaan dari keadaan semula dengan sesudahnya. Perubahan dapat diketahui

apabila ada perbedaan dari bentuk awal dan bentuk akhir.

Perubahan ini terjadi sesuai sifat dasar manusia yang selalu ingin

melakukan perubahan, karena manusia memiliki sifat selalu tidak puas terhadap

apa yang telah dicapainya. Manusia selalu mencari suatu hal yang baru untuk

mengubah keadaan agar kehidupannya menjadi lebih baik sesuai dengan

keinginannya.

Menurut Soejono Soekanto (1990) perubahan sosial yang terjadi dalam

masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut:

(22)

2. Sikap menghargai hasil karya orang lain dan berkeinginan untuk maju.

3. Sistem yang terbuka dalam lapisan masyarakat.

4. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang.

5. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang- bidang kehidupan tertentu yang

terjadi dalam waktu yang lama akan menyebabkan kejenuhan.

6. Penduduk yang Heterogen adalah Masyarakat yang terdiri atas kelompok-

kelompok sosial yang mempunyai latar kebudayaan yang berbeda beda dan

ideology yang berbeda pula.

7. Orientasi ke masa depan yang lebih baik.

8. Adanya kontak dengan masyarakat luar yang menyebabkan terjadinya

pencampuran budaya.

Sebagai mahluk Tuhan yang paling sempurna, manusia dibekali akal-budi

untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan berbekal akal-budi tersebut manusia

memiliki tujuh kemampuan yang berfungsi untuk: menciptakan, mengkreasi,

memperlakukan, memperbarui, memperbaiki, mengembangkan, dan

meningkatkan segala hal dalam interaksinya dengan alam maupun manusia

lainnya (Herimanto dan Winarno, 2009).

Ketujuh kemampuan tersebut merupakan kemampuan yang dimiliki

manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti menciptakan kebudayaan,

kemudian memperbaharui, memperbaiki, mengembangkan dan meningkatkan

kebudayaan. Kebudayaan yang telah dihasilkan oleh manusia sering menjadi

awalnya terjadinya perubahan sosial, yang berarti perubahan sosial berkaitan erat

(23)

Menurut Kingsley Davis(Soerjono Soekanto, 2000) perubahan-perubahan

sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan yang mencakup semua

bagian kebudayaan, termasuk di dalamnya kesenian, ilmu pengetahuan,

tekhnologi, filsafat dan perubahan dalam bentuk aturan organisasi sosial.

Perubahan sosial dan kebudayaan mempunyai satu aspek yang sama yaitu saling

bersangkut-paut dengan cara-cara baru di dalam suatu system masyarakat. Dalam

penggunaan istilah perubahan sosial dan perubahan budaya, perbedaan di antara

keduanya tidak terlalu diperhatikan. Di samping itu, kedua istilah tersebut

seringkali ditukar-pakaikan, kadangkala digunakan istilah perubahan sosial

budaya agar dapat mencakup kedua jenis perubahan tersebut.

Pada penelitian ini teori perubahan sosial dan kebudayaan digunakan

sebagai landasan kajian untuk menganalisis faktor-faktor penyebab komodifikasi

pada uis Karo.

1.6.2.1Teori Perubahan Sosial Menurut Teori Klasik Karl Marx

Karl Marx adalah salah satu tokoh sosiologi klasik. Dia memahami

fenomena perubahan sosial secara radikal terutama untuk masyarakat barat yang

sedang beralih dari struktur agraris ke struktur industri. Pemikirannya membawa

khasanah berpikir ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi memasuki sejarah umat

manusia yang bernama modernisasi.

Karl Marx merumuskan dinamika perubahan sosial dan budaya sebagai

produk dari sebuah produksi (materialisme). Perubahan sosial berpusat pada

(24)

sosial-budaya. Pengertian tersebut meliputi pula perkembangan teknologi dan penemuan

sumber daya baru yang berguna dalam aktivitas produksi salah satunya adalah

kebudayaan.

Karl Marx juga berpendapat perubahan sosial hanya mungkin terjadi

karena konflik kepentingan materiil. Konflik sosial dan perubahan sosial menjadi

satu pengertian yang setara, karena perubahan sosial berasal dari adanya konflik

kepentingan material tersebut akan melahirkan perubahan sosial.

