• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

5.1 Tata Niaga

5.1.1 Pelaku Tata Niaga

Pelaku tata niaga Python reticulatus di Kalimantan Tengah adalah penangkap, pengumpul perantara dan pemilik ijin resmi (penangkap berijin dan pengedar dalam negeri). Tidak ada perusahaan yang memiliki ijin sebagai pengedar luar negeri di Kalimantan Tengah. Penangkap diidentifikasi sebagai orang yang menangkap ular langsung dihabitatnya. Pengumpul perantara diidentifikasi sebagai orang yang mengumpulkan ular dari beberapa penangkap. Penangkap berijin adalah badan usaha yang memiliki ijin tangkap dari Balai KSDA Kalimantan Tengah. Pengedar dalam negeri adalah badan usaha yang mempunyai ijin sebagai pengedar kulit ular dalam negeri dari Balai KSDA Kalimantan Tengah.

(a) Penangkap.

Penangkap terdiri dari penangkap profesional dan penangkap bukan profesional. Penangkap profesional memiliki kemampuan untuk merakit jerat yang efektif dan menangkap ular tanpa melukai ular dan mereka sendiri. Bagi penangkap perorangan, penangkap ular adalah pekerjaan utama meskipun mereka mempunyai kebun dan sawah, kecuali satu kelompok. Pekerjaan penuh mereka adalah menangkap ular. Jenis ular yang ditangkap hanya Python reticulatus dan Python breitensteini (ular kendang). Ular kendang merupakan salah satu jenis sanca yag mempunyai ukuran panjang 180-200 cm, warna coklat atau merah di bagian atas dengan bintik-bintik bulat berwarna coklat, biasanya terdapat garis putih miring dari ujung mata sampai ujung mulut, bagian tubuh keputihan dan kadang berbintik coklat (BOSF 2008).

Selain penangkap profesional yang disebutkan diatas, menurut informasi penangkap, pengumpul perantara dan pengumpul yang menjadi narasumber, ada lebih dari 5 penangkap profesional dan 5 penangkap bukan profesional di Kotawaringin Barat, 5 penangkap bukan profesional di Pulang Pisau dan 1 penangkap bukan profesional di Katingan. Penangkap bukan profesional hanya menangkap ular ketika bertemu dengan ular tersebut dan bukan dengan sengaja

(2)

mencari ular. Umumnya penangkap sambilan adalah petani dan pekerja perkebunan. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengumpul perantara di Kabupaten Kuala Kapuas, Pulang Pisau, dan Kotawaringin Timur seluruh pemasok mereka adalah penangkap bukan profesional yang mempunyai pekerjaan utama sebagai petani atau pekerja di perkebunan. Penangkap tersebut hanya memasok ular atau kulit pada mereka secara tidak teratur.

Seluruh penangkap yang menjadi narasumber di Kotawaringin Barat, menangkap di kebun kelapa sawit. Mereka mempunyai wilayah teritori masing-masing dan tidak saling mengganggu, namun kadang hasil tangkapan mereka hilang dicuri orang. Penangkap lain juga sebagian besar menangkap di kebun kelapa sawit ketika mereka sedang bekerja. Umumnya mereka adalah pekerja di perkebunan kelapa sawit yang banyak terdapat di Kotawaringin Barat. Penangkap di Pulang Pisau menangkap di kebun karet, rawa, tanah tinggi dan sawah.

Penangkap profesional di Kotawaringin Barat menangkap ular sepanjang tahun. Pada bulan Oktober – Mei, mereka menangkap dengan menggunakan jerat. Pada bulan Juni-September, penangkap profesional di Kotawaringin Barat tidak menggunakan jerat untuk menangkap ular. Mereka menangkap langsung dari sarangnya. Pada musim ini, banyak penangkap sambilan yang ikut mencari ular dan jumlah ular yang ditangkap lebih banyak dari biasanya. Mereka menganggap musim ini sebagai musim panen ular.

Penangkap profesional di Pulang Pisau hanya menangkap ular pada bulan Januari-Mei setiap tahunnya. Musim kemarau mereka tidak menangkap ular karena parit tempat mereka memasang jerat umumnya mengering. Mereka tidak mengenal cara penangkapan ular di sarang karena mereka tidak mengetahui secara pasti dimana sarang ular. Mereka hanya menangkap ular yang mereka temui ketika sedang bekerja di kebun. Begitu pula dengan penangkap di Kabupaten Kuala Kapuas dan Kotawaringin Timur. Menurut informasi pengumpul perantara disana, pada bulan-bulan tersebut mereka hanya mendapatkan pasokan dalam jumlah yang sangat sedikit dan jauh berkurang dari ketika musim hujan.

Menurut Yuwono (1998), sebelum akhir tahun 1980-an, di Indonesia belum ada penangkap profesional untuk reptil. Pada saat itu, yang ada penangkap burung yang mencoba mengumpulkan lebih banyak uang dengan melakukan

(3)

pekerjaan sambilan menangkap reptil dan ampibi. Penangkap reptil profesional baru muncul pada awal tahun 1990-an dan semakin banyak lagi sampai sekarang. Pada tahun 1993 ketika terjadi larangan ekspor burung, sebagian besar pengumpul burung beralih profesi menjadi penangkap reptil. Penangkap reptil di Kabupaten Kotawaringin Barat mulai menjadi penangkap profesional pada tahun 2005 dan sebelumnya menjadi penangkap reptil di Sumatera selama beberapa tahun. Kepandaian memasang jerat dan menguliti diperoleh ketika mereka bekerja di Sumatera. Itulah sebabnya teknik penangkapan dan pengulitan tidak berbeda dengan yang dilakukan di Sumatera.

(b) Pengumpul Perantara

Pengumpul perantara di Pangkalan Banteng adalah yang terbesar dengan jumlah produksi paling besar. Jenis ular yang diterimanya adalah Python reticulatus dan Python breitensteini (pada saat musim hujan). Pengumpul perantara ini mendapatkan ular dari sekitar 20 penangkap profesional dan bukan profesional yang berada di Pangkalan Banteng. Pada saat musim “nyuluh”, pengumpul perantara ini juga terjun langsung mencari ular sendiri dibantu istrinya selain membeli ular dari penangkap lain. Dia lebih memilih membeli ular hidup daripada dalam bentuk kulit karena ular hidup akan memberi lebih banyak keuntungan dan teknik pengulitannya menghasilkan kulit dengan kualitas lebih baik. Selain pengumpul perantara yang menjadi narasumber, di Kotawaringin Barat juga terdapat seorang pengumpul perantara yang menjadi saingan dari pengumpul perantara tersebut.

Pengumpul perantara di Sampit menjadikan ular hanya sebagian dari usahanya. Pekerjaan utamanya adalah pengumpul perantara berbagai jenis satwaliar yang diperdagangkan. Pengumpul perantara ini lebih banyak menerima kura-kura, labi-labi dan biawak. Jenis ular yang diterimanya adalah Python reticulatus dan Python breitensteini. Bentuk yang diterima bisa ular hidup ataupun kulit. Ular hidup akan memberi lebih banyak keuntungan namun kulit yang ukurannya kurang sesuai juga bisa diperbaikinya hingga ukurannya sesuai. Pemasoknya adalah penangkap bukan profesional disekitar Sampit dan tidak ada penangkap profesional yang memasok ular kepadanya.

(4)

Pengumpul perantara di Anjir Pulang Pisau mempunyai pekerjaan utama sebagai petani karet dan sawah. Pekerjaan sebagai pengumpul perantara merupakan pekerjaan sampingan. Jenis ular yang diterimanya adalah Python reticulatus dan Python breitensteini yang hanya bisa diperoleh pada bulan Januari-Juni. Satwaliar lain yang diterimanya adalah labi-labi dan biawak yang bisa diterimanya sepanjang tahun. Hal ini terjadi karena pemasok ular hanya bisa menangkap ular pada musim hujan, sedangkan biawak dan labi-labi bisa ditangkap sepanjang tahun. Bentuk yang diterimanya bisa berupa ular hidup maupun kulit. Kadang memasok pula ular hidup dalam ukuran kecil untuk pet. Penangkap yang memasoknya adalah penangkap bukan profesional. Penangkap profesional yang berada didekat tempat tinggalnya langsung menjual pada pengumpul besar untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

Pengumpul perantara di Kapuas adalah pengusaha yang bergerak dalam berbagai jenis usaha tata niaga dan pekerjaan sebagai pengumpul perantara kulit ular hanya sebagian dari usahanya. Bentuk yang diterimanya hanya berupa kulit. Penangkap yang memasoknya adalah penangkap bukan profesional di Kuala Kapuas. Sebagian besar berasal petani atau pekerja kebun kelapa sawit.

(c) Pemilik Ijin Resmi

Ijin resmi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah ijin tangkap dan ijin edar dalam negeri dari otoritas manajemen (Balai KSDA). Penangkap yang mempunyai ijin hanya dua perusahaan yaitu satu di Kabupaten Katingan dan satu di Kota Palangkaraya. Pemilik ijin di Kabupaten Katingan merupakan perusahaan yang membawahi penangkap dan pengumpul perantara di Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur, Katingan, Kuala Kapuas dan Pulang Pisau. Para penangkap dan pengumpul perantara tidak memiliki ijin tangkap. Mereka seolah menginduk pada perusahaan yang mempunyai ijin tangkap tersebut dengan cara menjadi pemasok. Dari kedua perusahaan tersebut, hanya pemilik ijin di Kabupaten Katingan yang benar-benar melakukan penangkapan. Pemilik ijin di Kota Palangkaraya hanya menjual surat/administrasi saja.

