• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I I MALPRAKTEK KEDOKTERAN

C. Jenis-Jenis Malpraktek Kedokteran

2. Malpraktek Juridis

a. Malpraktek Kedokteran Dalam Bidang Hukum Administrasi

Hukum administrasi merupakan dasar dari lahirnya kewenangan yang dimiliki oleh dokter agar dapat melakukan suatu praktek kedokteran. Malpraktek kedokteran yang melanggar hukum administrasi terjadi bila dokter melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa lisensi atau ijin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau ijin, menjalankan praktek dengan ijin yang sudah kadaluarsa dalam menjalankan praktek tanpa mebuat catatan medik.57

Ketentuan Adiministrasi yang mengatur tentang syarat-syarat yang harus di penuhi oleh dokter untuk dapat melakukan suatu praktek kedokteran di Indonesia diatur dalam UU Praktek Kedokteran. Tindakan-tindakan dokter yang

57 Anny Isfandryarie, Malpraktek dan Resiko Medik, op.cit hal 35

melanggar ketentuan administrasi yang terdapat dalam pasal-pasal UU kedokteran antara lain:

- Melakukan praktek kedokteran tanpa meiliki Surat Tanda Registrasi (STR) (pasal 29 ayat 1 UU Praktek Kedokteran);

- Melakukan praktek kedokteran dengan Surat Tanda Registrasi (STR) yang habis masa berlakunya (Surat Tanda Registrasi berlaku 5 tahun pasal 29 ayat 4 UU Praktek Kedokteran);

- Melakukan praktek kedokteran tapa memiliki Surat Ijin Praktek (SIP) (pasal 36 UU Praktek Kedokteran);

- Memiliki Lebih dari 3 (tiga) tempat praktek (Surat Ijin Praktek hanya diberikan paling banyak 3 (tiga) tempat praktek, pasal 37 ayat 2 UU Praktek Kedokteran)

- Tidak memasang papan nama di depan tempat pelaksanaan praktek kedokteran (pasal 41 ayat 1 UU Praktek Kedokteran)

- Tidak melakukan kewajiban untuk melakukan rekam medis pada saat melakukan praktek kedokteran (pasal 46 ayat 1 UU Praktek Kedokteran)

b. Malpraktek Kedokteran Dalam Bidang Hukum Perdata

Hubungan hukum yang terjadi antara dokter dan pasien dalam suatu praktek kedokteran termasuk kedalam perikatan, oleh karena itu praktek kedokteran termasuk kajian hukum perdata. Berdasarkan pasal 1234 BW hubungan dokter dan pasien dalam praktek kedokteran dapat terjadi karena perjanjian (ius

contracto) dan undang-undang (ius contracto). Dasar hukum malpraktek perdata

adalah transaksi terapeutik yang terjadi antar dokter dan pasien dalam praktek kedokteran, dimana dokter bersedia memberikan pelayanan medis dalam mengupayakan kesembuhan pasien dan pasien bersedia membayar sejumlah imbalan kepada dokter tersebut.58

Transaksi terapeutik antara dokter dan pasien yang terjadi dalam suatu praktek kedokteran termasuk dalam kajian hukum perikatan yang diatur dalam KUHPerdata. Dalam hukum perikatan dikenal adanya dua perjanjian, yaitu59

- Inspaningverbitenis, yaitu perjanjian upaya, artinya kedua belah pihak berjanji atau sepakat untuk berdaya upaya secara maksimal dalam mewujudkan apa yang diperjanjikan.

:

- Resultaatverbitenis, yaitu perjanjian bahwa pihak yang berjanji akan memberikan resultaat atau hasil yang sesusai dengan diperjanjikan.

Transaksi terapeutik ini termasuk kedalam berntuk perjanjian yang inspaningverbitenis atau perjanjian upaya, karena dalam suatu pelayanan

kesehatan seorang dokter tidak mungkin menjanjikan kesembuhan kepada pasiennya, yang dilakukan dokter adalah melakukan tindakan-tindakan medis yang didapat berdasarkan pendidikan kedokteran dan pengalamnnya selama dia melakukan praktek kedokteran sebagai upaya untuk menyembuhkan pasiennya.

