• Tidak ada hasil yang ditemukan

DISERTASI SPIRITUALITAS UPACARA GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO PADA ERA GLOBALISASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DISERTASI SPIRITUALITAS UPACARA GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO PADA ERA GLOBALISASI"

Copied!
450
0
0

Teks penuh

(1)

DISERTASI

SPIRITUALITAS UPACARA

GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO

PADA ERA GLOBALISASI

PULUMUN PETERUS GINTING

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

(2)

DISERTASI

SPIRITUALITAS UPACARA

GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO

PADA ERA GLOBALISASI

PULUMUN PETERUS GINTING NIM 109071014

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

SPIRITUALITAS UPACARA

GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO

PADA ERA GLOBALISASI

Disertasi untuk Memperoleh

Gelar Doktor

pada Program Doktor, Program Studi Kajian Budaya

Program Pascasarjana Universitas Udayana

PULUMUN PETERUS GINTING NIM 1090371014

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

DISERTASI INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 17 PEBRUARI 2015

Promotor,

Prof. Dr. I Made Suastika, S.U. NIP. 195701131980031001

Kopromotor 1,

Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U. NIP.194409271976021001

Kopromotor 2,

Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST., M.A. NIP. 194804121974031001

Mengetahui

Ketua Program Pendidikan Doktor (S3) Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana,

Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U. NIP. 194807201980031001

Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S.(K) NIP. 195902151985102001

(5)

Disertasi ini Telah Diuji pada Ujian Tertutup (Tahap I) Tanggal 17 Pebruari 2015

Panitia Penguji Disertasi, Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana

Nomor : 531/UN.14.4.5/HK/2015 Tanggal 13 Pebruari 2015

Ketua : Prof. Dr. Anak Agung Bagus Wirawan, S.U. Anggota :

1. Prof. Dr. I Made Suastika, S.U.

2. Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U. 3. Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST., M.A. 4. Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A. 5. Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S. 6. Dr. Putu Sukarja, M.Si.

(6)

PERNYATAAN KEASLIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Pulumun Peterus Ginting

NIM : 109071014

Jurusan/Program Studi : Kajian Budaya

Fakultas/Program : Pascasarjana Universitas Udayana

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bebas dari peniruan terhadap karya orang lain. Kutipan pendapat dan tulisan orang lain dirujuk sesuai dengan cara-cara penulisan karya ilmiah yang berlaku.

Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa dalam disertasi ini terkandung ciri-ciri plagiat dan bentuk-bentuk peniruan lainnya yang dianggap melanggar peraturan, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, Juni 2015 Yang membuat pernyataan,

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Mejuah-Juah

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa, berkat lindungan-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul ―Spiritualitas Upacara Gendang Kematian Etnik Karo pada Era Globalisasi‖ pada Program Doktor Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian disertasi ini mulai dari persiapan, proses, hingga promosi. Penelitian dan penyelesaian disertasi ini juga tidak terlepas dari dukungan dan bantuan semua pihak, baik materi maupun moril kepada penulis. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. I Made Suastika S.U. selaku promotor; Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U. dan Prof. Dr. I Wayan Dibia, S.S.T., M.A. selaku kopromotor dan penguji; Prof. Dr. Anak Agung Bagus Wirawan, S.U.; Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A.; Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S.; Dr. Putu Sukarja, M.Si.; Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana, M.Si., yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan, tuntutan, dan saran selama penulis menyelesaikan disertasi ini.

(8)

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD., Direktur Program Pascasarjana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)., Asisten Direktur I Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A., dan Asisten Direktur II, Prof. Dr. Made Sudiana Mahendra, Ph.D. Ketua Program Doktor Kajian Budaya Prof. Dr. Anak Agung Bagus Wirawan, S.U. dan Sekretaris Program, Dr. Putu Sukarja, M.Si. atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Doktor di Universitas Udayana.

Ucapan yang sama ditujukan kepada para dosen pengampu mata kuliah, yakni Prof. Dr. I Wayan Widja; Prof. Dr. Nengah Bawa Atmaja, M.A.; Prof. Dr. Emiliana Mariyah, S.U.; Prof. Dr. I Gde Semadi Astra; Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna. S.U.; Prof. Dr. I Made Suastika, S.U.; Prof. Dr. I Gede Parimartha, M.A,; Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A.; Prof. Dr. Aron Meko Mbete S.U.; Prof. Dr. Anak Agung Bagus Wirawan, S.U.; Prof. Dr. I Wayan Dibia, S.S.T., M.A.; Prof. Dr. Sulistyawati; Prof. Dr. I Nyoman Sirta; Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.Si dan Dr. Pudentia MPPS. Penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan pengetahuan yang telah ditularkan kepada penulis.

Kepada Ketua ATL Pusat Jakarta Dr. Pudentia MPPS dan Ketua ATL Provinsi Bali Prof. Dr. I Made Suastika, S.U. atas kesempatan yang diberikan pada penulis untuk menjalani program doktoral dalam konsentrasi Kajian Tradisi Lisan (KTL) yang telah memberikan bimbingan, saran, dan kritikan saat penulisan awal proposal serta memberi kesempatan mengikuti Program pada Sandwich-like di

(9)

KITLV, Leiden University Belanda. Dr. Clara Bekker, Ismeralda, Daniella, Juara Ginting, Nelly Sembiring, Michel, Utari, Kinok Surbakti, Pa Guntar Sinuraya, Kristy dan Gabriella Ginting yang memberi kesempatan dan waktu untuk menampilkan seni Karo pada beberapa peristiwa di Belanda.

Dorongan dan motivasi dari pembimbing KTL, Prof. Dr. Emiliana Mariyah, Prof. Robert Sibarani, Dr. Sutamat Ariwibowo, M.Si, dan semua teman seperjuangan Maria Matildis Banda, Yon Adlis, Ni Wayan Sumitri, Hamirudin Udu, Sumiman Udu, Syahrial, Katubi, Trias Yusuf, Sainul Hermawan, Isman, Mariana Lewier, Ali Prawiro, Jultje Aneka Rattu, Siti Gomo Attas, Retty Esnendes, Lies Mariani, La Aso, yang bersama-sama mengikuti Program Sandwich di Leiden-Belanda angkatan 2010 ikut memberikkan semangat atas terselesaikannya disertasi ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Rektor, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, Ketua Jurusan Sendratasik, Ketua Program Studi Seni Musik, Universitas Negeri Medan (UNIMED), yang telah memberikan izin untuk melanjutkan studi pada Program Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana. Disamping itu, juga seluruh dosen Jurusan Sendratasik Universitas Negeri Medan, rekan-rekan sejawat, yang diwakili oleh Ben M Pasaribu MMA (alm) penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan moral, informasi, bantuan, dan motivasi selama ini.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh pegawai administrasi Program Studi Kajian Budaya, yaitu I Wayan Sukaryawan, S.T., Dra.

(10)

Ni Luh Witari, Cok Istri Murniati, S.E., Ni Wayan Aryati, S.E., I Putu Hendrawan, I Nyoman Candra, dan I Ketut Budiarsa. Selain itu, juga seluruh pegawai kantor pusat Program Pascasarjana Universitas Udayana, yang telah membantu dan memberikan kemudahan kepada penulis yang berkaitan dengan urusan administrasi.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada para pejabat instansi pemerintahan Kabupaten Karo dan Provinsi Sumatera Utara atas segala bantuan dan kemudahan yang telah diberikan selama proses penelitian ini dilaksanakan. Demikian pula kepada seluruh informan yang telah memberikan banyak informasi dan kemudahan selama kegiatan penelitian ini dilaksanakan. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya sekaligus mohon maaf yang sebesar-besarnya atas hal-hal yang tidak berkenan selama kegiatan penelitian ini dilakukan.

Terima kasih yang tulus diucapkan kepada keluarga penulis, Bapa Renceng Thomas Ginting (Alm) yang beramanat kepada penulis ‖tidak perlu kaya, uang jangan dikejar, tetapi kejarlah ilmu setinggi-tingginya‖ dan Ibunda tercinta Lelem Br Sembiring yang selalu mendoakan, dan memberikan motivasi serta semangat hingga selesainya disertasi ini. Kepada istriku tercinta Ely Br Sitepu yang dengan sabar menanti kembalinya suami dari Bali dan selalu memberikan motivasi beserta putra-putri kami Fillinllife Ginting dan Cicio Puelfi Br Ginting. Adinda tersayang Bob King Sidney Ginting dan Athania Rasbina Br Sembiring dan putri kecil mereka Kintan Nayara Br Ginting. Kakanda Erlykasta Br. Ginting dan Abang Abri

(11)

Barus beserta putra-putrinya Agung Prima Barus, Eviona Br Barus, Cindy Br Barus, yang telah memberikan semangat dan kasih sayangnya.

