BAB III
BENTUK KOMODIFIKASI
UIS
KARO
Dalam buku Encyclopedia of Marxism, Karl Marx mengemukakan
pengertian komodifikasi berarti transformasi hubungan, sesuatu yang sebelumnya
bersih dari perdagangan, menjadi hubungan komersial, hubungan pertukaran,
membeli dan menjual. Komodifikasi mendeskripsikan suatu cara kapitalisme
melancarkan tujuannya dengan mengakumulasi kapital, atau, menyadari
transformasi nilai guna (nilai artistik dan nilai kebudayaan) menjadi nilai tukar
(nilai ekonomi). Menurut Piliang (2003) komodifikasi tidak saja menunjuk pada
barang-barang kebutuhan konsumerisme, tetapi telah merambat ke dalam bentuk
seni dan kebudayaan pada umumnya. Komoditas dan komodifikasi adalah dua hal
yang memiliki hubungan obyek dan Proses. Komoditas dipahami sebagai suatu
segala sesuatu yang diproduksi untuk dijual. Modifikasi adalah suatu Proses
perubahan (desain dan fungsi) dalam komodifikasi.
Kemampuan berubah selalu merupakan sifat yang penting dalam
kebudayaan manusia. Tanpa itu kebudayaan (kesenian) tidak mampu
menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah. Soedarsono (1995) dalam
Jumal Seni Budaya mengatakan cepat atau lambat, kebudayaan selalu akan
berubah. Transformasi itu bisa berkaitan dengan bentuknya, tetapi kerap pula
Bentuk komodifikasi uis Karo dalam bab ini ini dikaji dari segi kajian
budaya melalui analisis-analisis yang menjelaskan komodifikasi produksi, nilai
artistik, nilai budaya dan distribusi.
3.1 Komodifikasi Produksi
Komodifikasi mendeskripsikan suatu cara kapitalisme melancarkan
tujuannya dengan mengakumulasi kapital, atau, menyadari transformasi nilai guna
menjadi nilai tukar. Komoditas dan komodifikasi merupakan dua hal yang
memiliki hubungan objek dan proses, salah satu prosesnya adalah komodifikasi
produksi.
Seiring dengan perkembangan zaman, tekonologi produksi uis Karo telah
banyak berubah. Perubahan ini dimulai dari perubahan alat penenun dari gedokan
hingga menggunakan alat tenun bukan mesin yang membuat masyarakat Karo
yang mulai menenun kembali. Uis yang biasanya diproduksi di Samosir, kini
sudah mulai ditenun di rumah-rumah pengrajin tanah Karo.
Dalam menjalin benang-benang menjadi sehelai kain tenun yang indah,
diperlukan sebuah alat tenun. Ada dua jenis alat tenun modern yang digunakan
oleh masyarakat indonesia, yaitu alat tenun bukan mesin (ATBM) dan alat tenun
mesin (ATM).
Setelah benang diberi warna, kemudian mulai ditenun. Benang yang
memanjang atau vertikal disebut lungsi sedangkan benang pakan adalah benang
(Kartiwa, 1989). Dengan menggunakan kedua jenis benang ini saja, sudah dapat
menghasilkan sebuah kain tenun yang bercorak polos.
Dahulu kala uis Karo ditenun melalui alat tenun tradisional yang disebut
gedogan. Alat tenun gedongan ini masih bisa kita jumpai di Pangururan, Samosir.
Alat tenun gedogan ini hanya terdiri dari bambu dan kayu untuk mengaitkan
benang lungsi saja. Bilah-bilah kayu dan bambu pada alat ini ujung-ujungnya
dikaitkan pada tiang atau pondasi rumah si penenun. Kemudian, ujung satunya
terikat pada badan penenun. Alat tenun ini digunakan oleh penenun dengan posisi
badan duduk di lantai atau tanah.
Gambar 3.1 : Peralatan tenun tradisional gedongan di Silalahi 1989 (Sumber : The Bataks)
Penggunaan alat tenun gedogan tidak ditemukan lagi di tanah Karo.
Dengan menggunakan alat tenun gedogan, proses untuk memproduksi selembar
uis Karo membutuhkan waktu yang sangat lama bahkan mencapai beberapa
Karo biasanya dapat diselesaikan dalam waktu satu minggu dengan waktu
pengerjaan 9 jam sehari. Untuk memudahkan penenun, gedokan diganti dengan
ATBM (alat tenun bukan mesin). ATBM adalah alat tenun uis yang digunakan
oleh pekerja yang terbuat dari kayu. Bahan kayu yang digunakan untuk mebuat
ATBM adalah kayu jati sehingga bisa bertahan hingga puluhan tahun. ATBM
memilki prinsip yang sama dengan alat tenun gedongan. ATBM merupakan
sebuah hasil modifikasi alat tenun yang digerakkan oleh injakan kaki untuk
mengatur naik turunnya benang lungsi pada waktu masuk keluarnya benang
pakan, dipergunakan sambil duduk di kursi. Kursi yang digunakan dalam
menggunakan ATBM adalah kursi yang terbuat dari kayu, berbentuk kotak, tidak
memiliki sandaran punggung.
Menurut pardetuk.com, istilah ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) tidaklah
tepat, karena secara prinsip kerjanya merupakan peralihan ke mesin. Nama yang
lebih tepat adalah ATSM (Alat Tenun Semi-Mesin). Perkembangan jumlah
ATSM pada awalnya di tahun 1980 akhir juga terjadi karena faktor ekspansi
benang dari pulau Jawa. Sejak saat itu pemintalan benang tradisional ditinggalkan
oleh penenun.
ATBM terbuat dari kayu yang dipasangi beberapa perlengkapan, sehingga
menjadi satu unit ATBM. ATBM digerakkan secara manual dengan menggunakan
kaki dan tangan. Dengan menggunakan ATBM, penenun dapat duduk di kursi
dengan kaki mengayun pedal dan tangan menarik pengungkit sehingga pekerjaan
Gambar 3.2 : Seorang penenun dengan menggunakan ATBM
(Sumber : Dokumentas Pribadi)
Proses penenunan dengan ATBM dapat dikatakan sebagai percampuran
dari unsur tradisional dan unsur modernitas. Tradisional dikatakan karena masih
menggunakan tenaga utama yaitu tenaga manusia, modern karena memiliki fitur
otomatisasi dan pola matematis.
ATBM ini berasal dari pulau Jawa. ATBM ini merupakan bagian dari
program pemerintah Indonesia untuk dipergunakan menenun kain tradisional di
seluruh Indonesia. Pemerintah melalui departemen perindustrian dan perdagangan
menyebarkan alat tenunan ini ke semua kawasan di Indonesia termasuk ke
Kabanjahe.
Salah satu penerimannya bantuan ATBM adalah Sahat Tambun. Ia
ditunjuk oleh Dinas Koperasi dan Perdagangan Kabupaten Karo, serta Provinsi
Sumatera Utara sebagai salah satu UKM percontohan di bidang kain tenun
tradisional. Sahat Tambun merupakan pemilik usaha Tenun uis Karo Trias
Tambun. Pria kelahiran Kabanjahe yang bertahun-tahun menimba ilmu tentang
Bandung. Dia juga mempelajari detail seluk-beluk metode menenun mulai dari
alat tenun tradisional gedogan hingga alat tenun bukan mesin (ATBM ) di
Pekalongan (Jawa Tengah) dan Gresik (Jawa Timur.)
Dengan berbekal pengetahuan yang telah ia pelajari, dia menemui
pengrajin-pengrajin tenun di kedua kota tersebut dengan mempelajari dan
membandingkan kelebihan-kelebihan dari kain tenun di kedua kota tersebut.
Selain itu juga dia belajar langsung kepada para pengrajin uis Karo yang masih
setia menekuni usahanya.
Pada tahun 1992, Sahat Tambun memberanikan diri membeli satu ATBM
dari Pekalongan dan memutuskan pulang ke kampungnya, yaitu Kabanjahe untuk
mendirikan usaha tenun uis Karo. Tanah kosong di samping rumahnya menjadi
tempat berkarya para penenun tradisional yang kini memakai ATBM. Suara derit
ATBM akrab dengan keluarga Sahat serta tetangganya.
Dengan berjalannya waktu, usaha Sahat Tambun semakin berkembang.
Sebagai perusahaan modern, Sahat menjabat selaku manajer produksi, sedangkan
istrinya, Christina br Barus, sebagai manajer pemasaran. Dia pun kini mempunyai
sebuah gallery sendiri di jalan Sisingamangaraja No.1 Kabanjahe. Produk yang
dihasilkan oleh Trias Tambun antara lain : uis mangiring, uis julu, uis beka buluh,
uis ragi barat, uis ragi lurik, uis gara tudung, sarung ikat pakan dan bakal baju uis karo. Sedangkan produk yang paling umum dan diminati oleh pembeli dari
gallery Trias Tambun adalah uis nipes dan beka buluh.