Komodifikasi terhadap seni budaya masyarakat Karo yaitu uis Karo adalah

salah satu dari fenomena perubahan sosial dan budaya, hal ini dilihat dari uis Karo

dipandang sebagai suatu produk massal, dimana semakin suburnya nilai-nilai

individualisme yang sangat erat berdampingan dengan faham kapitalisme.

Penggunaan teori perubahan sosial dan budaya dalam kajian budaya ini

menjelaskan bagaimana terjadinya berbagai faktor penyebab komodifikasi

terhadap uis Karo.

1.6.3 Teori Estetika Posmodern

Estetika adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan

dengan keindahan dan semua aspek dari apa yang disebut keindahan (Djelantik,

1999). Objek yang menjadi sasaran analisis estetika setidak-tidaknya mempunyai

tiga aspek dasar, yaitu bentuk, gagasasan, dan pesan. Pendekatan ini juga menjadi

dasar teori estetika klasik dalam mengukur keindahan sebuah objek.

Menurut Pilliang, pada era klasik, estetika mengutamakan makna (form,

(25)

follow, function), sedangkan pada era postmodern ada perubahan yang begitu

revolusioner, seolah-olah estetika merupakan arena permainan (form, follow, fun).

Pada era pascaindustri, muncul petanda-petanda baru dan makna pun

berkelimpahan.

ERA/TEKS PRINSIP RELASI/PERTANDAAN (MODEL

SEMIOTIKA)

Tabel 1.1 : Hubungan antara Era/Teks, Prinsip dan Relasi/Pertandaan dalam estetika.

(Sumber: Piliang 1998,1999)

Dalam komodifikasi budaya, teori estetika postmodern juga digunakan

untuk mengkaji karya-karya seni dan kebudayaan. Piliang dalam bukunya ” Dunia

Yang Dilipat” (2010), bahwa pada era postmodern, salah satunya, ditandai

dengan munculnya kebudayaan daur ulang. Pengertian daur ulang merupakan

suatu produk baru yang tidak memiliki keotentikan atau sama sekali tidak baru,

melainkan berasal dari proses pengulangan kebudayaan.

Pengulangan kebudayaan berasal produk masa lalu diasimilasikan dengan

kebaruan yang merupakan produk kontemporer, tidak hanya mengusung

semangat, historisisme, rekonstruksi, duplikasi namun juga menciptakan sinergi

(26)

muncul kembali. Pengulangan dalam aplikasi kontemporer mengakulturasi unsur

lama dengan kebaruan yang berupa gagasan, kemajuan teknologi

visualisasi/pencitraan, dan menimbulkan kesan keluar dari paritas, dikemas

menjadi satu kesatuan. Contohnya seperti pada produk fashion komodifikasi uis

Karo yaitu baju kemeja hasil modifikasi uis Karo yang memakai ragam hias uis

Karo. Kemeja ini memilki kesan, makna dan pesan pencitraan visual yang

memunculkan kebudayaan asli Karo yang sejatinya tidak dipakai pada kemeja.

Gambar 1.1 : Komodifikasi Uis Karo pada fashion kaum laki-laki.

(Sumber : Mamre Klasis Kabanjahe 2010-2015)

Pengulangan kebudayaan sebagai gugatan pada modernitas dengan

mencari kembali makna atas eksklusivitas desain, penghargaan setinggi-tingginya

atas talenta seniman/desainer, dan semangat kembali ke alam yang seolah-olah

mengkritisi modernitas dengan pemaknaan kembali sesuai dengan wacana berfikir

era form-follow-meaning.

Fashion adalah bagian dari kebudayaan kapitalis, fashion juga mengalami

hukum ekonomi, dimana segala sesuatu bergerak, berputar dan bergeser dalam

(27)

menyebabkan setiap orang seperti panik bersaing dan terus menerus

memperbaharui dirinya setiap tahun, bulan atau musim melalui barang-barang

fashion yang terbaru.

Menurut Baudrillard, estetika Posmodern juga ditandai dengan kekacauan

makna, dimana terjadi keterputusan pada rantai penandaan. Kesimpangsiuran

makna ini disebut schizophrenia, dimana bentuk-bentuk dipermainkan dalam

kerangka perubahan, perceraian, pergeseran, ketimbang keselesaian, kesatuan dan

integritasnya.