Akhirnya, sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama menyelesaikan studi ini. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu bidang seni budaya dan menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya dalam mengeksplorasi tradisi lisan sebagai warisan leluhur yang perlu ‖dilestarikan‖. Di atas segalanya, kepada Tuhan yang Mahakuasa penulis memanjatkan doa agar anugerah-Nya dilimpahkan untuk kita semua.

Denpasar, Juni 2015 Penulis,

(12)

ABSTRAK

Etnik Karo memiliki berbagai jenis upacara dalam tradisinya. Upacara gendang kematian merupakan salah satu upacara yang sangat penting dan mengandung nilai-nilai luhur yang terdapat pada semua unsurnya. Upacara gendang kematian di kalangan etnik Karo telah mengalami banyak perubahan spiritualitas pada zaman globalisasi. Perubahan yang menuju ke arah sekularisasi ini sebagai akibat dari terjadinya persemaian unsur-unsur budaya global ke dalam upacara gendang kematian etnik Karo, seperti perubahan ensambel gendang lima

sendalanen menjadi keyboard, yang kemudian melahirkan bentuk dan makna baru.

Disertasi ini merupakan hasil kajian terhadap sebuah realitas budaya yang terjadi di kalangan etnik Karo pada era globalisasi, yaitu perubahan spiritualitas upacara gendang kematian pada masyarakat setempat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, mengkaji, dan menjelaskan berbagai perubahan yang telah terjadi pada spiritualitas upacara gendang kematian pada etnik Karo. Pembahasan terhadap realitas budaya yang terjadi pada etnik Karo pada era globalisasi ini difokuskan pada tiga permasalahan, yaitu (1) bagaimanakah wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi; (2) faktor-faktor apakah yang memengaruhi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi; dan (3) Bagaimanakah makna dan strategi pewarisan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Penelitian ini dirancang sebagai sebuah penelitian kualitatif dengan pendekatan kajian budaya yang bersifat kritis, interdisipliner, dan mulitimensional. Ketiga permasalahan tersebut dibedah menggunakan teori dekonstruksi, teori etnomusikologi, teori komodifikasi, dan teori semiotik. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara mendalam, studi dokumentasi, dan kepustakaan. Metode analisis yang digunakan deskriptif kualitatif dan interpretatif.

Disertasi ini menawarkan tiga hal sebagai simpulan. Pertama, wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo adalah degradasi ke arah sekularisasi terhadap nilai-nilai spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo.

Kedua, faktor-faktor yang memengaruhi spiritualitas pada upacara gendang

kematian etnik Karo mencakup internal (masyarakat pendukung, kreativitas seniman) dan eksternal (kristenisasi, industri budaya, media elektronik). Ketiga, makna spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo meliputi spiritualitas pramodern, modern, postmodern, perubahan sosial budaya dan strategi pewarisan melalui keluarga, masyarakat, pemerintah dan melalui revitalisasi.

Penelitian ini menunjukkan bahwa perjumpaan dan interaksi antara budaya lokal dan budaya global di kalangan etnik Karo telah meminggirkan nilai-nilai budaya lokal dan mendapatkan nilai baru. Akibatnya, upacara gendang kematian di kalangan etnik Karo mengalami degradasi ke arah sekularisasi.

(13)

ABSTRACT

Karo ethnic has various kinds of ceremonies in its tradition. The gendang ceremony of death is one of the most important ceremonies and embodies noble values that contained in all of its elements. The gendang ceremony of death in the Karo ethnic has undergone many changes in terms of spirituality in the age of globalization. A change toward secularization is as a result of the influence of global cultural elements into the gendang ceremony of death of the Karo ethnic like ensemble gendang lima sendalanen change to keyboard who gave birth to a new form and meaning. This dissertation is the result of a study of the cultural realities that occur among the Karo ethnic in this age of globalization, namely the change in the spirituality the gendang ceremony of death in the local people of Karo.

This study aims to identify and to analyze, as well as to explain the various changes that have occurred in the spirituality of the gendang ceremony of death of the Karo ethnic. The discussion of the cultural reality that occurs in the Karo ethnic in the age of globalization has been focused on three issues, namely (1) How is the form of changes in the spirituality of the gendang ceremony of death in Karo ethnic in this age of globalization; (2) What factors are causing changes in the spirituality of the gendang ceremony of death of the Karo ethnic in this age of globalization; and (3) What is the meaning of spirituality change of the gendang ceremony of death in the Karo ethnic in this age of globalization.

The study was designed as a qualitative study of critical, interdisciplinary and multidimensional cultural studies approach. The three problems mentioned above were analyzed by using deconstruction, ethnomusicology, co-modification and semiotic theories. The study used descriptive qualitative and interpretative methods of analysis. The data were collected by observation, in-depth interviews, and documentation as well as library studies.

This dissertation offers three things in conclusion. First, the form of spiritual change in the gendang ceremony of death of the Karo ethnic, is the degradation toward secularization of spiritual values of the gendang ceremony of death, among the Karo people. Second, the factors that cause changes in spirituality in gendang ceremony of death in the Karo ethnic include the internal factors (community support, creativity, innovation of artists) and the external factors (Christianization, the pressure of foreign culture, and the cultural industries). Third, the meanings of changes in the spirituality of funeral ceremony of the Karo ethnic include the representation of identity, the cultural secularization, social change of the Karo people and inheritance strategy through family, community, government and revitalization.

This study shows that the encounter and interaction between the local and the global culture among the Karo ethnic has marginalized the local cultural values and they obtain new meanings. Consequently, the gendang ceremony of death among the ethnic of Karo has undergone degradation toward secularization.

Keywords: spirituality, gendang ceremony of death, the Karo ethnic, the era of

(14)

RINGKASAN DISERTASI SPIRITUALITAS UPACARA GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO

PADA ERA GLOBALISASI

Disertasi ini merupakan hasil kajian terhadap sebuah realitas budaya yang terjadi di kalangan etnik Karo pada era globalisasi, yaitu perubahan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo. Perubahan yang menuju ke arah sekularisasi ini sebagai akibat dari terjadinya persemaian unsur-unsur budaya global ke dalam upacara gendang kematian etnik Karo yang kemudian melahirkan bentuk dan makna baru.

Dalam perspektif kajian budaya, penelitian ini mengangkat realitas lapangan yang empiris berkaitan dengan permasalahan globalisasi kebudayaan. Fenomena pergeseran dari alat musik tradisional gendang lima sendalanen mengalami degradasi ke arah sekularisasi, yaitu keyboard yang merupakan salah satu unsur dari ritual upacara gendang kematian etnik Karo. Hal ini merupakan representasi dari bertemunya spiritualitas etnik Karo dengan rasionalitas modern, sebuah penanda absurditas dalam kebudayaan Karo pada era globalisasi. Sebagai sebuah tradisi lisan, upacara gendang kematian etnik Karo belum mendapat perhatian peneliti budaya di Indonesia di tengah berkembangnya pemikiran ―lokal genius‖ dan di tengah derasnya pengaruh modernisme yang menggusur nilai-nilai lokal. Upacara gendang kematian etnik Karo terdiri atas lima unsur (peristiwa), yaitu gendang lima sedalanen (musik), landek (tari), nuri-nuri (petuah), ngandung (tangisan), dan rende (nyanyian).

Upacara gendang kematian pada awalnya berbentuk sakral dan memiliki nilai-nilai religi yang tinggi. Westernisasi, modernisasi, dan globalisasi menyebabkan upacara gendang kematian mengalami degradasi ke arah sekularisasi, seperti gendang lima sendalanen berubah dan digantikan oleh sebuah instrumen modern, yaitu keyboard ditambah dengan ensambel musik tiup. Selain itu, kaitannya dengan nilai-nilai kehidupan etnik Karo bertendensi ekonomi.

(15)

Karena begitu kompleksnya permasalahan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, maka penelitian ini difokuskan ke dalam tiga pertanyaan dalam masalah. Pertama, bagaimanakah wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi? Kedua faktor-faktor apakah yang memengaruhi upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi? Ketiga, bagaimanakah makna spiritualitas dan strategi pewarisan upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi?

