• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNG JAWABAN DOKTER YANG MELAKUKAN TINDAKAN MALPRAKTEK (Suatu Tinjauan Berdasarkan Hukum Kesehatan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERTANGGUNG JAWABAN DOKTER YANG MELAKUKAN TINDAKAN MALPRAKTEK (Suatu Tinjauan Berdasarkan Hukum Kesehatan)"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNG JAWABAN DOKTER

YANG MELAKUKAN TINDAKAN MALPRAKTEK (Suatu Tinjauan Berdasarkan Hukum Kesehatan)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Rangka memeperoleh Gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

BENNY L H HUTAHAEAN NIM : 020200068 Bagian Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 0 9

(2)

PERTANGGUNG JAWABAN DOKTER DALAM KASUS

MALPRAKTEK KEDOKTERAN

Menurut KUH Pidana dan UU No. 29 Thn 2004 tentang Praktek Kedokteran

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Rangka memeperoleh Gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

BENNY L H HUTAHAEAN NIM : 020200068 Bagian Hukum Pidana

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Pidana

Abul Khair, SH.MHum NIP. 131 842 854

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Abul Khair, SH,M.Hum Mahmud Mulyadi, SH. MHum NIP. 131 842 854 NIP.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 0 6

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yesus Kristus yang oleh kasih karunia-Nya penulis diberikan kesehatan dan kesempatan sehingga akhirnya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul “Pertanggungjawaban Dokter Yang Melakukan Tindakan Malpraktek Kedokteran”. Penulisan skripsi ini merupakan sebagai salah satu tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Besar harapan penulis semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca terlebih lagi bagi penulis sendiri. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu apabila ada kesalahan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis memohon agar dimaafkan dan dimaklumi.

Dalam penulisan skripsi ini banyak mendapatkan bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak oleh karena itu pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis, yaitu kepada :

1. Bapak Prof. Dr Runtung, SH, MHum, selaku Dekan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Abul Khair, SH, MHum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana di Fakutas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing I dalam menyelesaikan penulisan skripi

3. Bapak Mahmud Mulyadi, selaku Dosen Pembimbing II dalam menyelesaikan penulisan skripsi

(4)

4. Ibu Nurmalawati, SH, Mhum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana dan Penasehat Akademik selama penulis berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Seluruh dosen di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing penulis dalam masa perkuliahan.

6. Untuk kedua orang tua penulis Bapak J Hutahaean dan Ibu A br. Sianipar terimakasih atas segala yang telah Bapak dan Mama berikan kepada Benny selama ini dan mohon maaf atas semua kesalahan yang pernah Benny lakukan. (Mom someday I’m gona make you so proud because you’re the Greatest Mom)

7. Untuk kedua adek-adekku Deddy Samuel Hutahaean dan Nico Oscario Hutahaean terimakasih telah “mengawal” Pop n Mom selama abangmu ini di Medan. Always remember this : “Just do your Best and let GOD do the rest”

8. Seluruh penghuni Sumber Dame 1 @ Padang Bulan Alapantua Sitinjak, SPt;

Mahmudin Harahap, Amd; Andha Iskandar Nasution, Amd; Bayu Nugraha, SSos; Daimul Hasan Siregar, SP; Donny Eurico Siregar, SSt; Habibulah Batubara, SP; Iwan Harahap, SSos, Rendha SP dan para pastisipannya terimakasih telah menjadi abang, teman selama Benny kost di Medan.

9. Seluruh Members of Keluarga Cemara Hukum ’02 khususnya : Iqbal Thantowi, SH; Fefrizal HS, SH; Ricky Samuelson, SH, Edy Budianto Manalu, SH; Budi Irawan Pasaribu, SH; Jumeiri Mardani, SH, Manahan Tambunan, SH; Eko Winarno, SH; Afriska Nababan, SH; Elita M Purba;

Yenni Kristin Panjaitan, SH. Terimakasih atas kegilaan-kegilaan yang telah

(5)

kita lakukan bersama selama kuliah. I Hope someday we can do it again together. Akhirnya aku jadi sama kaya kalian juga coy, yaitu jadi seorang Sarjana Hukum walaupun dah daluarsa hehehe

10. Kepada teman untuk nanjak dan turunan Jayatri H Sialoho, SH; Freddy E Purba, SH dan Barnabas G Siahaan, SH. Cuman mau bilang thanks and budha bless you (nanti klo jumpa di ibukota akan kita daki lagi bersama) 11. Kota Medan dan semua macam kehidupan yang terjadi disana. Terimakasih

atas pengalaman-pengalaman yang telah diajarkan selama 7 tahun menjalani kehidupan di tanah perantauan.

Atas perhatiaannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Mei 2009 Penulis

Benny L H Hutahaean

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……….... i

DAFTAR ISI ……….……… i v ABSTRAKSI ……….……… v ii BAB I PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang ………. 1

B. Permasalahan ………. 10

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ………. 11

D. Keaslian Penulisan ………. 12

E. Tinjauan Kepustakaan ………. 13

1. Pengertian Kedokteran ………. 13

2. Pengertian Praktek Kedokteran ……… 21

3. Pengertian Hukum Kesehatan ………. 24

4. Lembaga-Lembaga yang Dibentuk Setelah Keluarnya UU Praktek Kedokteran ……… 28

a. Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) ……….. 28

b. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) ………...………... 32

F. Metode Penulisan ……….. 36

G. Sistematika Penulisan ……….. 37

BAB I I MALPRAKTEK KEDOKTERAN ……….. 39

A. Pengertian Malpraktek Kedokteran ……..……….. 39

B. Kriteria Untuk Menentukan Dokter Telah Melakukan Tindakan Malpraktek ……….. 44

C. Jenis-Jenis Malpraktek Kedokteran …….………... 61

1. Malpraktek Etik ………... 61

2. Malpraktek Juridis ………... 64

a. Malpraktek Kedokteran Dalam Bidang Hukum Administrasi ………... 64

(7)

b. Malpraktek Kedokteran Dalam Bidang

Hukum Perdata ……..……….... 65 c. Malpraktek Kedokteran Dalam Bidang

Hukum Pidana ……..……… 77 BAB III PENYELESAIAN MALPRAKTEK KEDOKTERAN . 83 A. Melakukan Pengaduan Ke MKDKI …….…………... 83 B. Melalui Persidangan Pidana …...………... 95 C. Melakukan Gugatan Terhadap Dokter ke Pengadilan

Perdata ……….. 101 BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN DOKTER YANG

MELAKUKAN TINDAKAN MALPRAKTEK ……… 105 BAB V PENUTUP ………...………... 110 A. Kesimpulan …….………...………... 110

B. Saran ………... 112

(8)

ABSTRAKSI

Kepercayaan serta penilaian-penilaian positif masyarakat terhadap dunia kedokteran mulai menurun, dunia kedokteran yang dahulu seakan tak terjangkau oleh hukum sekarang ini dapat menjadi suatu persoalan hukum. Hal ini dapat dilihat dari berita-berita yang diberitakan oleh berbagai media massa, baik media cetak maupun elektronik seringkali terjadi kasus-kasus hukum baik secara perdata maupun pidana yang diperiksa oleh Pengadilan yang terkait dengan praktek kedokteran atau sering disebutkan oleh banyak kalangan sebagai : “Malpraktek Kedokteran”.

Permasalahan yang akan dibahas penulis dalam penulis dalam penulisan skripsi ini adalah : Apakah batasan-batasan yang dapat dipakai untuk menentukan bahwa seorang dokter telah melakukan malpraktek kedokteran terhadap pasien.;

Tindakan atau upaya hukum apakah yang dapat dilakukan oleh seorang pasien atau keluarganya apabila terkena malpraktek kedokteran; Sanksi-sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap dokter yang melakukan malpraktek kedokteran sebagai bentuk pertanggung jawaban dokter kepada pasiennya. Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian yang dilakukan secara normatif juridis, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap peraturan-peraturan tertulis yang mengatur tentang hukum kesehatan dan bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan malpraktek kedokteran. Dalam membahas malpraktek kedokteran yang menyangkut dua disiplin ilmu yang berbeda, yaitu ilmu kedokteran dan ilmu kesehatan maka dalam penulisan ini akan menggunakan “pendekatan medikolegal” yang merupakan suatu cara pendekatan terhadap masalah medik melalui hukum.