Untuk sahnya suatu transaksi terapeutik, sebagaimana perjanjian pada umumnya yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang

58 Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, op.cit hal 59

59 Dany Wiradharma, op.cit hal 13

sahnya suatu perjanjian maka transaksi terapeutik harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Adanya kesepakatan dari mereka yang saling mengikakan dirinya;

b. Adanya kecakapan untuk melakukan suatu perikatan;

c. Mengenai suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab yang halal.

Hubungan antara dokter dengan pasien yang terjalin dalam transaksi terapeutik menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak, yaitu dokter sebagai pihak pemberi pelayanan (medical providers) dan pasien sebagai pihak penerima pelayanan (medical receivers). Dokter dalam melaksanakan praktek kedokteran mempunyai hak dan kewajiban, yang diatur dalam UU Praktek Kedokteran sebagai berikut:

- Hak Dokter dalam pelaksanaan Praktek Kedokteran (pasal 50)

a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasionalnya;

b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar operasional;

c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya;

d. Menerima imbalan jasa.

- Kewajiban dokter dalam pelaksanaan Praktek kedokteran (pasal 51)

a. Memberikan pelayan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;

b. Merujuk pasien kedokter lain yang mempunyai atau kemampuan yang baik; apabila tidak mampu melakukan pemeriksaan atau pengobatan;

c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkn juga setelah pasien itu meninggal dunia;

d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya;

e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran.

UU Praktek Kedokteran juga mengatur hak dan kewajiban pasien dalam menerima pelayanan dari dokter dalam suatu praktek kedokteran sebagai berikut:

- Hak pasien dalam praktek kedokteran (pasal 52)

a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis;

b. Meminta pendapat dokter lain;

c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis d. Menolak tindakan medis

e. Mendapatkan isi rekam medis.

- Kewajiban pasien dalam praktek kedokteran (pasal 53)

a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya

b. Mematuhi ketentuan nasihat dan petunjuk dokter

c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Jusuf Hanafiah dan Amri Amir memberikan ilustrasi tentang kewajiban-kewajiban yang seharusnya dipatuhi oleh pasien sehingga tindakan-tindakan yang dilakukan oleh dokter mengupayakan kesembuhan dari penyakit lebih efektif, antara lain60

- Pasien wajib memeriksakan diri sedini mungkin kepada dokter.

:

Pengobatan penyakit pada sedini mungkin akan lebih menjanjikan keberhasilan daripada pengobatan penyakit yang lebih lanjut yang disertai dengan penyulit.

- Memberikan informasi yang benar dan lengkap tentang penyakitnya

Informasi yang benar dan lengkap dari pasien/keluarga merupakan hal yang terpenting bagi dokter dalam membantu menegakkan diagnosis penyakit. Tuntutan malpraktek terhadap dokter tidak dapat dikabulkan jika terbukti pasien telah memberi keterangan yang menyesatkan atau menyembunyikan hal-hal yang pernah dialaminya atau tidak memberitahukan obat-obat yang pernah di mininumnya.

- Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter

60 M Jusuf Hanafiah & Amri Amir, op.cit hal 50-51

Pasien berkewajiban mematuhi petunjuk dokter yang berkaitan dengan penyakitnya baik tentan yang berkaitan dengan makanan, minuman, istirahat cukup atau tidak dll.

- Menandatangani Surat Persetujuan Tindak Medik, Surat Jaminan dirawat di Rumah Sakit

Tindakan medik tertentu yang memerlukan persetujuan tertulis dari pasien tidak dapat dilakukan apabila pasien tidak mau persetujuan tersebut.

- Yakin pada dokternya, dan yakin akan sembuh

Dalam mengupayakan kesembuhan pasien harus yakin kalau dokter akan berupaya maksimal dalam mengobati dirinya. Oleh karena itu pasien harus bisa bekerjasama dan kooperatif pada saat dokter akan melakukan pemeriksaan terhadap dirinya. Apabila pasien tidak kooperatif dan menolak apabila diperiksa dokter, maka dokter berhak untuk tidak bersedia meneruskan pengobatan pasien tersebut.