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan memahami spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Di samping itu, juga ingin mengetahui dan memahami fenomena budaya lokal di daerah Karo dalam persfektif kajian budaya. Tujuan lainnya adalah mengungkapkan latar belakang terjadinya perubahan upacara gendang kematian. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, memahami faktor-faktor yang memengaruhi upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, dan menginterpretasi makna spiritualitas dan mengetahui strategi pewarisan upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi dalam khazanah kebudayaan masyarakat pendukungnya.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik teoretis maupun praktis. Manfaat teoretis temuan yang dihasilkan penelitian ini memberikan kontribusi pada khazanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang kajian budaya, terutama yang berkaitan dengan keberadaan upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Penelitian ini juga bermanfaat dalam pengembangan wawasan ilmu pengetahuan, tidak saja di bidang kajian budaya, tetapi juga secara meluas dan bersifat multidisipliner. Di pihak lain manfaat praktis penelitian ini merupakan upaya intelektual dalam memberikan proses pemahaman, pencerahan, dan emansipatoris yang dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi sosial budaya melalui suatu proses ilmiah. Di samping itu, memberikan sumbangan pemikiran bagi peningkatan kehidupan masyarakat

(16)

dalam hal spiritualitas serta bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran kepada pemerintah dalam konteks penggalian nilai-nilai budaya lokal.

Untuk menjawab permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai, diguanakan metode kualitatif dengan pendekatan kajian budaya yang bersifat kritis, interdisipliner, dan multidimensional. Adapun data diperoleh melalui studi kepustakaan, studi dekomentasi, observasi, dan wawancara. Setelah dilakukan verifikasi, data kemudian dianalisis dengan beberapa teori yang relevan, seperti teori dekonstruksi, teori etnomusikologi, teori komodifikasi, dan teori semiotik.

Temuan penelitian ini mencakup tiga hal. Pertama, wujud spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi meliputi (a) upacara kematian masyarakat Karo, yang mengungkapkan kematian adalah kehidupan yang sesungguhnya, di dalam kematian ada kehidupan dan di dalam kehidupan ada kematian; (b) wujud gendang lima sendalanen; yang mencakup kosmologi masyarakat Karo; (c) wujud landek (menari) yang mencakup landek adat istiadat dan landek ritual; (d) wujud nuri-nuri (petuah); (e) wujud ngandung (tangisan); (f) wujud rende perkolong-kolong(bernyanyi), dan (g) wujud keyboard serta wujud trompet (ensambel tiup).

Kedua, faktor-faktor yang memengaruhi spiritualitas upacara gendang

kematian etnik Karo pada era globalisasi adalah sebagai berikut. (a) Faktor internal yang meliputi masyarakat pendukung gendang kematian tidak dilihat secara sempit dan terbatas pada genealogis dan teritorial grafis, tetapi etnik Karo yang terhimpun dalam satu komunitas organisasi sosial kemasyarakatan kekaroan di mana pun mereka berada. Kreativitas seniman dan budayawan, dalam upacara gendang kematian merupakan akumulasi dari pemikiran-pemikiran kreatif orang Karo sepanjang zaman hingga kekinian. Identitas Karo, yang erat hubungannya dengan faktor ekonomi dan politik budaya serta praktik-praktik sebagai penanda identitas budaya. (b) Faktor eksternal yang meliputi kristenisasi, yang membekaskan kesan yang ambivalen dan menyebabkan keretakan-keretakan dalam batin orang Karo. Selanjutnya tekanan budaya asing yang menciptakan

(17)

orang Karo menjadi masyarakat komoditas yang meliputi unsur-unsur di dalamnya sudah terstandardisasi. Industri budaya sebagai salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi upacara gendang kematian.

Ketiga, spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo merupakan

bagian dari kehidupan sosial budaya masyarakat sehingga dapat dipandang sebagai sebuah tanda dan simbol, yakni sesuatu yang harus diberikan makna. Upaya mengungkap makna yang tersembunyi di balik upacara gendang kematian etnik Karo dapat ditelusuri dari proses transformasi budaya dengan membaca ‖tanda zaman‖ dan dari terjadinya proses dialog budaya sejalan dengan nilai-nilai yang dihasilkannya bermakna spiritualitas. Upacara gendang kematian etnik Karo merepresentasikan spiritualitas lewat tanda-tanda dan simbol di luar dirinya. Secara umum, ada tiga pemaknaan mendasar yang terungkap dari latar belakang, wujud dan faktor-faktor yang memengaruhi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi yang menyangkut nilai-nilai dasar atau filosofi kehidupan masyarakatnya, yakni makna spiritualitas pramodern, modern, dan postmodern.

Makna spiritualitas pramodern etnik Karo melalui gendang lima sedalanen yang memiliki fungsi sebagai iringan musik dan tari dalam upacara gendang kematian sebagai “perekat” dari semua unsur yang ada dalam upacara. Selain itu, juga digunakan sepanjang prosesi kematian, yang mengandung berbagai pesan dan harapan bagi keluarga yang ditinggalkan serta makna hubungan antara gendang

lima sedealanen, baik instrumen maupun bunyi (musik), yang dihasilkannnya

dengan sistem kekerabatan yang ada pada etnik Karo. Landek (menari) yang mencakup landek adat istiadat dan landek ritual, yang memaknai gerak sebagai sebuah simbol yang menjadi filosofi etnik Karo. Nuri-nuri (petuah), menunjukkan duka keluarga sekaligus memberikan penghormatan kepada kalimbubu yang disampaikan melalui nuri-nuri. Ngandung (tangisan), penyampaian belasungkawa dan sekaligus meneguhkan hati pihak keluarga disampaikan melalui tangisan atau

(18)

ratapan. Rende (vokal/bernyanyi) yang sering digunakan pada upacara-upacara adat yang ada pada masyarakat Karo khususnya upacara gendang

Spiritualitas modern menyangkut pergeseran besar dari pemahaman diri komunal ke pemahaman diri individualistik. Modernitas tidak melihat masyarakat atau komunitas sebagai yang utama, dengan ‖individu‖ (yang sebagian saja otonom) sebagai produknya, melainkan menganggap masyarakat hanya sebagai kumpulan individu-individu bebas yang secara sukarela bergabung dengan tujuan-tujuan tertentu.

Kehadiran keyboard/trompet dalam hal ini bukan bagian dari spiritualitas yang terberi atau terwarisi, melainkan sebuah konstruksi spiritualitas baru yang sarat akan makna kemewahan guna melegitimasi status dan prestise seseorang di depan publik. Dengan demikian, kehadiran keyboard/trompet dalam upacara gendang kematian dapat dikatakan sebagai catatan baru dalam sejarah dinamika spiritualitas kultural etnik Karo.

Penggunaan keyboard/trompet pada upacara gendang kematian di atas dapat dikatakan seperti diungkapkan oleh Piliang, sebagai gejala hipertualitas, yakni realitas ritual yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip simulasi sehingga tampak seakan-akan merupakan bagian dari ritual asli. Namun sesungguhnya ia tidak lebih dari ciptaan artifisial yang tidak merujuk pada model-model ritual yang telah baku. Dalam konteks ini ritual diredusir menjadi simbol-simbol yang digunakan untuk menunjukkan identitas. Dengan kata lain, kehadiran

keyboard/trompet dalam upacara gendang kematian tersebut merupakan proses

semiotisasi ritual, yakni menambahkan muatan pada aspek-aspek ritual dengan makna-makna yang sesungguhnya tidak hakiki. Ritual tersebut dikemas sedemikian rupa dengan dilengkapi atribut-atribut yang tidak berkaitan sama sekali dengan konteks upacara, akan tetapi dikonstruksi sedemikian rupa seakan-akan ia menjadi dari wacana upacara tersebut.

Spiritualitas postmodern adalah kebangkitan suatu fakta kosmologi, pandangan dunia, secara pasti menentukan etika dan cara hidup manusia. Oleh

(19)

sebab itu, dari sudut pandang postmodern masalah kebenaran dan aksi tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Manusia tidak bisa mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh cara-cara manusia mengatur kehidupan individu dan kelompok tanpa menolak pandangan dunia yang mendasarinya.

Makna perubahan budaya yng mencakup beralihnya nilai tradisi ke modern adalah teralihkannya orientasi nilai-nilai magis religius dari agama

pemena/perbegu ka agama Kristen. Benturan peradaban antara budaya Kristen dan

budaya pemena dari agama tradisi etnik Karo masih terasa kental sampai sekarang. Berkaitan dengan degradasi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi ke arah sekularisasi bermakna pada terkikisnya spiritualitas etnik Karo. Dalam hal ini roh globalisasi yang tidak mungkin dibendung menghadirkan pluralistik di bidang kebudayaan. Hal ini berpengaruh pada menurunnya kreativitas seniman pada etnik Karo dengan dimainkannya akord dan harmoni Barat pada keyboard dalam gendang kibod, tampak nyata dari perkembangan teknologi modern yang mempengaruhi musik Karo.