Sahat Tambun mampu menepis anggapan masyarakat bahwa uis Karo
ATBM dengan mempekerjakan 15 penenun. Masing-masing alat tenun miliknya
ini mampu memproduksi rata-rata satu lembar kain dengan ukuran 1,75 meter
selama sembilan jam. Produksi uis Karo di Trias Tambun hanya 50 lembar uis per
bulan, dimana masih berkisar 10% dari kebutuhan uis Karo oleh mayrakat Karo
secara rata-rata. Sisanya, dipasok oleh pasar dari pengrajin di Samosir, Tarutung,
Medan, dan Binjai.
Usaha Trias Tambun merupakan salah satu pelopor penggunaan ATBM
dalam penenunan kain tenun tradisional Karo di wilayah Kabupaten Karo.
Kelebihan ATBM terletak pada efisiensi waktu penenunan dan mutu kain yang
lebih baik daripada gedongan. Sebagai pemilik, Trias Tambun memiliki tugas
sebagai pimpinan usaha yang mencakup smua plaksanaa segala kegiatan
penenunan di tempatnya, seperti pelaksanaan kegiatan, dan pengawasan. Dia juga
menentukan detail dan kriteria bahan baku dan ragam hias yang akan ditenun oleh
pegawainnya.
Ada 4 jenis klasifikasi pekerjaan dalam menjalankan Proses penenunan di
dalam usaha penenunanya ini yaitu, bagian pencelupan benang, bagian
penggulungan benang, bagian penenunan dan bagian teknisi ATBM. Produksi
awal penenunan ini dimulai dari pencelupan benang. Pada bagian ini,
karyawannya bertugas untuk mewarnai bahan baku berupa benang sesuai dengan
arahan pemilik. Bahan baku yang mereka digunakan adalah benang impor asal
Gambar 3.3 : Jenis-jenis benang yang dipergunakan
(Sumber : Dokumentas Pribadi)
Teknik yang digunakan pada bagian pencelupan benang masih tradisional.
Mereka mewarnai benang merteka sendiri agar uis Karo yang dihasilkan memilki
corak yang berbeda dengan podusen uis Karo yang lain. Dalam jangka waktu 2
hingga 4 minggu benang yang telah selesai di ikat dengan menggunakan teknik
ikat, benang-benang tersebut akan dicelup sesuai dengan warna yang telah
diintruksikan oleh Sahat Tambun selaku pemilik. Kulitas warna benang yang
digunakannya tidak mudah luntur jika terkena air serta memudar akibat terpaan
sinar matahari.
Setelah selesai dicelup, benang akan dibiarkan mengering dan kemudian
dibawa ke bagian penggulungan benang. Mereka menguraikan benang-benang
yang telah dicelup warna sebelumnya sehingga membentuk gulungan-gulungan
kecil yang sesuai untuk digunakan dalam penenunan. Bagian penenunan
Gambar 3.4 : Proses penggulungan benang
(Sumber : Dokumentas Pribadi)
Penenun ini merupakan penentu bagaimana produk uis ini dapat
menghasilkan produk yang berkualitas dan memenuhi keinginan palanggan atau
pemesan. Mereka harus menguasai ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin). Sahat
Tambun juga memperbolekan para penenunnya mengerjakan di rumah
masing-masing dengan member bahan baku serta meminjamkan ATBM nya. Selain
penenun ada juga bagian teknisi, dimana mereka bertugas untuk memperbaiki
ATBM sebagai alat utama produksi jika terjadi kerusakan saat dilakukan Proses
Gambar 3.5 : Evolusi alat tenun dari gedongan, ATBM, ATBM Jacquart dan alat
tenun semi mesin
(Sumber : weavolution.com, gutenberg.org danmainlesson.com)
Sahat Tambun juga mampu mengembangkan kemampuannya untuk
memproduksi sendiri alat tenunnya. ATBM hasil produksinya bisa digunakannya
sendiri, atau dijual ke para pengrajin uis dan ulos diluar wilayah Kabanjahe,
seperti ke Parapat dan Samosir. Seiring perkembangan teknologi, ATBM ini
kemudian ditingkatkan lagi kemampuanya dengan adanya sistem Jacquart (zakat).
Alat tenun Jacquard ditemukan oleh seorang perajin topi jerami yang bernama
Joseph Marie Charles (Jacquard) pada tahun 1804 - 1805. Usaha Trias Tambun
ini sekarang memilki 2 buah ATBM jacquard, dia secara langsung memesan dari
adalah menghasilkan berbagai jenis ragam hias dalam struktur yang kaya dan
beraneka ragam bentuk.
Gambar 3.6 : ATBM jenis Jacquart
(Sumber : Dokumentas Pribadi)
ATBM Jacquard ini dijalankan dengan sistem kartu yang dilubangi kartu
Braille yang memilki algoritma pola penenunan. Kartu-kartu yang terbuat dari
kertas duplex tersebut memberi perintah pada mesin untuk menghasilkan kain
dengan ragam hias yang tidak bias dihasilkan oleh gedokan dan ATBM biasa.
Alat tenun Jacquard memiliki sistem penggerak independen pada setiap helai
benangnya, sehingga dapat menghasilkan berbgai struktur ragam hias yang sangat
Gambar 3.7 : Sahat Tambun beserta produk Uis modifikasinya (Sumber : Sahat Tambun)
Seiring dengan perkembangan zaman di bidang fashion, Trias Tambun
juga memproduksi barang-barang fashion wanita berbahan dasar uis Karo, seperti
dompet dan tas. Barang-barang fashion hasil modifikasi uis ini dijual sebagai
karya inovasi para penenun di gallerynya yang terletak di jalan Sisingamangaraja
no. 1 Kabanjahe.
Selain Trias Tambun, ada seniman musik Karo yang bernama Averiana
Barus yang ikut memodifikasi uis Karo. Dia mengembangkan usaha kerajinan
kreatif dalam jenis fashion baik untuk wanita dan pria dengan memanfaatkan uis
Gambar 3.8 : Averiana Barus dengan karya fashionya berupa modifikasi Uis Karo (Sumber : instagram Uwish Details)
Dengan memilki merk label Uwish Details yang merupakan gabungan dari
"you wish" “uis” dan “detail” ia memproduksi modifikasi uis Karo dalam bentuk,
dompet, tas, dasi, kalung, bantal sofa hingga batik bermotif uis Karo. Semua
produk yang dia pasarkan merupakan produk hasil kerajinan tangan. Awalnya dia
hanya memanfaatkan kain tenun uis Karo yang sudah usang untuk digunakan
sebagai bahan untuk merajut produk aksesoris busana. Kemudian dia
memamerkan karyanya tersebut di berbagai media sosial seperti Instagram.
Dengan semakin banyak produk yang dia pamerkan, semakin ramai pula calon
pembeli yang menanyakan ketersediaan produk modifikasi uis Karo tersebut.
Sekarang dia pun semakin serius menggarap produk aksesoris busana dan kini
memasok bahan uis Karo dari pengrajin tenun di sekitar kota Medan.
Produk fashion hasil modifikasi uis Karo yang ia pasarkan tidak terlalu
mengedepankan nilai-nilai filosofis uis Karo, tetapi sebagai seorang seniman
produknya. Kini produk Uwish Details banyak tersebar ke daerah yang relatif
banyak dihuni oleh masyarakat Karo perantauan, seperti Riau, Jakarta, Bandung,
Papua termasuk luar negeri seperti belanda, Malaysia dan jepang.
Komodifikasi budaya terjadi pada proses produksi uis Karo. Proses
penenunan kini dibuat dengan sistem industri. Motivasi para pelaku di penenunan
yang semakin business oriented. Komodifikasi dapat dilihat disini yaitu
mengubah nilai pada suatu produk yang tadinya hanya memiliki nilai guna
kemudian menjadi nilai tukar (nilai jual) di mana nilai kebutuhan atas produk ini
ditentukan lewat harga yang sudah dirancang oleh produsen (Mosco, 2009).
Pada kasus ini, Tenun Trias Tambun menawarkan harga yang bervariasi
untuk setiap kain tenun yang mereka hasilkan berkisar antara harga Rp 250.000
hingga Rp 1.000.000 untuk setiap helai. Harga ini tidak mengikuti harga uis Karo
yang ada di pasaran. Harga tersebut dipengaruhi faktor lamanya pengerjaan,
tingkat kerumitan hingga jenis bahan yang dipakai. Kini para pengrajin uis Karo
semakin semakin pragmatis dan mengedepankan nilai-nilai ekonomi.
Perkembangan zaman yang membawa mereka mengerti tentang nilai-nilai
ekonomi, sehingga membuka cakrawala baru bagi pengrajin uis Karo.
3.2 Komodifikasi Nilai Artistik
Komodifikasi merupakan suatu Proses memodifikasi suatu produk
tradisional (uis Karo) dengan mengalami perubahan ukuran, bentuk (tradisional
menjadi modern), dan penyederhanaan, sesuai dengan permintaan konsumen dan
merupakan upaya untuk menjadikan segala sesuatunya (kebudayaan) untuk
meraup keuntungan. Komodifikasi nilai (content) menjelaskan bagaimana nilai
kebudayaan yang diproduksi menjadi komoditas yang ditawarkan.