Selain kedua pemilik ijin di atas, ada pula satu badan usaha yang mengaku memiliki ijin di Kotawaringin Barat, namun menurut data Balai KSDA Kalimantan Tengah, hanya dua badan usaha di atas yang memiliki ijin tangkap

(5)

dan ijin edar dalam negeri dengan kuota yang sudah terbagi habis untuk keduanya. Badan usaha tersebut pada tahun 2009-2010 tercatat melakukan kegiatan peredaran dalam negeri, namun pada tahun 2011 tidak tercatat adanya aktivitas resmi dari badan usaha tersebut. Tahun 2012 dimana kuota hanya untuk dua pemilik ijin, namun badan usaha tersebut terlihat melakukan aktifitas untuk membeli kulit dari penangkap dan pengumpul perantara di Kotawaringin Barat, baik yang menjadi narasumber maupun tidak dengan alasan masih memiliki ijin resmi, namun tidak bisa menunjukkan ijin yang dimaksud.

Yuwono (1998) menyatakan bahwa pelaku tata niaga reptil yaitu penangkap (colector), agen (middleman), supplier, dan eksportir (exporter). Semiadi dan Sidik (2011) menyebutkan bahwa pelaku tata niaga Python reticulatus di Sumatera Utara dan Nanggro Aceh Darussalam (NAD) adalah pengumpul daerah, agen, sub agen dan pengasong. Pengumpul daerah adalah orang yang membawahi beberapa agen pengumpul yang biasanya berdomisili di perkotaan sekitar kawasan penangkapan ular. Pengumpul daerah umumnya terdaftar di Balai KSDA dan mempunyai ijin tangkap. Agen adalah mereka yang berperan mengumpulkan hasil tangkapan dari pengasong dan dijual ke pengumpul daerah. Antara pengasong dengan agen terdapat sub agen. Pengasong adalah masyarakat penangkap. Pengasong dibagi menjadi pengasong sambilan dan pengasong insidentil. Pengasong sambilan adalah mereka yang mempunyai pekerjaan mapan yang melakukan kegiatan menangkap ular selepas jam kerja mereka. Pengasong insidentil adalah mereka yang melakukan penangkapan secara tidak teratur tergantung kebutuhan ekonomi atau yang menangkap ular secara tidak sengaja dan dijual ke sub agen atau langsung ke pengumpul daerah.

Siregar (2012) yang melakukan penelitian pada lokasi yang sama yaitu Sumatera Utara, menyebutkan bahwa pelaku tata niaga ular di Sumatera Utara terdiri dari penangkap ular, pengumpul kecil, pengumpul besar dan eksportir. Penangkap terdiri dari penangkap profesional penuh, penangkap profesional sambilan dan penangkap amatir. Penangkap profesional penuh yaitu orang yang menjadikan pekerjaan menangkap ular sebagai pekerjaan utama. Penangkap profesional sambilan adalah penangkap yang menjadikan pekerjaan menangkap ular sebagai pekerjaan sambilan. Sedangkan penangkap amatir adalah orang yang

(6)

mendapatkan ular secara kebetulan. Pengumpul kecil adalah yang mengumpulkan ular langsung dari penangkap. Pengumpul besar adalah pengumpul yang membawahi pengumpul kecil. Eksportir adalah yang mempunyai ijin ekspor.

Terdapat perbedaan pelaku tata niaga di Kalimantan Tengah dan di Sumatera, baik menurut Yuwono (1998), Semiadi dan Sidik (2011) ataupun Siregar (2012). Pelaku tata niaga di Kalimantan Tengah hanya sampai pada tingkat pengedar dalam negeri, sedangkan di Sumatera sampai pada tingkat eksportir. Namun secara umum, pelaku tata niaga terdiri dari level yang sama yaitu penangkap, pengumpul dan pemilik ijin edar. Semakin pendek rantai tata niaga, kemungkinan akan semakin besar nilai jual yang bisa diterima oleh pelaku tata niaga di level terbawah. Namun kadang tidak bisa dihindari adanya tambahan level, terutama bila lokasi penangkapan jauh dari level tertinggi.

Berdasarkan aturan perundang-undangan mengenai pemanenan dan tata niaga satwaliar dalam negeri, yaitu SK Menteri Kehutanan No.447/Kpts-II/2003 (Sekditjen PHKA 2007c), ada ketidaksesuaian antara penerapan di lapangan dengan aturan tersebut. Pasal 24 (3) menyebutkan bahwa pemanfaatan untuk tujuan komersial hanya diberikan kepada badan usaha resmi. Pasal 26 (1) menyatakan bahwa penangkapan hanya bisa dilakukan oleh pemilik ijin pengambilan dari alam. Kenyataan yang terjadi di lapangan adalah penangkap bukan pemilik ijin penangkapan. Pemilik ijin hanya membeli dari penangkap yang tidak memiliki ijin. Bahkan penangkap tersebut dengan bebas bisa menjual pada pemilik ijin atau dijual pada orang lain yang tidak memiliki ijin atau dijual melalui jalur yang tidak resmi.

Otoritas pengelola (BKSDA) seharusnya mengawasi dan melakukan pembinaan terhadap penangkap, pengumpul dan pemegang ijin edar sebagaimana disebutkan pada pasal 107 (1) serta melakukan penegakan hukum. Langkah awal yang sangat penting untuk dilakukan adalah mendata penangkap dan lokasi tangkapnya, selanjutnya dilakukan pembinaan dan sosialisasi aturan dalam penangkapan satwaliar serta memfasilitasi penangkap agar bisa mendapatkan ijin secara resmi. Kegiatan ini harus dilakukan secara berkesinambungan. Dengan demikian maka akan terjadi keteraturan dan mempermudah dalam melakukan pengawasan terhadap kegiatan penangkapan satwaliar di alam.

(7)

5.1.2 Jalur Tata Niaga

Jalur tata niaga Python reticulatus di Kalimantan Tengah dimulai dari penangkap sampai pengedar dalam negeri. Secara ringkas, jalur tata niaga Python reticulatus di Kalimantan Tengah disajikan dalam Gambar 3. Seluruh penangkap profesional di Kotawaringin Barat yang menjadi narasumber, langsung menjual kulit hasil produksinya kepada pengumpul di Katingan. Seluruh penangkap profesional dari Pulang Pisau juga langsung menjual kulit hasil produksinya kepada pengumpul di Katingan. Penangkap bukan profesional di Pulang Pisau yang menjadi narasumber, menjual ular hidup kepada pengumpul perantara di Pulang Pisau. Dari empat pengumpul perantara, seluruhnya langsung mendapatkan pasokan dari penangkap dan langsung disetorkan pada pengumpul di Katingan yang juga merupakan pengedar dalam negeri. Pengumpul tersebut langsung mengirimkannya pada pemesan diluar Kalimantan Tengah (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, Banjarmasin), artinya jalur tata niaga disini sangat pendek.

Seluruh penangkap dan pengumpul perantara di Kotawaringin Barat juga langsung menjual keluar Kalimantan Tengah, yaitu ke Banjarmasin Kalimantan Selatan atau ke Semarang Jawa Tengah dan Surabaya Jawa Timur, terutama untuk kulit yang tidak diterima pengumpul di Katingan karena ukurannya yang kurang sesuai kriteria. Seluruh penangkap dan pengumpul perantara di Pulang Pisau dan Kuala Kapuas kadang menjual langsung ke Banjarmasin. Pengangkutannya tentu saja tanpa SATS-DN dari BKSDA Kalimantan Tengah. Penangkap dan pengumpul perantara yang menjadi narasumber, penangkap di Kalimantan Tengah bagian timur yang dekat dengan Banjarmasin juga langsung menjual ke Banjarmasin. Menurut informasi seorang penangkap di Kapuas, ada calo dari Banjarmasin yang berkeliling di daerah tersebut dan mendatangi orang-orang yang memiliki kulit. Seorang mantan penangkap ular juga menyatakan bahwa hasil tangkapannya langsung dijual ke Banjarmasin. Berarti banyak kulit dari Kalimantan Tengah yang masuk Banjarmasin tanpa surat.

(8)

Keterangan:

Jalur resmi dengan dokumen Jalur tidak resmi tanpa dokumen

Gambar 3 Jalur tata niaga kulit Python reticulatus di Kalimantan Tengah.

Jalur tata niaga reptil menurut Yuwono (1998) adalah sebagaimana disajukan dalam Gambar 4 berikut ini.

Gambar 4 Jalur tata niaga kulit Python reticulatus menurut Yuwono (1998).

Menurut Semiadi dan Sidik (2011), jalur tata niaga reptil di Sumatera Utara dan NAD adalah sebagaimana disajikan dalam Gambar 5.

Collector Collector Collector

Middleman

Middleman

Middleman

Supplier

Exporter

Penangkap Penangkap merangkap

pengumpul perantara

Penangkap Penangkap Penangkap Penangkap

pengumpul perantara pengumpul perantara Pengumpul/pengedar dalam negeri Pengumpul/pengedar/pengrajin di luar Kalimantan Tengah

(9)

Keterangan:

Kegiatan yang biasa dilakukan Kegiatan dalam jumlah sangat terbatas

Gambar 5 Jalur tata niaga kulit Python reticulatus menurut Semiadi dan Sidik (2011).

Menurut Siregar (2012), jalur tata niaga reptil di Sumatera Utara adalah sebagaimana disajikan dalam Gambar 6.

Keterangan:

Jalur yang diteliti langsung oleh Siregar (2012) Jalur yang tidak diteliti langsung oleh Siregar (2012)

Gambar 6 Jalur tata niaga kulit Python reticulatus menurut Siregar (2012).

Penangkap Penangkap Penangkap Penangkap Penangkap Penangkap merangkap pengumpul kecil Pengumpul kecil Pengumpul kecil Pengumpul besar Pengrajin kulit lokal Pengrajin kulit lokal Eksportir Pengumpul besar Eksportir Pengumpul Daerah Agen Masyarakat penangkap Pengasong Sambilan dan Insidentil Sub Agen

(10)

Jalur tata niaga kulit di Kalimantan Tengah cenderung lebih pendek apabila dibandingkan dengan jalur tata niaga kulit menurut Yuwono (1998), Semiadi dan Sidik (2011) dan Siregar (2012). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, untuk sampai pada pengumpul besar yang mempunyai ijin, hanya melalui satu jalur yaitu satu pengumpul perantara atau langsung dari penangkap ke pemilik ijin. Tidak ada level diantara penangkap dan pengumpul perantara atau antara pengumpul perantara dengan pemilik ijin. Pada pasar tidak resmi, pengumpul perantara langsung mengambil pada tingkat penangkap atau dari penangkap langsung menjual keluar daerah tanpa ada perantara lain.