Strategi pewarisan yang dilakukan oleh etnik Karo diawali dengan pemahaman dan pemaknaan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Masyarakat pemilik warisan budaya mestinya memahami yang tangible, yaitu warisan budaya yang dapat disentuh, berupa benda konkret, yang pada umumnya berupa benda yang merupakan hasil buatan manusia, dan dibuat untuk memenuhi kebutuhan tertentu dan yang intangible, yaitu warisan budaya yang ―tak benda atau tak tersentuh. Revitalisasi merupakan suatu proses menjadikan kebudayaan sebagai suatu yang menjadi bagian terpenting di dalam kehidupan manusia sebelum kehilangan maknanya. Proses revitalisasi, tentunya harus dilakukan secara terorganisir oleh individu pelaku budaya, kelompok komunitas bersama-sama pemerintah yang memiliki kesadaran dan merasa begitu pentingnya warisan budaya. Kesadaran akan pentingnya kebudayaan beserta kearifan lokal yang terkandung di dalamnya timbul sebagai akibat penemuan akan jatidiri, berlatar

(20)

belakang dari warisan leluhur yang khas dan tidak dapat ditemukan pada daerah lain.

Hasil penelitian ini menemukan beberapa hal sebagai temuan baru penelitian. Pertama, tradisi lisan upacara gendang kematian menunjukkan spiritualitas sebagai nilai-nilai dan komitmen dasariah pada etnik Karo dalam melakukan upacara. Kedua, modernisasi dan globalisasi yang diyakini selama ini—tanpa disadari—tidak menghegemoni, memarginalisasi, dan menggerus tradisi-tradisi lokal, penelitian ini mengungkapkan kebenaran yang terjadi di lapangan. Artinya, hegemoni berjalan dengan konsensus dan kesepahaman bersama. Ketiga, redefinisi upacara gendang kematian dari definisi sebelumnya.

Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat ditarik tiga simpulan. Pertama, kematian adalah kehidupan yang sesungguhnya, di dalam kematian ada kehidupan dan di dalam kehidupan ada kematian. Kematian seperti halnya kehidupan adalah bentuk keseimbangan alam sebagaimana dualisme oposisi baik-buruk, siang-malam, kiri-kanan, yang tidak mungkin ada tanpa kehadiran sisi lainnya. Manusia terdiri atas jasmani (kula) dan rohani (tendi). Dengan demikian, dalam upacara gendang kematian etnik Karo tidak asing disebutkan buk mulih ku ijuk (rambut menjadi ijuk), dareh mulih ku lau (darah menjadi air), kesah mulih ku angin (napas menjadi angin), jukut mulih ku taneh (daging menjadi tanah), tulan mulih ku batu (tulang menjadi batu),dan tendi mulih ku begu (roh menjadi hantu).

Kedua, spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era

globalisasi mengalami degradasi ke arah sekularisasi yang diakibatkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi masyarakat pendukung upacara gendang kematian dan kreativitas seniman/budayawan. Di pihak lain faktor eksternal, yaitu kristenisasi, tekanan budaya asing, dan media elektronik

Ketiga, penelitian ini bermakna untuk menguatkan identitas. Penguatan

identitas ini terwujud dalam representasi identitas masyarakat Karo melalui

gendang lima sedalanen ensambel musik yang terdapat dalam upacara gendang

(21)

melalui ngandung yaitu ratapan, melalui rende yaitu bernyanyi, melalui keyboard instrumen musik pengganti gendang lima sendalanen, dan melalui trompe sebagai ensambel tiup, serta makna perubahan sosial.

Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa dengan adanya problematik empirik yang belum tergali secara mendalam terkait dengan perubahan spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi, maka saran dan rekomendasi dapat disampaikan. Pertama, para peneliti yang tertarik dengan upacara gendang kematian pada etnik Karo atau penelitian sejenis dengan topik dan permasalahan yang berbeda, maka hasil penelitian ini terbuka untuk dikritik dan terbuka untuk penelitian lanjutan. Artinya, untuk dikaji secara mendalam dan mendapatkan pemahaman yang lebih kritis dan teoretis berbagai dimensi spiritualitas upacara gendang kematian etnik Karo pada era globalisasi. Kedua, penelitian ini dapat dijadikan kontribusi sebagai bahan pertimbangan kepada para pemimpin masyarakat di berbagai strata kehidupan, para penentu kebijakan diberbagai tingkatan, baik ekskutif maupun legislatif, pimpinan organisasi kelembagaan sosial budaya, sanggar seni, seniman, budayawan, praktisi seni dalam memecahkan berbagai permasalahan pembangunan untuk kesejahteraan bersama, lebih khususnya pembangunan seni budaya pada era globalisasi. Ketiga, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi perkembangan dan kemajuan disiplin kajian budaya di samping sebagai sumber rujukan utama ataupun sumber alternatif dalam dinamika kreativitas kehidupan berkesenian masyarakat di tanah Karo khususnya, Provinsi Sumatera Utara, dan Indonesia pada umumnya.

(22)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM... i PRASYARAT GELAR... ii

LEMBAR PENGESAHAN………... iii

PERNYATAAN KEASLIAN... v UCAPAN TERIMA KASIH... vi ABSTRAK... xi

ABSTRACT……….. xii RINGKASAN DISERTASI... xiii DAFTAR ISI... xxi DAFTAR TABEL... xxviii DAFTAR GAMBAR... xxix DAFTAR LAMPIRAN... xxxi GLOSARIUM ... xxxii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 14 1.3 Tujuan penelitian... 15 1.3.1 Tujuan Umum... 15

(23)

1.3.2 Tujuan Khusus... 16 1.4 Manfaat Penelitian... 16 1.4.1 Manfaat Teoretis... 16 1.4.2 Manfaat Praktis... 17

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN... 18

2.1 Kajian Pustaka... 18 2.2 Konsep... 30 2.2.1 Spiritualitas... 30 2.2.2 Upacara Gendang Kematian... 34 2.2.3 Etnik Karo... 38 2.2.4 Era Globalisasi... 40 2.3 Landasan Teori... 43 2.3.1 Teori Dekonstruksi... 45 2.3.2 Teori Etnomusikologi... 49 2.3.3 Teori Komodifikasi... 52 2.2.4 Teori Semiotika... 55 2.4 Model Penelitian... 58

(24)

BAB III METODE PENELITIAN... 61

3.1 Rancangan Penelitian………... 61

3.2 Lokasi Penelitian……….. 62

3.3 Jenis Data dan Sumber Data………. 63

3.4 Penentuan Informan………...………….. 65

3.5 Instrumen Penelitian……….... 66 3.6 Teknik Pengumpulan Data... 67 3.6.1 Observasi... 67 3.6.2 Wawancara... 69 3.6.3 Studi Dokumen... 71 3.7 Teknik Analisis Data... 72 3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data... 74

BAB IV GAMBARAN UMUM ETNIK KARO

DAN UPACARA GENDANG KEMATIAN... 75 4.1 Gambaran Umum Etnik Karo... 75 4.1.1 Letak dan Keadaan Geografis... 76 4.1.2 Asal Usul Etnik Karo... 82 4.1.3 Politik dan Pemerintahan... 85 4.1.4 Sistem Kekerabatan... 94

(25)

4.1.5 Mata Pencaharian... 104 4.1.6 Kepercayaan dan Agama... 106 4.1.6.1 Begu dalam Kepercayaan Etnik Karo...……… 109 4.1.6.2 Guru/ Dukun... 115 4.1.6.3 Katika Hari dalam Kalender Karo... 122 4.1.6.4 Kedai Kopi... 126 4.1.6.5 Jambur / Losd... 130 4.2 Gambaran Umum Upacara Gendang Kematian……… 132

4.2.1 Jenis Kematian………... 133

4.2.2 Gendang/ Musik………. 135

4.2.2.1 Gendang Lima Sendalanen……… 136 4.2.2.2 Gendang Telu Sendalanen... 137 4.2.2.3 Gendang Lima Puluh Kurang Dua……… 138 4.2.2.4 Instrumen Nonensambel……….. 140 4.2.2.5 Musik Vokal Etnik Karo……….. 141 4.2.2.6 Gendang Kibod/ Keyboard……… 143 4.2.2.7 Gendang Trompet/ Ensambel Tiup……… 144

BAB V WUJUD SPIRITUALITAS UPACARA GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO

PADA ERA GLOBALISASI... 147 5.1 Wujud Upacara Kematian Etnik Karo... 149 5.1.1 Wujud Upacara Perpisahan /Sirang-sirang ... 152

(26)