Malpraktek Kedokteran adalah setiap tindakan dokter (baik secara sengaja ataupun tidak sengaja seperti kelalaian, kealpaan) dalam melaksanakan suatu praktek kedokteran, yang tidak sesuai dengan etika kedokteran, standar profesi kedokteran, peraturan perundang-undangan (hukum) yang berlaku sehingga menyebabkan kerugian terhadap pasiennya seperti rasa sakit, luka, cacat, kematian dan kerugian lainnya; dan terhadap tindakannya maka dokter tersebut harus bertanggungjawab secara hukum administrasi dan/atau hukum perdata dan/atau hukum pidana. Upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pasien (ataupun keluarganya) yang mengalami tindakan malpraktek kedokteran terdiri dari : Melakukan pengaduan kepada MKDKI; Menggugat dokter; Melalui Pengadilan Pidana. Terhadap dokter yang melakukan tindakan malpraktek kedokteran dapat dikenakan sanksi berdasarkan hukum administrasi dan/atau hukum perdata dan/atau sebagai bentuk pertanggungjawaban hukum

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan manusia akan pertolongan pengobatan adalah setua peradaban umat manusia. Jika seseorang merasa sakit atau mengalami gangguan pada fungsi tubuhnya maka dia akan mencoba untuk mencari apa yang menjadi penyebab dari penyakit tersebut, lalu dengan kemampuannya berusaha untuk menghilangkan rasa sakit tersebut, sebab manusia mengetahui bahwa adanya gangguan pada fungsi tubuh itu dapat mengancam nyawanya. Kekhawatiran terhadap kematian tersebut mendorongnya untuk mencari pertolongan pengobatan dari orang lain yang mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan penyakit tersebut, yaitu dokter.1

Sejarah terjadinya pengobatan seorang dokter diidentikkan dengan “dewa penyembuh” yang diagung-agungkan oleh masyarakat, karena kemampuannya

mengetahui hal yang tidak tampak dari luar. Apalagi saat itu, ada kalanya kesembuhan dari penyakit diperoleh setelah “sang dokter” membaca doa-doa untuk pasiennya, sebagaimana yang dilakukan oleh rohaniawan. Didalam perkembangan selanjutnya seiring dengan perkembangan pikiran serta peradaban manusia, unsur pemujaan ini secara berangsur-angsur menghilang. Walaupun demikian kedudukan dan peran dokter tetap dianggap tinggi oleh masyarakat.

Timbulnya kedudukan yang lebih tinggi disebabkan karena kebutuhan anggota

1 Veronica D Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989, hal 13

(10)

masyarakat yang dalam keadaan sakit (pasien) sangat memerlukan pertolongan dokter guna kesembuhan dirinya.2

Penghargaan masyarakat terhadap profesi kedokteran lebih tinggi dari profesi-profesi lainnya yang ada di masyarakat, seperti : pedagang, polisi, jaksa, hakim, pengacara, pegawai negeri sipil, dan bahkan guru yang memberikan pendidikan awal bagi seorang dokter ketika masih di bangku sekolah. Hal ini dapat dilihat dari status sosial ekonominya, sebab biasanya seseorang yang berprofesi sebagai dokter akan serba berkecukupan sandang, pangan dan papan atau dengan kata lain hidupnya pasti dapat terpenuhi dengan layak.3

Masyarakat memandang profesi dokter sebagai profesi yang mulia karena berhubungan secara langsung dengan manusia dan berkaitan dengan kehidupan serta kematian manusia, sehingga setiap anggota masyarakat mengakui bahwa seorang dokter merupakan seseorang yang bijaksana atau dapat dikatakan dokter merupakan “dewa penolong” ditengah-tengah masyarakat. Bagi kalangan awam timbul pula pendapat bahwa seorang dokter tidak akan mungkin berbuat kesalahan dalam menjalankan tugasnya, sehingga mereka pasrah sepenuhnya kepada dokter. Segala nasihat dokter akan diturutinya dan dokter tersebut boleh melakukan tindakan-tindakan pengobatan yang harus diambil terhadap dirinya dengan harapan dapat sembuh dari penyakit. Apabila semua tindakan pengobatan telah dilakukan oleh dokter akan tetapi penyakitnya tidak sembuh-sembuh juga bahkan pasien tersebut meninggal dunia atau dengan kata lain dokter telah

“gagal” menyelamatkan pasiennya, maka keluarga pasien beranggapan bahwa itu

2 Anny Isfandyarie, Malpraktek & Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana, Penerbit Pustaka;

Malang, 2005, hal 1

3 Ninik Maryanti, Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana dan Perdata, Penerbit Bina Aksara; Jakarta, 1988, hal 1

(11)

merupakan suratan takdir atau nasib yang telah digariskan oleh Tuhan dan bukanlah karena adanya ketidakmampuan dokter untuk mengobati penyakit.

Dalam hal pasiennya meninggal dunia ketika dokter melakukan tindakan medis (seperti memberikan suntikan, tindakan operasi) masyarakat bahkan tidak ada menaruh kecurigaan bahwa penyakit dari meninggalnya pasien adalah karena adanya kesalahan yang dilakukan oleh dokter.

Pasien ataupun keluarga pasien seringkali memilih untuk diam saja walaupun tindakan pengobatan dan pelayanan kesehatan yang diterima dari dokter dianggap kurang memadai. Mereka tidak berani untuk mengutarakan ketidakpuasannya kepada dokter ataupun menempuh jalur hukum untuk menuntut dokter karena khawatir dokternya akan menolak untuk menyembuhkan penyakit pasien.4

Menurut Munir Fuady faktor-faktor yang melatar belakangi pasien untuk tidak mengutarakan ketidakpuasannya terhadap pelayanan buruk yang dilakukan oleh dokter atau dengan kata lain menuntut dokter yang melakukan pelayanan yang buruk tersebut melalui jalur hukum, antara lain5

1. Karena kurangnya kesadaran dari pasien di Indonesia terhadap hak-haknya selaku pasien.

:

2. Kecenderungan masyarakat indonesia untuk bersikap ”nrimo” apa adanya.

3. Karena kurangnya kepercayaan dari pasien terhadap jalannya proses hukum dan peradilan di Indonesia.

4 Anny Isfandyarie, Malpraktek & Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana, op.cit, hal 10

5 Munir Fuady, Sumpah Hippokrates (Aspek Hukum Malpraktek Kedokteran), Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal 10

(12)

4. Karena relatif kuatnya kedudukan dan keuangan pihak dokter dan rumah sakit, yang membuat pasien pesimis dapat memperjuangkan hak-haknya selaku pasien.

Perkembangan kemajuan teknologi di bidang kedokteran dan disertai dengan pesatnya sarana informasi yang didapat melalui berbagai media massa perlahan- lahan mulai membuka kerahasiaan profesi dokter sehingga keawaman pasien terhadap kesehatan mengalami perubahan kearah masyarakat yand terdidik dalam bidang kesehatan. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap tanggung jawab atas pelayanan kesehatan semakin meningkat, sehingga menuntut adanya hubungan seimbang antara dokter (sebagai jasa pelayanan kesehatan) dengan pasien (sebagai penerima pelayanan publik) atau dengan kata lain pasien tidak lagi sepenuhnya pasrah kepada “sang pengobat”. Perkembangan hubungan antara dokter dan pasien oleh Dassen digambarkan sebagai berikut6

1. Pasien pergi kedokter karena merasa ada sesuatu yang membahayakan kesehatannya, sehingga memerlukan pertolongan dokter sebagai pribadi yang mempunyai kelebihan karena kemampuan mengobati yang dimilikinya. Dari sudut pandang pasien yang menyerahkan nasibnya kepada dokter, dokter dianggap mempunyai peranan lebih penting dan kedudukan yang lebih tinggi daripada pasien.

:

2. Pasien pergi ke dokter, karena mengetahui dirinya sakit dan dokter akan mampu untuk menyembuhkannya. Pasien mulai menyadari haknya terhadap pelayanan kesehatan yang baik merupakan kewajiban dokter

6 Veronica D Komawalati, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik : Persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien, Suatu Tinjauan Juridis, op.cit, hal 39

(13)

terhadap dirinya, menganggap kedudukannya sama dengan dokter, tetapi pasien tetap menyadari bahwa peranan dokter lebih penting dari dirinya.

3. Pasien pergi ke dokter untuk mendapatkan pemeriksaan yang intensif dan mengobati penyakit yang biasanya diperintahkan oleh pihak ketiga (misalnya Perusahaan Asuransi). Dalam hal ini sifat pemeriksaan adalah preventif.