Antara penangkap, pengumpul perantara dan pemilik ijin yang menjadi narasumber di Kalimantan Tengah, terjadi hubungan yang bersifat langganan tetap, namun bukan berarti terjadi monopoli karena pemilik ijin mempersilahkan penangkap dan pengumpul perantara untuk menjual kepada orang lain. Sejauh ini, kulit yang dijual pada selain pemilik ijin tersebut adalah kulit dengan ukuran yang tidak sesuai standar yang ditentukan pemilik ijin tersebut, yaitu kulit dengan ukuran dibawah 250 cm, kulit jenis lain selain Python reticulatus dan kulit yang tingkat kerusakannya tidak bisa diterima pemilik ijin. Kulit tersebut biasanya langsung jual ke Jawa atau ke Banjarmasin. Tentunya tanpa dokumen legal dari otoritas pengelola (BKSDA).

Apabila ditinjau dari SK Menteri Kehutanan No.447/Kpts-II/2003 (Sekditjen PHKA 2007c), terjadi banyak penyimpangan peredaran dalam negeri. Hal ini bisa dikategorikan sebagai tata niaga illegal (illegal trading). Adanya kulit yang dikirim ke luar Kalimantan Tengah tanpa dokumen SATS-DN (Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Negeri) oleh mereka yang tidak memiliki ijin edar dalam negeri, jelas merupakan penyimpangan dari aturan yang ada. Pada level penangkap, penyimpangan ini lebih disebabkan karena ketidaktahuan mereka terhadap aturan yang ada. Dalam hal ini kembali fungsi pengawasan dan pembinaan oleh otoritas manajemen harus dilakukan untuk mengendalikan terjadinya lebih banyak illegal trading.

Siswomartono (1998) mengatakan bahwa kontrol terhadap tata niaga illegal di Indonesia bukan merupakan pekerjaan yang mudah dilakukan karena

(11)

Indonesia merupakan negara kepulauan. Banyaknya pintu keluar masuk wilayah propinsi tanpa pengawasan khusus untuk peredaran satwaliar juga membuka peluang adanya jalur tata niaga ilegal. Selama ini, pintu keluar masuk yang diawasai ketat adalah bandar udara. Maka pintu keluar masuk lewat darat dan laut menjadi sangat aman untuk tata niaga illegal. Memantau dan memeriksa setiap barang yang dibawa keluar masuk suatu wilayah propinsi mengakibatkan tidak mungkin dilakukannya pengawasan terhadap keluar masuknya satwaliar, terutama yang sudah dalam keadaan mati.

Tata niaga illegal sangat merugikan dalam beberapa hal. Menurut Dit. KKH (2010) tata niaga tumbuhan dan satwa ilegal menduduki posisi kedua dari segi nilai tata niaga setelah narkotika. Tata niaga illegal menimbulkan adanya over eksploitasi pada sumberdaya alam hayati yang diperdagangkan tersebut. Jumlah yang tercatat oleh otoritas pengelola sebagai realisasi kuota hanya merupakan jumlah yang resmi dan diperbolehkan sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku. Adanya tata niaga ilegal, jumlah yang dieksploitasi menjadi lebih banyak lagi dan tidak tercatat. Hal ini sangat berdampak pada kelestaian karena tidak bisa diketahui dengan pasti berapa jumlah yang diekploitasi. Berdasarkan pertimbangan bahwa kuota yang ditetapkan selalu mengikuti jumlah panenan lestari, maka dengan adanya tata niaga ilegal tersebut, jumlah yang dipanen bisa jadi berada diatas jumlah panenan yang lestari. Hal ini artinya tata niaga ilegal bisa menyebabkan laju kepunahan menjadi semakin cepat karena over ekploitasi dan panenan yang tidak terkontrol. Tata niaga ilegal juga menimbulkan kerugian dalam bidang penerimaan negara karena setiap barang yang diperdagangkan tersebut tidak memberi pemasukan terhadap negara.

5.1.3 Teknik Penangkapan dan Pengulitan (a) Teknik Penangkapan

Penangkapan Python reticulatus di Kalimantan tidak berbeda dengan model penangkapan di Sumatera. Secara umum ada dua teknik penangkapan yang dilakukan oleh penangkap, yaitu:

(12)

1. Menggunakan Jerat

Teknik ini digunakan oleh penangkap profesional. Jerat dipasang di parit dengan cara membendung parit dikedua sisinya dan memberi pintu ditengah parit selebar ± 20 cm. Pada pintu bagian bawah diberi sepotong kayu kecil tepat dibawah permukaan air. Jerat yang digunakan adalah tali tampar berukuran kecil yang diikatkan pada sepotong kayu dan pada ujung yang lain dibentuk simpul yang ukurannya disesuaikan dengan lebar pintu. Simpul tersebut ditautkan pada sepotong kayu kecil ditengah pintu. Kayu tersebut ditautkan pada kayu kecil dibagian bawah pintu (Gambar 7). Ketika ular masuk ke lubang dan menekan kayu kecil dibagian bawah pintu, kayu akan terjatuh dan kayu kecil ditengah pintu yang ditautkan padanya akan lepas dan menarik tali sehingga ular akan terjerat (Gambar 8).

(a) (b)

Gambar 7 Proses pemasangan jerat (a) dan jerat yang telah dipasang (b).

(13)

Jerat dipasang disepanjang parit dengan jarak masing-masing sekitar 50 meter. Jerat berbentuk sangat sederhana namun cukup efektif untuk menjerat ular. Penangkap di Pangkalan Banteng membuat jerat dari pelepah daun kelapa sawit, tali tampar kecil dan daun kelapa sawit. Penangkap hanya membawa golok, lakban dan tali dari rumah. Kelengkapan lain untuk membuat jerat bisa dapatkan di kebun tersebut, bahkan kantong tempat ular bisa dengan mudah didapat di kebun. Penangkap di Anjir menggunakan bambu dan ranting kecil untuk memasang jerat. Penangkap memeriksa jeratnya setiap pagi untuk melihat apakah ada ular yang tertangkap atau tidak dan memeriksa keadaan jerat. Hujan yang sangat besar akan mengahanyutkan jerat yang mereka buat, maka setelah hujan besar biasanya mereka juga akan memeriksa jerat yang mereka buat.

Selain dengan jerat, ada pula yang menggunakan jaring, namun umumnya ini tidak disukai oleh penangkap profesional karena akan menimbulkan banyak luka dan sisik ular banyak yang terkelupas sehingga kualitas kulit yang dihasilkan kurang baik. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap harga jual kulit nantinya. Apabila menggunakan jerat, kulit yang terluka biasanya hanya ada di bagian leher. 2. Menangkap Langsung

Teknik ini digunakan oleh penangkap bukan profesional dan penangkap profesional di Pangkalan Banteng. Penangkap bukan profesional biasanya menangkap langsung ular yang ditemukan. Caranya bisa dengan memukul ular sampai ular tersebut tidak berbahaya bila ditangkap, membunuh ular ataupun langsung menangkap tanpa melukai bila penangkap tersebut berani melakukannya. Umumnya penangkapan yang dilakukan langsung oleh penangkap bukan profesional akan melukai ular dan membuat kulit yang dihasilkannya berkualitas kurang baik.

Penangkap profesional di Pangkalan Banteng menggunakan teknik penangkapan langsung pada bulan Juni-September. Teknik ini digunakan karena ular langsung ditangkap dari sarangnya. Pada bulan tersebut, ular mulai bertelur dan mengerami sehingga mereka cukup mencari sarang dan bisa mendapatkan cukup banyak ular dalam ukuran besar. Penangkap biasanya mencari dibawah jembatan yang terbuat dari kayu gelondongan yang banyak terdapat di kebun sawit. Istilah yang digunakan adalah “nyuluh”, merupakan istilah bahasa Jawa

(14)

yang artinya mencari sesuatu dengan menggunakan obor atau alat penerangan lain. Penangkap menggunakan senter untuk melihat ada atau tidak ada ular dilubang dan menggunakan pelepah daun kelapa sawit untuk memasukkan tali ke kepala ular dan selanjutnya menarik ular keluar dari sarang.

(b) Teknik Pengulitan

Pengulitan diawali dengan penggelontoran air setelah sebelumnya bagian atas kloaka diikat agar air tidak keluar. Penggelontoran air dilakukan untuk membuat kulit ular lebih mengembang dan menghasilkan kulit yang lebih lebar dari aslinya. Jumlah air tidak boleh terlalu banyak karena bisa menyebabkan kulit pecah. Setelah digelontor air, bagian leher diikat agar air tidak keluar lagi melalui mulut. Ular dibiarkan selama beberapa jam (maksimal 12 jam) agar kulit ular membesar (Gambar 9). Apabila terlalu lama dalam keadaan seperti itu, ular akan membusuk dan kulitnya pecah.

(a) (b)

Gambar 9 Proses pemasukan air (a) dan pembesaran kulit (b).

Proses selanjutnya adalah pengulitan. Air dikeluarkan terlebih dahulu dari tubuh ular, selanjutnya kulit disayat pada bagian leher untuk memutuskan antara leher dan kepala serta pada bagian perut (atau punggung, namun umumnya pada bagian perut kecuali punggungnya rusak parah atau sesuai permintaan pembeli) mulai dari leher sampai kloaka dengan rapi dan lurus. Setelah itu, ular digantung dan mulai dikuliti dengan cara menarik kulit dari leher ke bawah dengan hati-hati (Gambar 10).

(15)

(a) (b)

Gambar 10 Pembelahan kulit perut (a) dan pengelupasan kulit (b) pada proses pengulitan.