5.1.2 Wujud Usungan Mayat/ Pating-pating... 155 5.1.3 Wujud Kuburan/ Pendawanen... 160 5.1.4 Wujud Pembakaran Mayat/ Pekualuh... 162 5.1.5 Wujud Memanggil Roh/ Perumah Begu... 164 5.1.6 Wujud Mengangkat Tulang/ Ngampeken Tulan-Tulan.... 167 5.2 Wujud Gendang Lima Sendalanen... 168 5.2.1 Wujud Sarune... 172 5.2.2 Wujud Gendang Singindungi dan Singanaki... 174 5.2.3 Wujud Penganak dan Gung... 177 5.3 Wujud Menari/ Landek... 178 5.4 Wujud Petuah-petuah/ Nuri-nuri... 182 5.5 Wujud Menangis/ Ngandung... 184 5.6 Wujud Menyanyi/ Rende... 186 5.7 Wujud Keyboard/ Gendang Kibod... 189 5.8 Wujud Ensambel Tiup/ Trompet... 192 BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI SPIRITUALITAS

UPACARA GENDANG KEMATIAN

ETNIK KARO PADA ERA GLOBALISASI………… 195

6.1 Faktor Internal... 197 6.1.1 Faktor Masyarakat Pendukung Gendang Kematian... 199 6.1.2 Faktor Kreativitas Seniman/Budayawan... 206 6.2 Faktor Eksternal... 214 6.2.1 Faktor Kristenisasi... 217

(27)

6.2.2 Faktor Industri Budaya... 236 6.2.3 Faktor Media Elektronik... 244 BAB VII MAKNA SPIRITUALITAS DAN STRATEGI PEWARISAN

UPACARA GENDANG KEMATIAN ETNIK KARO

PADA ERA GLOBALISASI... 248 7.1 Makna Spiritualitas….. ………...………. 250 7.1.1 Makna Spiritualitas Pramodern……….. 261

7.1.2 Makna Spiritualitas Modern...……… 313 7.1.3 Makna Spiritualitas Postmodern……… 322

7.2 Makna Perubahan Budaya……… 325

7.2.1 Beralihnya Nilai Spiritualitas Tradisi ke Modern………… 326 7.2.2 Terkikisnya Spiritualitas Etnik Karo……….. 331 7.2.3 Menurunnya Kreativitas Seniman……… 343 7.3 Makna Perubahan Kehidupan Sosial………. 348

7.4 Strategi Pewarisan……….. 353

7.4.1 Pewarisan Melalui Keluarga, Masyarakat, Pemerintah….. 353 7.4.2 Pewarisa Melalui Revitalisasi………. 362

7.5 Temuan Penelitian……….. 370

7.6 Refleksi……… 373

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN... 377 8.1 Simpulan... 377 8.2 Saran... 380

(28)

DAFTAR PUSTAKA... 382 LAMPIRAN... 396 Lampiran 1 Daftar Informan... 396 Lampiran 2 Pedoman wawancara... 399 Lampiran 3 Peta Wilayah... 402 Lampiran 4 Daftar Foto... 403

(29)

TABEL

Tabel Halaman

(30)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 2.1 Model Penelitian……… …… 58

Gambar 3.1 Observasi Upacara Gendang Kematian………. 68 Gambar 3.2 Wawancara Upacara Gendang Kematian………... 70 Gambar 4.1 Peta Sumatera dan Sumatera Utara……… 77 Gambar 4.2 Peta Kabupaten Karo……….. 80 Gambar 4.3 Rumah Adat Karo di Desa Dokan... 88 Gambar 4.4 Kantor Bupati Kabupaten Karo... 93 Gambar 4.5 Rakut Sitelu dalam Sistem Kekerabatan Masyarakat Karo. 97

Gambar 4.6 Aksara Karo... 103 Gambar 4.7 Musik dan Tari Karo Sekitar Tahun 1900-an... 114 Gambar 5.1 Usungan Mayat... 156 Gambar 5.2 Usungan Mayat Pating-pating Lige-lige... 157 Gambar 5.3 Usungan Mayat Lante Empat Mbeka... 158 Gambar 5.4 Usungan Mayat Tandu Sapo-sapo... 159 Gambar 5.5 Usungan Mayat Tandu Kejeren... 160 Gambar 5.6 Pembakaran Mayat... 163 Gambar 5.7 Mengangkat Tulang/ Ngampeken Tulan-tulan... 168 Gambar 5.8 Repertoar Lagu Simelungen Rayat……….. 171 Gambar 5.9 Ensambel Gendang Lima Sendalanen... 172 Gambar 5.10 Instrumen Sarune... 173 Gambar 5.11 Instrumen Gendang Singanaki dan Gendang Singindungi. 176 Gambar 5.12 Instrumen Gung dan Penganak... 178 Gambar 5.13 Landek/Menari dalam Upacara Gendang Kematian... 181 Gambar 5.14 Nuri-nuri pada Upacara Gendang Kematian... 183 Gambar 5.15 Ngandung/Meratap pada Upacara Gendang Kematian... 185

(31)

Gambar 5.16 Rende atau Bernyanyi pada Upacara Gendang Kematian.... 188 Gambar 5.17 Organ Tunggal/Kibod pada Upacara Gendang Kematian… 191 Gambar 5.18 Trompet/Ensambel Tiup pada Upacara Gendang Kematian. 193 Gambar 7.1 Bagian-bagian Sarune……….. 268 Gambar 7.2 Gendang Singindungi dan Singanaki………... 273

Gambar 7.3 Melodi Sarune dalam Upacara Gendang Kematian………. 286 Gambar 7.4 Ritmis Gendang Singanaki……….. 288 Gambar 7.5 Ritmis Gendang Singindungi………... 289 Gambar 7.6 Ritmis Gung dan Penganak………. 291 Gambar 7.7 Landek dalam Gendang Guro-Guro Aron……… 294

(32)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1 Daftar Informan……….. 396

Lampiran 2 Pedoman Wawancara………. 399

Lampiran 3 Peta wilayah Penelitian……….. 402 Lampiran 4 Daftar Foto………. 403

(33)

GLOSARIUM

aerofon : golongan instrumen musik yang menggunakan sumber bunyi

aero atau udara. Istilah untuk bagian alat musik tiup dengan

hawa atau udara sebagai sumber suaranya. Misalnya, sarune pembawa melodi dalam ensambel gendang lima sedalanen pada upacara gendang kematian.

anak beru : pihak yang mengambil istri dari sebuah keluarga tertentu

untuk diperistri.

begu : masyarakat Karo percaya bahwa ―tendi” (roh) orang yang

telah meninggal masih dapat, baik memberikan pertolongan maupun mengganggu manusia, yang masih hidup dalam bentuk ― begu”.

belo kinapur : kapur sirih.

bere-bere : merga dari keluarga ibu.

beru : merga yang disandang di belakang nama seorang

perempuan.

beru dayang : sosok wanita yang diyakini ada di bulan dan wujudnya ditampakkan melalui pelangi.

beru puhun : anak perempuan dari kalimbubu ayah.

beru singumban : anak perempuan dari kalimbubu anak.

birawan : orang yang sedang sakit karena terkejut dan diyakini oleh masyarakat sebagai akibat adanya sapaan oleh makhluk halus.

buk mulih ku ijuk : rambut menjadi ijuk.

cimpa : sejenis kue atau makanan yang terbuat dari tepung terigu.

dagangen : kain putih yang biasa digunakan, baik untuk menutup maupun membungkus mayat.

(34)

Dibata si la idah : Tuhan yang tidak kelihatan, disebut dengan Dibata kaci-kaci yang mempunyai tiga wilayah kekuasaan, yaitu dunia atas (Guru batara), dunia tengah (Padukah ni aji), dan dunia bawah (Banua koling).

Dibata si idah : Tuhan yang kelihatan, yaitu kalimbubu yang merupakan unsur terhormat atau golongan yang disegani. Orang yang menghormati kalimbubunya akan memperoleh banyak rezeki dan kesehatan. Oleh karena itu, ia disebut dibata si

idah.

didong doah : nyanyian seorang ibu ketika menidurkan anaknya (lillaby).

endek : gerakan tari yang dilakukan dengan menekuk lutut.

erpangir kulau : komunikasi transendental dalam hubungan komunikasi antara manusia dan roh gaib dengan menggunakan seorang dukun sebagai mediatornya. Adapun tujuan seseorang / keluarga tertentu melaksanakan ritual erpangir ku lau ini adalah untuk menemukan dan dapat berkomunikasi dengan kekuatan-kekuatan di luar kemampuan manusia, terutama yang berkaitan dengan penyembuhan suatu penyakit, membuang sial di badan, menabalkan seseorang menjadi

guru, dan membersihkan diri dari yang kotor.

erturang : antara seorang laki-laki dan seorang perempuan ber merga yang sama.

ertutur : berkenalan untuk mendekatkan hubungan kekerabatan.

gbkp : Gereja Batak Karo Protestan

gendang : biasanya pengertian kata gendang tergantung dari kata yang

mengikutinya. Misalnya (1) gendang lima sendalanen, kata gendang di sini mengandung arti ensambel musik tertentu, (2) gendang simalungun rayat, kata gendang mengandung arti nama sebuah lagu, (3) gendang singindungi atau

gendang singanaki, kata gendang menunjukkan salah satu

jenis alat musik, (4) gendang kematian atau gendang nurun, kata gendang menjadi suatu upacara.