Idiom-idiom di atas bukan merupakan hak prerogatif posmodernisme,

meskipun pada diskursus posmodernisme semua idiom tersebut menjadi konsep

yang dominan. Dalam konteks seni posmodern, konsep-konsep estetika itu secara

luas telah digunakan sebagai model pemuatan makna-makna (atau antimakna)

pada bahasa estetik seni. Pengenalan dan pendefinisian konsep-konsep itu secara

sistematis sangat penting, sehingga ia dapat menjadi bahan dalam pengembangan

idiom-idiom estetik yang lebih kaya (Piliang, 2003: 67).

Mengacu pada pendapat Piliang di atas, dalam penelitian ini menggunakan

teori estetika posmodern yang dipakai untuk mengkaji uis Karo sebagai objek

estetik, Teori ini juga dipakai pada penelitian ini untuk menganalisis bentuk

komodifikasi uis Karo dalam perkembangan dunia berpakaian pada masyarakat

(28)

1.6.4 Teori Hipersemiotika

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata hiper diartikan sebagai di

atas, berlebihan, di luar atau melampaui batas. Menurut Piliang dalam buku

Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya, dan Matinya Makna’,

Hipersemiotika bisa diartikan sebagai semiotika berlebihan atau semiotika yang

melampaui batas. Piliang juga menyebutkan bahwa hipersemiotika adalah sebuah

ilmu tentang produk tanda.

Teori hipersemiotika merupakan sebuah teori tanda yang dikembangkan

oleh Jean Baudrillard. Piliang (2012: 61) menjelaskan bahwa pendekatan teori

semiotika, khususnya semiotika paling mutakhir (hipersemiotika), seperti yang

dikembangkan oleh para pemikir post-strukturalis, bisa dijadikan sarana

penelusuran, pemahaman kode-kode bahasa estetik yang tersembunyi dibalik

bentuk-bentuk seni posmodern.

Piliang pada bukunya Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya, dan

Matinya Makna menjelaskan bahwa pendekatan teori semiotika khususnya

hipersemiotika, dapat dijadikan sarana penelusuran, pemahaman kode-kode

bahasa estetik yang tersembunyi dibalik bentuk-bentuk seni posmodern.

Postmodernisme adalah sebuah ruang hidup bagi kecenderungan hipersemiotika,

yang di dalamnya berbagai hyper-sign dikembangkan sebagai bagian tak

terpisahkan dari budaya komoditi dan budaya konsumerisme kapitalisme.

Kekuatan hipersemiotika (hyper-sign) merupakan kekuatan utama dari apa yang

disebut sebagai wacana postmodernisme, seperti wacana desain, sastra, media,

(29)

Kebudayaan Karo Globalisasi

Komodifikasi Kain

Tradisional Karo  Mata Pencarian Internal  Penenunan & kesenian

Untuk memahami makna komodifikasi uis Karo, teori hipersemiotika

menjadi sangat penting, karena komodifikasi merupakan sebuah karya seni yang

memiliki unsur-unsur postmodern yang bercirikan tanda-tanda yang melebihi

realitas (hiperealitas) sehingga memunculkan pemaknaan baru (hipersemiotika).

Hipersemiotika merupakan ilmu yang mengkaji pemaknaan baru sebagai bagian

dari kajian budaya. Teori hipersemiotika dapat diterapkan dalam penelitian ini

untuk menganalisis dampak dan makna komodifikasi uis Karo pada masyarakat

Karo.

1.7 Model Penelitian

Model penelitian komodifikasi uis Karo dapat digambarkan dalam skema

atau model penelitian sebagai berikut :

(30)

Fenomena budaya di atas akan dikaji secara kritis melalui kajian budaya

dengan berbagai konsep dan landasan teori untuk menjawab rumusan masalah

sebagai berikut: (1) Bagaimana bentuk komodifikasi kain tradisional Karo pada

era Globalisasi? (2) Mengapa terjadi komodifikasi kain tradisional Karo pada

masyarakat Karo? dan (3) Apakah dampak dan makna komodifikasi kain

tradisional Karo pada masyarakat Karo?