Kulit dibersihkan dan daging dibuang setelah proses pengelupasan kulit selesai. Pembersihan dilakukan untuk membersihkan kulit dari sisa-sisa daging yang masih menempel. Daging yang masih menempel ketika dijemur akan menyebabkan penjemuran menjadi lebih lama dan bisa terjadi kemungkinan kulit menjadi busuk. Pembersihan dilakukan dengan cara membuang sisa daging di kulit menggunakan lempengan besi dan dicuci dengan air bersih (Gambar 11).

(a) (b)

Gambar 11 Proses pembersihan kulit dari daging dengan cara dikerok (a) dan pencucian dengan menggunakan air (b).

Bagian terakhir dari proses pengulitan adalah penjemuran. Penjemuran dilakukan dengan cara membentangkannya pada papan kayu dengan posisi bagian dalam kulit berada di atas. Proses penjemuran ini sekaligus juga proses pembentukan agar ukuran kulit yang dihasilkan sesuai standar. Kulit diletakkan di papan dan ditarik ujungnya sampai maksimal kemudian dipaku pada

(16)

ujung-ujungnya, selanjutnya sisi kanan dan kiri juga ditarik agar melebar sampai maksimal dan dipaku. Jarak satu paku dengan paku lainnya sekitar 1-2 cm agar terbentuk kulit yang ukuran dan bentuknya bagus (Gambar 12). Kulit ular kering berukuran lebih panjang dari ular hidup karena ada pertambahan panjang ± 40 cm permeter kulit. Kulit bisa kering dalam waktu 6 jam pada saat matahari bersinar penuh. Apabila tidak bisa kering karena cuaca mendung, penjemuran bisa dilanjutkan keesokan harinya asalkan kulit tidak terkena air hujan. Kulit yang terkena air hujan akan mudah rusak karena busuk dan sisik mengelupas.

Ular yang sedang berganti kulit tidak bisa langsung dikuliti, namun ditunggu sampai proses ganti kulit selesai dengan sempurna kecuali bila ular sudah terlanjur mati. Pengulitan ular yang sedang berganti kulit akan menghasilkan kulit dengan kualitas yang sangat buruk, yaitu mudah sobek saat proses pengulitan dan penjemuran dan sisik akan mengelupas. Proses pengulitan yang hati-hati juga dilakukan pada kulit ular yang ditangkap ketika sedang mengerami. Kulit ular yang sedang mengerami lebih mudah sobek ketika dikuliti dan diregangkan, hal ini mungkin terjadi karena ular yang sedang mengerami mempunyai kulit yang lebih tipis karena selama mengerami ular tidak makan.

(a) (b)

Gambar 12 Kulit dibentangkan pada papan dan dipaku diseluruh bagian tepi sambil ditarik (a) dan kulit dijemur dibawah matahari langsung (b).

Yuwono (1998) menyatakan bahwa Python reticulatus banyak ditangkap untuk tata niaga disekitar perairan. Penangkapan Python reticulatus di Sumatera biasanya dilakukan dengan menggunakan jerat yang sengaja dipasang pada

(17)

permukaan air yang menjadi jalur pergerakan ular dan juga ditangkap secara tidak sengaja ketika penangkap tersebut sedang melakukan aktivitas lainnya seperti bekerja di ladang, perkebunan atau hutan (Shine 1999). Abel (1998) juga menyatakan bahwa Python reticulatus di Sumatera Utara ditangkap dengan menggunakan simpul jerat. Siregar (2012) menyebutkan bahwa teknik penangkapan Python reticulatus di Sumatera Utara adalah dengan menggunakan jerat (oleh penangkap profesional) dan tanpa teknik khusus (oleh penangkap amatir). Sedangkan menurut Riquier (1998), penangkapan di Kalimantan Barat juga menggunakan jerat, penggunaan jaring tidak efektif karena lebih sedikit yang tertangkap dibandingkan jerat. Secara umum, penggunaan jerat tampaknya lebih banyak digunakan diberbagai lokasi penangkapan dibandingkan menggunakan jaring atau menangkap langsung.

Penggunaan jerat lebih disukai karena hasilnya lebih efektif dibandingkan jaring atau penangkapan langsung. Jerat hanya akan melukai bagian tubuh yang terkena jerat (sebagian besar leher) sehingga kualitas kulit yang nantinya dihasilkan lebih bagus karena tidak rusak. Jaring akan mengakibatkan banyak luka disekujur tubuh karena seluruh tubuh langsung bersentuhan dengan jaring dan akan terjadi banyak luka ketika ular meronta terkena jaring, hal ini akan menyebabkan kulit yang dihasilkan memiliki kualitas yang kurang bagus. Menangkap langsung biasanya dilakukan dengan cara melukai atau membunuh ular untuk menghindari bahaya dari ular tersebut, hal ini akan membuat luka pada kulit dan berakibat mengurangi kualitas kulit yang dihasilkan.

Teknik menangkap langsung yang dilakukan oleh penangkap di Kabupaten Kotawaringin Barat tidak menyebabkan luka pada ular. Sebenarnya dalam penangkapan langsung ini juga tetap menggunakan jerat. Ular dipancing agar mengeluarkan kepalanya dan selanjutnya dijerat dengan menggunakan tali, namun jerat tidak dipasang sebagai perangkap sebagaimana jerat yang dijelaskan diatas.

Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 447/Kpts-II/2003 (Sekditjen PHKA 2007c) pasal 27 (4) jelas menyebutkan bahwa penangkapan harus memperhatikan kesejahteraan satwa (animal welfare) yaitu tidak menyakiti, melukai, mematikan dan menyebabkan stres pada individu yang tertangkap

(18)

ataupun kelompoknya. Dalam hal ini rupanya animal welfare masih kurang diperhatikan karena teknik penangkapannya masih berpotensi mengakibatkan terjadinya kematian, luka atau stress pada individu yang tertangkap tersebut meskipun pada akhirnya akan dibunuh juga.

Menurut Shine (1999), Python reticulatus di Sumatera dibunuh untuk dikuliti dengan beberapa cara yaitu dipukul pada bagian kepala, dibuat mati lemas, ditusuk dengan kawat sampai menembus otak dan digantung pada kepalanya. Dalam beberapa kejadian, ular betina yang sedang hamil tidak langsung dibunuh ketika ditangkap, betina tersebut dibiarkan hidup sampai bertelur kemudian baru dibunuh untuk dikuliti. Telur ditetaskan dan anakannya dijual untuk pet. Menurut penangkap di Kalimantan Tengah, cara membunuh ular yang paling cepat adalah dengan menusuk hidungnya dengan kawat atau paku sampai menembus otaknya. Setelah mati, tubuh ular digelontor dengan air untuk menambah ukuran tubuh dan mempermudah pengulitan. Siregar (2012) juga mengatakan bahwa sebelum dikuliti, ular dibunuh terlebih dahulu dengan cara yang tidak mengakibatkan kerusakan pada kulit, selanjutnya digantung dan digelontor air.

Pengawasan terhadap perlakuan yang memperhatikan animal welfare sebaiknya lebih diperketat oleh otoritas pengelola. Otoritas pengelola memiliki hak dan kewajiban penuh untuk melakukan pengawasan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku (Sekditjen PHKA 2007c). Mematikan ular dengan cepat seperti yang dilakukan di Sumatera (Shine 1999; Siregar 2012) akan lebih memperhatikan animal welfare. Ular akan langsung mati ketika otaknya terkena kawat atau paku tersebut.

5.1.4 Ukuran dan Harga Python reticulatus yang diperdagangkan

Ukuran kulit yang dijual bervariasi dengan harga yang bervariasi menurut ukurannya (Tabel 2). Pengumpul perantara di Anjir membeli dengan harga Rp200 000/ekor apabila membeli dalam bentuk ular hidup. Pengumpul di Pangkalan Banteng membeli dengan harga Rp75 000/meter untuk ular ukuran SVL minimal 250 cm. Untuk ular dengan panjang badan 200-245 cm dibeli dengan harga Rp50 000 per ekor. Keuntungan akan diperoleh dari dua sisi, yaitu penambahan

(19)

ukuran dari ular hidup menjadi kulit dan harga kulit permeter yang bisa jadi lebih tinggi dari harga ular hidup per meter apabila dalam proses pengulitannya bagus. Harga ini cukup berbeda dengan harga jual di Banjarmasin. Kulit dengan ukuran standar bisa dihargai sampai Rp110 000 per meter, namun sortiran yang dilakukan sangat ketat sehingga harga jual untuk kulit dengan ukuran dan kualitas sama justru bisa lebih rendah dibandingkan harga dari pengumpul di Katingan. Pengumpul di Katingan tidak membeli kulit dengan ukuran dibawah 250 cm.

Tabel 2 Ukuran kulit Python reticulatus kering setelah disortir yang diperjualbelikan di Kalimantan Tengah

Ukuran kulit (m) Harga

panjang lebar perut lebar ekor

Penangkap ke Pengumpul perantara (Rp/lembar) Penangkap/ Pengumpul perantara ke Pengumpul/ pengedar dalam negeri (Rp/m) >3.5 >0.32 > 0.12 75 000 80 000 3.0-3.45 >0.32 > 0.12 50 000 50 000 2.5-2.95 <0.32 < 0.12 25 000 70 000* <2.5 <0.32 < 0.12 25 000 40 000*

Ket: * harga dalam Rp/lembar

Harga produk satwaliar yang diperdagangkan dari satwa yang ditangkap dari alam, tidak bisa menggambarkan harga dari upaya melestarikan satwaliar tersebut dialamnya (Melisch 1998). Keberadaan satwaliar di alam sebenarnya jauh lebih berharga daripada nilai satwaliar tersebut dalam bentuk barang yang diperdagangkan di pasar, baik hidup maupun mati. Menurut Arifin (1998), industri kulit di Indonesia meliputi industri barang dari kulit, industri kulit jadi dan industri kulit setengah jadi. Industri kulit yang dihasilkan di Kalimantan Tengah masih berupa kulit mentah yang hanya berupa kulit yang sudah dikeringkan tanpa diolah.