(35)

gendang kibod : sebutan atau istilah lazim diucapkan oleh masyarakat Karo terhadap jenis irama yang diprogram secara khusus di dalam

keyboard, pada upacara kematian.

gung : instrumen musik (ideofon) yang berfungsi sebagai ritmis konstan dalam ensambel gendang lima sedalanen pada upacara gendang kematian.

guro-guro Aron : sebuah upacara tradisi yang dilakukan oleh muda-mudi di setiap kuta (desa) yang dilaksanakan setiap tahun sebagai ungkapan rasa gembira dan rasa syukur kepada Dibata atas keberhasilan mereka.

guru : orang yang dapat berkomunikasi dengan roh gaib dan dapat mengobati penyakit dan sekaligus sebagai peramal.

ideofon : instrumen musik yang sumber bunyinya berupa badan alat musik itu sendiri. Misalnya gung dan penganak.

io-io : nyanyian yang mengandung ungkapan rasa rindu.

jambur : sejenis aula besar sebagai tempat upacara, baik perkawinan, kematian dilaksanakan.

jinujung : makhluk halus yang dipunyai seseorang yang memberikan keahlian dan kelebihan pada seseorang itu dan mengucapkan melalui mang-mang dan mantra-mantra.

jukut mulih kutaneh : daging berubah menjadi tanah.

jungut-jungut : iringan sarune ketika seorang bernyanyi, nuri-nuri, dan

ngandung pada upacara gendang kematian.

kade-kade : kerabat yang terdapat dalam sistem kemasyarakatan.

kalimbubu : pihak keluarga senina pemberi istri.

kalimbubu dareh : saudara laki-laki dari ibu kandung, bagi seorang laki-laki

dan seorang perempuan yang tidak/belum menikah. Perempuan menikah kalimbubu dareh nya, yaitu ayah atau saudaranya.

(36)

katoneng-katoneng : musik vokal etnik Karo yang memiliki garis melodi baku,

tetapi lirik atau teks lagu tersebut senantiasa berubah dan disesuaikan dengan satu konteks upacara.

kerja tahun : pesta tahunan yang diadakan setiap tahun di sebuah desa

dataran tinggi Karo.

kesah jadi angin : napas menjadi angin.

keteng-keteng : instrumen musik Karo yang terbuat dari bambu, yang

berfungsi sebagai pembawa ritem dimaikan dengan cara dipukul.

landek : menari secara berhadapan antara dua kelompok tertentu. Konsep landek berhadap-hadapan dalam aktivitas menari Karo terbagi atas dua bentuk, yaitu landek adat dan landek hiburan.

lau meciho : air jernih (suci) yang digunakan pada upacara penguburan.

mang-mang : sejenis nyanyian yang terdapat pada masyarakat Karo. Orang

yang menyajikan mangmang adalah dukun (guru sibaso).

Guru Sibaso menyajikan mangmang pada masa menjalankan upacara ritual tertentu dengan cara bernyanyi, tanpa iringan musik. Terdapat dua jenis upacara ritual sebagai konteks penyajian mangmang, yaitu erpangir ku lau (upacara ritual penyucian diri) dan raleng tendi (upacara ritual memanggil roh manusia).

membranofon : instrumen musik yang sumber bunyinya berupa membran atau selaput kulit. Misalnya, gendang singindungi dan

gendang singanaki.

mengket jabu : upacara memasuki rumah baru.

merga silima : ada lima merga yang dikenal pada masyarakat Karo, yaitu

merga Karo-karo, Tarigan, Ginting, Sembiring, dan

Perangin-angin. Kelima merga ini disebut merga silima.

morah-morah : utang adat bagi orang yang meninggal untuk diberikan

(37)

narsarken rimah : perjamuan makan sesuai dengan kemampuan dan menari

berganti-ganti menurut adat yang berlaku, sebagai suatu pemberitahuan kepada sukut bahwa kerabat yang datang dari tempat jauh akan pulang.

nendung : aktivitas seorang dukun dalam meramalkan sesuatu atau

seseorang yang hilang atau pergi tanpa memberi tahu ke mana kepergiannya.

nereh-empo : berasal dari dua pihak, yaitu nereh dari pihak perempuan

dan empo dari pihak laki-laki, yang dilanjutkan pada upacara perkawinan.

ngandung : pengungkapan isi hati dengan cara menangis. Ngandung

dalam upacara gendang kematian adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan pihak kelompok yang punya kerja.

ngarkari : upacara pemutusan hubungan dengan orang yang meninggal.

ngerana : memberikan petuah-petuah, baik dari kelompok yang mempunyai upacara maupun dari pihak kekerabatan yang turut serta dalam upacara tersebut.

nuri-nuri : kata-kata yang diutarakan pada upacara gendang kematian yang berisikan kata pengapul (kata hiburan, ajaran, dan nasihat)

odak : gerakan tari, baik ketika melangkah maju dan mundur maupun serong ke kiri dan ke kanan.

ole : goyangan atau ayunan badan saat menari.

patam-patam : repertoar lagu yang bertempo cepat, baik dalam tarian muda-mudi maupun upacara ritual.

pating-pating : usungan atau tandu yang digunakan untuk membawa mayat ke kuburan.

pasu-pasu : berkat atau pemberkatan.

(38)

penganak : instrumen musik (ideofon) yang berfungsi sebagai ritmis

konstan dalam ensambel gendang lima sedalanen yang digunakan pada upacara gendang kematian.

penggual : pamanggilan terhadap pemain musik gendang lima

sendalanen.

perkade-kaden : kekerabatan dalam masyarakat.

perkolong-kolong : sebutan kepada penyanyi yang dipanggil pada upacara

gendang kematian untuk menyampaikan nasihat, penghormatan, pujian, doa, harapan, dan sebagainya.

perumah begu : menghindari hal-hal yang tidak diinginkan masyarakat Karo dengan melakukan upacara pemanggilan roh-roh manusia yang sudah mati.

puang kalimbubu : kalimbubu dari kalimbubu seseorang, baik dari pihak ibu

maupun pihak ayah.

rakut sitelu : kelengkapan lembaga sosial kemasyarakatan yang terdiri atas

tiga kelompok, yaitu senina, kalimbubu dan anak beru.

raron : sekelompok orang yang bertetangga atau yang berkerabat secara bersama-sama mengerjakan tanah pertaniannya dengan cara bergiliran.

rende : pada mulanya rende (vokal) disebut didong-didong yang

digunakan untuk menyampaikan doa atau memuja seseorang, menidurkan anak. Lalu didong-didong kemudian berkembang menjadi lagu. Lagu adalah sebuah nyanyian yang dinyanyikan oleh seorang perende-rende, kemudian

perende-rende dikenal dengan permangga-mangga dan kini

berubah menjadi perkolong-kolong.

rengget : cengkok (kekhasan) yang terdapat dalam melodi gendang Karo, baik dalan instrumen maupun dalam vokal/nyanyian.

rubia-rubia : jenis makhluk bergerak di luar diri manusia.

sangkep nggeluh : pribadi atau keluarga/merga tertentu yang dikelilingi oleh senina, anak beru, dan kalimbubu-nya. Dalam melaksanakan upacara adat tertentu, seperti perkawinan,

(39)

kematian, memasuki rumah baru, dan lain-lain sangkap

nggeluh akan diketahui apabila sudah jelas siapa sukut

dalam upacara tersebut.

sarune : instrumen musik (aerofon) yang berfungsi sebagai pembawa melodi dalan upacara gendang kematian.

senina : mereka yang bersaudara karena mempunyai merga atau

submerga yang sama. Sekalipun tidak dalam satu merga,

biasanya masih dalam satu induk merga.

sierjabaten : pemain musik atau gendang dalam sebuah ensambel yang berfungsi sebagai pengiring dalam upacara gendang kematian masyarakat Karo.

sukut : adalah orang yang berhajatan dan orang tuanya, dalam acara

adat kematian sukut adalah janda atau duda dan anak laki-laki dari yang meninggal (keluarga dari orang yang meninggal). Atau dalam acara memasuki rumah baru

(mengket rumah) sukut adalah pemilik rumah baru tersebut.

tabas : mantra-mantra yang dinyanyikan oleh guru (dukun) dalam

pengobatan tradisional.

tangis-tangis : nyanyian yang berisi tentang kesedihan atau penderitaan

seseorang.

tendi jadi begu : roh yang berubah menjadi hantu.

trompet : ensambel tiup yang digunakan dalam upacara gendang

kematian dikenal dengan sebutan trompet.

tutur siwaluh : merupakan konsep kekerabatan etnik Karo yang terdiri atas delapan golongan, yaitu puang kalimbubu, kalimbubu,

sembuyak, senina, senina sipemeren, senina siparibanen/sipengalon, anak beru, dan anak beru minteri.