Kedudukan dokter dan pasien dalam transaksi terapeutik adalah sederajat oleh karenanya pasien dapat melakukan gugatan terhadap dokter yang melakukan malpraktek kedokteran. Malpraktek perdata terjadi apabila dalam suatu praktek kedokteran pasien merasa dirugikan atas tindakan yang dilakukan oleh dokter, sehingga ia berhak mengajukan gugatan ganti rugi sebagai konpensasi dari kerugian yang ditangungnya tersebut. Gugatan pasien terhadap dokter dalam hukum perdata bersumber pada dua dasar hukum, yaitu61

- Berdasarkan pada wanprestasi (contractual liability) sebagaimana diatur dalam pasal 1239 BW:

:

61 Bahder Johan Nasution, op.cit hal 63

Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, apabla si berutang tidak memenuhi kewajibannya mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga

- Berdasarkan perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu untuk mengganti kerugian tersebut.

Wanprestasi dalam bahasa hukum dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat memenuhi kewajibannya yang didasarkan pada suatu perjanjian atau kontrak. Menurut ilmu hukum perdata seseorang dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi apabila62

- Tidak melakukan apa yang disepakati untuk dilakukan;

:

- Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat;

- Melakukan apa yang djanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan;

- Melakukan sesuatu yang menurut hakikat perjanjian tidak boleh dilakukan.

Wanprestasi dalam praktek kedokteran timbul karena tindakan seorang dokter berupa pemberian jasa perawatan yang tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Perawatan yang tidak patut ini dapat berupa tindakan kekuranghati-hatian atau akibat kelalaian dari dokter yang bersangkutan sehingga menyalahi tujuan terapeutik. Wanprestasi dalam pelayanan kesehatan baru terjadi apabila telah terpenuhi unsur-unsur berikut ini63

62 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Penerbit Intermasa, Jakarta, 2001, hal 147

63 Bahder Johan Nasution, op.cit hal 63

:

1. Hubungan antara dokter dengan pasien terjadi berdasarkan kontrak terapeutik;

2. Dokter telah memberikan pelayanan kesehatan yang tidak patut dan menyalahi tujuan kontrak terapeutik

3. Pasien menderita kerugian akibat tindakan dokter yang bersangkutan.

Gugatan atas dasar wanprestasi maka ketiga unsur tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu adanya kontrak terapeutik antara pasien dan dokter. Pembuktian tentang adanya kontrak terapeutik dapat dilakukan pasien dengan menggunakan adanya kartu berobat, rekam medik (medical record), persetujuan tindakan kedokteran yang telah ditandatangani oleh pasien ataupun keluarganya. Untuk unsur kedua harus dibuktikan dengan adanya kesalahan dan/atau kelalaian dokter maka pasien harus mengajukan fakta bahwa dokter tersebut tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan dalam kontrak terapeutik; atau dokter melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat; atau dokter tersebut telah melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Unsur ketiga, yaitu pasien menderita kerugian akibat tindakan dokter yang bersangkutan dapat terpenuhi apabila tindakan yang dilakukan oleh dokter memang mempunyai hubungan kausal dengan kerugian yang diderita oleh pasien.64

Didalam hukum perdata terdapat prinsip “untuk setiap kerugian harus ada penggantian”, maka apabila dikaitkan dengan kerugian yang dialami oleh pasien

sebagai tindakan malpraktek kedokteran tidak harus bedasarkan kesalahan yang fatal oleh dokter, yang terpenting adalah pasien merasa dirugikan. Kesalahan

64 ibid, hal 64

sekecil apapun yang dilakukan oleh dokter bisa menimbulkan kerugian yang besar untuk pasien maka dokter harus memberikan ganti rugi; dan sebaliknya apabila dokter melakukan kesalahan yang berat tetapi tidak sampai menimbulkan kerugian (pasien tidak merasa telah dirugikan) maka dokter tersebut tidak akan dituntut oleh pasiennya.