1.8 Model Penelitian

1.8.1 Rancangan Penelitian

Penelitian komodifikasi uis Karo pada masyarakat Karo merupakan suatu

penelitian yang dirancang sesuai dengan paradigma keilmuan kajian budaya

(cultural studies).

Menurut Akhyar Yusuf lubis pada bukunya Dekonstruksi Epistimologi

Modern: dari Posmodermisme, Teori Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultural

Studies, kajian budaya menaruh perhatian untuk meneliti berbagai kepentingan,

ideologi, dan hegemoni yang muncul dari informasi media massa. Kajian budaya

juga mengkaji berbagai kebudayaan dan praktik budaya serta kaitannya dengan

kekuasaan sehingga kajian budaya adalah kajian yang menekankan keterkaitan

budaya dengan masalah hubungan sosial dan kehidupan sehari-hari.

Penelitian ini adalah sebuah penelitian kajian budaya, sehingga penelitian

ini menghubungkan dengan ilmu-ilmu sosial pendukung. Hal ini sesuai dengan

prinsip lintas bidang atau multidisiplin dalam kajian budaya, seperti semangat

(31)

Kajian ini juga bersifat multidisiplinner ilmu dengan adanya berbagai

fenomena menarik di dalamnya, seperti globalisasi, fashion, teknologi, sejarah,

sosial budaya, arkeologi, dan sebagainya. Sebagai kajian budaya, penelitian ini

dirancang dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif biasanya digunakan

untuk meneliti kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, pergerakan sosial,

dan lain-lain.

Penelitian yang mempergunakan pendekatan kualitatif tergolong penelitian

kebudayaan penekanannya bukan pada pengukuran melainkan pada

pendeskripsian. Moleong pada bukunya Metodologi Penelitian Kualitatif

menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah untuk memahami fenomena di

masyarakat dengan cara mendiskripsikan dalam bentuk kata-kata dan bahasa,

pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode

alamiah.

Suharsimi Arikunto pada bukunya Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan

Praktek mengungkapkan bahwa dalam penelitian kualitatif peneliti tidak

menggunakan angka dalam mengumpulkan data dan dalam memberikan

penafsiran terhadap hasilnya. Menurut Nyoman Kutha Ratna pada bukunya Teori,

Metode, dan Teknik Penelitian Sastra Dari Strukturalisme Hingga

Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif, metode kualitatif memanfaatkan

cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskripsi dengan ciri-ciri

terpenting dalam metode kualitatif terletak pada makna berserta pesan, dan pada

proses tidak ada jarak antara subjek dan objek penelitian, bersifat terbuka dan

(32)

Penelitian fenomena budaya ini sama halnya dengan penelitian di bidang

sosial lainnya. Secara garis besar penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan,

yaitu tahap persiapan, tahap kerja lapangan, dan tahap penulisan laporan

(Gorda,1997). Pada Tahap Persiapan dilakukan beberapa kegiatan yaitu (a)

mengadakan studi pendahuluan baik aspek kepustakaan maupun empirik dalam

rangka penyusunan usulan penelitian, (b) memilih lapangan atau lokasi penelitian

(c) mengurus perizinan dan (d) mempersiapkan perlengkapan penelitian. Pada

Tahap Kerja Lapangan, kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain (a)

menentukan informan, (b) melakukan pengumpulan data, (c) mengolah dan

menganalisis data (d) membuktikan atau menjawab pertanyaan penelitian dan (d)

melakukan diskusi dalam ahli atau narasumber yang bersangkutan. Pada tahap

penulisan laporan, peneliti harus memperhatikan pedoman penulisan laporan

sesuai dengan sistematika penulisan yang ditentukan oleh perguruan tinggi

1.8.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada daerah mayoritas masyarakat Karo, seperti

Medan (padang bulan dan sekitarnya), Kabanjahe dan Berastagi. Ketiga lokasi

tersebut dipilih melalui berbagai pertimbangan antara lain

1) Masyarakat Karo di Medan, Berastagi dan Kabanjahe adalah masyarakat yang

menglobal dan sangat jelas terlihat pengaruh globalisasinya.