Proses komodifikasi ini menghasilkan berbagai bentuk produk baru yang
berbeda dari bentuk aslinya. Proses perubahan bentuk tersebut muncul dari
inovasi dan kreatifitas desainer, konsumen, hingga industri itu sendiri, sebagai
suatu karya seni yang memiliki nilai ekonomi. Perubahan bentuk tersebut harus
memilki nilai yang bisa dijual atau diperdagangkan, nilai tersebut adalah nilai
artistik dan nilai kultural. Nilai artistik (artistic value) adalah nilai yang dapat
memanifestasikan suatu seni atau keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan
dan nilai budaya (cultural value) adalah nilai yang dapat memberikan atau
mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, atau
kebudayaan.
Jika dikaji dari nilai seni rupa, uis Karo merupakan sebuah karya tenun
ikat yang memiliki nilai kebudayaan, dan nilai artistik. Nilai artistik uis Karo uis
Karo merupakan suatu objek seni rupa yang bisa dilihat dan dikomodifikasi dari
segi modifikasi, bentuk fisik, motif, warna hingga penggabungan dengan unsur
yang lain. Nilai kebudayaan uis Karo merupakan nilai-nilai keluhuran yang
Gambar 3.9 : Nilai artistik Uis Jujung Junjungen (Karya Stilisasi Penulis)
Gambar 3.10 : Nilai artistik Uis Gobar Dibata (Karya Stilisasi Penulis)
Gambar 3.12 : Nilai artistik Uis Gatip Gewang (Karya Stilisasi Penulis)
Gambar 3.13 : Nilai artistik Uis Beka Buluh (Karya Stilisasi Penulis)
Gambar 3.15 : Nilai artistik Uis Julu (Karya Stilisasi Penulis)
Gambar 3.17 : Nilai artistik Uis Nipes Merah (Dokumen Penulis)
Gambar 3.18 : Nilai artistik Uis Nipes Cokelat (Dokumen Penulis)
Uis Karo modifikasi adalah uis yang pengerjaannya dipadu dengan hiasan
atau unsur lainnya sehingga tidak lagi murni tenunan. Proses modifikasi pada uis
yang terjadi saat ini telah dilakukan dari penenun, pengguna hingga desainer.
Modifikasi dapat diartikan sebagai bentuk perubahan dan penyesuaian bentuk dari
bentuk asal pada bentuk lain yang sesuai dengan kebutuhan.
Modifikasi yang dilakukan pada uis Karo tidak saja terbatas pada ukuran,
motif, warna tetapi juga jenis kain tenun yang dihasilkan semakin bervariasi
selendang atau sarung umumnya memiliki unsur-unsur tambahan seperti hiasan
berupa bordiran, tambahan renda, sulaman, manik-manik, tulisan, dan berbagai
jenis kain.
Bapak Sahat Tambun adalah salah seorang yang memodifikasi uis Karo
dengan menambahkan unsur lain ke dalam uis seperti ragam hias khas Karo. Dia
berpendapat “Orang bosan dengan motif monoton, dan uis kini bisa dibuat
dengan aneka warna dan disain sesuai selera” Dia mengembangkan berbagai
ragam hias ke dalam uis Karo bersama Bapak Adrianus Ganjangen Sitepu (A.G.
Sitepu).
Dengan memilki mesin ATBM jenis Jacquard yang dia beli dari
Pekalongan, dia memberi ragam hias asli Karo seperti, ragam hias alas (indung
bayu-bayu), ragam hias lipan nangkih tongkeh, ragam hias lukis para-para/ gundur mangalata dan ragam hias lainnya ke dalam uis Karo. ATBM jacquard
memiliki sistem penggerak independen pada setiap helai benangnya, sehingga
mampu menghasilkan struktur ragam hias yang beragam. Hasil ragam hias dari
ATBM Jacquard dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Ragam hias ampik-ampik alas (indung bayu-bayu) merupakan gabungan
dari ragam hias bunga gundur, duri ikan, tampune-tampune, paku-pakau,
Gambar 3.19 : Penerapan Ragam hias ampik-ampik alas pada Uis Nipes (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Ragam Hias lipan nangkih tongkeh ini merupakan motif asli suku Karo
yang bersal dari bentuk hewan lipan atau kaki seribu. Ragam hias ini
melambangkan lipan atau kaki seribu yang sedang merayap pada kayu yang sudah
ditebang. Ragam hias ini biasanya diaplikasikan ke melmelem yaitu dapur rumah
adat dan gantang beru-beru.
Perubahan pada ragam hias juga terjadi pada perjalanan uis. Dahulu uis
Karo hanya bermotif garis-garis geometris, sekarang para penenun mencoba
mengeksplorasi lebih dalam banyak ragam hias yang ada disekitar. Penenun
memilih ragam hias yang biasanya diterapkan pada bangunan dan alat-alat
perkakas masyarakat Karo dahulu ke bentuk uis Karo tersebut.
Selain ornamen, pemberian material lain seperti tulisan juga diterapkan
pada uis Karo. Kata-kata yang terdapat pada uis Karo ini diharapkan menjadi
kata-kata berkat buat si pemakai uis. Kata-kata yang tertulis di uis tersebut juga
mampu mewakili identitas sang pemakai.
Gambar 3.21 : Uis Nipes dengan penambahan tulisan Mejuah-juah dan Tanah
Karo Simalem
(Sumber : Legacy in Cloth, Batak textile of Indonesia: Catalog 2.8)
Seiring dengan perkembangan zaman, bahan baku uis Karo tidak lagi
berasal dari kapas melainkan dari benang yang yang diimpor dari Cina dan India.
bahan baku benang pakan dan lungsi juga ikut mengalami perkembangan, yang
Dengan masuknya bahan-bahan impor, warna benang pun semakin bercahaya dan
banyak pilihan. Sehingga uis Karo pun memilki banyak sekali warna. Salah
satunya adalah uisnipes ragi barat yang seharusnya berwarna merah dimodifikasi
menjadi warna hitam.
Gambar 3.22 : UisNipes Ragi Barat dengan warna hitam dan coklat (Sumber : Uwish Details)
Corak warna uis nipes mulai mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Hal ini disebabkan oleh masyarakat Karo yang memesan uis nipes ingin warna
dan motif yang beda dengan motif yang lain. Penenun berpendapat, semakin sulit
motif yang dikerjakan, maka semakin mahal harga uis nipes tersebut. Modifikasi
uis nipes sekarang ini juga menandakan status orang jika seseorang mendatangi
suatu pesta adat. Jenis warna yang ada pada uis nipes juga memiliki fungsi
sendiri-sendiri, seperti warna agak kegelapan biasanya dipakai untuk acara duka,
sedangkan warna ceria seperti warna merah lebih sering dipakai ke pesta
Modifikasi uis Karo secara ekstrim juga dilakukan oleh
masyarakat-masyarakat kreatif seperti Averiana Barus pada karya-karyanya di Uwish Details.
uis Karo kini yang telah mereka hasilkan menjadi barang pakai seperti bahan jas,
rompi, syal, gaun terusan wanita, kain gorden, bed cover, taplak meja, bakal baju,
hiasan dinding, aneka tas, dompet, topi, serta aneka cindramata fashion lainnya.
Gambar 3.24 : Modifikasi Uis Karo jenis Uis Julu (Sumber : Berbagai Sumber)
Dalam hal modifikasi ini, uis Karomerupakan artefak budaya yang dapat
dikembangkan sebagai modal awal pada sebuah produk ekonomi kreatif, dimana
uis merupakan bentuk kekayaan intelektual secara kebudayaan yang dapat
dirubah, reka bentuk dan dikembangkan menjadi materi ekonomis yang berguna
bagi produsen dan konsumen.
Gambar 3.26 : Ilustrasi sederhana komodifikasi bentuk pada Uis Karo (Sumber : karya penulis)
Jenis uis Karo yang banyak dimodifikasi adalah beka buluh dan uisnipes.
Beka buluh banyak dimodifikasi karena posisi beka buluh diletakkan pada kepala
yang melambangkan kepemimpinan. Beka buluh ini juga memiliki khas warna
gembira, tegas dan elegan. Kain adat ini merupakan simbol wibawa dan tanda
kebesaran bagi seorang Putra Karo. Sedangkan uis nipes banyak dimodifikasi
karena uis nipes merupakan uis yang paling banyak memiliki corak dan warna.
Uis nipes juga memilki kesan elegan karena uis ini banyak dimodifikasi dan
Modifikasi uisnipes dapat kita lihat dari warna yang lebih bervariasi atau
beranekaragam, sehingga uis ini lebih berkreasi dan menarik. Warna yang
berkembang pada masa kini bernuansa cerah dan meriah, yakni: warna merah,
kuning, hijau, orange, coklat, ungu, dan emas.