Anny Isfandyarie memberikan contoh kasus tentang dokter yang melakukan perbuatan wanprestasi sebagai berikut65

- Seorang pasien datang kepada Dokter ahli Kandungan untuk melakukan sterilisasi karena tidak ingin hamil lagi. Dokter Ahli Kandungan bersedia melakukan sterilisasi terhadap pasien tersebut. Ternyata, setelah beberapa bulan setelah dilakukan sterilisasi, pasien tersebut hamil lagi. Dalam kasus ini Dokter Ahli Kandungan tersebut dapat dituntut karena telah melakukan wanprestasi dalam hal tidak melakukan hal yang disanggupinya akan dilakukan yaitu tindakan sterilisasi.

:

- Papan nama kedokteran, dokter mencantumkan jam praktek antara jam 17.00–19.00. Pencantuman jam praktek semacam ini dapat dianggap bahwa dokter berjanji untuk melakukan pelayanan medis pada jam tersebut. Apabila dokter baru datang ke tempat praktek jam 18.00 (terlambat satu jam) sehingga pasien harus menunggu maka dokter tersebut telah melakukan wanprestasi karena terlambat melakukan apa yang dijanjijan.

65 J Guwandi, Kelalaian Medik, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 1990, hal 20

Dasar hukum yang dapat dipakai pasien untuk melakukan gugatan terhadap dokter yang melakukan malpraktek selain wanprestasi adalah perbuatan melawan hukum. Gugatan ganti rugi pasien terhadap dokter yang melakukan tindakan malprakek berdasarkan perbuatan melawan hukum ini berbeda dengan gugata ganti rugi yang didasarkan pada perikatan yang lahir karena perjanjian (wanprestasi) karena pada perbuatan melawa hukum tidak harus didahului dengan perjanjian. Gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum memiliki ciri khas tersediri apabila dilihat dari model pertanggungjawaban yang diterapkan, yaitu pertangungjawaban karena kesalahan (fault liability) yang bertumpu pada tiga (3) asas sebagaimana yang diatut dalam pasal-pasal dalam BW sebagai berikut:

- Pasal 1365 BW

Setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu untuk mengganti kerugian itu

- Pasal 1366 BW

Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaiannya.

- Pasal 1367 BW

Setiap orang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.

Berdasarkan ketiga prinsip ini dapat disimpulkan bahwa kesalahan berdasarkan perbuatan melawan hukum melahirkan pertanggunjawaban hukum baik terhadap perbuatannya sendiri maupun perbuatan orang yang berada dibawah tanggung jawab dan pengawasannya. Dalam hal melakukan praktek kedokteran

seorang dokter tidak selamanya melakukan perawatan secara mandiri, sebagian besar diantaranya menggunakan jasa tenaga kesehatan lainnya seperti perawat, bidan untuk membantu ugas-tugas perawatan kesehatan terlebih lagi dalam hal dokter tersebut melakukan praktek di Rumah Sakit.

Tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum, undang-undang tidak memberikan perumusannya, namun sesuai dengan yurisprudensi dalam perkara Lindenbaum Cohen Arrest Hoge Raad tahun 1919 diterpakan adanya empat kriteria perbuatan melawan hukum, yaitu66

- Perbuatan itu bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, :

- Perbuatan itu melanggar hak orang lain, - Perbuatan itu melanggar kaidah tata susila,

- Perbuatan itu bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian seta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama masyarakat atau terhadap benda orang lain.

Dalam kaitannya dengan malpraktek kedokteran maka pasien dalam mengajukan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum, harus dipenuhi empat (4) syarat sebagaimana yang diatur dalam pasal 1365 BW, yaitu67

- Pasien harus mengalami kerugian,

:

- Ada kesalahan,

- Ada hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian, - Perbuatan itu melanggar hukum

66 Bahder Johan Nasution, op.cit hal 70

67 ibid, hal 66

Contoh kasus tentang dokter yang melakukan perbuatan melawan hukum sebagai berikut68

- Seorang dokter umum melakukan pemeriksaan dalam (Vaginal Toucher) terhadap seorang pasien wanita tanpa adanya indikasi medis yang jelas.