2) Diketiga daerah tersebut menjadi daerah komodifikasi uis Karo,

3) Daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang pertumbuhan sektor ekonomi

(33)

4) Di Kabanjahe dan Berastagi banyak dijual hasil komodifikasi uis Karo,

Aksesibilitas ke lokasi penelitian ini cukup baik dan tidak terlalu jauh dengan

tempat peneliti, sehingga efektif dalam melakukan penelitian serta efisien

sesuai dengan ketersediaan dana dan alokasi waktu penelitian.

1.8.3 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif oleh karena itu jenis data

yang diperlukan adalah data kualitatif. Data kualitatif yaitu berupa uraian atau

deskripsi dalam bentuk kata-kata yang berkaitan dengan masalah penelitian. Data

kualitatif diperoleh dari hasil observasi lapangan, dan rekaman hasil wawancara

yang dilakukan secara mendalam dan terbuka berserta dokumen-dokumen, tesis,

skripsi, buku, web, jurnal online, dan transkrip lainnya.

Data dihimpun dengan terencana dan sistematis, data yang relevan atau

bertalian, berkaitan, mengena dan tepat (Kartono, 1996). Data kuantitatif

dibutuhkan untuk mendukung dan memberi penjelasan khususnya yang berkaitan

dengan aspek ekonomi dari pariwisata dan industri kreatif.

1.8.4 Sumber Data

Dalam penelitian ini, Sumber data dikelompokkan menjadi dua yakni

sumber data utama dan sumber data pendukung. Data utama merupakan data yang

dikumpulkan dari narasumber berupa teks hasil wawancara yang diperoleh

melalui wawancara dengan informan yang dijadikan sampel penelitian. Data ini

(34)

data utama diperoleh dari pelaku pembuat uis Karo yang diproduksi oleh pelaku

komodifikasi, desainer, pedagang, dan konsumen, di mana semua pihak tersebut

dapat memberikan informasi yang diperlukan. Kumpulan skripsi, tesis, jurnal

hingga buku-buku kebudayaan Karo juga menjadi sumber data utama dalam

penelitian ini.

Data pendukung diperoleh dari sumber-sumber yang tersedia dalam

referensi bacaan, media cetak, media online, ekshibisi industri kreatif. Data

pendukung yang dikumpulkan berupa data yang diperoleh dari literatur yang ada

hubungannya dengan judul penelitian, baik diperoleh dari perpustakaan, buku,

dokumen, surat kabar, laporan penelitian, web page, jurnal ilmiah, dan foto-foto.

Data pendukung ini juga sangat berharga bagi peneliti guna memahami lebih

mendalam tentang permasalahan yang dijadikan obyek penelitian.

1.8.5 Penentuan Informan

Seorang informan yang baik adalah informan yang mampu menangkap,

memahami, dan memenuhi permintaan peneliti. Ia harus memiliki kemampuan

reflektif, meluangkan waktu untuk wawancara, bersemangat untuk berperan serta

dalam penelitian, dan memiliki pengetahuan yang luas mengenai permasalahan

yang diteliti (Sudikan, 2001).

Teknik penentuan informan sangat penting karena informan yang

memberikan informasi. Koentjaraningrat menyatakan bahwa penentuan informan

(35)

artinya informan-informan yang mewakili masyarakat dipilih secara purposive

sampling yaitu pemilihan informan berdasarkan kriteria tetentu.

Subyek yang diambil dalam penelitian fenomena budaya ini adalah para

informan yang mengetahui mengenai bentuk, fungsi, jenis dan makna simbolis

yang terkandung dalam bebrbagai jenis uis Karo dalam perpektif budaya. Karena

itu penelitian ini membutuhkan informan yang berkemampuan sebagai ahli uis

Karo maupun budayawan Karo. Penelitian ini juga membutuhkan informasi

mengenai komodifikasi uis Karo dari pihak pertama dalam industri fashoin.