Kepercayaan serta penilaian-penilaian positif masyarakat terhadap dunia kedokteran mulai menurun, dunia kedokteran yang dahulu seakan tak terjangkau oleh hukum sekarang ini dapat menjadi suatu persoalan hukum. Hal ini dapat dilihat dari berita-berita yang diberitakan oleh berbagai media massa, baik media cetak maupun elektronik seringkali terjadi kasus-kasus hukum baik secara perdata maupun pidana yang diperiksa oleh Pengadilan yang terkait dengan praktek kedokteran atau sering disebutkan oleh banyak kalangan sebagai : “Malpraktek Kedokteran”. Keluhan-keluhan yang sering disampaikan sebagai bentuk

malpraktek kedokteran, antara lain7

1. Pelayanan medis yang lambat, baik oleh dokter, pihak rumah sakit, maupun klinik

:

2. Biaya perawatan yang terlalu membebani (mahal)

3. Penolakan pasien oleh rumah sakit karena tidak mampu membayar uang muka.

4. Kecenderungan rumah sakit, maupun dokter untuk melakukan pemeriksaan atau tindakan yang dinilai pasien tidak diperlukan.

7 Anny Isfandyarie; Malpraktek & Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana ,op.cit, hal 30

(14)

Berikut ini beberapa contoh kasus-kasus yang diduga sebagai kasus malpraktek kedokteran yang terjadi di Indonesia dari tahun 1995 sampai dengan tahun 20098

NO

:

TABEL 1

CONTOH KASUS-KASUS YANG DIDUGA SEBAGAI KASUS MALPRAKTEK KEDOKTERAN

KORBAN KASUS TEMPAT TAHUN

01 Dian Nita A Kaki diamputasi karena salah obat RS Koesna

Tuban Jawa-Timur 1995

02 Meilani Shanti Demam Berdarah, lalu dioperasi dan meninggal dunia

RS Permata Bunda

Medan Sumatera Utara 1995

03 Sriyanti Meninggal dunia setelah disuntik Ruang Praktek

Ang Djin Tjwan 1997

04 Lim A Hui Buta akibat salah tranfusi darah RS Harapan Anda

Pontianak 1997

05 Firdaus Meninggal dunia setelah diberi antibiotik RSUD Soetomo

Surabaya 2000

06 Sisi Chususyanti Pendarahan dan koma akibat operasi dan laporoskopi

RS Budi Jaya

Jakarta 2000

07 Nelly Buta setelah operasi tumor di punggung RS Medistra JakartaSelatan 2000

08 Liantia Kaliza Meninggal dunia akibat kelalaian dokter RSUD Mataram dan RS

Islam Siti Hajar Mataram 2002

09 Irianti Laode Dahai Meninggal dunia karena dioperasi oleh dokter umum

Klinik Tunas Cenderawasih

Jayakarta 2002

10 Muhammad Genta Kepalanya tersayat pisau saat operasi persalinan

RS Mitra Keluarga

Bekasi 2002

11 Suwarti Meninggal dunia setelah persalinan RS Setiawan Bangkalan

Madura 2002

12 Sherly Cacat setelah persalinan RS Libra Citeurup 2002

13 Arief Budiyanto,

Syaifuddin Meninggal dunia karena keracunan gas CO2 RSUD Bengkulu 2002

14 Irwanto Lumpuh setelah diberi obat RS Internasional Bintaro

Tanggerang 2003

15 Yoseffina Meninggal dunia akibat obat perangsang kelahiran

RS Internasional Bintaro

Tanggerang 2003

16 Adya Fitry Harisusanti

Salah diagnosa

Pendarahan di rahim ternyata di usus

RS PMI Bogor RS PELNI RSCM

2003

17 Asri Muliasari Meninggal dunia setelah operasi kelenjar limfa

RS Wahidin

Sudirohusodo Makasar 2003

8 Didapatkan dari beberapa sumber antara lain : www.hukumonline.com; www.gatra.com;

www.vivanews.com; www.okezone.com; www.liputan6.com; www.harian-global.com.

(15)

18 Lucy Maywati Meninggal saat melahirkan caesar dan RS menggelapkan Medical Record

RS Bersalin YPK

Jakarta 2004

19 Wulan Yulianti Meninggal karena operasi pada usus RSCM Jakarta 2004

20 Jeremiah Operasi Caesar mengakibatkan luka dan cacat RS Budi Lestari Bekasi

RS Hermina Bekasi 2004

21 Mindo Sihombing Gagal operasi Hernia RS Persahabatan Jakarta 2004

22 Robinson L Tobing Cacat permanen setelah operasi RS Kodam Bukit Barisan

Medan 2004

23 Ngatmi Operasi kanker payudara RS Persahabatan Jakarta 2004

24 Rohati Meninggal dunia akibat gagal operasi kanker

payudara RS Dharmais Jakarta 2004

25

Srifika Modeong, Rasyid Rahman, Juhria Ratubahe, Masna Stiman

Keracunan mercury dan arsen RSCM Jakarta Dan

RS MMC Jakarta 2004

26 Fellina Azzahra Meninggal karena salah operasi usus RS Karya Medika Jakarta 2004 27 Andreas Kelahiran yang mengakibatkan cacat RS Pasar Rebo Jakarta 2004 28 Lexyano Hamsalim Infeksi akibat operasi klip jantung RS Medistra Jakarta 2004

29 Masita Ariani Kegagalan bedah plastik pada hidung Klinik Bedah Plastik

Bandung 2004

30 Sita Dewati Darmoko

RS tidak memberitahu hasil diagnosa Yang diberitahukan tumor ganas padahal kanker ganas Stadium IV

RS Pondok Indah Jakarta 2005

31 Nova

Salah operasi (Penyakit kaku tulang pendengaran bag. kiri tetapi yang dioperasi telinga bagian kanan)

RS Mitra Keluarga

Kemayoran Jakarta 2006

32 Dorkas Hotmian br Silitonga

Koma 3 bulan setelah melahirkan Pelayanan medis tidak memadai

RS Bakti Yuda Depok

RS Mitra Keluarga Depok 2008

33 Gavin Tambunan Cacat setelah dilahirkan (patah tulang tangan

kiri) RSU Sarah Medan 2009

Tuntutan-tuntutan malpraktek kedokteran yang diajukan masyarakat ke Pengadilan bagi dokter dianggap sebagai ancaman, penerapan hukum di bidang kedokteran dianggap sebagai intervensi hukum, para dokter tersebut menganggap bahwa semua tindakannya dapat dibenarkan karena tindakan medis yang dilakukan berdasarkan alasan menolong pasien dan Kode Etik Kedokteran Indonesia sudah cukup mengatur dan mengawasi dokter dalam bekerja sehingga tidak perlu lagi adanya intervensi hukum. Akan tetapi kepercayaan masyarakat terhadap dunia kedokteran sudah menurun, dan seringkali kasus malpraktek

(16)

kedokteran yang dialami oleh masyarakat mengakibatkan korbannya menderita seumur hidup bahkan sampai mengakibatkan hilangnya nyawa pasien. Masyarakat merasa walaupun tindakan dokter didasari alasan menolong pasien akan tetapi apabila tindakan medis yang gagal terlebih lagi disebabkan karena adanya faktor kelalaian dari pihak dokter sehingga membawa akibat yang sangat tidak diinginkan, seperti cacat seumur hidup atauun hilangnya nyawa pasien, maka tindakan tersebut merupakan salah satu tindakan criminal yang seharusnya diatur oleh hukum dan bukan hanya diatur berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia yang hanya dimengerti oleh profesi kedokteran saja.

Semakin seringnya berita malpraktek kedokteran di berbagai media massa dapat dijadikan sebagai bukti bahwa kepercayaan masyarakat telah menurun terhadap pelayanan kesehatan negeri kita tercinta ini juga ditanggapi oleh kalangan dokter dengan cara melakukan praktek kedokteran secara defensif atau dengan kata lain dokter memilih untuk menangani pasien yang penyakitnya tidak terlalu parah karena apabila ada kesalahan sedikit saja nantinya akan mendatangkan tuntutan malpraktek kedokteran. Oleh karena itu Pemerintah pada tanggal 6 Oktober 2004 mengundangkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran (selanjutnya dalam penulisan ini akan disebut dengan UU Praktek Kedokteran) dengan harapan dapat menjembatani kepentingan antara dokter dan pasien dalam suatu penyelenggaraan praktek kedokteran di Indonesia.