Kisaran harga dan ukuran kulit yang dijual di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara agak berbeda. Ukuran kulit dengan harga paling tinggi di Kalimantan Tengah adalah kulit dengan ukuran panjang > 350 cm, lebar perut > 32 cm dan lebar ekor > 12 cm. Menurut Semiadi dan Sidik (2011), kulit dengan harga tertinggi di Sumatera Utara dan NAD adalah kulit dengan ukuran panjang ≥

(20)

215 cm (Agen 1), ≥ 224 cm (Agen 2) dan 220 cm (Agen 3). Disini terjadi perbedaan ukuran antar agen. Sedangkan menurut Siregar (2012), kulit dengan harga paling tinggi adalah kulit dengan ukuran > 400 cm.

Tabel 3 Kisaran harga Python reticulatus di Sumatera Utara menurut Siregar (2012) Ukuran (m) Kisaran harga beli pengumpul kecil ke penangkap dalam keadaan hidup (Rp/m) Kisaran harga beli pengumpul besar ke pengumpul kecil/penangkap

Kisaran harga beli dari tingkat eksportir ke pengumpul besar Keterangan Dalam keadaan ular utuh (Rp/m) Panjang kulit setelah jadi kulit kering (m) Kisaran harga kulit setelah jadi kulit kering (Rp/m) 3 up 85 000 100 000 4 up 110 000 Dalam keadaan kulit kering terjadi penambahan panjang kulit ± 30 cm/m kulit 2.7-2.9 65 000 85 000 3.51-3.77 90 000 2.5-<2.7 40 000 55 000 3.25-<3.51 65 000 2.2-<2.5 20 000 40 000 2.86-<3.25 45 000 2-2.2 15 000 25 000 2.6-2.86 25 000

Sumber data: Siregar (2012)

Berdasarkan Tabel 2 dan 3 bisa diketahui bahwa di Kalimantan Tengah, untuk kulit dengan kualitas yang kurang baik akan dijual dalam ukuran rupiah/lembar sedangkan untuk kualitas bagus dijual dengan ukuran rupiah/meter kulit. Sedangkan di Sumatera Utara semua dihargai dalam ukuran rupiah/meter kulit. Kisaran ukuran kulit yang dijual juga relatif berbeda. Ada empat kisaran ukuran yang berdasarkan pada panjang kulit, lebar perut dan lebar ekor di Kalimantan Tengah sedangkan di Sumatera Utara hanya berdasarkan panjang kulit saja. Harga di Sumatera Utara terlihat lebih memberi keuntungan pada tiap pelaku tata niaga daripada di Kalimantan Tengah.

Selain berdasarkan ukuran kulit, dilakukan pula sortiran untuk kerusakan kulit (Gambar 13). Sortiran dilakukan pada kulit yang berlubang atau sobek. Panjang sobekan akan mengurangi panjang kulit total, namun bila sobekan atau lubang sangat parah diseluruh kulit, meskipun ukurannya panjang, kulit akan masuk dalam kualitas paling rendah dan digargai perlembar. Pengumpul perantara di Kapuas bahkan melakukan sortiran pada sisik yang mengelupas. Setiap sisik yang mengelupas akan mengurangi panjang total kulit. Siregar (2012) menyatakan

(21)

bahwa di Sumatera Utara, sortiran kondisi kulit dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu A untuk kulit tanpa cacat, B untuk kulit dengan cacat sedikit dan C untuk kulit dengan cacat banyak. Cacat yang dimaksud adalah luka gores, luka kutu dan sebagainya. Secara umum, sortiran antara Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara (Siregar 2012) adalah sama.

Gambar 13 Proses penyortiran dan pengukuran kulit.

5.2 Karakteristik Habitat 5.2.1 Habitat Tangkap

Odum (1994) mendefinisikan habitat sebagai tempat hidup suatu organisme atau tempat yang harus dituju untuk menemukan organisme tersebut. Habitat menjadi sesuatu yang sangat penting karena merupakan lokasi dimana organism bisa hidup. Tanpa habitat, tidak akan ada organisme. Habitat tangkap Python reticulatus di Sumatera Utara adalah lokasi dengan penggunaan intensif untuk aktivitas pertanian, khususnya pada perkebunan kelapa sawit dan karet, sedangkan di Palembang Sumatera Selatan adalah di rawa-rawa pasang surut (Shine 1999). Habitat tangkap di Kalimantan Tengah, juga berada di lokasi penggunaan intensif untuk pertanian, yaitu kebun kelapa sawit (Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan), kebun karet (Kabupaten Pulang Pisau) dan rawa-rawa pasang surut (Kabupaten Katingan).

Keberadaan Python reticulatus di lokasi yang merupakan areal diluar hutan dan bahkan merupakan areal dengan penggunaan intensif oleh manusia,

(22)

mengindikasikan bahwa Python reticulatus mempunyai tingkat toleransi yang cukup tinggi terhadap manusia. Hal ini berarti Python reticulatus bukan merupakan satwa yang rentan dan mudah terganggu dengan adanya manusia disekitar mereka. Gangguan hanya dirasakan bila terjadi ekploitasi terhadap satwa tersebut. Hal ini bisa menjadi keuntungan namun juga kerugian. Keuntungannya adalah Python reticulatus tetap bisa bertahan dalam kondisi yang langsung bersinggungan secara intensif dengan manusia. Kerugiannya adalah Python reticulatus menjadi semakin mudah ditemukan (tingkat perjumpaannya dengan manusia tinggi). Hal ini bisa menyebabkan semakin banyak tingkat eksploitasi karena manusia akan cenderung menangkapnya jika bertemu, baik karena nilai ekonominya maupun karena rasa takut manusia itu sendiri.

Lokasi pengambilan data karakteristik habitat dilakukan di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan dengan tipe habitat kebun kelapa sawit. Penangkap yang menjadi narasumber dan melakukan penangkapan di kedua kabupaten ini seluruhnya berasal dari Kotawaringin Barat. Pemilihan tipe habitat ini didasarkan pada banyaknya pemanenan yang dilakukan di kebun kelapa sawit. Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan dipilih sebagai lokasi pengambilan data karena pada saat penelitian dilakukan, penangkap yang masih beraktifitas menangkap ular secara rutin berada di kabupaten ini, di kabupaten lain yang sebelumnya ditentukan pula sebagai titik pengamatan, tidak dijumpai penangkap yang mendapatkan ular pada saat penelitian ini dilakukan. Bagian yang diukur variabelnya adalah parit tempat jerat dipasang.

Hasil tes normalitas data habitat tangkap dengan menggunakan One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test pada program SPSS 19.0 menunjukkan hasil bahwa data dengan sebaran normal adalah suhu air (Asymp. sig 0.458) dan kelembaban udara (Asymp. sig 0.305) sedangkan peubah lain mempunyai nilai Asymp. sig. < 0.05 yang berarti sebaran data tidak normal (Lampiran 1). T-test dua sampel independen untuk kesamaan rata-rata menghasilkan nilai signifikansi suhu air 0.211 dan kelembaban udara 0.131 (Lampiran 2). Hal ini berarti bahwa suhu air dan kelembaban udara pada habitat ular tertangkap dan habitat ular tidak tertangkap tidak berbeda nyata.

(23)

Peubah lain selain suhu air dianalisis dengan menggunakan tes Kolmogorov-Smirnov (Lampiran 3). Hasil analisis menunjukkan bahwa seluruh nilai signifikansi > 0.05 yang berarti peubah pada habitat ular tertangkap dan habitat ular tidak tertangkap mempunyai nilai rata-rata yang sama. Hal ini berarti ketinggian tempat, suhu udara, pH air, kedalaman dan lebar parit pada kedua habitat tersebut tidak berbeda nyata.

Berdasarkan hasil kedua analisis terhadap peubah yang diukur tersebut diatas, maka bisa dikatakan bahwa tidak ada perbedaan antara habitat ular tertangkap dan habitat ular tidak tertangkap. Dengan kata lain, tidak ada preferensi habitat oleh Python reticulatus pada lokasi penelitian dilakukan. Python reticulatus bisa berada pada keadaan habitat seperti pada lokasi penelitian dilakukan. Tidak adanya ular yang tertangkap pada titik pengamatan mungkin disebabkan karena pada saat itu tidak ada ular yang melintas pada titik tersebut. Namun kemungkinan pada waktu lain di titik tersebut bisa ditemukan ular.

Ketinggian tempat. Ketinggian tempat habitat tangkap berada antara

25-51 m dpl (Gambar 14). Ketinggian rata-rata adalah 35.45 m dpl.

(a) (b)

Gambar 14 Ketinggian tempat titik pengamatan (a) dan prosentase masing-masing tingkat ketinggian titik pengamatan (b).

Menurut Stuebing & Inger (1999) Python reticulatus di Kalimantan umumnya bisa ditemukan di hampir seluruh wilayah Kalimantan, yaitu di dataran

4 6 7 0 25 19 13 1 0 5 10 15 20 25 30 21-30 31-40 41-50 51-60 Ju m lah titi k p en g am atan

rentang ketinggian tempat (m dpl)

ditemukan ular tidak ditemukan ular

23.5% 35.3% 41.2% 0.0% 43.1% 32.8% 22.4% 1.7% 0.0% 5.0% 10.0% 15.0% 20.0% 25.0% 30.0% 35.0% 40.0% 45.0% 50.0% 21-30 31-40 41-50 51-60 P ro sen tase

rentang ketinggian tempat (m dpl)

(24)

rendah pada ketinggian dibawah 1 000 m dpl. Ini berarti bahwa Python reticulatus mempunyai penyebaran yang cukup luas. Daerah sebaran yang cukup luas sebenarnya merupakan keuntungan bagi Python reticulatus karena dengan demikian berarti dia mempunyai wilayah yang cukup luas. Semakin luas wilayah sebaran maka akan lebih baik untuk kelestarian daripada wilayah yang sempit (Indrawan et al. 2007; Sinclair et al. 2006; Bennet & Saunders 2010). Sebagian besar wilayah Kalimantan Tengah berada pada ketinggian 25-100 m dpl (42.12%) (WWF 2008). Hal ini berarti bahwa wilayah sebaran Python reticulatus di Kalimantan Tengah sebagian besar juga berada pada ketinggian dibawah 100 m dpl. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketinggian lokasi penelitian antara 8-51 m dpl, artinya ketinggian tempat lokasi penelitian tidak mempengaruhi ada atau tidak adanya Python reticulatus di lokasi penelitian karena masih berada dalam rentang ketinggian yang bisa diterima. Keberadaan Python reticulatus pada ketinggian kurang dari 1 000 m dpl kemungkinan berhubungan dengan suhu lingkungan dimana dia memerlukan suhu yang hangat untuk aktifitasnya.