Mereka memiliki kemampuan sebagai perancang busana khususnya berhubungan

dengan uis Karo. Untuk memberikan sudut pandang yang lebih lengkap,

penelitian ini juga membutuhkan informasi yang diperoleh dari “informan sambil

lalu” seperti ibu-ibu rumah tangga, masyarakat Karo dan konsumen komodifikasi

uis Karo untuk memberikan gambaran yang lengkap mengenai konsumsi dan

preferensi mereka terhadap produk-produk komodifikasi uis Karo

1.8.6 Instrumen Penelitian

Sesuai dengan metode penelitian kualitatif, maka peneliti dijadikan

sebagai instrumen utama dalam penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti terjun ke

lapangan untuk melakukan studi dokumen dan wawancara agar mendapatkan data

yang akurat. Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan pokok yang

bersifat terbuka, informasi dari informan dan pertanyaan yang dapat kemungkinan

(36)

Untuk teknik wawancara dipersiapkan instrumen berupa kisi-kisi

pertanyaan terbuka yang memungkinkan pertanyaan dapat terarah dan

berkembang ke arah yang lebih spesifik. Disamping itu, diperlukan instrumen

bantu dalam pengumpulan data yakni pedoman wawancara, smartphone, serta alat

tulis menulis untuk merekam pembicaraan pada saat wawancara dan

kejadian-kejadian (informasi) yang berhubungan dengan komodifikasi uis Karo.

1.8.7 Teknik Pengumpulan Data

Ada tiga teknik yang digunakan dalam pengumpulan data, yakni (1) teknik

observasi, (2) teknik wawancara dan (3) studi dokumen.

1. Teknik Observasi

Observasi merupakan cara memperoleh data melalui pengamatan langsung

ke lokasi penelitian untuk mendapatkan data yang akurat tentang objek yang

diteliti. Usaha pengamatan yang cermat merupakan satu cara penelitian ilmiah.

Dalam observasi, selain melakukan pengamatan, juga dilakukan pencatatan -

pencatatan rinci tentang hal-hal yang terkait dengan permasalahan yang telah

dirumuskan.

Hasil observasi berupa dokumentasi berupa foto yang berhubungan

dengan penelitian ini. Penggunaan foto-foto sangat penting artinya dalam rangka

melengkapi data yang tidak dapat diperoleh dalam pengamatan maupun

wawancara. Diharapkan, dengan melakukan pengamatan, pencatatan dan

pendokumentasian secara empiris dapat ditemukan kenyataan-kenyataan yang

(37)

Dalam hubungannya dengan komodifikasi, observasi dilakukan pada

lokasi penelitian dengan mengamati aktivitas para pelaku komodifikasi uis Karo.

Selain itu pengamatan dilakukan pula pada acara-acara adat Karo seperti

pernikahan, peresmian rumah baru, kematian, pesta budaya dan sebagainya. Pada

saat melakukan pengamatan, dilakukan pencatatan dan pemotretan

fenomena-fenomena mengenai komodifikasi uis Karo baik dalam tampilannya beserta

fungsinya.

2. Teknik Wawancara

Wawancara merupakan suatu kegiatan percakapan dengan maksud dan

tujuan tertentu. Percakapan ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara

(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang

memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan.

Wawancara digunakan untuk mengumpulkan data lewat wawancara

langsung dengan informan. Menurut Natsir (1988) pengumpulan data melalui

wawancara adalah proses percakapan dalam bentuk tanya jawab antara peniliti

dan informan. Pertanyaan kepada informan diajukan, baik secara lisan maupun

tertulis dengan teknik tanya yang terstruktur dan tak terstruktur dibantu alat

berupa daftar pertanyaan, alat perekam, dan alat tulis.

Pada penelitian ini teknik wawancara yang dipakai ada dua macam teknik

yaitu yang pertama, teknik wawancara terstruktur (structured interview) yaitu

dengan cara mempersiapkan daftar pertanyaan terlebih dahulu, sehingga

didapatkan data sesuai dengan informasi yang diinginkan. Teknik kedua yaitu

(38)

dapat dilakukan secara lebih terbuka dan mendalam dengan memberikan

kebebasan atau keleluasaan kepada informan untuk menjawab pertanyaan sesuai

dengan pengetahuan yang dimilikinya

Wawancara dilakukan untuk menggali informasi tentang bentuk mula-mula

uis Karo, kemudian bentuk komodifikasi uis Karo, serta faktor-faktor penyebab

komodifikasi uis Karo dan dampak dari komodifikasi uis Karo pada masyarakat

Karo.