Pasal 3 UU Praktek Kedokteran menyebutkan bahwa pengaturan praktek kedokteran bertujuan untuk :

a. Memberikan perlindungan kepada pasien;

(17)

b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter;

c. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan dokter.

Untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dari dokter maka dalam UU Praktek Kedokteran juga memerintahkan untuk membentuk dua lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan praktek kedokteran, yaitu Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang bertugas untuk menerima pengaduan dari masyarakat yang kepentingannya dirugikan oleh dokter dalam suatu pelaksanaan praktek kedokteran, memeriksa pengaduan tersebut dan akhirnya mejatuhi putusan terhadap dokter yang diadukan tersebut serta memberi sanksi apabila dokter yang diadukan tersebut memang telah mengajukan kesalahan pada saat melakukan praktek kedokteran.

Setiap anggota masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sehingga timbullah kewajiban bagi mereka yang berprofesi sebagai dokter untuk melayani pasien sebaik-baiknya. Akan tetapi dokter juga manusia biasa yang bisa salah, khilaf, lalai atau dengan kata lain dokter melakukan tindakan malpraktek kedokteran baik secara sengaja maupun tidak disengaja, apabila hal ini terjadi dapat membawa akibat sangat fatal kepada pasiennya dan sudah seharusnya dokter tersebut diberikan sanksi atau hukuman sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kesalahan yang telah dilakukannya.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis merasa tertarik untuk mengangkat permasalahan-permasalahan malpraktek kedokteran yang terjadi antara pasien dan

(18)

dokter dalam suatu praktek kedokteran. Oleh karena itu untuk membahas hal tersebut penulis memilih judul dalam penulisan skripsi ini adalah :

“Pertanggungjawaban Dokter Yang Melakukan Tindakan Malpraktek (Suatu Tinjauan Berdasarkan Hukum Kesehatan)”

B. Permasalahan

Seorang dokter yang melakukan tindakan malpraktek kedokteran dapat menimbulkan akibat yang fatal dan sangat merugikan pasien seperti : cacat tubuh yang harus diderita pasien seumur hidupnya atau bahkan lebih buruk lagi sampai mengakibatkan pasien tersebut dikenakan hukuman ataupun sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kesalahan tersebut. Sesuai dengan judul penulisan skripsi ini, yaitu : “Pertanggungjawaban Dokter Yang Melakukan Tindakan Malpraktek (Suatu Tinjauan Berdasarkan Hukum Kesehatan)”, maka permasalahan yang akan dibahas penulis dalam penulis dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Apakah yang dimaksud dengan malpraktek kedokteran serta batasan- batasan yang dapat dipakai untuk menentukan bahwa seorang dokter telah melakukan malpraktek kedokteran terhadap pasien.

2. Tindakan atau upaya hukum apakah yang dapat dilakukan oleh seorang pasien atau keluarganya apabila terkena malpraktek kedokteran

3. Sanksi-sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap dokter yang melakukan malpraktek kedokteran sebagai bentuk pertanggungjawaban dokter kepada pasiennya.

(19)

C. Tujuan dan Manfaat

Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan malpraktek kedokteran serta batasan-batasan yang dapat dipakai untuk menentukan apakah seorang dokter telah melakukan malpraktek terhadap pasien.

2. Untuk mengetahui tindakan ataupun upaya hukum yang dapat dilakukan oleh seorang pasien ataupun keluarganya yang terkena tindakan malpraktek.

3. Untuk mengetahui sanksi-sanksi apa saja yang dapat dikenakan kepada seorang dokter yang melakukan tindakan malpraktek sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada pasien.

Sedangkan manfaat yang penulis harapkan diperoleh dari penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis

a. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum kesehatan yang berkaitan dengan praktek kedokteran, terlebih lagi dengan adanya Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

b. Dapat memberikan penjelasan bahwa setiap dokter tidak hati-hati dalam melakukan prakteknya dapat menimbulkan malpraktek, dan tidak semua praktek kedokteran yang tidak sempurna (tidak dapat memberikan kesembuhan) merupakan malpraktek kedokteran

2. Secara praktis

(20)

a. Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dan pedoman bagi rekan-rekan mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum dan pemerintah dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan praktek kedokteran khususnya tentang malpraktek kedokteran.

b. Dapat memberikan penjelasan kepada masyarakat dan praktisi kedokteran tentang perlindungan hukum yang terkait dengan adanya suatu praktek kedokteran.

D. Keaslian penulisan

Skripsi ini berjudul “Pertanggungjawaban Dokter Yang Melakukan Tindakan Malpraktek (Suatu Tinjauan Berdasarkan Hukum Kesehatan)”.

Sehubungan dengan keaslian judul skripsi, penulis telah melakukan pengecekan pada kepustakaan Departemen Pidana, sehingga dapat dinyatakan bahwa isi tulisan ini tidak sama dengan tulisan yang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penulisan ini adalah asli.

Penulis menyatakan bahwa benar skripsi ini adalah hasil karya sendiri.

Bilamana nantinya ada penulisan yang sama atau menyerupai di luar sepengetahuan penulis, maka penulis berkeyakinan bahwa hasil karya ini memiliki perbedaan dari segi substansi pembahasannya dan penulis dapat mempertanggung-jawabkan hasil karyanya. Apabila ternyata ada skripsi dengan judul dan substansi pembahasan yang sama dengan skripsi ini, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya.

(21)

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Kedokteran

Kedokteran dalam bahasa Inggris sering disebut dengan “medicine”

merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang penyakit dan cara-cara penyembuhannya. Ilmu kedokteran adalah cabang ilmu kesehatan yang mempelajari tentang cara mempertahankan kesehatan manusia dan mengembalikan manusia pada keadaan sehat dengan memberikan pengobatan pada penyakit dan cedera. Ilmu ini meliputi pengetahuan tentang sistem tubuh manusia dan penyakit serta pengobatannya, dan penerapan dari pengetahuan tersebut.9

Perkembangan ilmu kedokteran menjelaskan bahwa pada awalnya sebagian besar kebudayaan dalam masyarakat awal menggunakan tumbuh-tumbuhan herbal dan hewan untuk tindakan pengobatan. Ini sesuai dengan kepercayaan magis mereka yakni animisme, sihir, dan dewa-dewi. Masyarakat animisme percaya bahwa benda mati pun memiliki roh atau memiliki hubungan dengan roh leluhur.

Ilmu kedokteran berangsur-angsur berkembang di berbagai tempat terpisah yakni Mesir kuno, Tiongkok kuno, India kuno, Yunani kuno, Persia, dan lainnya.

Sekitar 1400-an terjadi sebuah perubahan besar yakni pendekatan ilmu kedokteran terhadap sains. Hal ini mulai timbul dengan penolakan karena tidak sesuai dengan fakta yang ada terhadap berbagai hal yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh pada masa lalu. Beberapa tokoh baru seperti Vesalius (seorang ahli anatomi) membuka jalan penolakan teori-teori besar kedokteran kuno seperti teori Galen, Hippokrater, dan Avicenna. Diperkirakan hal ini terjadi akibat semakin lemahnya kekuatan

9 http://id.wikipedia.org?wiki/kedokteran

(22)

gereja dalam masyarakat pada masa itu. Ilmu kedokteran yang seperti dipraktekkan pada masa kini berkembang pada akhir abad ke-18 dan abad ke-19 di Inggris (oleh William Harvey, abad ke-17), Jerman (Rudolf Virchow) dan Perancis (Jean Martin Charcot, Claude Bernard). Ilmu kedokteran modern, kedokteran “ilmiah” (dimana semua hasil-hasilnya telah diujicobakan) menggantikan tradisi awal kedokteran barah, herbalisme, humorlasime Yunani dan semua teori pra-modern. Pusat perkembangan ilmu kedokteran berganti ke Britania Raya dan Amerika Serikat pada awal tahun 1900-an (oleh Willian Osler, Harvey Cushing).10

Di Indonesia sendiri, sejarah ilmu kedokteran dimulai pada pertengahan abag ke-19 dimasa penjajahan Belanda. Pada tahun 1851 dibuka Dokter Djawa School yang bertujuan untuk mendidik mantra cacar (vaccinateur). Lalu pada tahun 1898 dikembangkan School tot Oplediding van Indische Artsen (STOVIA) di Jakarta yang lulusannya bukan lagi dari dokter jawa akan tetapi berubah menjadi dokter bumiputera (Indlandsch arts) yang ada pada tahun 1913 lulusan STOVIA disebud sebagai dokter Hindia (Indische arts). Di Surabaya pada tahun 1913 juga didirikan Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) yang pendidikan dan gelar kelulusannya sama seperti STOVIA. Pada masa pendudukan Jepang pada tepatnya tanggal 8 maret 1942 STOVIA dan NIAS ditutup, dan baru dibuka kembali pada 29 april 1943 dengan nama Ika Dai Gaku.