Perbuatan dokter tersebut diangap sebagai perbuatan melawan hukum karena perbuatan tersebut menyalahi pandangan etis atau kesusilaan yang baik.

:

- Tertinggalnya instrumen atau kasa di dalam perut pasien pasca tindakan operasi (pembedahan). Dokter dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum karena telah melakukan kelalaian sebagai tindakan yang berlawanan dengan sikap hati-hati yang seharusnya dilakukan oleh dokter yang melakukan operasi.

- Dokter Ahli Anestesiologi keliru memasukkan darah pasien. Darah Y yang bergolongan O dintransfusikan kepada pasien Z yang memiliki golongan darah AB. Dokter telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum karena telah lalai.

- Seorang dokter Ahli Bedah salah melakukan operasi. Daerah yang sakit dan seharusnya di operasi adalah sebelah kiri tetapi yang dilakukan pembedahan adalah dada sebelah kanan. Luka yang timbul pada daerah yang tidak menderita sakit tersebut merupakan kerugian pasien yang harus dibayar oleh dokter Ahli Bedah karena kelalaiannya tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.

68 Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku I, op.cit hal 11-14

3. Malpraktek Kedokteran Dalam Bidang Hukum Pidana

Hukum antara dokter dengan pasien yang lahir dari transaksi terapeutik selain menyangkut aspek hukum perdata juga menyangkut aspek hukum pidana.

Dasar untuk mempermasalahkan aspek pidananya berawal dari hubungan keperdataan yang timbul antara dokter dan pasien, yaitu berupa transaksi terapeutik sebagai upaya penyembuhan, namun dalam melakukan upaya penyembuhan tersebut terdapat kesalahan atau kelalaian yang berwujud suatu perbuatan yang diatur oleh hukum pidana maka dokter tersebut dapat dikenakan pidana.

Menurut Moelijatno hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk69

- Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dan dengan disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertantu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut

:

- Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa, kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana yang telah diancamkan

- Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang disangka telah melangar larangan itu.

Hukum pidana termasuk dalam hukum publik yang merupakan bidang hukum antara perorangan dengan negara atau mengatur kepentingan umum. UU

69 Moelijatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal 1

Praktek Kedokteran juga dapat dikategorikan sebagai hukum publik karena di dalamnya berisi aturan-aturan dalam melaksanakan praktek kedokteran yang mengatur hubungan antara dokter dengan negara atau kepentingan umum.

Nampaknya pembuat undang-undang berpendapat bahwa praktek kedokteran yang berkaitan dengan nyawa manusia perlu diatur guna kepentingan hukum pasien yang perlu dilindungi oleh negara, sehingga tidak terjadi praktek kedokteran yang tidak bertanggung jawab.70

Peristiwa pidana (tindak pidana/delik) adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. Suatu peristiwa dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana jika telah memenuhi unsur-unsur pidana seperti71

- Unsur Objektif :

Yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan menimbulkan akibat yang dilarang dengan ancaman hukum. Titik utama dari unsur objektif adalah tindakan atau perbuatannya.

- Unsur Subjektif

Yaitu perbuatan seseorang yang menimbulkan akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang. Unsur subjektif ini lebih mengutamakan kepada pelaku yang dapat terdiri dari satu maupun beberapa orang.

Dari kedua unsur itu R Abdoel Djamali selanjutnya menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana sebagai berikut72

70 Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku I, op.cit hal 11

71 Djamali, op.cit hal 158

72 ibid, hal 150-160

:

a. Harus ada perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang dipahami oleh orang lain sebagai suatu peristiwa

b. Perbuatan itu harus sesuai dengan yang tercantum di dalam ketentuan hukum

c. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan

d. Harus berlawanan dengan aturan hukum atau kepatutan yang berlaku di masyarakat

e. Harus tersedia ancaman hukumannya.