(40)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertemuan antara suatu budaya dan budaya yang lainnya tidak selalu berproses seimbang. Dalam perkembangan peradaban saat ini nilai-nilai universal yang diemban oleh kebudayaan Barat sering kali menggeser nilai-nilai di kebudayaan Timur. Pengaruh budaya global yang sering diasosiasikan dengan modernitas dan rasionalitas secara tak sadar telah mengubah posisi suatu produk kebudayaan tradisional etnik tertentu. Hal ini juga terjadi di kebudayaan Indonesia. Salah satu di antaranya adalah komunitas etnik Karo dengan berbagai sistem nilai dan pranata hidup yang bersumber dari spiritualitas yang sakral berubah menjadi spiritualitas sekularisasi. Esensi spiritualitas masyarakat tradisi tentunya terkait dengan pemaknaan masyarakat tersebut pada kosmosnya yang terwujud dalam ritual-ritual adat. Ritual upacara gendang kematian yang menjadi representasi spiritualitas etnik Karo berangsur-angsur berubah dan mengalamai degradasi sebagai akibat dari masuknya unsur-unsur budaya modern.

Pengaruh globalisasi tidak hanya terkait dengan teknologi dan ekonomi, tetapi juga dengan berbagai aspek kehidupan. Saat ini dengan majunya teknologi, komunikasi, dan informasi, dunia tidak lagi memiliki batas jarak dan waktu. Di satu sisi globalisasi membawa kemudahan dalam berbagai aspek gerak kehidupan, tetapi di sisi lain memberikan pengaruh negatif yang cukup signifikan pada

(41)

aspek-aspek kebudayaan. Hal ini tidak hanya berdampak pada kemunduran nilai-nilai budaya lokal, tetapi juga mengancam kepunahan berbagai aspek kebudayaan, seperti tradisi lisan yang diwariskan dan berkembang secara turun-temurun sebagai bentuk warisan adat yang mengandung spiritualitas suatu komunitas masyarakat. Tingginya intensitas pergulatan nilai-nilai lokal dan global, yang menggurita ke dalam sendi-sendi kehidupan etnik Karo tidak bisa dibendung ataupun ditolak akibat derasnya arus globalisasi yang membentur tradisi budaya etnik setempat.

Wacana globalisasi menurut Barker (2005) turut memberikan kekacauan baru dalam konteks perubahan budaya yang multidimensional saling terkait dengan bidang ekonomi, teknologi, politik, dan identitas. Perubahan yang dianggap chaos ini diantisipasi oleh cultural studies dengan berupaya memahami perubahan-perubahan ini dan menempatkan pada ranah kajian budaya melalui penyelidikan tentang budaya konsumer, budaya global, imperalisme budaya, dan postkolonialitas. Proses globalisasi yang berciri ekonomi banyak mengacu pada sekumpulan aktivitas ekonomi sebagai praktik-praktik kapitalisme dan hal ini terkait dengan isu-isu makna kultural dan proses-proses kultural global (Barker, 2005: 133). Oleh karena itu, globalisasi budaya yang sudah dimuati oleh praktik-praktik kapitalisme akan secara langsung atau tidak langsung berbenturan dengan kebudayaan tradisi yang ada.

Etnik Karo sebagai bagian dari kebudayaan tentunya terseret dalam dinamika kapitalisme global. Menurut Piliang, manusia konsumer tidak tertarik

(42)

akan ‖keselamatan diri‖ lewat perenungan atau ibadat, tetapi tertarik terhadap ilusi-ilusi yang bersifat sementara, seperti kesehatan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan keamanan psikis lewat terapi, hanyut dalam pelbagai bentuk terapi, seperti yoga, latihan spiritual kilat, konser musik rock, joging, pusat kebugaran, dan karaoke. Kondisi ini melahirkan suatu fenomena yang disebut Piliang sebagai postspiritualitas, yaitu kondisi spiritualitas ketika yang suci bercampur aduk dengan yang profan, yang sakral bersimbiosis dengan yang permukaan sehingga batas-batas di antara semuanya menjadi kabur (Adlin, 2007: 207). Kapitalisme tidak hanya menyentuh sendi-sendi profan dari suatu tradisi, tetapi juga nadi sakralnya. Pada proses ini tentunya seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa etnik Karo adalah bagian dari suatu kebudayaan perlu untuk berpartisipasi kritis terhadap fenomena globalisasi kebudayaan saat ini.

Menurut Hoed, dalam menghadapi arus globalisasi yang memang nyata, menganggap modernitas merupakan sesuatu yang endogen, yaitu faktor dari dalam suatu masyarakat yang berpikir kritis terhadap dinamika perkembangannya. Kreativitas ada pada setiap orang dan perkembangannya tergantung dari apakah masyarakat itu sendiri memberikannya kesempatan untuk berkembang atau tidak. Sayangnya modernitas sering kali dihadapkan dengan adat istiadat dan tradisi asli kita. Bahkan, jika dilihat lebih lanjut, kita pun telah menjadi penerima adat istiadat dan tradisi baru dari Timur Tengah, Jepang, dan Cina. Inilah globalisasi yang terjadi dewasa ini (Hoed, 2008: 108--109). Etnik Karo sebagai bagian dari

(43)

masyarakat global saat ini, harus mampu memiliki sikap kritis terhadap arus modernitas yang secara perlahan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kita.

Pada perkembangannya kategori-kategori seni juga mengalami perubahan karena desakan modernitas. Kesenian tradisional yang dulu merupakan batang tubuh dari proses pengalaman dan pendalaman dalam kehidupan sehari-hari kini mulai digantikan oleh bentuk-bentuk kesenian yang modern. Danesi (2010) mengatakan sebagai berikut.

Seni modern mengemuka dengan menggunakan imaji dan suara yang mencerminkan meterialisme dan kevulgaran budaya konsumerisme, para seniman modern pada tahap awal berusaha menyuguhkan pandangan realitas yang lebih langsung dan relevan dibandingkan seni zaman dahulu, sedangkan seni postmodern berusaha untuk menstabilisasi pandangan atas dunia yang rasional dan logosentris, yang telah menguasai masyarakat Barat sejak Renaisans, tetapi, dengan membuat budaya Barat makin mendekonstruksi sistem kepercayaannya, posmodernisme sekaligus mencetuskan semacam pembaruan spiritual dalam diri kita (Danesi, 2010: 251 & 312).

Pandangan Danesi ini menunjukkan bahwa seni postmodern merupakan salah satu jalan tengah antara masyarakat tradisional dan modern. Seni merupakan sarana yang universal meskipun tetap terdapat unsur-unsur ideologis di dalamnya. Namun, masyarakat tetap harus dapat meletakkan eksistensi mereka dan secara kritis melihat terjadinya pergeseran identitas dalam diri kesenian mereka. Hal ini diungkapkan Danesi (2010: 252) dalam bukunya Pesan, Tanda, dan Makna,seperti berikut.

Barangkali tidak ada lagi yang membedakan manusia dari spesies lainnya seperti halnya seni. Seni adalah kemampuan lahiriah yang memungkinkan kita, sejak bayi, untuk mengambil makna dari gambar, musik, pertunjukan, dan hal-hal yang sejenis. Seni adalah pengakuan bahwa kita memang

(44)

makhluk-makhluk spiritual yang mencari penjelasan mengenai alam semesta. Sementara sains mengajukan pertanyaan dan mencari jawaban atas makna hidup melalui perpaduan pemikiran imajinatif dan logis, seni menyelidiki makna hidup melalui emosi. Inilah mengapa pengalaman akan seni disebut pengalaman estetis dan pengalaman akan sains disebut pengalaman intelektual. Namun, salah jika jenis kedua penyelidikan ini dilihat sebagai kategori yang berbeda. Keduanya digunakan oleh manusia untuk meyelidiki pertanyaan-pertanyaan yang sama.

Pengalaman akan seni merupakan pengalamann estetis sehingga seni dapat menyelidiki makna-makna kehidupan. Lebih jauh lagi, seni merupakan bagian dari pengungkapan hasrat-hasrat spiritualitas dalam mencari penjelasan mengenai keseimbangan alam semesta. Dengan demikian, spiritualitas menjadi penting untuk dipertahankan, baik dalam seni postmodern maupun arus globalisasi kebudayaan dan kapitalisme saat ini.