Setelah bangsa Indonesia merdeka, di Yogyakarta tanggal 20 November 1949 didirikan untuk pertama kalinya Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Gigi di Universitas Gajah Mada, yang kemudian tahun 1950-1965 bermunculan Fakultas

10 http://id.wikipedia.org?wiki/kedokteran

(23)

Kedokteran di Indonesia seperti di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan daerah-daerah lainnya di Indonesia.11

Kata dokter berasal dari bahasa latin yang berarti “guru”. Secara umum dapat dikatakan bahwa dokter adalah seseorang yang karena keilmuannya berusaha menyembuhkan orang-orang yang sakit. Kemampuan untuk menyembuhkan penyakit tersebut tidak dimiliki semua orang atau dapat dikatakan hanya dimiliki anggota-anggota masyarakat tertentu saja, dan perlu diingat bahwa tidak semua orang yang menyembuhkan penyakit bisa disebut sebagai dokter.12

1. Memiliki Surat Tanda Registrasi Dokter (pasal 29 UU Praktek Kedokteran), Surat Tanda Registrasi (STR) dokter adalah bukti tertulis Dalam bab I Ketentuan Umum pasal 1 huruf 2 UU Praktek Kedokteran memberikan definisi dokter sebagai berikut :

“Dokter adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik didalam maupun diluar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan”

Perlu diingat bahwa karena keterbatasan penulis dan untuk mempersempit ruang lingkup pembahasan dalam skripsi ini maka penulis tidak akan membahas tentang dokter gigi dan dokter gigi spesialis atau dengan kata lain definisi dokter dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :

“Dokter adalah dokter, dokter spesialis, lulusan pendidikan kedokteran baik didalam maupun diluar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan”

Seseorang yang telah lulus pendidikan kedokteran tidak langsung dapat menjalankan praktek kedokteran secara legal di Indonesia, sebab masih ada syarat-syarat tertentu yang diwajibkan oleh UU Praktek Kedokteran, yaitu :

11 Danny Wiradharma, Etika Profesi Medis, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2001, hal 71-73

12 http://id.wikipedia.org/wiki/dokter

(24)

yang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia, masa berlakunya hanya lima tahun dan wajib diregistrasi ulang setiap lima tahun. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No 1 tahun 2005 yang merupakan peraturan pelaksana yang mengatur tentang registrasi dokter dalam pasal 2 ayat (2) disebutkan untuk dapat memperoleh Surat Tanda Registrasi maka seorang dokter wajib mengajukan permohonan kepada Konsil Kedokteran Indonesia dengan melampirkan :

a. Fotocopy ijasah dokter atau dokter spesialis;

b. Surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter;

c. Surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki Surat Ijin Praktek;

d. Fotocopy sertifikat kompetensi;

e. Surat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi;

f. Pas foto terbaru.

Surat Tanda Registrasi dokter dikeluarkan selambat-lambatnya 3 bulan sejak permohonan diterima oleh Konsil Kedokteran Indonesia, dan berlaku secara nasional.

Bagi dokter Warga Negara Indonesia lulusan luar negeri yang akan melaksanakan praktek kedokteran untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi mengajukan permohonan kepada KKI untuk dilakukan evaluasi.

Evaluasi dilakukan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, berdasarkan permintaan tertulis dari

(25)

KKI. Pasal 4 Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 1 tahun 2005 menyebutkan bahwa evaluasi tersebut meliputi :

a. Bukti keabsahan ijasah;

b. Surat keterangan telah mengikuti program adaptasi dan sertifikat kompetensi;

c. Surat pernyataan telah mengucapkan sumpah /janji dokter;

d. Surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki Surat Ijin Praktek;

e. Surat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi;

2. Memiliki Surat Ijin Praktek (pasal 36 UU Praktek Kedokteran)

Untuk dapat melakukan praktek kedokteran sorang dokter harus memiliki Surat Ijin Praktek. Surat Ijin Praktek (SIP) adalah bukti tertulis yang diberikan pemerintak kepada dokter yang akan menjalankan praktek kedokteran setelah memenuhi persyaratan yang diatur dalam pasal 39 UU Praktek Kedokteran, yaitu :

a. Memiliki Surat Tanda Registrasi yang masih berlaku;

b. Mempunyai tempat praktek;

c. Memikili rekomendasi dari organisasi profesi, yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Surat Ijin Praktek dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktek kedokteran dokter tersebut dilaksanakan, dan hanya diberikan paling banyak 3 (tiga) tempat dimana satu Surat Ijin Praktek hanya berlaku untuk satu tempat praktek saja (pasal 37 UU

(26)

Praktek Kedokteran). Peraturan pelaksana tentang Surat Ijin Praktek diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 512/MENKES/PER/IV/2007 tentang Praktek dan Pelaksanaan Praktek Kedokteran.

Dokter yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi dan Surat Ijin Praktek mempunyai kewenangan untuk melakukan praktek kedokteran sesuai dengan kompetensi yang dimiliki, dalam pasal 35 UU Praktek Kedokteran kewenangan yang dimiliki oleh dokter antara lain :

1. Mewawancarai pasien;

2. Memeriksa fisik dan mental pasien;

3. Menentukan pemeriksaan penunjang ; 4. Menegakkan diagnosis ;

5. Menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien ; 6. Melakukan tindakan kedokteran ;

7. Menulis resep obat dan alat kesehatan ; 8. Menerbitkan surat keterangan dokter ;

9. Menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diijinkan ; dan

10. Meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang berpraktek di daerah terpencil yang tidak ada apotek.

Sekarang ini dokter bukanlah hanya sekedar sebagai suatu pekerjaan untuk mencari nafkah saja, tetapi termasuk kedalam profesi, hal ini disebutkan dalam pasal 1 huruf 10 UU Praktek Kedokteran yang memberikan pengertian profesi kedokteran sebagai berikut :

(27)

“Profesi kedokteran adalah suatu pekerjaan kedokteran atau dokter gigi yang dilaksanakan berdasarkan keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dank ode etik yang bersifat melayani masyarakat”

Komalawati mengatakan bahwa hakikat profesi dokter adalah panggilan hidup untuk mengabdikan diri pada kemanusiaan yang didasarkan pada pendidikan yang harus dilaksanakan dengan kesungguhan niat dan tanggungjawab penuh.13

Menurut hukum profesi, didalam dunia modern ada empat profesi yang betul-betul merupakan full-status profession, yaitu Profesi Dokter, Profesi Hukum, Profesi Guru dan Profesi Minister (Ulama atau Pendeta). Apabila dibandingkan dengan keempat profesi tersebut profesi kedokteran memiliki kekhususan yang membedakannya dengan profesi lain, kekhususan profesi kedokteran terletak pada sifat otonom dan ukuran mengenai kemampuan rata-rata dari dokter sebagai pengemban profesi, ketelitian, ketekunan, kehati-hatian dan rasa pengabdian yang tinggi.14

Danny Wiradharma menyebutkan 3 kriteria penting yang harus dipenuhi oleh profesi kedokteran, yaitu15

a. Ilmu

:

Setiap dokter harus memiliki kemampuan dan pengetahuan medis yang optimal, kemampuan dan pengetahuan medis yang optimal, kemampuan dan pengetahuan tersebut diperoleh melalui suatu pendidikan formal di Fakultas Kedokteran yang ditandai dengan

13 Veronica D Komalawati, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik : Persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung 2002, hal 19

14 Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan : Pertanggungjawaban Dokter, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal 38.