Ketinggian tempat sangat berhubungan dengan suhu. Semakin tinggi tempat akan diiringi dengan semakin menurunnya suhu udara. Setiap kenaikan 100 m (kondisi kering) atau 200 m (kondisi basah), akan terjadi perubahan suhu sebanyak 1°C(Danielson et al. 2002). Ketika terjadi kenaikan suhu yang melebihi ambang batas bagi ular, maka akan terjadi migrasi pada daerah yang lebih tinggi untuk mendapatkan suhu yang bisa diterima. Pada kondisi dimana daerah tersebut tidak memiliki variasi ketinggian, maka bisa menyebabkan terjadinya kematian pada ular karena tidak bisa bermigrasi pada lokasi yang memiliki suhu lebih optimal.

Suhu udara. Suhu udara pada titik pengamatan berkisar antara 27 – 30

°C, suhu udara rata-rata adalah 28.65 °C dan titik paling banyak mempunyai suhu udara 28 °C (Gambar 15). Suhu udara cenderung lebih tinggi dari suhu air pada titik pengamatan yang sama.

(25)

(a) (b)

Gambar 15 Suhu udara pada titik pengamatan (a) dan prosentase masing-masing tingkat suhu (b).

Suhu udara lingkungan merupakan salah satu hal yang sangat mempengaruhi reptil (Bickford 2010). Ular merupakan hewan berdarah dingin yang memerlukan panas tubuh untuk metabolismenya (Reinert 1993). Suhu tubuh ular akan dipengaruhi suhu lingkungannya dan panas yang diserap langsung oleh tubuh ular dari lingkungannya (Peterson et al. 1993). Reinert (1993) juga menyatakan bahwa suhu mungkin merupakan salah satu faktor yang penting dalam pemilihan habitat karena efisiensi pencernaan, kecepatan lokomosi dan kesuksesan reproduksi sangat terpengaruh oleh suhu tubuh, dan suhu tubuh ular dipengaruhi oleh suhu lingkungannya. Hasil analisis yang menunjukkan bahwa pada lokasi penelitian ternyata faktor suhu tidak mempengaruhi, kemungkinan disebabkan karena suhu udara di kedua lokasi relatif sama. Hal ini berarti bahwa suhu udara pada lokasi penelitian masih cocok dengan suhu udara yang diperlukan Python reticulatus untuk hidup dan beraktifitas.

Python reticulatus di Kalimantan selalu menjaga suhu tubuhnya pada 310C (Stuebing & Inger 1999). Suhu lingkungan yang paling disukai Python reticulatus di Kalimantan adalah 290 – 310C. Berdasarkan hasil pengamatan, sebagian besar ular (58.9 %) ditemukan pada kisaran suhu 29-30.9°C. Hal ini membuktikan bahwa suhu tersebut memang yang paling disukai oleh Python reticulatus.

1 6 8 2 2 27 18 11 0 5 10 15 20 25 30 27-27.9 28-28.9 29-29.9 30-30.9 Ju m lah titi k p en g am atan

Rentang suhu udara (˚C)

ditemukan ular tidak ditemukan ular

5.9% 35.3% 47.1% 11.8% 3.4% 46.6% 31.0% 19.0% 0.0% 5.0% 10.0% 15.0% 20.0% 25.0% 30.0% 35.0% 40.0% 45.0% 50.0% 27-27.9 28-28.9 29-29.9 30-30.9 P ro se n ta se

Rentang suhu udara (˚C)

(26)

Suhu udara yang rendah bisa mempengaruhi ular dalam mencari makan (Peterson et al. 1993). Menurutnya, pada suhu yang rendah kemampuan ular mencari makan akan berkurang dan ular akan membutuhkan waktu yang lebih banyak dalam mencari makan. Namun suhu yang lebih rendah lebih mudah diadaptasi oleh Python reticulatus dibanding suhu yang lebih tinggi. Menurut Shine (1998), sebagai ular tropis, Python reticulatus lebih tahan terhadap suhu udara yang rendah. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya Python reticulatus pada suhu dibawah 29°C. Suhu udara pada stasiun cuaca Pangkalan Bun Kotawaringin Barat tahun 2011 berkisar antara 25.2-270C (data BMKG Palangkaraya 2012) atau lebih rendah dari suhu optimal yang cocok untuk Python reticulatus. Hillman (1969) menyatakan bahwa reptil akan berjemur dibawah matahari untuk menghangatkan diri. Bila suhu udara terlalu rendah, Python reticulatus juga akan berjemur untuk menghangatkan diri .

Suhu udara yang mematikan bagi herpetofauna termasuk reptil adalah 38-42 °C dan satwa yang berasal dari daerah yang lebih tinggi memiliki ketahanan yang lebih rendah (Snyder & Weathers 1975). Suhu udara pada lokasi penelitian saat ini masih jauh berada dibawah ambang suhu udara yang mematikan bagi herpetofauna. Namun keadaan ini bisa berubah seiring dengan terjadinya perubahan iklim yaitu adanya peningkatan suhu.

Menurut IPCC (2007), pada akhir abad yang akan datang, akan terjadi kenaikan suhu udara sebesar 6°C. Bahkan Janzen (1994) menyatakan bahwa pada abad yang akan datang, akan terjadi kenaikan suhu sampai 8°C. Dengan kenaikan suhu tersebut, maka suhu udara akan berada diatas suhu udara optimum dan semakin mendekati suhu udara yang mematikan bagi ular. Keadaan ini akan sangat berbahaya karena bisa menyebabkan kematian pada ular secara besar-besaran. Pada kondisi dimana ular bisa bermigrasi ke lokasi lain yang lebih dingin, keadaan seperti ini masih bisa teratasi. Namun pada lokasi dimana habitat tersebut sudah terpisah dari habitat lain yang lebih dingin, maka migrasi tidak bisa terjadi dan kemungkinan kematian ular akan menjadi lebih besar.

Bickford et al. (2010) mengatakan bahwa ukuran tubuh Pythonidae yang cukup besar juga menyebabkan meningkatnya kerentanan untuk terjadinya penurunan populasi. Resiko ini terjadi pada kondisi dimana lingkungan semakin

(27)

mengering dan suhu udara semakin panas. Berdasarkan prediksi perubahan musim hujan dan suhu, beberapa tempat tertentu di Asia Tenggara akan terkena dampak terjadinya perubahan iklim.

Berdasarkan hasil penelitian ini bisa dikatakan bahwa kemungkinan terjadinya kematian masal karena kenaikan suhu udara dan perubahan ilkim masih belum mungkin terjadi di lokasi ini setidaknya sampai akhir abad ini. Suhu udara masih jauh berada di bawah suhu udara yang mematikan. Kematian yang terjadi saat ini mungkin terjadi karena gangguan manusia, yaitu ekploitasi untuk kegiatan komersial.

Kelembaban udara. Kelembaban udara pada titik pengamatan berkisar

antara 54 – 85% (Gambar 16). Kelembaban udara rata-rata adalah 74.32% dan titik paling banyak mempunyai kelembaban udara 70%.

(a) (b)

Gambar 16 Kelembaban udara pada titik pengamatan (a) dan prosentase masing-masing tingkat kelembaban (b).

Menurut Stuebing & Inger (1999), kelembaban yang paling disukai Python reticulatus di Kalimantan adalah ± 70%. Berdasarkan hasil pengamatan, sebagian besar ular (58.9 %) ditemukan pada kisaran kelembaban udara 70-79%. Hal ini membuktikan bahwa kelembaban tersebut memang yang paling disukai oleh Python reticulatus. 0 1 11 5 2 10 29 17 0 5 10 15 20 25 30 35 50-59 60-69 70-79 80-89 Ju m lah titi k p en g am atan Kelembaban udara (%)

ditemukan ular tidak ditemukan ular

0.0% 5.9% 64.7% 29.4% 3.4% 17.2% 50.0% 29.3% 0.0% 10.0% 20.0% 30.0% 40.0% 50.0% 60.0% 70.0% 50-59 60-69 70-79 80-89 P ro sen tase kelembaban udara (%)

(28)

Suhu Air. Suhu air parit pada titik pengamatan berkisar antara 26 – 28.1

°C (Gambar 17). Suhu air rata-rata adalah 27.8 °C dan titik paling banyak mempunyai suhu air 26.8 °C.

(a) (b)

Gambar 17 Suhu air parit di titik pengamatan (a) dan prosentase masing-masing tingkat suhu (b).

Python reticulatus merupakan ular terestrial yang sering ditemukan di air tawar (Tweedie 1983; Stuebing & Inger 1999). Air sangat diperlukan dalam proses metabolisme reptil (Bickford et al. 2010). Peningkatan suhu lingkungan menyebabkan peningkatan pada kebutuhan air. Peningkatan suhu lingkungan jugamenyebabkan terjadinya peningkatan evaporasi. Semakin besar evaporasi, semakin berkurang jumlah air. Semakin berkurangnya air, akan semakin meningkatkan kemungkinan lebih banyak satwa yang berkumpul pada satu tubuh air. Hal ini bisa menyebabkan meningkatnya suhu air, semakin meningkatkan evaporasi, semakin meningkatkan persaingan dan meningkatkan kemungkinan penyebaran penyakit yang bisa menyebabkan kematian.