Pada masyarakat modern saat ini spiritualitas sering diasosiasikan dengan hal-hal berbau mistis, gaib, irasional, tidak terukur, tidak empirik, dan tidak wajar. Padahal, menurut kamus Oxford Dictionary of Advanced Learners, spirit—yang merupakan akar kata dari spiritualitas—memiliki beberapa pengertian, seperti

soul, demon, dan magic. Beberapa teoretikus kajian budaya bahkan menganggap

seperti dibawah ini.

Spiritualitas akan selalu berhubungan dengan hal yang sifatnya abstrak, tak kasat mata, intangible, namun bisa dirasakan eksistensinya. Dalam konteks jiwa, spiritualitas dapat dikorelasikan dengan nilai dan kualitas di balik sosok atau perwujudan suatu benda atau objek. (Darmawan dalam Adlin (ed), 2007: 144). Spiritualitas bisa juga disebut berhubungan dengan nilai-nilai dan komitmen dasariah seseorang, apa pun isinya (Griffin, 2005: 15). Jadi, pada dasarnya spiritualitas memiliki makna-makna yang terwujud dalam penanda benda-benda produk kebudayaan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh

(45)

suatu produk kebudayaan akan selalu terikat pada petanda-petanda kebudayaannya. Penanda dan petanda merupakan perwujudan spiritualitas dan meterialitas suatu masyarakat.

Perwujudan nilai-nilai spiritualitas ini pada masyarakat kontemporer mengalami disposisi antara penanda dan petanda. Absurditas penanda dan petanda terjadi karena pergumulan masyarakat dengan arus modernitas dan nilai-nilai tradisionalnya. Bisa saja dalam perwujudan spiritualitasnya, nilai-nilai atau petanda, bahkan makna menjadi banal. Misalnya yang sudah diutarakan Yasraf bahwa realitas yang suci bercampur aduk dengan yang profan sehingga mengaburkan nilai-nilai yang dikandung sebelumnya. Hal inilah yang terjadi dalam realitas budaya tradisi lisan masyarakat saat ini.

Perbedaan spiritualitas tidak lepas dari terjadinya dinamika dalam struktur masyarakat. Masyarakat tradisional telah menjadi masyarakat modern dan yang modern telah menjadi postmodern. Terdapat kategori-kategori dalam menentukan struktur masyarakat ini. Masyarakat tradisional sering diasosiasikan dengan masyarakat pramodern. Hal ini dikatakan oleh Griffin seperti berikut.

Masyarakat klasik pramodern tidak berorientasi pada profesionalisme, melainkan pada otoritarianisme. Organisasinya memiliki bentuk tatanan piramidal, perluasannya dalam waktu terbentuk tradisi siklis, dan kendali kekuasaannya bersifat absolut. Pengabdian religius adalah legitimasinya. Hal-hal itulah yang ditentang kaum modernis (Griffin, 2005: 75).

Kategori masyarakat tradisional yang diutarakan oleh Holland (2005) juga kemudian turut menjelaskan kategori masyarakat modern dan postmodern seperti di bawah ini.

(46)

Masyarakat modern — dan sampai pada titik tertentu juga organisasi-organisasi religius — berorientasi pada profesionalisme. Bentuk organisasinya adalah rasionalisasi birokratis, perluasanya dalam waktu terbentuk perkembangan linear, dan kendali kekuasaannya bersifat manipulatif. Kompetisi profesional adalah legitimasinya. Modernitas condong ke arah ini. Lain halnya dengan organisasi postmodern karena berorientasi pada prinsip kreativitas (atau lebih baik kokreativitas). Bentuk organisasinya adalah komunitas holistis, perluasannya dalam waktu terbentuk spiral ritmis, dan kendali kekuasaannya bersifat imajinasi artistik. Maka, legitimasinya berasal dari karisma, yang sekaligus bersifat sosial dan spiritual. Pengabdian dan kompetensi tidak akan hilang, tetapi sekarang diabdikan pada kreativitas karisma (Holland dalam Griffin (ed), 2005: 75).

Lebih dari itu ketika kita berbicara tentang kategori-kategori masyarakat Di dalamnya mengalir juga unsur-unsur spiritualitas. Ada perbedaan antara spiritualitas tradisional, modern, dan postmodern. Visi-visi postmodern yang di tulis oleh Griffin membantu kita untuk memahami sekaligus kategori dan nilai-nilai spiritualitas. Selanjutnya Griffin mengatakan sebagai berikut.

Spiritualitas modern berawal sebagai suatu spiritualitas yang bersifat dualistik dan supernaturalistis dan berakhir dengan suatu pseudospiritualitas (spiritualitas semu) atau anti spiritualitas; postmodernisme kembali ke spiritualitas asli yang memuat unsur-unsur dari spiritualitas pramodern. Walaupun begitu, karena spiritualitas postmodern tidak hanya berarti kembali ke spiritualitas pramodern dan masyarakat modern. Meskipun masyarakat postmodern ini masih tetap memiliki dan mengembangkan banyak aspek yang ada dalam dunia modern, masyarakat postmodern akan membalikkan unsur-unsur modernitas; individualisme, dan nasionalisme, direndahkannya manusia oleh mesin, direndahkannya keprihatinan manusia akan masalah-masalah sosial, moral, religius, estetika, dan ekologis demi masalah-masalah ekonomi (Griffin, 2005: 16--17).

Tentunya realitas yang digambarkan oleh Griffin menjadi acuan untuk menggali nilai-nilai tradisional secara kritis menelusuri tahap-tahap perkembangan masyarakat, baik dari sisi wujud , faktor, maupun makna. Kaitan-kaitan ini

(47)

menunjukkan bahwa produk kebudayaan yang berupa seni merupakan upaya kritis untuk meninjau realitas tersebut.

Prinst (2003: 154) mengatakan bahwa keselarasan antara manusia dan alam akan menyejukkan dan mengharmoniskan irama kehidupan manusia dan lingkungannya. Sebaliknya, setiap ketimpangan (kejanggalan) yang terjadi dalam masyarakat mengakibatkan disharmoni (ketidakharmonisan) kosmos (alam) dan masyarakat. Ketidakharmosian ini akan menimbulkan bencana, seperti kemarau panjang atau malapetaka lainnya. Keselarasan atau keseimbangan dalam suatu mayarakat sering dikaitkan dengan bagaimana mereka beraktivitas sehari-hari sehingga di situlah apa yang disebut sebagai kosmologi dapat terwujud. Menurut Liembeng (2007: 17) orang Karo meyakini bahwa alam dan lingkungan, selain sebagai tempat hunian manusia juga sebagai tempat hunian bagi makhluk-makhluk lain yang hidup bebas tanpa terikat aturan-aturan yang dikembangkan manusia. Oleh sebab itu dibutuhkan aktivitas-aktivitas tertentu untuk menjaga keseimbangan alam, khususnya keseimbangan antara makhluk manusia dan makhluk-makhluk lain. Bagi peneliti inilah yang disebut sebagai perwujudan spiritualitas yang terkait dengan kosmologi etnik Karo.

Buk jadi ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin, daging jadi taneh, tulan

jadi batu, tendi jadi begu. Inilah perwujudan spiritualitas etnik Karo yang hidup

dalam ungkapan-ungkapan kesehariannya. Secara filsafati, ungkapan-ungkapan keseharian merupakan bagian dari pandangan hidup suatu masyarakat. Tendi jadi

Gambar

Gambar 2.1 Model Penelitian
Gambar 4.2  Peta Kabupaten Karo
Gambar 4.6 Aksara Karo  (Dokumen: Minawati 2010: 96)
Gambar 5.1  Usungan Mayat
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman konsep peserta didik kelas eksperimen dengan menggunakan model pembelajaran Search,

Rerata persentase kinerja pelaksanaan koordinasi, pembinaan, fasilitasi, monitoring, evaluasi, penyusunan dan penyelenggaraan kebijakan di bidang administrasi pembangunan.

Sesuai dengan agenda yang sudah ditetapkan oleh pemerintah yaitu evaluasi formatif sampai tahun belajar 2015-2016 dan evaluasi sumatif pada tahun belajar 2016

[r]

7 Therefore, hydroxyapatite (HA) powder from white barramundi fish scales could be considered as bone graft alternative materials in bone defect regeneration as supported by

AMRULLAH HANAFIE, MM MAKASSAR, 2 Februari 2015 KEPALA BAGIAN HUBUNGAN MASYARAKAT. DEVY KHADDAFI, S.E Pangkat:

Anda juga akan mudah mendeteksi gaya kerja orang lain, atau bahkan rekan atau.

Audit syariah dapat dimaknai sebagai suatu proses untuk memastikan bahwa aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh institusi keuangan Islam tidak melanggar syariahatau