15 Danny Wiradharma, op.cit, hal 91-93

(28)

memiliki ijasah yang sah. Seorang dokter tidak hanya mengetahui apa yang harus dilakukan dalam menghadapi pasien dan bagaimana melakukannya akan tetapi dokter harus juga mengetahui mengapa hal itu dilakukan. Hal ini yang membedakan profesi dokter dengan

“dukun”

b. Pelayanan

Seorang dokter memberikan pelayanan yang dinilai oleh masyarakat sebagai sesuatu yang bermanfaat. Dalam melakukan prakteknya seorang dokter harus mengabdi kepada kepentingan umum dan diharapkan memperoleh kepuasan dari pengamalan ilmu dan kemampuannya kepada pasien, serta tidak menganggap uang sebagai pemuas utama pekerjaannya melainkan hasil pekerjaannya, yaitu kesembuhan pasiennya.

c. Otonomi

Profesi kedokteran memiliki hak untuk mengawasi pekerjaannya sendiri, hal ini karena tidak ada orang lain yang lebih tahu tentang seluk-beluk pekerjaan tersebut selain profesi kedoteran. Pemberian otonomi ini harus dilihat sebagai penghargaan yang diberikan hukum dan masyarakat atas keluhuran martabat profesi kedokteran itu sendiri, oleh karena itu sudah seharusnya seorang dokter melakukan pekerjaannya sebaik mungkin.

Sebagai pengemban profesi, seorang dokter merupakan orang yang memiliki keahlian dan keterampilan dalam ilmu kedokteran yang secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan pelayanannya, dan dokter

(29)

juga harus mampu memutuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan dalam menjalankan profesinya, serta secara pribadi bertanggungjawab atas mutu pelayanan yang diberikannya.

2. Pengertian Praktek Kedokteran

Pelaksanaan profesi dokter pada dasarnya mengandung dua unsur utama, yaitu ilmu kedokteran dan pelayanan kedokteran (praktek kedokteran). Kedua unsur tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan. Ilmu kedokteran memberi fondasi dan jawaban terhadap masalah-masalah pelayanan kedokteran. Sedangkan pelayanan kedokteran, selain sebagai penerapan ilmu kedokteran juga wahana perkembangan ilmu kedokteran melalui kajian-kajian terhadap hasil penerapannya.

Pasal 1 butir (1) UU Praktek Kedokteran menyebutkan :

Praktek kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.

Praktek kedokteran yang pada umumnya dilaksanakan oleh dokter terdiri dari 2 bentuk, yaitu16

a. Praktek kedokteran swasta perorangan, dimana dokter melakukan pemeriksaan sampai pengobatan terhadap pasien ditempat praktek dilaksanakan,

:

b. Praktek kedokteran pada sarana pelayanan kesehatan, antara lain yang dilaksanakan di Rumah Sakit.

Pasien yang datang ketempat praktek dokter perorangan ataupun Rumah Sakit tempat dokter bekerja dengan tujuan untuk memeriksakan kesehatannya atau

16 Anny Isfandyarie, Tanggungjawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku I, Penerbit Prestasi Pustaka Publisher, Malang, 2006, hal 15

(30)

dengan kata lain untuk berobat menurut Bahder Johan Nasution dapat dikatakan merupakan awal dari timbulnya hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam suatu praktek kedokteran yang dikenal dengan istilah Transaksi Terapeutik.17

Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat diuraikan tentang sifat atau ciri-ciri khas dari suatu transaksi terapeutik sebagai berikut

Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dilampirkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 434/Men.Kes/X/1983 yang mengatur tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagi Para Dokter Indonesia mencantumkan pengertian transaksi terapeutik sebagai berikut :

“Yang dimaksud dengan transaksi terapeutik adalah hubungan antara dokter dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial), serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran mahluk insani”

18

- Transaksi terapeutik khusus mengatur hubungan antara dokter dan pasien.

:

- Hubungan dalam transaksi terapeutik ini hendaknya dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial) yang berarti pasien harus percaya kepada dokter yang melakukan terapi demikian juga sebaliknya terhadap dokter. Dalam rangka menjaga kepercayaan ini dokter harus berupaya maksimal untuk kesembuhan pasien yang telah mempercayakan kesehatannya tersebut, dan pasien pun harus memberikan keterangan yang jelas dan jujur tentang penyakitnya kepada dokter, serta mematuhi perintah dokter yang perlu dilakukan untuk mencapai kesembuhan dari pasien tersebut.

17 M Jusuf Hanafiah & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan edisi ketiga, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta 1999, hal 39

18 Anny Isfandyarie Tanggungjawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku I, op.cit, hal 72

(31)

- Hubungan ini juga dinyatakan sebagai ”senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran mahluk insani”.

Mengingat kondisi pasien yang sedang sakit (khususnya pada pasien yang penyakitnya kronis atau sakitnya sudah berat) dapat mempengaruhi kondisi pasien yang emosional, kekhawatiran terhadap kemungkinan penyakitnya dapat disembuhkan atau tidak, disertai dengan harapan ingin hidup lebih lama lagi, hal ini menimbulkan hubungan yang bersifat khusus yang membedakan transaksi terapeutik ini dengan transaksi pada umumnya.

Anny Isfandyarie mengemukakan bahwa transaksi terapeutik dapat diartikan sebagai perjanjian antara dokter dengan pasien dalam suatu pelayanan medis, dimana dokter diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan medis yang diperlukan untuk kesembuhan pasiennya.19

Transaksi terapeutik yang terjadi antara dokter dan pasien dalam suatu praktek kedokteran memiliki kekhusussan tersendiri apabila dibandingan dengan perjanjian pada umumnya. Hal ini diuraikan oleh Veronica D Komalawati sebagai berikut20

- Subjek pada transaksi terapeutik terdiri dari dokter dan pasien.

:

Dokter bertindak sebagai pemberi pelayanan medis secara profesional yang pelayanannya didasarkan pada prinsip pemeberian pertolongan, sedangkan pasien sebagai penerima pelayanan medis yang membutuhkan pertolongan.

- Objek perjanjian berupa upaya medik profesional yang bercirikan pemberian pertolongan.

19 Anny Isfandyarie, Malpraktek dan Resiko Medik, op.cit, hal 72

20 Veronica D Komalawati, op.cit, hal 145

(32)

- Tujuan perjanjian adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang berorientasi kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif).

3. Pengertian Hukum Kesehatan

Indonesia pada tahun 1981 terdapat suatu kasus yang menimbulkan banyak reaksi masyarakat khususnya kalangan hukum, kasus tersebut adalah kasus Dr.

Setianingrum di daerah Pati. Sejak terjadinya peristiwa tersebut lahirlah suatu cabang ilmu baru yang sebelumnya belum dikenal, yaitu Hukum Medis atau Hukum Kesehatan.21

Guwandi mengemukakan bahwa Hukum Medis merupakan penggabungan dari dua disiplin ilmu yang tertua, yaitu Hukum (Themis) dan Kedokteran (Aesculapius) bergabung menjadi suatu cabang baru dari disiplin Hukum.22

- H J J Leenen

Mengenai definisi Hukum Kesehatan ini di Indonesia belum ada definisi baku yang telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan akan tetapi beberapa pakar hukum telah memberikan definisi dari hukum kesehatan yang dapat dijadikan sebagai pedoman. Pendapat para pakar hukum tersebut antara lain:

Hukum Kesehatan adalah semua peraturan hukum yang berhubungan langsung pada pemberian pelayanan kesehatan dan penerapannya pada hukum perdata, hukum administrasi dan hukum pidana. Arti peraturan disini tidak hanya mencakup pedoman internasional, hukum kebiasaan, hukum

21 Hukum Medis (Medical Law) dalam beberapa kepustakaan sering juga disebut dengan Hukum Kedokteran, Hukum Kesehatan (Health Law, Gezondheisrecht)

22 J Guwandi, Hukum Medik (Medical Law), Balai Penerbit FK UI, Jakarta 2005, hal 7

(33)

yurisprudensi, namun ilmu pengetahuan dan kepustakaan dapat juga merupakan sumber hukum.23

- Van Der Mijn

Hukum Kesehatan dapat dirumuskan sebagai perkumpulan peraturan yang berkaitan dengan pemberian perawatan dan juga penerapannya kepada hukum perdata, hukum pidana dan hukum administrasi.

Hukum Medis yang mempelajari hubungan yuridis dimana dokter menjadi salah satu pihak, adalah bagian dari hukum kesehatan.24

- Prof. Dr. Rang

Hukum Kesehatan adalah seluruh aturan-aturan hukum dan hubungan- hubungan kedudukan hukum yang langsung berkembang dengan atau yang menentukan situasi kesehatan didalam mana manusia berada.25

- Sacipto Raharjo

Ilmu hukum kedokteran meliputi peraturan-peraturan dan keputusan hukum yang mengatur pengelolaan praktek kedokteran.