3.3 Komodifikasi Nilai Kebudayaan
Dalam kehidupan manusia di dunia ini, ada sebuah aturan yang di sepakati
bersama untuk membatasi suatu tindakan, gerak, langkah dan cara pada setiap
kegiatan manusia. Aturan-aturan tersebut sering disebut dengan istilah pakem,
jadi pakem merupakan suatu ketetapan atau aturan yang sudah ada sejak nenek
moyang kita untuk berfikir dan berperilaku dalam bermasyarakat. Aturan ada
terbentuk dari latar belakang sejarah, norma-norma yang melekat, pandangan,
pengalaman dan praktek hidup dari masyarakat penciptannya. Setiap suku
memilki pakem yang berbeda dengan suku lainnya.
Uis Karo merupakan sebuah karya tenun ikat yang memiliki nilai
kebudayaan, Nilai kebudayaan uis Karo merupakan nilai-nilai keluhuran adat
yang menjadi panutan dalam menuntun masyarakat Karo dalam memproduksi dan
pemakaiannya. Setiap jenis uis Karo memiliki masing-masing nilai kebudayaan
yang telah ditetapkan oleh leluhur masyarakat terdahulu berdasarkan konsep
ruang dan waktu sebagai kearifan lokal masyarakat Karo. Nilai kebudayaan
tersebut bias dilihat dari aturan-aturan dalam bentuk, fungsi, cara pemberian dan
Seiring dengan perkembangan zaman, aturan-aturan ini semakin memudar,
menghilang seiring dengan perubahan struktur masyarakat Karo yang semakin
larut dalam modernisme. Anak-anak muda suku Karo tidak begitu hapal dengan
jenis dan fungsi uis Karo dalam melakukan suatu adat, baik pernikahan, mengket
rumah atau pesta adat lainnya. Kini mereka memakai uis Karo menyesuaikan
dengan perkembangan zaman dengan mengadopsi gaya-gaya terbaru dalam
memakai selendang/kain dengan alasan kekinian.
Gambar 3.27 : Modifikasi aturan/cara memakai uis dengan unsur kekinian
Gambar 3.28 : Modifikasi aturan/cara memakai uis dengan unsur kekinian
dengan istilah blazer-ed, batik-skirt dan lengthy warmer (Sumber : Thierry Samuel)
Gambar 3.29 : Modifikasi aturan/cara memakai uis dengan unsur kekinian
dengan istilah men's bandana, tippy front dan the tassel (Sumber : Thierry Samuel)
Dalam acara adat tradisional, sekarang masyarakat Karo cenderung
menyerahkan segala keperluannya kepada desainer yang bertugas menjahit baju
buat para pengantin. Masyarakat Karo hanya mencoba menuruti aturan-aturan
tanpa mengetahui fungsi-fungsi uis tersebut. Masyarakat Karo lebih suka
menyesuaikan dengan nuansa atau tema-tema terupdate yang diinginkan oleh
pemakai busana tradisonal Karo tersebut tanpa memperhatikan motif dan
ketepatan penggunaaan sesuai fungsinya.
Gambar 3.30 : Perubahan nilai-nilai kebudayaan dalam ngosei adat. (Sumber : Saksi Sebayang dan Cornelius Ginting )
Hajjah Nurlaily Qelana, merupakan sesepuh bidan pengantin dan pemilik
Rumah Busana Adat Nusantara Diurna, berpendapat pengantin Karo baik wanita
dan pria memakai uis Karo untuk bawahan dan selendang, bukan songket.
Songket merupkan budaya melayu dan tidak dikenal dalam tradisi busana
tradisional masyarakat Karo. uis Karo yang dipakai pada pengantin wanita
harusnya berjumlah 3 lapis dan dililit putar ke seluruh panggul. Bukan sekadar
digantung di pinggang samping. Kini hampir semua pengantin tradisioanl Karo
memakai songket sebgai selendang pada pernikahan mereka.
Dia juga berpendapat hal ini terjadi akibat bebasnya berkreasi dan
modifikasi busana adat tradisi saat ini oleh kaum muda. Idealisme anak muda
mudah diikuti masyarakat, sehingga masyarakat tidak paham busana adat
tradisional yang masih asli.
Di zaman globalisasi ini, pengrajin dan desainer saat ini memiliki
keleluasaan untuk berkreasi terhadap uis Karo. Mereka mampu menangkap apa
kemauan pasar dan trend yang sedang hangat. Beberapa bentuk produksi berubah
dalam Proses dan produk yang dihasilkan. Bentuk visual merupakan aspek paling
fundamental dalam sebuah desain. Sekarang ini uis Karo didesain secara radikal
dalam bentuk kemeja, jaket, sandal, gorden, penutup meja, dompet, bed cover,
dan fashion lainnya. Ini merupakan salah satu pola perindustrian dengan
menggunakan budaya menjadi komoditas.
Pada era klasik/pramodernisme, segala proses produksi berpola “form,
follows, meaning “ yang berarti segala bentuk hasil produksi mengikuti makna
dari produk tersebut. Contohnya uis Karo ditenun untuk pakaian atau penghangat
tubuh. Dengan berkembangnya perindustrian di era modernisme, terjadi gejala
baru, yakni “form, follows, function” artinya segala bentuk hasil produksi dibuat
berdasarkan fungsinya. contohnya uis Karo ditenun dengan beberapa fungsi
khusus seperti uis buat pernikahan, uis buat acara duka dan uis Karo lainnya.
Pada masa postmodern ini, industri uis Karo termasuk ke dalam pola
“form, follows, fun”, yang berarti segala bentuk hasil produksi harus dapat
menyenangkan si pemakai atau konsumen. Contohnya uis Karo diubah menjadi
barang fashion seperti rok, kemeja, jas, dan fashion lainnya. Bentuk-bentuk hasil
produksi ini hanya menawarkan kesenangan bagi pemakai, terjadilah industri pola
dengan intensitas fun yang ditawarkannya. Nilai-nilai pakem, makna dan fungsi
tidak lagi menjadi prinsip dalam desain posmodernime. Posmodernisme
mempermainkan keseriusan ekplorasi formal, dan estetika produksi-massa yang
baku, desain posmodernisme juga mengambil dan mengaduk-aduk gaya dari masa
lalu.
Gambar 3.31 : Modifikasi yang tidak memilki nilai kesakralan asli uis Karo (Sumber : Sora Surilo)
Pada masa industri posmodern, desainer berdiri di posisi sentral dalam
proses komodifikasi uis Karo. Desainer dengan kreatifitasnya mampu memberi
ide-ide perubahan ke dalama masyarakat tanpa memperdulikan apakah ide
tersebut melanggar pakem atau tidak. Desainer mampu membuat objek
kebudayaan menjadi objek kesenangan belaka (fun) contohnya, modifikasi uis
Gambar 3.32 : Pola “form, follows, fun” pada pemakaian uis Julu (Sumber : Uwish Details)
Menurut Dobie (2009), komodifikasi merupakan pengaruh paham
kapitalisme pada psikis konsumen dalam menilai barang bukan lagi dari
kegunaannya (use value), namun dari merek (sign value) dan nilai tukarnya
(exchange value). Membeli kemeja uis Karo bukan karena semata-mata dipakai
untuk menjadi pakaian, tapi karena kemeja tersebut ditenun. Kita membeli jas
tersebut bukan karena hanya berguna saja, namun untuk tujuan utama adalah
mengesankan orang lain.
3.4Komodifikasi Distribusi
Distribusi merupakan suatu proses yang menunjukkan penyaluran hasil
produksi dari produsen sampai ke tangan masyarakat konsumen. Produsen artinya
orang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan produksi. Konsumen
artinya orang yang menggunakan atau memakai barang/jasa dan orang yang
melakukan kegiatan distribusi disebut distributor. Distribusi merupakan suatu
peran distribusi barang dan jasa dapat sampai ke tangan konsumen. (Griffin,
2006).
Pada zaman modern ini, pedangang yang menjual uis Karo masih
menjalankan sistem penjualan secara tradisional. Penjual biasanya lebih bersifat
menunggu datangnya pembeli ke lapak-lapak dagangan mereka. Salah satu pasar
tradisional di tanah Karo yang terkenal dan menjual uis Karo adalah Pusat pasar
kabanjahe. Biasanya penualan uis Karo ini ramai ketika hari senin, yaitu hari
pasar menurut masyarakat Karo. Selain itu, sentra penjualan uis Karo di sumatera
utara terdapat di Pusat Pasar, Medan Mall dan Pajak Horas di Siantar. Sentra
penjualan uis Karo biasanya bersamaan dengan penjualan Ulos Batak.
Produk uis Karo dapat dipasarkan dengan memakai saluran distribusi
langsung di pasar. Distribusi langsung berarti produk yang dihasilkan langsung
dijual pada konsumen. Bentuk distribusi langsung ini merupakan bentuk
komunikasi lansung dari pedagang dengan pembelinya di pasar tradisional.