3. Studi Dokumen

Selain wawancara dan observasi, penelitian ini juga menggunakan studi

dokumen. Bahan dokumen sering mencakup hal-hal khusus yang berhubungan

dengan observasi, sehingga studi dokumen menjadi penting. Studi dokumen

dalam penelitian ini dilakukan dengan menelusuri dokumen dan laporan yang

terkait dengan permasalahan komodifikasi uis Karo. Dokumen yang digunakan

adalah buku-buku, jurnal, skripsi, tesis, laporan penelitian, foto, kliping media

massa, majalah, dan lain-lain yang diperoleh dari berbagai sumber. Semua

dokumen yang telah dikumpulkan tersebut ditelaah lebih lanjut sehingga

diperoleh data pendukung untuk penelitian komodifikasi uis Karo.

1.8.8 Teknik Analisis Data

Semua data yang telah dikumpulkan, baik data utama maupun data

pendukung akan diidentifikasi dan diklasifikasikan sesuai dengan keperluan

penelitian. Kemudian data tersebut diklasifikasi, dianalisis dengan

(39)

dilakukan secara teknik analisis deskriftif kualitatif untuk menjelaskan

bagian-bagian dari keseluruhan data.

Peneliti mengumpulkan data dengan mencatat semua informasi dari

narasumber yang mengetahui mengenai seluk beluk bentuk asli uis Karo sampai

perubahan pada komodifikasinya sesuai dengan hasil observasi dan wawancara

yang dilakukan di lapangan.

Data yang berupa perbandingan bentuk-bentuk visual asli uis Karo dan

bentuk komodifikasinya diklasifikasi berdasarkan teori komodifikasi dan estetika.

Kemudian dilakukan penafsiran terhadap fungsi dan makna yang dikandung

bentuk-bentuk visual dalam berbagai komodifikasi uis Karo tersebut dengan

menggunakan teori estetika, dan hipersemiotika. Setelah diperoleh bentuk,

dilakukan tafsiran terhadap fungsi dan makna dalam kain hasil komodifikasinya,

yakni untuk mengetahui berfungsinya tampilan terhadap konsumen penikmatnya.

1.8.9 Penyajian Hasil Analisis Data

Dalam penelitian ini, tahap penyajian merupakan tahapan pemaparan hasil

penelitian dalam wujud tulisan secara secara terstruktur dengan mengikuti

kerangka penulisan secara sitematik. penyajian penelitian ini berupa laporan hasil

penelitian formal dan informal. Penyajian informal adalah penyajian hasil analisis

yang mempergunakan kata-kata yang bersifat deskriptif, naratif, dan argumentatif.

Sementara itu, penyajian formal adalah penyajian analisis yang menggunakan

gambar, dan foto. Kedua bentuk penyajian ini dituangkan dalam beberapa bab.

(40)

oleh satu bab yang mendeskripsikan gambaran umum tentang uis Karo, beberapa

bab tentang hasil penelitian dan diakhiri dengan bab penutup memuat kesimpulan

dan saran. Penyajian dibuat sedemikian rupa, sehingga mampu melukiskan

Gambar

Tabel 1.1 : Hubungan antara Era/Teks, Prinsip dan Relasi/Pertandaan dalam
Gambar 1.1 : Komodifikasi Uis Karo pada fashion kaum laki-laki. (Sumber : Mamre Klasis Kabanjahe 2010-2015)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis plankton terbanyak yang ada di perairan Desa Bahoi adalah fitoplankton kelas Bacillariophyceae dengan (63 genera) sedangkan

Secara yuridis penodaan agama merupakan bagian dari delik agama yang memang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia. Pengaturan

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan sesuai dengan ketentuan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

Sedangkan skala yang sangat besar sehingga merupakan kota di dalam kota mungkin harus dilakukan suatu studi makro terlebih dahulu (perencanaan transportasi kota) sebelum masuk ke

Bangunan Perdesaan Perkotaan PBB-P2 Menjadi Pajak Daerah (Studi Pada Badan. Pengelola Keuangan Daerah

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri

rebus air hingga mendidih, masukkan gula merah, gula pasir, garam, jahe, kencur yg sudah dicuci, asam jawa, daun pandan, masak hingga gula larut aduk aduk, matikan api.. pisahkan

TUJUAN PENELITIAN, ialah untuk memperkenalkan masyarakat lebih dalam mengenai identitas ulang visual Salon Day Spa by Martha Tilaar, bahwa Salon Day Spa by Martha