- Amri Amir

Hukum kedokteran atau Hukum Kesehatan adalah cabang ilmu yang mengatur tentang ketentuan-ketentuan hukum yang berhubungan dengan pemeliharaan dan pelayanan kesehatan.

Hukum kesehatan merupakan salah satu bidang hukum yang sangat dinamis jika dilihat dari perkembangannya dari hari ke hari. Pesat dan dinamisnya hukum

23 ibid, hal 12

24 ibid, hal 13

25 Munir Fuady, op.cit, hal 19

(34)

kesehatan menurut Munir Fuady disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut26

- Perkembangan teknologi kedokteran yang cukup cepat :

- Perkembangan teknologi informasi yang cepat - Pengaruh globalisasi

- Meningkatkan kesadaran pasien akan hak-haknya selaku pasien

- Meningkatnya pengetahuan pasien tentang praktek dokter yang benar dan profesional

- Masuknya unsur-unsur bisnis ke bidang pelayanan kesehatan.

Hukum kesehatan di Indonesia tidak terdapat dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan yang khusus, akan tetapi letaknya tercecer dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Hukum kesehatan dapat ditemukan didalam pasal-pasal khusus yang ada kaitannya dengan bidang kesehatan, hukum kesehatan merupakan suatu conglomeraat dari peraturan-peraturan dengan sumber yang berlainan. Ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan hukum kesehatan ini secara garis besar dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu :

a. Bidang Hukum Administrasi yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.

b. Bidang Hukum Pidana, yang terdiri dari :

- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

- Ketentuan Pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

26 ibid, hal 9

(35)

- Ketentuan Pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran

c. Bidang Hukum Perdata, yang terdiri dari :

- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk wetboek atau Bw), khususnya Buku III yang mengatur tentang Hukum Perikatan

- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Hukum Kesehatan ini ada yang terletak di bidang hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi yang penerapan, penafsiran serta penilaian terhadap faktanya di bidang medis. Disinilah letak kesulitan hukum kesehatan, karena menyangkut dua disiplin ilmu yang berlainan sekaligus. Bagi profesi hukum yang mau memperdalam pengetahuannya di bidang hukum kesehatan masih harus ditambah dengan pengertian atau setidaknya harus mengetahui tata cara ilmu pengetahuan di bidang medis yang sangat kompleks dan bersifat kasuistis, pengalaman serta nyata praktek kedokteran di rumah sakit ada baiknya dilakukan, sehingga bisa memperoleh gambaran yang lebih jelas secara menyeluruh. Hukum kesehatan dalam prakteknya di masyarakat bertumpu kepada dua asas, yaitu27

- Hak atas pelayanan kesehatan (the right to helath care) :

- Hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self – determination)

Hubungan antara ilmu kedokteran dengan ilmu hukum ini sebetulnya bukanlah pertama kali terjadi dalam Hukum Kesehatan saja, akan tetapi hubungan

27 ibid, hal 18

(36)

tersebut sudah lama terjalin. Pada jaman Romawi dalam suatu perkara di pengadilan seorang yang ahli di bidang kedokteran yang disebut sebagai “amicus curiae” atau “friends of court” (sahabat pengadilan), turut aktif mengikuti suatu

persidangan dan memberikan pendapat sesuai dengan keahliannya yang berhubungan dengan kasus yang sedang diperiksa oleh pengadilan, umumnya kasus pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan atau kematian yang mencurigakan;

pada korban yang tidak dikenal diperlukan pemeriksaan untuk mengetahui identitasnya dll. Dewasa ini bantuan kedokteran terhadap kepentingan hukum tersebut dikenal dengan Ilmu Kedokteran Forensik.28

Menurut Amri Amir walaupun sama-sama menggabungkan ilmu kedokteran dan kesehatan dengan ilmu hukum antara Ilmu Hukum Kesehatan dan Hukum Kedokteran harus dibedakan dengan Ilmu Kedokteran Forensik. Titik berat Ilmu Kedokteran Forensik adalah untuk kepentingan penegakkan hukum dan keadilan (medicine for the law), sedangkan titik berat penerapan Hukum Kesehatan adalah untuk kepentingan kalangan kesehatan dan pemakai jasa di bidang kesehatan, yaitu agar pelayanan kesehatan berlangsung dengan baik (law for medicine atau law regulating the practice of medicine).29

4. Lembaga-Lembaga Yang Dibentuk Setelah Keluarnya UU Praktek Kedokteran

a. Konsil Kedokteran Indonesia (KKI)

Untuk melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan maka berdasarkan UU Praktek

28 Amri Amir, Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik edisi kedua, Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran USU, Medan 2005, hal 1-7

29 ibid, hal 25

(37)

Kedokteran dibentuklah Konsil Kedokteran Indonesia (selanjutnya dalam penulisan ini akan disebut dengan KKI)

Pasal 1 butir 1 UU praktek Kedokteran menyebutkan bahwa :

Konsil Kedokteran Indonesia adalah suatu badan hukum yang otonom, mandiri, struktural dan bersifat independen yang terdiri dari Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Indonesia.

Sesuai dengan tujuan KKI, yaitu menjembatani kepentingan para pihak yang terkait dalam praktek kedokteran maka anggota KKI terdiri atas unsur-unsur yang berasal dari :

- Organisasi profesi dokter (2 orang);

- Organisasi profesi kedokteran gigi (2 orang);

- Asosiasi institusi pendidikan kedokteran (1 orang);

- Asosiasi institusi pendidikan kedokteran gigi (1 orang);

- Kolegium kedokteran (1 orang);

- Kolegium Kedokteran gigi (1 orang);

- Asosiasi rumah sakit pendidikant (2 orang);

- Tokoh masyarakat (3 orang);

- Departemen kesehatan (2 orang);

- Departemen pendidikan nasional (2 orang)

(38)

Struktur organisasi KKI yang diatur dalam pasal 11-21 UU Praktek Kedokteran dapat digambarkan dalam bagan berikut ini:

Bagan I

STRUKTUR ORGANISASI KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA

Untuk dapat diangkat sebagai anggota KKI harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

- Warga negara Republik Indonesia;

Ketua KKI

Sekretariat KKI

Sekretaris

Kabag Srandarisasi pendidikan profesi

Kabag Registrasi

Kabag Pelayaan Hukum

Kabag Adm. Umum & Humas Wakil Ketua KKI

Ketua Konsil Kedokteran Ketua Konsil Kedokteran Gigi

Ketua Divisi Pendidikan

Profesi

Ketua Divisi Registrasi Kedokteran

Ketua Divisi Pembinaan

Konsil Kedokteran

Ketua divisi Stadar Pendidikan Kedokteran

Gigi

Ketua Divisi Registrasi Kedoktera

Ketua Divisi Pembinaan

Konsil Kedoktera

Gigi

(39)

- Sehat jasmani dan rohani;

- Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;

- Berkelakuan baik;

- Berusia sekurang-kurangnya 40 tahun dan setinggi-tingginya 65 tahun pada waktu menjadi anggota KKI;

- Pernah melakukan prakterk kedokteran paling sedikit 10 tahun dan memiliki STR, kecuali untuk mewakili dari masyarakat;

- Cakap, jujur, memiliki moral, etika, dan integritas tinggi serta memiliki reputasi yang baik;

- Melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lainnya pada saat diangkat dan selama menjadi anggota KKI;

- Sebelum memangku jabatan mengucapkan janji/sumpah dihadapan presiden.

KKI berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia, yaitu Jakarta tepatnya di Jl. Hang Jebat III Blok F3 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. UU Praktek Kedokteran dalam pasal 6, 7, dan 8 mengatur juga mengenai fungsi, tugas, dan wewenang dari KKI sebagai berikut :

- Fungsi KKI

KKI mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan serta pembinaan dokter yang menjalankan praktek kedokteran dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis.

- Tugas KKI

a) Melakukan registrasi dokter dan dokter gigi;

b) Mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi; dan

(40)

c) Melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktek kedokteran yang dilaksanakan bersama lembaga yang terkait sesuai denga fungsi masing-masing.