Uis yang dijual pada pasar tradisional, disusun bertumpuk-tumpuk di
depan lapak dan didalam lapak. Walaupun mereka memilki lemari kaca, uis
tersebut hanya disusun bertumpuk-tumpuk dengan memanfaat kan sisa ruang.
Pada tiap helai uis, tidak terdapat price tag sehingga Pembeli tidak mengetahui
harga asli. Oleh sebab itu komunikasi menjadi sangat penting dalam pembentukan
Gambar 3.33 : Suasana penjualan uis Karo di pajak kain Kabanjahe (Sumber : Dokumetasi Pribadi)
Pada distribusi tenun Sahat Tambun memiliki sistem distribusi langsung
penjualan yakni pada usaha penenunan dan sebuah gallery yang bernama Galleri
Tenun Trias Tambun, Kedua lokasi tersebut menjadi produksi sekaligus tempat
penjualan. Lokasi usaha penenunan ini berada pada Jalan Sudirman No. 65
Kabanjahe dan lokasi gallerinya terdapat di.jalan Sisingamangaraja No. 1.
Wilayah distribusi utama pemasaran uis Karo tersebut ini berada di pusat kota
Kabanjahe, sehingga hanya mampu menjangkau perdagangan di wilayah
Kabanjahe saja. Para penenun juga dapat ikut serta dalam mendistribusikan uis
Karo dengan bapak Sahat Tambun beserta istrinya Christina br Barus.
Dalam mengembangkan usahanya, Trias Tambun juga gencar melakukan
promosi. Mereka memilih melakukan promosi jenis mouth to mouth (mulut ke
mulut) dibandingkan dengan teknik promosi yang lain. Kelebihan promosi mouth
to mouth ini irit biaya, bahkan bisa dengan tanpa mengeluarkan biaya. Dengan
jenis promosi ini, pelanggan yang dating menjadi orang yang berperan
pelanggan yang setia hingga komunitas tersebdiri. Selain itu sekarang mereka
mampu membangun sebuah webite uiskaro-triastambun.com mempromosikan
uasaha uis Karo kepada dunia luar.
Gambar 3.34 : Penjualan modifikasi uis Karo secara online (Sumber :qlapa.com dan uisKaro-TriasTambun.com)
Pameran kerajinan juga mampu mempromosikan hasil produksi mereka.
Contohnya Trias Tambun, produk mereka telah mengikuitu berbagai Exhibitions
pameran tenun kelas nasional seperti :
1. SMESCO festival di gedung Smesco Jakarta - Kementerian Koperasi dan
UKM 26-30 Agustus 2004
3. Pekan Produk Budaya Indonesia JCC 11-15 Juli 2007,
4. Gelar Tenun Tradisional Indonesia, JCC 12-16 desember 2007,
5. Adikriya Indonesia Gelar Karya
Dalam hal ini media sangat berperan tinggi dalam mempromosikan
dagangannya kepada konsumen. Keunggulan media sosial dalam pemasaran
dibanding media promosi laiinya adalah
1. Membantu mencari target konsumen lebih efektif
2. Menemukan konsumen baru dan memperluas target pasar
3. Memudahkan konsumen untuk memberikan masukan secara langsung
4. Mengembangkan target pasar
5. Melihat usaha yang sama pada competitor
6. Membagikan informasi dagangan lebih cepat
7. Membantu konsumen menjangkau bisnis anda
8. Lebih dekat dengan konsumen
9. Biaya Yang Minim
Para pelaku usaha ini juga rutin melakukan penjualan uis Karo melalui
jasa website e-commerce seperti olx, berniaga, bukalapak, tokopedia, dan forum
Perbedaan uis Karo Tradisonal dan uis Karo Modifikasi
uis Karo Tradisonal Modern
Alat Tenun Gedongan ATBM
Cara pembuatan Tradisional Modern, Dijahit, Dilem
Bahan Dari alam Benang import, Karet, Kulit, Katun
Jenis Ragam
Hias hanya berbentuk geometris bermacam-macam, perpaduan dengan ragam hias tradisional Karo
Jenis Warna berdasarkan aturan adat berwarna-warni
Bentuk hanya sebatas kain Bentuknya bermacam-macam
Fungsinya hanya sebagai kain adat Pemakaiannya sebagai aksesoris, fashion
Pemasarannya pasar tradisional modern
Tabel 3.1 : Tabel Perbedaan uis Karo Tradisional dan uis Karo Modifikasi
3.5Komodifikasi Uis Karo sebagai karya Estetika Postmodern
Komodifikasi uis Karo merupakan sebuah fenomena perubahan yang
terjadi pada uis dalam bentuk warna, motif dan bentuk. Komodifikasi pada
umumnya dilakukan oleh desainer uis dengan mencampurkan bahan-bahan diluar
bahan asli uis Karo yang disebut dengan “kolase”. Kolase merupakan tehnik
pembuatan sebuah karya seni rupa dua dimensi yang menggunakan berbagai
macam paduan bahan. Ide mencampurkan uis Karo sebaga produk budaya
Pada era klasik/pramodernisme, segala proses produksi berpola “form,
follows, meaning “ yang berarti segala bentuk hasil produksi mengikuti makna
dari produk tersebut. Contohnya uis Karo ditenun untuk pakaian atau penghangat
tubuh. Dengan berkembangnya perindustrian di era modernisme, terjadi gejala
baru, yakni pola “form, follows, function”, artinya segala bentuk hasil produksi
dibuat berdasarkan fungsinya. contohnya uis Karo ditenun dengan beberapa
fungsi khusus seperti uis buat pernikahan, uis untuk acara duka dan acara adat
lainnya.
Pada masa postmodern ini, industri uis Karo termasuk ke dalam pola
“form, follows, fun”, yang berarti segala bentuk hasil produksi harus dapat
menyenangkan si pemakai/konsumen. Contohnya uis Karo diubah menjadi barang
fashion seperti rok, kemeja, jas, dan fashion lainnya. Bentuk-bentuk hasil
produksi ini hanya menawarkan kesenangan bagi pemakai, terjadilah industri pola
baru yang tidak hanya menawarkan barang produksi, namun barang produksi
dengan intensitas fun yang ditawarkannya. Nilai-nilai budaya, makna dan fungsi
tidak lagi menjadi prinsip dalam desain posmodernime. Posmodernisme
mempermainkan keseriusan ekplorasi formal, dan estetika produksi-massa yang
baku (pakem), desain posmodernisme juga mengambil dan mengaduk-aduk gaya
dari masa lalu.
Menurut Charles Jencks, dalam buku What is Post-modernism? New York:
St Matin’s Press, Posmodernisme adalah campuran antara macam-macam tradisi
dan masa lalu. Posmodernisme adalah kelanjutan dari modernisme, sekaligus
banyaknya pilihan, konflik, dan terpecahnya berbagai tradisi, karena heterogenitas
sangat memadai bagi pluralisme. Piliang (2003) melihat lima idiom wacana
estetika postmodern adalah; pastiche, parodi, kitsch, camp, dan skizofrenia.
Konsep-konsep estetik tersebut secara luas telah digunakan sebagai model
pemuatan makna-makna, dan juga anti makna.
Gaya desain dan landasan filsafat postmodern adalah :
1. Bukan berdasarkan dogma
9. Hilangnya batas antara high dan mass culture
10.Melayani tuntutan komersial
11.Selalu berhubungan dengan sejarah seni dan desain
12.Bentuk klasik dibungkus bentuk tradisional mutakhir
Postmodernisme adalah kondisi ketika kebudayaan memalingkan mukanya
ke masa lalu, lewat kecenderungan pastiche yaitu istilah yang mengacu pada
pengertian keberadaan pinjaman (terutama) unsur-unsur pada seni dan budaya
masa lalu (Piliang, 2003: 209). Suatu pinjaman yang dimaksud dapat berupa
estetika itu sendiri. Hasil dari pinjaman dari masa lalu tersebut, dapat ditegaskan
bahwa pastiche merupakan suatu bentuk imitasi murni, tiruan, atau duplikasi
sesuatu dari masa lalu.
Postmodern merayakan warisan-warisan budaya masa lalu dalam rangka
mengangkat dan mengapresiasinya (Pilliang, 2010). Pastiche mengambil
bentuk-bentuk teks atau bahasa estetik dari berbagai fragmen sejarah, sekaligus
mencabutnya dari semangat zamannya dan menempatkannya kedalam konteks
semangat zaman masa kini. pastiche merupakan imitasi murni, yang menjadikan
desain kehilangan pamornya, dan yang ada hanyalah budaya desain yang
dijiplaknya. Karena itu pula, pastiche juga dapat disebut satu bentuk parodi
sejarah atau menurut Umberto Eco “perang terhadap sejarah” (Piliang, 2003).
Komersialisasi budaya merupakan suatu proses membuka pintu lebih luas
kepada desainer-desiner. Desainer memiliki kebebasan berekspresi dengan
memodifikasi uis Karo. Desainer modifikasi ini bias disebut dengan seniman
postmodern. Mereka mampu membuktikan, bahwa tradisi dan tren dapat berjalan
berdampingan dengan suatu karya modifikasi menarik. Karya modifikasi uis Karo
adalah termasuk karya pastiche (peminjaman unsur-unsur budaya masa lalu),
miskin orisinalitas, bersifat memakai, dan mengimitasi ide yang lain. Penggunaan
bakal uis Karo sebagai bahan suatu karya adalah sebuah karya pastiche, di mana
keberadaan uis Karo merupakan sebuah karya yang memilki bentuk, warna dan
ragam hias yang sudah pernah ada.
Pengulangan dalam dunia fashion menjadi bagian dari trend, dan teks baru
Pengulangan dalam aplikasi kontemporer mengakulturasi unsur lama dengan
semangat kebaruan yang berupa gagasan, kemajuan teknologi
visualisasi/pencitraan, dan menimbulkan kesan keluar dari paritas, dikemas
menjadi satu kesatuan. Contohnya seperti pada produk fashion komodifikasi uis
Karo yaitu baju kemeja hasil modifikasi uis Karo yang memakai ragam hias uis
Karo. Kemeja ini memilki kesan, makna dan pesan pencitraan visual yang
memunculkan kebudayaan asli Karo yang sejatinya tidak dipakai pada kemeja.
Gambar 3.35 : Semangat pastiche pada kemeja mamre GBKP (Sumber : Nensi Depari)
Seni posmodern memberi pengertian, memungut masa lalu sebgai
penolakan atas modernsime dunia sekarang ini. Seni postmodern memperlihatkan
gejala simplifikasi, daur ulang gaya, serta pembauran batas batas antara seni dan
budaya massa. seni postmodern pada dasarnya bebas dimasukkan berbagai macam
kondisi, pengalaman, dan pengetahuan jauh melampaui obyek yang ada. Bentuk
jas dan dasi dengan motif uis Karo merupakan percampuran dua kebudayaan
seperti budaya barat dan budaya masyarakat Karo. Unsur-unsur dua kebudayaan
Hutcheon (1985) mendefinisikan parodi, sebagai suatu bentuk imitasi,
akan tetapi imitasi yang dicirikan oleh kecenderungan ironik. Di dalam lingkup
desain, parodi adalah desain yang diciptakan untuk tujuan mengekspresikan
perasaan tidak senang, tidak puas, tidak nyaman berkenaan dengan intensitas gaya
atau karya masa lalu yang dirujuk. Parodi merupakan bentuk representasi
pelencengan, penyimpangan, dan plesetan makna representasi palsu (false
representation). Piliang (2003) menekankan bahwa parodi sebagai satu bentuk
diskursus selalu memperalat diskursus pihak lain, untuk menghasilkan efek
makna yang berbeda. Sebagai satu bentuk representasi palsu, dalam diskursus
parodi terdapat dua suara yang berperan. Dua suara ini tidak saja
direpresentasikan dalam diskursus parodi, akan tetapi juga menunjuk pada dua
konteks pengungkapan yang berbeda, yaitu pengungkapan yang ada sekarang dan
sebelumnya. Pengungkapan yang terdahulu digunakan oleh seniman dan desainer
untuk tujuan ekspresinya.
Karya-karya postmodern juga menampilkan produk seni kitsch yang
dianggap selera rendah, sampah artistik. Kitsch' yang didefinisikan sebagai segala
jenis seni palsu (pseudo-art) murahan dan tanpa selera. Kitsch mengadaptasi satu
medium ke medium lain atau satu tipe seni ke tipe lainnya. Kitsch didasarkan
oleh semangat reproduksi, adaptasi dan simulasi. Produksi kitsch lebih didasarkan
oleh semangat memassakan seni tinggi dan membawanya menjadi produksi
massal melalui proses demitoisasi nilai-nilai. Piliang (1999) mengatakan bahwa di
dalam desain produk, banyak didapati penggunaan imitasi bahan yaitu
penggunaan bahan-bahan tiruan untuk memberikan efek dan kesan bahan alamiah.
Produk-produk komodifikasi uis karo juga banyak memakai bahan-bahan bukan
asli tenun dan didesain hingga memberikan kesan tradisional.
Gambar 3.37 : Gaun dengan kesan Uis Julu yang tidak murni 100% tenun (Sumber : Cinta A&r Karo Rumah Mode)
Camp adalah satu idiom estetik yang masih menimbulkan pengertian
kontradiktif yang sering diasosiasikan dengan pembentukan makna, atau
pembentukan makna, dan di sisi lain justru diasosiasikan dengan kemiskinan
makna. camp merupakan satu model “estetisisme” atau satu cara melihat dunia
sebagai satu fenomena estetik bukan dalam pengertian keindahan atau
keharmonisan, melainkan dalam pengertian “keartifisialan” dan penggayaan.
Camp merupakan jawaban atas kebosanan, dan memberikan jalan keluar
ilusif dari kedangkalan, kekosongan, dan kemiskinan makna dalam kehidupan
modern, melalui cara mengisinya dengan pengalaman melakukan peran dan
sensasi lewat ketidaknormalan dan ketidakorisinilan.
Orisinalitas bukanlah menjadi masalah penting dalam estetika postmodern.
Ini terlihat pada karya-karya champ. Pada karya champ ini terjadi penambahan
atau pengayaan sebagai upaya pengindahan yang dianggap berlebihan. Estetika
champ lebih tertarik pada permainan dari pada makna.
Sebagai satu bentuk seni, camp menekankan dekorasi, tekstur, permukaan
sensual dan gaya, dengan mengorbankan isi. Camp sangat anti dengan sifat
alamiah, yang dalam hal ini bertolakbelakang sengan kitsch. Bentuk-bentuk
komodifikasi uis karo hanya memadukan berbagai ragam hias dengan tenun asli
karo tanpa mengetahui fungsi asli dari ragam hias dan uis tersebut. Hal ini
merupakan suatu bentuk dari teriakan lantang menentang kebosaan formal bahwa
bentuk, fungsi dan desain uis karo dapat bermacam-macam. Salah satu contoh
champ pada komodifikasi uis karo adalah penggunaan uis beka buluh yang
seharusnya hanya boleh dipakai oleh laki-laki, kini wanita juga boleh
Gambar 3.38 : Makna champ pada gaun wanita (Sumber : Sora Surilo)
Menurut Baudrillard, estetika posmodern juga ditandai dengan kekacauan
makna, dimana terjadi keterputusan pada rantai penandaan. Kesimpangsiuran
makna ini disebut schizophrenia, dimana bentuk-bentuk dipermainkan dalam
kerangka perubahan, perceraian, pergeseran, ketimbang keselesaian, kesatuan dan
integritasnya. Dalam dunia kebudayaan dan seni, istilah skizofrenia digunakan
hanya sebagai metafora untuk menggambarkan persimpangsiuran dalam
penggunaan bahasa. Kekacauan pertandaan tersebut ada pada gambar, teks, atau
objek. Pada sebuah karya seni, estetika skizofrenia dapat dilihat dari keterputusan
dialog antar elemen yang tidak lagi berkaitan sesamanya sehingga makna sulit
ditafsirkan (Piliang, 2003).
Skizofrenia merupakan istilah psikoanalisis yang pada awalnya digunakan
untuk menjelaskan fenomena psikis dalam diri manusia (Piliang, 2003). Namun
demikian dalam perkembangannya wacana ini berkembang dan digunakan untuk
(Lacan), fenomena social ekonomi, sosial politik (Deleuze dan Guattari), dan
fenomena estetika (Jameson).
Pada karya seni postmodern, bahasa estetika skizofrenia merupakan salah
satu bahasa yang dominan, meskipun bahasa itu sudah ada pada era sebelumnya.
Dalam diskursus postmodern, estetika skizofrenia dihasilkan dari
persimpangsiuran penanda, gaya, dan ungkapan dalam satu karya, yang
menghasilkan makna-makna kontradiktif, ambigu, terpecah, atau samar-samar
(Piliang, 2003). Salah satu contoh estetika skizofrenia pada komodifikasi uis karo
adalah dipakainya uis karo pada acara-acara bukan adat sehingga menghasilkan
kekacauan makna terhadap uis karo tersebut.
Gambar 3.39 : Makna skizofrenia pemakaian uisbeka buluh sebagai pohon natal
pada gereja GIKI
(Sumber : Nuah Tarigan)
Dari sekian banyak bentuk bahasa estetika yang dipakai dalam karya
postmodern produk modifikasi uis karo, semuanya adalah bentukan dari peniruan
karya postmodern adalah kreatifitas sang desainer supaya desain tidak kehilangan
keotentikan, orisinalitas dan mengahasilkan makna yang terkesan ambigu. Karya
tersebut menggunakan estetika 'peniruan' terhadap gaya desain karya lain yang
dianggap lebih modern, dan menghasilkan bentuk dan makna baru yang bisa
mengundang perdebatan.
Komodifikasi kebudayaan merupakan sebuah seni postmodern yang
Menampilkan representasi budaya kebebasan dan melabrak seluruh konvensi
konvensi seni klasik dan modern. Budaya modern mampu mengungkung
kreatifitas desainer dan berbalik ke titik kulminasinya yang mampu mengusung
peradapan hiperrealitas. Baudrillard menjelasakan estetika postmodern termasuk
bagian estetika yang tidak lagi membedakan mana yang indah mana yang jelek.
Seni postmodern tidak lagi membedakan mana kelihatan, mana yang tersembunyi.
Seni postmodern mengabdikan dirinya pada pusaran ekstasi kegairahan. Seni
postmodern juga selalu menyerap unsur-unsur lain yang saling bertentangan.
Boudrillard berpendapat pelanggaran aturan budaya yang merupakan bagian dari
unsur estetika klasik adalah disengaja untuk memunculkan nilai estetika baru yang
mencirikan gaya postmodern itu sendiri.
Dari penjelasan di atas, maka dapat diartikan bahwa komodifikasi uis Karo
banyak berdampak negatif terhadap kelangsungan aturan-aturan adat yang sudah
diatur oleh leluhur zaman dulu. Aturan dalam memakai uis Karo yang dulu
dianggap keharusan, sekarang tidak lagi menjadi keharusan lagi karena uis Karo
BAB IV
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI
UIS
KARO
4.1 Faktor Internal
Terjadinya komodifikasi uis Karo adalah suatu bagian dari gejala sosial
masyarakat Karo yang semakin modern. Komodifikasi ini tidak saja disebabkan
oleh faktor secara eksternal, tetapi terjadinya komodifikasi uis Karo tersebut juga
disebabkan oleh faktor internal seperti faktor perubahan mata pencaharian, faktor
kebudayaan, tingkat pendidikan hingga motivasi pelestarian uis Karo.
4.1.1 Perubahan Mata Pencarian Masyarakat
Masyarakat Karo khususnya didataran tinggi dikenal subur dan makmur
berkat alamnya. Keadaan geografis yang baik sehingga menjadikan Tanah Karo
subur dan dapat ditumbuhi oleh berbagai macam hasil bumi seperti buah dan
sayuran menyebabkan masyarakat lebih memilih bekerja di bidang pertanian.
Kesuburnya tanah Karo juga berkat keberadaan gunung yaitu seperti gunung
berapi Sinabung dan gunung Sibayak.
Salah satu faktor keberhasilan pertanian tanah Karo adalah sarana dan
prasarana pada pendistribusian hasil pertanian sangat memadai hingga ke daerah
pelosok. Pendistribusian hasil panen di tanah Karo ada sejak zaman Kolonial
Belanda, pada awal tahun 1900an, dimana mereka sudah membangun jalan yang
menghubungkan kawasan pesisir ke tanah Karo untuk memperkenalkan pertanian
Salah satu efek buruk dari keberhasilan pertanian tanah Karo adalah
aktivitas menenun uis ditinggalkan. Masyarakat Karo yang lebih disibukkan
dengan usaha menanam jagung, kentang, jeruk, kopi, tomat, cabe, dan palawija
lainnya. Secara perlahan usaha dan kegiatan dalam menenun uis Karo semakin
hari semakin ditinggalkan. Perempuan Karo yang biasanya bekerja di bidang uis
Karo juga mulai kehilangan kemampuan ketrampilan dan kecekatannya dalam
menenun uis.
Masyarakat Karo lebih memilih bekerja di sektor-sektor seperti pertanian,
perkebunan, hingga menjadi pegawai pemerintah. Menenun pada masyarakat
Karo identik dengan kemiskinan, kampungan, dianggap statusnya rendah karena
di dalam usaha penenunan tidak ada masa depan dengan penghasilan yang sedikit.
Seorang peneliti tenun di Sumatera Utara, Fadlin Muhammad Djafar
mengemukakan hasil penelitiannya di desa Lingga, bahwa di Lingga tidak
terdapat lagi penenun tradisional. Hal ini diperkuat terdapat sisa-sisa alat
penenunan yang tidak lagi dipergunakan sejak 1950an. Seorang antropolog
Kanada, Sandra Niessen, yang 35 tahun meneliti ulos, berpendapat dalam
bukunya bukunya Legacy in Cloth: Batak Textiles of Indonesia (2009) dan Batak
Cloth and Clothing: A Dynamic Indonesian Tradition (1993) disebutkan,
setidaknya sudah seratus tahun orang Karo berhenti menenun uis Karo.
Kini uis Karo sebagai penanda identitas orang Karo ini tidak lagi ditenun
oleh orang Karo sendiri. Uis Karo menjadi peluang rezeki bagi wilayah lain, yang
kuat menjadi rezeki bagi para penenun dari Toba Samosir untuk menenun uis
Karo.
Seiring dengan perkembangan zaman, tanah Karo mengalami pertambahan
penduduk dan membuat lahan pertanian pun semakin sempit. Dengan banyaknya
persaingan di dunia pertanian, maka pekerjaan di luar bidang pertanian mulai
digeluti oleh masyarakat seperti dunia kerajinan, salah satunya adalah Sahat
Tambun yang berkecimpung di dunia penenunan.
4.1.2 Perubahan Sistem Penenunan Tradisional
Masyarakat zaman sekarang memandang pekerjaan menenun identik
dengan kemiskinan, pekerjaan yang ketinggalan zaman. Kini di tanah Karo tidak
ada lagi penenun tradisional, begitu juga di Samosir penenun mulai berkurang,
yang dulu masih ada kini menjadi sepi dan kosong, seorang ahli antropologi dari
Belanda yang sudah melakukan riset di Sumatera Utara selama 35 tahun, Sandra
Niessen mengatakan bahwa pada saat ini tradisi tenun tradisional Karo sudah
berhenti selama seratus tahun. Hal ini juga hampir sama dengan Ulos Batak sudah
hampir punah karena minimnya jumlah penenun baik menenun uis maupun ulos.
Sekarang ini penenun tradisional uis Karo (gedongan) hanya ada di
Samosir. Kismeria boru Sipahutar adalah seorang penenun uis Karo yang masih
aktif di Desa Bonan Dolok Samosir. Dia memiliki kemampuan khsusus menenun
uis Karo jenis jongkit sejak dia masih remaja. Dia mengaku bahwa pekerjaan
bertenun di Samosir sudah menjadi tradisi dilakukan bagi anak perempuan mulai
menenun uis Karo seperti , Desa Lumban Suhi-Suhi, Pangururan, Desa Silalahi
dan desa Paropo di Kabupaten Dairi. Mereka adalah masyarakat Toba yang tetap
eksis dan mengandalkan hidup mereka dari menenun uis Karo yaitu uis gara.
Mereka beranggapan salah satu penurunan produksi uis Karo yang mereka
produksi adalah tidak adanya bantuan atau dukungan pemerintah untuk membina
mereka, termasuk dalam permodalan, sangat minim.
Sekarang ini jumlah penenun yang masih aktif jumlahnya sangat sedikit
dan sebagian besar dari mereka adalah orang yang sudah lanjut usia,
Kenyataannya mereka adalah yang terakhir, tak ada generasi muda yang
menenun. Banyak faktor yang menyebabkan jumlah penenun mulai minim,
seperti kesulitan ekonomi karena menenun identik dengan kemiskinan. Orang tua
zaman sekarang juga tidak mau jika anaknya menjadi seorang penenun. Penenun
juga dianggap suatu pekerjaan yang ketinggalan zaman.
Selain faktor tersebut, alat tenun tradisional yaitu gedokan sudah mulai
terpinggirkan dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Hasil tenun ATBM
mampu menguasai pasar tenun (uis dan ulos) dengan harga bisa relatif lebih
murah dari hasil gedongan sehingga hasil penenun tradisonal gedongan tersingkir.
Gedongan merupakan alat penenunan yang lambat sehingga dimodernisasi
dengan ATBM yang memiliki kemampuan lebih produktif.
4.1.3 Perubahan Tingkat Pendidikan Masyarakat Karo
Pendidikan memiliki fungsi sosial yang menjadi agen perubahan dalam
besar, dengan pendidikanlah martabat masyarakat tersebut dihargai. Begitu juga
dengan orang-orang Karo yang berhasil di dunia pendidikan dan mampu
mengangkat martabat masyarakat Karo tersebut.
Pendidikan juga memilki efek terhadap kebudayaan. Pendidikan juga
dianggap menyebarkan budaya barat atau westernisasi gaya hidup ala Barat
sebagai identitas modern menganggap budaya lokal terbelakang. Semakin maju
pendidikan maka semakin besar pula peluang untuk meninggalkan kebudayaan
tradisional, karena kebudayaan tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman
sehingga unsur nilai kebudayaan tersebut berangsur-angsur hilang.
Ketika pemerintah kolonial berkuasa di tanah Karo (1980-1941), Belanda
melakukan pembangunan dengan membangun jalan, irigasi, rumah sakit hingga
sekolah-sekolah. Sekolah-sekolah tersebut dibangun di Lingga, Raya, Sukanalu,
Tigajumpa, Tigabinanga dan Sibolangit. Sekolah pertama di dataran tinggi Karo,
dibuka pada 19 Oktober 1891 untuk belajar membaca dan menulis di desa Buluh
Awar. Beberapa pemuda Karo yang memilki kepintaran melanjut ke perguruan
tinggi seperti Ngudi Sembiring dari desa Cingkes yang menjadi sarjana tehnik di
Belanda, Djaga Bukit seorang sarjana muda hukum dan Bena Sitepu Pande Besi
Putra Urung Naman yang menjadi sarjana kedokteran penuh putra Karo pertama.
Di era global sekarang ini, masyarakat Karo baik yang tinggal di kota mapupun di
perkampungan berlomba-lomba menyekolahkan anak-anak mereka ke perguruan
tinggi khususnya ke pulau Jawa. Para orang tua ini berharap, kelak mereka lulus
Dengan perkembangan zaman yang semakin pesat, semakin terbuka
pikiran masyarakat dalam mengembangkan budaya Karo dengan cara mereka
masing-masing, salah satunya adalah Tantri Arihta. Dia merupakan seorang
lulusan Kriya Tekstil dan Mode, Institut Teknologi Bandung yang
mengembangkan industri kreatif di bidang busana kontemporer bernuansa uis
Karo. Dia memeksplorasi berbagai ragam hias dengan tren masa kini sebagai
busana yang modern. Dia menciptakan busana kontemporer dengan penonjolan
ragam hias Karo yang memilki citra yang bervariasi, elegan dan kasual. Tantri
berharap uis Karo semakin mengemuka, dan sejajar dengan kain tenun Nusantara
yang sudah lebih dahulu mengemuka seperti songket, ulos Batak, tenun Flores,
tenun Dayak, dan tenun lainnya.
Gambar 4.1 : Tantri Arihta bersama karya fashion busana kontemporer dengan ragam hias tradisional Karo
(Sumber : Tantri Arihta)
Pada tahun 1992 Seorang putra Karo lulusan Institut Teknologi Tekstil
(ITT) Bandung bernama Sahat Tambun, pulang ke kampung halamannya di
Kabanjahe dengan tujuan memodernisasi kerajinan uis Karo agar tetap diminati
oleh masyarakat. Dia membuka usaha Trias Tambun dengan ilmu yang dia
menenun mulai dari alat tenun tradisional gedogan hingga alat tenun bukan mesin
(ATMB ) di Pekalongan (Jawa Tengah) dan Gresik (Jawa Timur.) Selain itu dia
juga mempelajari uis Karo dari para pengrajin tradisional yang masih setia
menenun.
Sahat Tambun merupakan pionir usaha uis Karo di kabanjahe dengan
menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) dalam memproduksi uis Karo.
Berbekal pengalaman dan pendidikan akademis yang dimiliki, dia mampu
membuat inovasi terbaru untuk uis Karo dengan memadukan unsur ragam hias
tradisional Karo menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) Jacquard yang
selama ini tidak bisa diaplikasikan melalui alat tenun gedongan. Selain
memproduksi uis Karo, dia juga memproduksi bakal baju uis Karo hingga fashion
seperti tas dan dompet berlapis uis Karo.
4.1.4 Motivasi Pelestarian Uis Karo
Tren cara berbusana modern pada masyarakat tidak bisa menjadi tolak
ukur kemajuan suatu masyarakat, karena cara berbusana hanyalah sebuah penanda
jati diri sebuah masyarakat yang erat kaitannya dengan ciri budaya masyarakat
tersebut. Cara berbusana modern merupakan hasil dari kebudayaan daur ulang dan
bisa disebut budaya recycling (pengulangan).
Cara berbusana yang telah berkembang di masyarakat era modernisme
merupakan kebudayaan daur ulang fashion era klasik/pramodernisme. Budaya
recycling berasal produk masa lalu diasimilasikan dengan kebaruan yang
rekonstruksi, duplikasi namun juga menciptakan kesan unik untuk menarik
perhatian.
Semangat menghadirkan dan memvisualkan kembali nuansa atau
gaya-gaya lama disebut sebagai recycling. Recycling dalam dunia fashion menjadi
bagian dari trend, dan teks baru untuk menyebutkan sesuatu yang pernah muncul
dan muncul kembali. Recycling dalam aplikasi kontemporer mengakulturasi unsur
lama dengan unsur kebaharuan yang berupa gagasan, kemajuan teknologi
visualisasi, pencitraan, hingga menimbulkan kesan keluar dari paritas, dikemas
menjadi satu kesatuan.
Recycling sebagai gugatan pada modernitas dengan mencari kembali
makna atas eksklusivitas desain, penghargaan setinggi-tingginya atas talenta
seniman/desainer, dan semangat kembali ke alam yang seolah-olah mengkritisi
modernitas dengan pemaknaan kembali sesuai dengan wacana berfikir era form,
follow, meaning.
Dengan mengulang suatu budaya masa lalu, akan menimbulkan kesan
semangat dan historisisme yang mampu menarik perhatian masyarakat. Averiana
Barus yang awalnya memodifikasi uis Karo dengan memanfaatkan uis Karo yang
sudah usang untuk digunakan sebagai bahan dasar produk kerajinannya. Uis Karo
juga diduar ulang oleh Tanta Ginting yang memadukan dengan pakaian modern
seperti kemeja, beskap, dan kimono. Mereka berpendapat bahwa keberadaan uis
Karo yang hanya dipakai dalam acara tradisonal membuat uis Karo jauh dari
4.2Faktor External
Salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya komodifikasi uis Karo
pada masyarakat Karo adalah faktor dari luar atau eksternal. Artinya, perubahan
itu terjadi dalam masyarakat Karo dipengaruhi oleh berbagai budaya-budaya luar
seperti pengaruh kain songket, pengaruh media sosial dan perkembangan industri
kreatif dalam pariwisata.
4.2.1 Pengaruh Kain Songket
Pada masa lalu, pulau Sumatra mendapat julukan sebagai Swarnabhumi
atau swarnadwipa, yang berarti pulau emas. Julukan ini dilihat dari pakaian tenun
masyarakatnya yang gemerlap warna dan kemilau emas yang dipancarkannya.
Songket merupakan kerajinan tradisional khas masyarakat di hampir seluruh
penjuru Sumatera, mulai dari Palembang, hingga ke Sumatra Utara. Songket
disebut juga dengan kain samping, sulam benang emas perak, kain jong sarat,
teluk berantai atau berpakan emas.
Songket identik dengan gemerlap warna dan kilauan emas ditambah
berbagai motif yang indah yang tersusun dan teranyam rapi dengan pola simetris.
Songket memberikan nilai tersendiri yang dapat menujukan nilai estetika ebesaran
bagi orang-orang yang memakainya. Dahulu Songket hanya digunakan oleh,
bangsawan dan kalangan istana. Seiring dengan perkembangan zaman, songket
juga dipakai oleh rakyat biasa.
Kain songket identik dengan pernikahan masyarakat Karo. Menurut Liwen
Kampoh. Kampoh atau sarung merupakan salah satu jenis kain yang sangat erat
dengan acara-acara adat masyarakat Karo baik untuk perempuan maupun
laki-laki. Pemakaiannya bisa dilihat baik di rumah, di ladang maupun di acara pesta
adat. Kampoh dipakai dalam pesta adat seperti diikat diatas kepala (ibulangken),
dipakai membungkus bagian bawah pada laki-laki(isampanken), diikatkan di
pinggang (ibentingken) dan dipakai membungkus kaki pada perempuan (iabitken).
Kampoh merupakan tanda kesiapan seseorang yang dewasa jika dia mau
menghadiri pesta adat. Posisi Kampoh pada badan juga memberikan peran
seseorang (tegun) jika menghadiri pesta adat. Jika dipasangkan pada leher maka
dia adalah Kalimbubu pada pesta tersebut, jika dipasangkan pada leher dia adalah
Kalimbubu dan jika dipasangkan pada kepala (ibulangken) maka dia adalah Anak
Beru. Jumlah istri juga bisa lihat dari jumlah kampoh yang diikatkan/dipakai di
pinggang (ibentingken) seseorang. Pada kehidupan sehari-hari, kampoh dibuat
menjadi sarung, selimut, tudung, kain mengayun anak dan kain menggendong
anak. Kampuh dalam masyarakat Karo menjadi lambang kasih (ate keleng) dalam
sopan santun.
Hampir setiap pernikahan masyarakat Karo, songket dikenakan sebagai
seledang oleh pengantin baik pengantin pria maupun pengantin wanita. Songket
yang dipakai masyarakat Karo baisaya didominasi oleh songket Palembang.
Mayoriotas masyarakat Karo juga tidak mengerti songket yang mereka kenakan,
mereka tidak mengetahui perbedaan songket Palembang, songket Melayu, atau