Beberapa jenis makanan Python reticulatus merupakan satwa yang hidup di perairan seperti katak, ikan atau mamalia kecil lain yang hidup di air atau biasa ditemukan di perairan. Perubahan suhu air bisa mengurangi kepadatan makanan ular yang menyebabkan semakin besar tingkat persaingan untuk mendapatkan makanan. Karena berkurangnya makanan, maka akan terjadi juga penurunan kepadatan ular (Bickford et al. 2010). Bagi top predator seperti Python reticulatus, hal ini akan sangat berpengaruh besar. Top predator akan sangat

6 10 1 26 31 1 0 5 10 15 20 25 30 35 26-26.9 27-27.9 28-28.9 Ju m lah titi k p en g am atan Suhu air (˚C)

ditemukan ular tidak ditemukan ular

35.3% 58.8% 5.9% 44.8% 53.4% 1.7% 0.0% 10.0% 20.0% 30.0% 40.0% 50.0% 60.0% 70.0% 26-26.9 27-27.9 28-28.9 P ro sen tase Suhu air (˚C)

(29)

terpengaruh oleh aliran tropik dan hilangnya fungsi ekosistem (Petchey et al. 1999). Makanan menjadi sangat penting bagi suatu organisme. Meskipun habitat mempunyai suhu udara yang optimal, namun akan menjadi tidak berarti tanpa suplai makanan yang cukup (Reinert 1993).

Keberadaan Python reticulatus di kebun kelapa sawit, kemungkinan berhubungan dengan ketersediaan makanan dan air di lokasi tersebut. Kondisi pohon kelapa sawit pada habitat tangkap adalah pohon produktif dengan tinggi rata-rata diatas 3 m. Menurut semua penangkap di Kotawaringin Barat, mereka tidak menangkap di kebun yang masih belum produktif karena pasti tidak akan mendapatkan hail. Kemungkinan ini terkait denga ketersediaan pakan bagi mangsa Python reticulatus. Jenis makanan yang tersedia di kebun kelapa sawit misalnya tikus, burung, katak, tupai dan mamalia kecil lainnya. Bahkan ada beberapa pengelola kebun kelapa sawit yang sengaja melepas Python reticulatus di lokasi perkebunannya dan tidak memperbolehkan adanya penangkapan di lokasi tersebut untuk mengurangi hama tikus. Sedangkan air yang juga merupakan kebutuhan Python reticulatus untuk minum dan berpindah tempat, juga selalu terdapat di kebun kelapa sawit.

Tingkat keasaman air. Air parit pada titik pengamatan cenderung bersifat

asam dengan pH antara 4.0 – 5.5 dan paling banyak titik mempunyai pH 4.7 (Gambar 18).

(a) (b)

Gambar 18 Tingkat keasaman air parit di titik pengamatan (a) dan prosentase jumlah masing-masing tingkat (b).

1 2 6 7 1 0 3 29 26 0 0 5 10 15 20 25 30 35 4 4.4 4.7 5 5.5 ju m lah titi k p en g am atan pH air

ditemukan ular tidak ditemukan ular

5.9% 11.8% 35.3%41.2% 5.9% 0.0% 5.2% 50.0% 44.8% 0.0% 0.0% 10.0% 20.0% 30.0% 40.0% 50.0% 60.0% 4 4.4 4.7 5 5.5 P ro sen tase pH air

(30)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa air tawar di Kalimantan cenderung bersifat asam dengan pH 4-5.5. Python reticulatus bisa berada pada kondisi asam tersebut.

Ukuran parit. Kedalaman parit pada titik pengamatan berkisar antara 10

– 90 cm (Gambar 19). Kedalaman parit rata-rata adalah 30.48 cm dan paling banyak mempunyai kedalaman 30 cm.

(a) (b)

Gambar 19 Kedalaman parit pada titik pengamatan (a) dan prosentase masing-masing tingkat kedalaman (b).

Lebar parit pada titik pengamatan berkisar antara 29 -350 cm (Gambar 20). Lebar parit rata-rata adalah 94.32 cm dan paling banyak mempunyai lebar 90 cm.

(a) (b)

Gambar 20 Lebar parit pada titik pengamatan (a) dan prosentase masing-masing tingkat kedalaman (b). 16 1 0 0 41 10 5 2 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 10-30 31-50 51-70 71-90 Ju m lah titi k p en g am atan Kedalaman parit (cm)

ditemukan ular tidak ditemukan ular

94.1% 5.9% 0.0% 0.0% 70.7% 17.2% 8.6% 3.4% 0.0% 20.0% 40.0% 60.0% 80.0% 100.0% 10-30 31-50 51-70 71-90 P ro sen tas e Kedalaman parit (cm)

ditemukan ular tidak ditemukan ular

11 4 1 1 52 5 1 0 0 10 20 30 40 50 60 1-100 101-200 201-300 301-400 Ju m lah titi k p en g am atan Lebar parit (cm)

ditemukan ular tidak ditemukan ular

64.7% 23.5% 5.9% 5.9% 89.7% 8.6% 1.7% 0.0% 0.0% 20.0% 40.0% 60.0% 80.0% 100.0% 1-100 101-200 201-300 301-400 P ro sen tase Lebar parit (cm)

(31)

Python reticulatus merupakan ular terestrial yang sering ditemukan di air tawar (Tweedie 1983; Stuebing & Inger 1999). Menurut hasil pengamatan, sebagian besar ular ditemukan pada parit dengan kedalaman dibawah 30 cm dan lebar parit dibawah 1 m. Kemungkinan ini bisa terjadi karena dilokasi tangkap, ukuran parit cenderung kecil dan dangkal. Kemungkinan ini juga terjadi karena adanya preferensi penangkap untuk memasang jerat pada parit dengan yang sempit dan dangkal karena akan mempermudah dalam memasang jerat dan mempermudah dalam melepaskan ular yang terjerat. Semakin lebar parit, maka akan semakin lebar pula bagian yang dibendung. Hal ini akan mengurangi efisiensi dalam pekerjaan mereka. Parit yang lebar juga akan memungkinkan aliran air yang lebih besar ketika terjadi hujan besar yang bisa menyebabkan rusaknya perangkap yang dibuat. Sedangkan parit yang dalam akan menyulitkan dalam pembuatan jebakan karena penangkap harus turun ke parit ketika memasang perangkap. Semakin dangkal air, semakin mudah dalam memasang perangkap. Namun demikian, tidak ada perangkap yang dipasang pada parit yang kering. Parit yang kering tidak akan dilalui Python reticulatus. Keberadaan parit yang menjadi sumber air sangat diperlukan bagi Python reticulatus. Namun demikian, parit ini juga menjadi jerat kematian bagi Python reticulatus apabila di lokasi tersebut dipasang jerat oleh penangkap.

5.2.2 Habitat Bersarang

Pada penelitian ini, sarang ditemukan dibawah jembatan yang terbuat dari kayu gelondong yang ditimbun dengan tanah. Pencarian sarang pada lokasi selain dibawah jembatan sudah dilakukan, namun tidak didapatkan hasil yang meyakinkan bahwa itu merupakan sarang Python reticulatus. Sarang juga sama sekali tidak ditemukan pada jembatan beton dan jembatan kayu papan. Dari 127 buah sarang yang ditemukan, semuanya merupakan sarang aktif (masih digunakan untuk bersarang) dengan beberapa tanda yang bisa diamati yaitu adanya jejak baru, bekas telur dan pada 13 sarang ditemukan ular (11 anakan (bayi/muda) dan dua yang diindikasikan sudah dewasa).

Selain selalu bergerak melewati air, Python reticulatus juga bersarang di lokasi yang dekat dengan air. Sarang Python reticulatus biasanya berada diantara seresah dan di Kalimantan tidak ditemukan Python reticulatus yang membuat

(32)

sarang di lubang tanah (Shine 1998; Stuebing & Inger 1999). Pada lokasi penelitian ini, sarang ditemukan dibawah jembatan yang terbuat dari susunan kayu bulat yang berjejer dan di ditimbun tanah. Lubang ini bukan lubang tanah melainkan lubang sela-sela antara dua kayu. Namun karena jembatan tersebut sudah berumur cukup lama, kayu-kayu sudah banyak yang melapuk. Pada musim bertelur, penangkap menangkap ular yang sedang mengerami disarang dibawah jembatan seperti itu. Pada saat bertelur, kemungkinan ular memilih jembatan ini karena lebih dekat dengan sumber air. Shine (1998) menyatakan bahwa ketika mengerami, Python reticulatus hanya meninggalkan sarang untuk berjemur dan minum tanpa makan sama sekali.

Hasil tes normalitas data habitat bersarang dengan menggunakan One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test pada program SPSS 19.0 menunjukkan hasil bahwa data dengan sebaran normal adalah suhu udara (Asymp. sig 0.252) (Lampiran 4). T-test dua sampel independen untuk kesamaan rata-rata menghasilkan nilai signifikansi suhu udara 0.952 yang berarti suhu udara pada habitat bersarang yang ditemukan ular dan tidak ditemukan ular adalah sama (Lampiran 5). Tes Kolmogorov-Smirnov pada peubah lain, menunjukkan hasil analisis bahwa seluruh nilai signifikansi > 0.05 yang berarti peubah pada sarang ular ditemukan dan ular tidak ditemukan mempunyai nilai rata-rata yang sama (Lampiran 6). Suhu udara pada sarang, kelembaban udara pada sarang, pH tanah pada sarang, kedalaman dan lebar mulut sarang pada kedua tipe lokasi tersebut tidak berbeda nyata. Hal ini berarti tidak ada pemilihan habitat bersarang yang didasarkan pada peubah yang diukur tersebut. Ketidakadaan ular pada suatu sarang bukan berarti sarang tersebut tidak cocok bagi ular namun pada saat itu memang ular sedang tidak berada di sarangnya. Kemungkinan lain tidak ditemukannya ular di sarang pada saat penelitian dilakukan juga bisa terjadi karena belum datangnya musim bertelur. Pada waktu lain, bisa jadi pada sarang yang kosong tersebut bisa pula ditemukan Python reticulatus didalamnya. Ular yang ditemukan di sarang, 84.62 % bukan ular dewasa. Kemungkinan ini terjadi karena ular yang belum dewasa cenderung melindungi dirinya sendiri di sarang.