- Wewenang KKI

Dalam menjalankan tugasnya KKI diberi wewenang untuk :

a) Menyetujui dan menolak permohonan registrasi dokter dan dokter gigi;

b) Menerbitkan dan mencabut surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi;

c) Melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter dan dokter gigi;

d) Mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi;

e) Melakukan pembinaan bersama terhadap dokter dan dokter gigi yang ditetapkan oleh organisasi profesi; dan

f) Melakukan pencatatan terhadap dokter dan dokter gigi yang dikenakan sanksi oleh organisasi profesi atau perangkatnya karena melanggar ketentuan etika profesi.

b. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia

Untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktek kedokteran maka UU Praktek Kedokteran memerintahkan KKI untuk membentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (selanjutnya dalam penulisan ini disebut denga MKDKI).

Pasal 1 butir 14 UU Praktek Kedokteran menyebutkan bahwa :

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan

(41)

dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menentukan sanksi.

Anggota MKDKI ditetapkan oleh Menteri Kesehatan atas usul organisasi, yang terdiri dari unsur-unsur seperti : 3 orang dokter, 3 orang dokter gigi dari organisasi masing-masing, 1 orang dokter dan 1 orang dokter gigi sebagai wakil dari asosiasi Rumah Sakit, dan 3 orang sarjana hukum. Untuk dapat diangkat menjadi anggota MKDKI harus dipenuhi syarat-syarat berikut ;

- Warga negara Republik Indonesia;

- Sehat jasmani dan rohani;

- Berkelakuan baik;

- Berusia paling rendah 40 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada saat diangkat;

- Bagi dokter dan dokter gigi memiliki STR dan pernah melakukan praktek kedokteran paling sedikit 10 tahun;

- Bagi sarjana hukum pernah melakukan praktek di bidang hukum paling sedikit 10 tahun juga harus memiliki pengetahuan di bidang ilmu kesehatan;

- Cakap, jujur, memiliki moral, etika dan integritas yang tinggi serta memiliki reputasi yang baik.

Pada tanggal 1 Maret 2006 di kantor Departemen Kesehatan 11 orang anggota MKDKI mengucapkan sumpah dihadapan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dan Ketua KKI Hardi Yusa. Struktur organisasi MKDKI yang diatur dalam peraturan KKI No.15/KKI/PER/VIII/2006 tentang struktur dan tata kerja MKDKI dan MKDKI propinsi dapat digambarkan dalam bagan berikut ini :

(42)

Bagan 2

Struktur Organisasi MKDKI

Peraturan KKI Nomor 15/KKI/PER/VIII/2006 tentang struktur dan tata kerja MKDKI dan MKDKI propinsi juga menyebutkan fungsi, tugas dan wewenang MKDKI sebagai berikut :

- Fungsi MKDKI

MKDKI berfungsi untuk penegakan disiplin dalam arti penegakan aturan- aturan dan/atau penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dalam suatu penyelenggaraan praktek kedokteran.

- Tugas MKDKI

a) Menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan;

Ketua MKDKI

Merdias A’metsier, dr, Sp.S

Wakil Ketua MKDKI

Dr. Sabir Alwy, SH, MH

Sekretaris MKDKI

Dr. Drg. Hargianti Dini, MM Drg. Edi Sumarwanto, MM

Anggota MKDKI

Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, SH, MH Suyaka Suganda

dr. Budi Sampurna, Sp.F, SH drg. Muryono Subyato, SH dr. Mgs Johan T.Saleh,Msc dr.Ahmad Husni,MARS Edi Sumarwanto, drg, MM

Otto Hasibuan,SH,MH

(43)

b) Menyusun pedoman dan tata cara menangani kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi.

- Wewenang MKDKI

a) Menerima pengaduan pelanggaran disiplin dokter;

b) Menetapkan jenis pengaduan pelanggaran disiplin atau pelanggaran etika atau bukan keduanya;

c) Memeriksa pengaduan penyelenggaraan disiplin dokter;

d) Menentukan sanksi terhadap pelanggaran disiplin dokter;

e) Melaksanakan keputusan MKDKI;

f) Menyusun buku pedoman MKDKI dan MKDKI-P;

g) Menyusun tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter;

h) Membina, mengkoordinasikan dan menangawasi pelaksanaan tugas MKDKI-P;

i) Membuat dan memberikan pertimbangan usulan pembentukan MKDKI-P kepada KKI;

j) Mengadakan sosialisasi, penyuluhan dan dinseminasi tentang MKDKI dan MKDKI-P mencatat dan mendokumentasikan pengaduan, proses pemeriksaan dan keputusan MKDKI.

MKDKI berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia yang beralamat sama dengan KKI, yaitu di Jl. Hang Jebat III Blok F3 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan dan nantinya disetiap propinsi juga akan dibentuk MKDKI Propinsi.

Sampai saat ini di Sumatera Utara MKDKI Propinsi belum ada terbentuk.

(44)

F. Metode Penulisan 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian yang dilakukan secara normatif juridis, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap peraturan-peraturan tertulis yang mengatur tentang hukum kesehatan dan bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan malpraktek kedokteran.

Dalam membahas malpraktek kedokteran yang menyangkut dua disiplin ilmu yang berbeda, yaitu ilmu kedokteran dan ilmu kesehatan maka dalam penulisan ini akan menggunakan “pendekatan medikolegal” yang merupakan suatu cara pendekatan terhadap masalah medik melalui hukum.30

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Ikatan Dokter Indonesia wilayah Medan dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, dengan pertimbangan tempat penelitian tersebut memenuhi karakteristik untuk mendapatkan gambaran mengenai masalah yang akan diteliti.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan ini digunakan metode peneltitian sebagai berikut :

a. Library Research (Penelitian Kepustakaan), yakni dengan melakukan penelitian berbagai sumber bacaan antara lain : peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah-majalah,

30 Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998 hal 130

(45)

pendapat sarjana dan juga bahan-bahan kuliah yang berhubungan dengan malpraktek kedokteran.

b. Field Research (Penelitian Lapangan), yakni dengan melakukan penelitian langsung kelapangan, dalam hal ini penulis langsung mengadakan penelitian ke Ikatan Dokter Indonesia wilayah Medan dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

4. Analisis Data

Analisis data yang dialakukan dalam penulisan ini adalah secara kualitatif, yaitu apa yang diperoleh dari penelitian lapangan dan wawancara yang dilakukan secara tertulis maupun lisan yang diteliti secara utuh dan menyeluruh.

G. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Merupakan bab yang memberikan ilustrasi guna memberikan informasi yang bersifat umum dan menyeluruh serta sistematis yang terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB I I : MALPRAKTEK KEDOKTERAN

Terdiri dari pembahasan mengenai pengertian malpraktek kedokteran, criteria untuk menentukan malpraktek kedokteran dan jenis-jenis malpraktek kedokteran.

BAB III : PENYELESAIAN MALPRAKTEK KEDOKTERAN

Referensi

Dokumen terkait

Signifikan jika F hitung > F tabel : H o ditolak.. Dari perbandingan tersebut dapat dilihat bahwa nilai dari F hitung 10,51 lebih besar dari nilai F tabel

Hasil pengujian pada perusahaan sub sektor perbankan yang terdaftar di BEI periode 2010-2017 memperlihatkan bahwa laba bersih merupakan salah satu faktor yang

Langkah awal yang akan dilakukan dari pendirian apotek “Sehati Farma”   ini adalah analisis terhadap lingkungan eksternal dan lingkunga internal dari pembangunan

Siti Hasunah, 2013, Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil dengan Kepatuhan dalam Mengkonsumsi Tablet Fe di BPS Ny.Siti Hasunah, Candi-sidoarjo Sitti Asyirah, 2012,

Ibu hamil dengan status paritas > 3 beresiko tinggi terjadi anemia karena seorang ibu yang sering melahirkan akan mengalami peningkatan volume plasma darah

Shine dan Slip (1990) melakukan penelitian pada spesies lain namun dari kelas yang sama yaitu Chondropython viridis dengan hasil yang menunjukkan bahwa pada kelas

(9) Strategi pembangunan Fasilitas Kepariwisataan yang mendorong pertumbuhan, meningkatkan kualitas dan daya saing Parangtritis-Depok- Kuwaru dan sekitarnya sebagaimana

Hasail Observasi No Aspek Yang Diamati Mengg unakan media Memper hatikan penjelas an guru Berdi skusi Skor 2.7 2.5 2.3 Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa dengan menerapkan