Dalam hukum pidana terdapat asas legalitas, yaitu Nulluum delictum nulla poena sine praevia legi poenali, yang berarti tiada suatu perbuatan dapat dipidana

atas ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan (pasal 1 ayat (1) KUHP). Perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diatur dalam KUHP yang berkaitan dengan dokter pada saat melakukan praktek kedokteran antara lain:

a. Membuat surat keterangan palsu (pasal 267)

b. Membuka rahasia kedokteran (pasal 322)

c. Melakukan kejahatan kesusilaan (pasal 285, 286, 290, dan 294)

d. Sengaja membiarkan pasien tak tertolong (pasal 304) e. Melakukan euthanasia73

73 Euthanasia secara etimologis berasal dari bahasa Latin Euthanatos, yang terdiri dari dua kata, yaitu Eu berarti tanpa derita ; dan Thanatos yang berarti mati.

(pasal 344 dan 345)

f. Melakukan abortus kriminalis atau pengguguran kandungan tanpa adanya indikasi medis) (pasal 347, 348 dan 349)

g. Lalai sehingga mengakibatkan kematian atau luka-luka (pasal 359, 360 dan 361)

h. Memberikan atau menjual obat palsu (pasal 386)

Anny Isfandyarie membagi 3 (tiga) jenis tindakan malpraktek kedokteran yang termasuk dalam kajian hukum pidana, yaitu74

- Malpraktek pidana karena kesengajaan (Intensional) :

Misalnya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa adanya indikasi medis, euthanasia, membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat darurat padahal diketahui bahwa tidak ada orang (dokter) lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan dokter yang tidak benar.

- Malpraktek pidana karena kecerobohan (Recklessness)

Misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi kedokteran serta melakukan tindakan medis tanpa disertai persetujuan tindakan medis.

- Malpraktek pidana karena kelalaian (Negligence)

Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien akibat tindakan dokter yang kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi di dalam rongga tubuh pasien.

74 J Guwandi, Medical Law, op.cit,hal 29

Tuntutan pidana yang sering dikenakan terhadap dokter sebagai bentuk tindakan malpraktek kedokteran adalah berdasarkan kelalaian seperti yang diatur dalam pasal 359, 360 dan 361 KUHP. Kelalaian dalam arti secara umum bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan. Seseorang dikatakan lalai apabila ia bertindak acuh, tak perdulian, tidak memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana lazimnya di dalam tata pergaulan hidup masyarakat. Selama akibat dari tindakan tersebut tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain (karena menyangkut hal-hal yang sepele) maka tindakan lalai tersebut tidak akan membawa akibat hukum apapun. Prinsip ini berdasarkan pada adagium “De minimis not curat lex, The law does not concern itself with trifles” yang berarti

bahwa hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele. Namun apabila kelalaian itu sudah mencapai suatu tingkat tertentu dan tidak memperdulikan benda atau keselamatan jiwa orang lain, maka sifat kelalaian tersebut bisa berubah menjadi serius dan kriminil. Hukum tidak lagi bisa tinggal diam, karena sifat kelalaian sudah merupakan pelanggaran terhadap kepentingan umum serta pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.75

a. Adanya Duty (kewajiban) yang harus dilaksanakan;

Kelalaian baru terkena sanksi sebagai akibat hukum yang harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku, bila kelalaian ini sudah menyebabkan terjadinya kerugian baik kerugian harta, benda maupun hilangnya nyawa atau cacat pada anggota tubuh seseorang. Untuk menentukan adanya kelalaian dokter Hariyani menyebutkan 4 (empat) unsur yang lebih dikenal dengan istilah “4D”, yaitu :

75 J Guwandi, Kelalaian Medik, op.cit, hal 15

b. Adanya Derelection of that Duty (penyimpangan kewajiban);

b. Adanya Derelection of that Duty (penyimpangan kewajiban);

Dokumen terkait