Kemungkinan pemilihan sarang bisa terjadi, namun mungkin berdasarkan peubah lain yang tidak terukur dalam penelitian ini. Menurut Wood dan Bjornadal

(33)

(2000), seleksi habitat bersarang pada reptil bisa mempengaruhi ketahanan induk sampai mempertahankan anakannya karena faktor lingkungan mempengaruhi ketahanan embrio, kualitas anakan dan sex rasio.

Ketinggian tempat. Ketinggian jembatan yang ada sarang berkisar antara

22-54 m dpl dengan rata-rata 36.5 m dpl. Lokasi jembatan paling banyak terletak pada ketinggian 32 m dpl. Lebih lengkap disajikan dalam Gambar 21.

Gambar 21 Ketinggian tempat jembatan untuk sarang.

Ketinggian jembatan yang menjadi sarang sama dengan ketinggian tempat dimana Python reticulatus tertangkap. Hal ini bisa berarti bahwa Python reticulatus tidak berpindah ke lokasi dengan ketinggian yang berbeda untuk bersarang. Sarang ditemukan di jembatan-jembatan yang lokasinya masih berada dalam aliran parit yang sama dengan habitat tangkapnya. Ketinggian jembatan yang menjadi sarang Python reticulatus masih dalam rentang ketinggian yang disebutkan oleh Stuebing & Inger (1999), yaitu bahwa Python reticulatus cocok pada ketinggian sampai 1 000 m dpl. Pemilihan jembatan ini sebagai lokasi sarang terlihat tidak ditentukan karena ketinggiannya, namun lebih karena faktor yang lain, misalnya karena dekat dengan air yang sangat dibutuhkan ketika sedang mengerami seperti yang dinyatakan oleh Shine (1998) bahwa ketika mengerami, Python reticulatus hanya meninggalkan sarang untuk berjemur dan minum tanpa makan sama sekali.

2 3 6 0 2 1 0 1 2 3 4 5 6 7 22-27 28-33 34-39 40-45 46-51 52-57 Ju m lah Ketinggian tempat (m dpl)

(34)

Suhu udara. Suhu udara dibawah jembatan untuk sarang berkisar antara

26-29 0C dengan rata-rata 27.920C. Suhu udara dibawah jembatan paling banyak pada suhu 280C . Lebih lengkap tersaji dalam Gambar 22.

Gambar 22 Suhu udara pada jembatan untuk sarang.

Suhu udara pada mulut sarang, berkisar antara 26.3-290C dengan rata-rata 27.450C. Lebih lengkap disajikan dalam Gambar 23.

(a) (b)

Gambar 23 Suhu udara di mulut sarang (a) dan prosentase masing-masing tingkat suhu (b).

Suhu lingkungan atau sarang yang paling cocok untuk telur adalah 290 – 310C dengan kelembaban sekitar dibawah 70% (Stuebing & Inger 1999). Menurut Stachlschmidt (2011) menyebutkan bahwa telur Python memerlukan suhu antara 30-330C untuk menetas. Stachlschmidt et al. (2011) menyatakan bahwa suhu

1 1 11 1 0 2 4 6 8 10 12 26-26.9 27-27.9 28-28.9 29-29.9 Ju m lah Suhu udara (°C) 9 93 12 0 3 7 2 1 0 20 40 60 80 100 26-26.9 27-27.9 28-28.9 29-29.9 Ju m lah s ar an g Suhu udara (˚C)

tidak ada ular ada ular

8% 82% 11% 0% 23% 54% 15% 8% 0% 20% 40% 60% 80% 100% 26-26.9 27-27.9 28-28.9 29-29.9 P ro sen tase Suhu udara (˚C)

(35)

optimal pada sarang adalah 31.50C. Pada suhu diluar itu, telur bisa gagal menetas, pertumbuhan tidak sempurna dan sex rasio yang tidak seimbang. Namun Shine (1998) mengatakan bahwa ular yang hidup di daerah tropis/hangat, telurnya cenderung lebih tahan dan bisa menetas pada area yang dingin. Kondisi suhu sarang yang lebih rendah dari suhu optimal untuk telur, mungkin merupakan alasan bagi Python reticulatus untuk mengerami telurnya. Dengan mengerami telurnya, akan didapatkan suhu lingkungan yang optimal bagi telurnya agar bisa menetas dengan baik dan dengan sex rasio yang sesuai.

Sebuah penelitian yang dilakukan di inkubator pada telur ular Deinagkistrodon acustus (Viperidae) suhu 320C menyebabkan seluruh telur mati dan gagal menetas (Lin et al. 2005). Sebagian besar telur menetas pada suhu 240C dan 260C, namun masih bisa menetas dengan baik pada suhu 280C dan 300C. Apabila dibandingkan, maka terlihat bahwa Python reticulatus membutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk menetas dibandingkan Deinagkistrodon acustus. Kebutuhan pada suhu yang lebih tinggi ini merupakan keuntungan bagi Python reticulatus karena berarti lebih bisa menerima kondisi yang panas, terutama di daerah tropis yang suhunya panas.

Kenaikan suhu udara juga bisa menyebabkan perubahan sex rasio pada reptil yang lahir (Bickford et al. 2010). Kenaikan suhu udara sebesar 2-4°C bisa menyebabkan semua anakan yang lahir menjadi betina atau menjadi jantan (Crews et al. 1994; Pieau et al.1999). Janzen (1994) juga menyatakan bahwa kenaikan suhu 2°C secara signifikan mempengaruhi sex rasio anakan yang lahir, kenaikan 4°C secara efektif menghilangkan anakan jantan. Hal ini bisa mengakibatkan terjadinya single sex pada reptil dalam waktu 100 tahun kedepan yang sangat berbahaya (Bickford et al 2010). Single sex akan menyebabkan terjadinya kepunahan pada suatu spesies karena tidak mungkin akan terjadi perkembangbiakan apabila hanya ada satu jenis kelamin.

Berdasarkan hasil penelitian ini bisa dilihat bahwa kondisi suhu lingkungan disekitar sarang maupun suhu udara di mulut sarang masih berada pada rentang yang bisa diterima oleh Python reticulatus untuk bersarang dan menetaskan telurnya. Kondisi ini masih jauh dibawah batas suhu yang menyebabkan kematian pada reptil ataupun menyebabkan berubahnya sex rasio. Suhu udara masih berada

(36)

dibawah suhu yang diperlukan sehingga induk Python reticulatus masih bisa mengatur suhu ketika mengerami dan sex rasio yang dihasilkan masih bisa seimbang.

Kelembaban udara. Kelembaban dalam sarang berkisar antara 61-85%

dengan rata-rata 80.12%. Kelembaban paling banyak 85%. Lebih lengkap disajikan dalam Gambar 24.

(a) (b)

Gambar 24 Kelembaban udara di mulut sarang (a) dan prosentase masing-masing tingkat kelembaban (b).

Menurut Goode et al. (1998), ular membutuhkan kelembaban yang tinggi, apabila terjadi perusakan sarang sehingga merubah kondisi kelembaban habitat mikro (sarang), maka ular tersebut akan berpindah lokasi. Kemungkinan ini juga bisa terjadi pada Python reticulatus. Python reticulatus membutuhkan kelembaban yang optimal sekitar 70% (Stuebing & Inger 1999). Bahkan dalam penelitian pada Elaphe obsoleta, Damers et al. (2004) mendapatkan hasil bahwa seluruh sarang berada dalam kelembaban 100%. Sebuah penelitian mengenai seleksi habitat bersarang oleh Caretta caretta (penyu laut), kelembaban udara dan salinitas permukaan pasir mungkin tidak dipercaya sebagai salah satu faktor pemilihan habitat karena keduanya sangat berfluktuasi tergantung pada curah hujan (Wood & Bjorndal 2000). Mungkin ini merupakan salah satu sebab Python reticulatus tidak memilih bersarang di pasir, namun berada di bawah seresah atau dalam lubang jembatan seperti pada penelitian ini karena seresah dan bawah jembatan

7 14 93 3 3 7 0 20 40 60 80 100 60-69 70-79 80-89 Ju m lah s ar an g Kelembaban udara (%)

tidak ada ular ada ular

6% 12% 82% 23% 23% 54% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 60-69 70-79 80-89 P ro sen tase Kelembaban udara (%)

Gambar

Gambar 3  Jalur tata niaga kulit Python reticulatus di Kalimantan Tengah.
Gambar  5      Jalur  tata  niaga  kulit  Python  reticulatus  menurut  Semiadi  dan  Sidik  (2011)
Gambar 7  Proses pemasangan jerat (a) dan jerat yang telah dipasang (b).
Gambar 9  Proses pemasukan air (a) dan pembesaran kulit (b).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keraf (1981) meninjau reduplikasi dari segi morfologis dan semantis yaitu melihat reeduplikasi dari segi bentuk, fungsi dan makna. Keempat ahli bahasa diatas mengkaji reduplikasi

Dengan melakukan sederetan proses magnetisasi yaitu penurunan medan magnet luar menjadi nol dan meneruskannya pada arah yang bertentangan, serta meningkatkan besar

Dan yang terakhir narasumber ke tujuh Sella Amalia adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah

Penelitian Elangovan dkk melaporkan bahwa walaupun menggunakan dializer yang luas, kec epatan aliran darah dan aliran dialisat yang tinggi penderita berat badan ³80 kg

Kita dapat memperkirakan bahwa pada saat itu, Nazaret telah sedemikian rupa diabaikan sehingga tidak ada hal baik yang dapat diharapkan muncul dari mereka yang tinggal di

Variabel ukuran perusahaan, profitabilitas, solvabilitas dan risiko sistematis akan diuji pengaruhnya terhadap variabel dependen yaitu kebijakan dividen

Berdasarkan analisis terhadap hasil penelitian tentang pengaruh sikap dan cara belajar terhadap hasil belajar mata pelajaran sejarah dapat disimpulkan bahwa :

P.21/MenLHK/Setjen/ KUM.1/10/2020 tanggal 2 November 2020 yaitu tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin,