• Tidak ada hasil yang ditemukan

Man-Machine Model

d) Penelitian dilakukan pada waktu tidak terjadi gejolak moneter, sosial, politik serta bencana alam yang luar biasa sehingga tidak ada perilaku komponen sistem

ERGONOMICS Praxeologies

2.2.1 Man-Machine Model

Ergonomi adalah ilmu tentang perancangan sistem kerja. Menurut Leamon dalam Bridger (1995) sistem kerja terdiri dari manusia, mesin (alat) dan lingkungan. Masing-masing komponen berinteraksi dengan yang lain, saling mempengaruhi seperti skema Man-Machine Model yang disampaikan oleh Leamon pada Gambar 8.

Gambar 8 Man-machine model Leamon, diadaptasi dari Bridger (1995)

Interaksi antar komponen terjadi secara terus-menerus sepanjang proses kerja dilakukan. Perubahan yang terjadi pada satu komponen akan mempengaruhi komponen yang lain dan dengan demikian harus direspon terutama oleh manusia yang mengendalikan proses tersebut.

Komponen mesin/alat mencakup proses yang dikendalikan dalam alat tersebut, display dan sistem kendali. Proses yang dikendalikan adalah proses yang dilakukan mesin sesuai dengan fungsi dari alat tersebut yang disesuaikan dengan tugas yang yang harus diselesaikan. Untuk menggerakkan mesin/alat diperlukan alat pengandali yaitu control. Bagian ini bisa berupa pegangan, tuas, tombol tekan atau tombol putar, atau bahkan berupa penerima sinyal suara yang akan menggerakkan mesin. Jika sudah mendapat perintah operator melalui aksi dari efektor, mesin akan beroperasi sesuai dengan kondisi yang diinginkan. Beberapa saat kemudian mesin akan memberikan informasi keadaan operasi melalui display

pada mesin tersebut. Informasi display ini akan ditangkap oleh panca indera manusia/operator. Informasi yang diperlukan berbagai macam, misalnya : cahaya, suara, panas, tekanan, gelombang, ketinggian, posisi dll. Display dapat berupa layar baca, penunjuk temperatur, getaran, suara atau bentuk display digital.

Display yang baik adalah jika informasi yang dapat ditangkap oleh indera manusia sesuai dengan kondisi mesin yang sesungguhnya.

 

Persoalan yang timbul pada display sehingga susah memberikan rangsangan pada pekerja untuk beraksi meliputi:

a) terlalu kecil b) terlalu besar

c) bercampur dengan gangguan

d) di luar batas penerimaan indera manusia e) perlu diamati lebih teliti

f) perlu disimpan untuk jangka waktu lama, misalnya peta

g) harus dirubah dalam format yang lain, misalnya sirine, bau gas.

Komponen manusia terdiri atas efektor, indera dan pemroses informasi. Efektor adalah bagian dari tubuh manusia yang memberikan aksi kepada mesin/alat. Bagian ini mencakup tangan (jari-jari sampai pergelangan tangan), kaki (jari-jari dan telapak kaki), serta suara. Bagian tubuh ini berfungsi untuk memberikan perintah kepada alat sesuai dengan kebutuhan dari pekerjaan yang dikehendaki. Pada alat-alat tradisional sebagian besar pengendalinya digerakkan/dioperasikan dengan tangan atau kaki. Namun beberapa alat modern saat ini banyak yang menggunakan perintah berupa suara. Aksi dari efektor harus cukup untuk menggerakkan control pada alat, sehingga dalam hal ini diperlukan perhitungan besarnya tenaga yang diperlukan, dan berapa kekuatan tangan atau kaki sesuai dengan data antropometri newtonian. Setelah alat bekerja, kondisi kerja akan ditampilkan alat dalam bentuk display. Informasi ini akan ditangkap indera manusia, yang terdiri dari panca indera. Jika informasi berupa visual dispaly, maka akan ditangkap oleh mata. Jika informasi berupa temperatur, akan ditangkap oleh indera perasa pada kulit dan seterusnya. Informasi keadaan alat ini selanjutnya akan dikirim ke otak untuk diolah, dibandingkan dengan referensi yang dimiliki operator/manusia. Jika informasi ini sudah sesuai dan dalam kondisi baik, maka operator tidak akan memberikan aksi tambahan kepada alat melalui efektor. Namun jika informasi ini kurang baik atau belum sesuai dengan keadaan yang dikehendaki sesuai dengan referensi operator, maka operator akan memberikan aksi melalui efektor untuk mengatur kondisi operasi mesin, demikian

seterusnya. Proses ini berjalan terus sehingga kondisi mesin dapat bekerja sesuai dengan yang dikehendaki sepanjang waktu kerjanya. Dalam melakukan pekerjaan, manusia juga memiliki suatu perilaku/behaviour yang akan menentukan apakah dia akan bekerja sesuai tugas dengan baik atau tidak. Salah satu aspek pendukung perilaku kerja manusia adalah motivasi. Seseorang yang memiliki motivasi yang baik akan melakukan kerja dengan baik, sedikit melakukan kesalahan (human error), produktivitas tinggi dan tingkat kelelahan dan kecelakaan kerja yang rendah.

Komponen ketiga dalam man-machine model dari Leamon adalah komponen lingkungan. Komponen lingkungan terdiri dari ruang kerja (work space), lingkungan fisik, dan lingkungan organisasi. Ruang kerja adalah ruangan yang diperlukan untuk meletakkan alat, material, pendukung, ruang gerak serta ruang meletakkan hasil kerja. Lingkungan fisik meliputi kondisi pencahayaan, kebisingan, getaran, polusi, kelembaban, bau-bauan, dan temperatur. Kondisi fisik ini akan mempengaruhi langsung kepada manusia, sebab manusia memiliki keterbatasan fisik dan psikis dalam menerima kondisi lingkungan. Jika ambang batas kemampuan manusia dilewati, akan menimbulkan ketidaknyamanan, kelelahan yang berlebihan, motivasi kerja yang menurun, banyaknya kesalahan serta secara umum akan menurunkan produktivitas kerja. Lingkungan organisasi mencakup bagaimana pengorganisasian pekerjaan, pembagian jam kerja dan jam istirahat, kompensasi yang didapat pekerja, hari libur kerja, sistem kerja lembur dan sebagainya yang menyangkut organisasi dari perusahaan/tempat kerja tersebut.

Wignjosoebroto (2003) memberikan penjelasan tentang posisi manusia dalam sistem kerja seperti pada Gambar 9. Komponen sistem kerja terdiri dari human operator, firmware, sofware, hardware dan dipengaruhi oleh lingkungan. Output dari sistem akan memberikan input sehingga perlu peningkatan kinerja selanjutnya. Sistem kerja akan didesain ulang sehingga mendapatkan nilai output yang dikehendaki

Gambar 9 Posisi manusia dalam sistem kerja (Sumber: Wignjosoebroto 2003)

2.2.2 Prinsip FJM dan FMJ

Menurut Bridger (1995), dalam perancangan sistem kerja, perancangan akan mempertimbangkan 2 komponen yang saling terkait yaitu komponen manusia dan komponen pekerjaan. Manusia akan selalu berinteraksi dengan pekerjaan dengan segenap kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki. Di lain fihak sistem menuntut agar pekerjaan dapat diselesaikan tanpa banyak kesalahan, menghasilkan kualitas produk yang baik dan dapat diselesaikan dalam waktu yang cepat. Keberhasilan dari sebuah sistem kerja dapat dilihat dari tingkat efektifitas, efisiensi dan produktivitas kerja. Semakin baik sebuah sistem kerja artinya semakin efisien, semakin efektif dan semakin produktif. Dalam melakukan perancanangan sistem kerja, perancang dihadapkan dengan 2 pilihan prinsip perancangan yaitu prinsip ‘fit the man to the job’ (menyesuaikan manusia kepada tuntutan pekerjaan), dan prinsip ‘fit the job to the man’ (menyesuaikan pekerjaan dengan kemampuan dan keterbatasan manusia).

Prinsip fit the man to the job didasarkan pada pemikiran bahwa produktivitas dan efisiensi suatu sistem kerja dapat ditingkatkan dengan cara memilih pekerja yang sesuai dengan tugas dan kondisi kerja yang harus dihadapi. Prinsip ini sesuai untuk beberapa pekerjaan, terutama yang menyangkut keamanan baik keamanan institusi, komunitas maupun keamanan negara. Misalnya

pekerjaan sebagai operator sistem keamanan bank yang harus memiliki kualifikasi khusus di bidang information technology (IT), serta memiliki integritas moral yang sangat baik. Hal ini harus dilakukan karena nasib bank tersebut termasuk jutaan nasabah tergantung kepada hasil kerjanya. Kesalahan sekecil apapun akan memiliki imbas yang sangat besar, sehingga harus dapat dihindari. Contoh lain adalah pekerjaan pilot pesawat tempur. Pekerjaan ini menuntut manusia/pilot memiliki kemampuan fisik sangat luar biasa, karena akan dituntut melakukan menuver-manuver ekstrim yang sangat sulit. Tuntutan lain pada pilot adalah kecerdasan tinggi sebab pada kondisi perang yang sesungguhnya perhitungan penyerangan atau bertahan bukan saja mempertaruhkan nyawa sang pilot, namun juga keamanan negara. Pilot juga dituntut memiliki moral sangat baik, memiliki kesetiaan terhadap institusi bahkan harus berjiwa patriotik sejati. Dalam 2 kasus di atas, prinsip perancangan yang harus memilih, menyesuaikan dengan tuntutan pekerjaan tepat untuk diambil. Namun demikian, jika prinsip ini diterapkan dalam banyak pekerjaan yang tidak menyangkut keamanan terlalu mendasar, maka akan menimbulkan banyak kesulitan, misalnya perancangan lantai produksi di perusahaan tekstil yang memerlukan jumlah pekerja sangat banyak, dilakukan sepanjang hari (24 jam, 3 shift). Jika pada saat melakukan perancangan alat kerjanya hanya berdasarkan kepada kebutuhan, dan hasilnya adalah alat canggih yang rumit, maka akan sangat kesulitan mencari operator apalagi dalam jumlah ribuan.

Pendekatan alternatif dalam perancangan sistem kerja adalah prinsip fit the job to the man yang mendasarkan metode perancanan sistem kerja dengan menitik-beratkan kepada manusia/pekerjanya. Perancang akan melihat karakteristik manusia sebagai pertimbangan utama dalam menentukan tingkat kesulitan dari sebuah alat. Karakteristik yang dimaksud mencakup karakter anatomi, fisiologis dan psikologisnya. Jika sebuah alat disesuaikan dengan kemampuan manusia, maka pada waktu penggunaan alat tersebut akan dapat berjalan dengan lancar, operator tidak banyak melakukan kesalahan dan dengan demikian efisiensi dan efektifitas juga akan meningkat. Contoh perancangan yang sesuai dengan prinsip ini sangat banyak. Pendek kata selain sistem kerja yang menyangkut sistem keamanan, prinsip fit the job to the man dapat digunakan.

Prinsip ini yang sampai dengan saat ini dianggap paling ergonomi dalam merancang sistem kerja.

2.2.3 Ergonomi Mikro dan Makro

Sampai saat ini ada dua pendekatan perancangan secara ergonomi yaitu pendekatan ergonomi mikro dan ergonomi makro. Pada awal perkembangan ergonomi, para ergonom lebih memfokuskan pada perancangan sistem kerja yang menitikberatkan pada kaitan kesesuaian kemampuan manusia dengan pekerjaan/tugas yang harus diselesaikan. Pendekatan seperti ini menurut Pulat (1991) adalah ciri khusus dari ergonomi mikro. Tahapan proses dari pendekatan ergonomi mikro adalah sebagai berikut:

a) Identifikasi masalah.

b) Pembandingan pekerjaan/tugas dengan kemampuan manusia. Kemudian memverifikasi apakah benar-benar ada masalah dengan persoalan yang dimaksud.

c) Pengembangan solusi alternatif, mencakup solusi teknis dan administratif. d) Memilih solusi terbaik.

e) Mengimplementasi solusi.

f) Melakukan tindak lanjut (follow up).

Dari tahapan di atas terlihat bahwa interaksi di luar lingkungan fisik hanya diperhatikan pada saat implementasi dan tindak lanjut. Pendekatan ini yang nantinya diubah dalam ergonomi makro.

Dalam perkembangan selanjutnya, Hendrick (1987, 2002) menyampaikan suatu pendekatan perancangan sistem kerja yang dikaitkan dengan struktur organisai, interaksi manusia dan organisasi serta aspek motivasi dalam pekerjaan. Pendekatan ini dikenal dengan Macro Ergonomics. Di dalam sistem industri, pendekatan ini disebut juga dengan Organizational Design (OD) dan digunakan dalam perancangan struktur organisasi dan hubungan antar komponen struktur tersebut. Dalam paper yang berjudul “Macro Ergonomics : A Concep Whose Time Has Come”, Hendrick menyampaikan bahwa ada 3 urutan generasi pengembangan. Generasi pertama adalah ergonomi yang memfokuskan pada perancangan tugas secara spesifik, kelompok kerja, hubungan manusia-mesin,

termasuk display, pengaturan ruang kerja, lingkungan fisik kerja. Penelitian ergonomi dalam tahap ini diarahkan pada antropometri dan karakteristik fisik manusia dan implikasinya dalam perancangan alat. Menurut IEA, definisi ergonomi generasi pertama ini disebut Physical Ergonomics.

Generasi kedua menitikberatkan pada peningkatan perhatian faktor kognitif kerja yang direfleksikan dalam perancangan sistem. Model pengembangan yang ditekankan adalah user-system interface technology. Pengembangan ergonomi di era kedua ini menjadi dasar pada pengembangan selanjutnya karena sudah mulai banyak menyentuh masalah sistem teknologi. Pendekatan yang serupa ini di Amerika Serikat disebut juga Human Factor Engineering. Menurut IEA, ranah ini disebut dengan Cognitive Ergonomics.

Generasi ketiga yang menurut IEA disebut dengan Organizational Ergonomics, lebih menitikberatkan pada perancangan sistem secara makro, optimisasi sistem kerja dalam kaitannya dengan perilaku organisasi dan psikologi organisasi. Model pengembangan yang ditekankan adalah organization-machine interface technology. Pendekatan ini disebut dengan ergonomi makro, dimana dalam proses perancangan dilakukan penilaian terhadap organisasi dari atas ke bawah menggunakan pendekatan sistem sosio-teknik. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa perancangan level komponen atomistik spesifik tidak dapat dilakukan secara efektif tanpa diawali dengan membuat keputusan ilmiah tentang keseluruhan organisasi, termasuk bagaimana hal tersebut nantinya akan diatur.

Perbedaan utama antara pendekatan micro ergonomics dan macro ergonomics dipaparkan pada Tabel 1. Aspek penerapan ergonomi makro memiliki jangka pendek sehingga memerlukan penelitian berkelanjutan untuk dapat mengikuti perkembangan sistem organisasi yang sangat dinamis. Masalah lain yang membuka peluang penelitian adalah perbedaan tempat dan waktu yang akan berbeda satu dengan yang lain sesuai dengan pola hidup dan kehidupan masyarakat setempat.

Pendekatan lain yang serupa dan merupakan ranah ergonomi makro diperkenalkan oleh Manuaba (2002, 2005) dengan istilah SHIP Approach. SHIP merupakan singkatan dari Sistemic, Holistic, Interdisciplinary, Participatory. Pendekatan ini merangkum dari berbagai kepentingan perencanaan dan dalam

cakupan aspek yang sangat luas, sehingga tingkat keberterimaan hasil di lapangan sangat baik. Artinya dalam merancang sistem kerja harus mempertimbangan segala faktor terkait dan dalam tinjauan sistem (bukan parsialis), setiap elemen harus diintegrasikan dalam rancangan dengan prinsip optimasi dan harus melibatkan pihak-pihak terkait dalam pertimbangan rancangannya.

Tabel 1 Perbandingan antara Ergonomi mikro dan Ergonomi makro.

Micro Ergonomics Macro Ergonomics

Level of detail Micro Macro

Unit of Work Task-sub task Group, Division

Goal Optimize Worker Optimize Work System

Focus Details Broad Overview

Measurement tools Generally physical

measure such as length, force, lumens, decibles, time

Generally organizational and/or subjective measures such as number of people, span of control, attitude, morale

Reseach History as Part of Ergonomics Field

20 - 40 years 3 – 5 years

Application History 10 -20 years 1 – 2 years

Application Skill Anatomy, Physiology,

Perceptual Psychology, Industrial Engineering

Organizational Behavior, Organizational Psychology

(sumber : Pulat, Babur Mustafa dan David C. Alexander (Editors),

Industrial Ergonomics – Case Study, 1991)

Dalam perkembangan terbaru bahkan masalah pengembangan berkelanjutan (sustainable environment, sustainable energy dan sutainable development) sangat dipertimbangkan dalam perancangan sistem kerja. Pendekatan participatory ergonomic juga dikemukakan oleh Haims (1998), Jeppensen (2003), dan Hignet (2005), dan untuk menentukan strategi dan penelitian sistem kerja bergilir, melakukan perbaikan secara kontinyu dan sebagai solusi perancangan ergonomi. Dalam penelitian penulis sebelumnya (Widodo 2005), diketemukan terjadinya perubahan ritme biologi yang terkait dengan ritme sosio-spiritual sebuah komunitas yang pada gilirannya harus diperhatikan khususnya dalam perancangan

sistem kerja bergilir. Jika hal tersebut diabaikan akan terjadi ketidakseimbangan pola kehidupan individu dan terjadi kesenjangan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

2.2.4 Aplikasi Ergonomi Makro di Industri

Beberapa aplikasi ergonomi makro di industri yang sudah dan sedang dikembangkan antara lain Ergonomics Circle at Work, Crew Toolbox Meetings, Work Teams, Autonomous Work Group, Shifting Work Hour, Sociotechnical System Approach, Sistemic Holistic Interdisciplinair Partisipatory (SHIP) Approach dan lain-lain. Semua aplikasi tersebut memberikan hasil bahwa perancangan sistem kerja yang sukses (terutama di industri) harus memperhatikan faktor manusia (fisik, psikis, emosional dan spiritual), hubungan antar pekerja, pengaruh sosial dan lingkungan, pola perilaku organisasi, serta proses pengorganisasian masyarakat secara menyeluruh.

Nagamachi (1996) telah mengkaji masalah hubungan antara perancangan sistem kerja, ergonomi makro dan produktivitas. Dalam penelitian tersebut ditunjukkan bahwa ada hubungan sangat erat antara perkembangan teknologi dan perkembangan manusia, terutama dalam sistem industri yang banyak melibatkan tenaga kerja. Harus dilakukan harmonisasi dari kedua aspek tersebut sehingga akan didapatkan sistem yang produktivitasnya meningkat. Hendrick (2002) mempublikasikan bahwa perancangan ergonomi yang baik mencakup ergonomi makro dan mikro yang dikaitkan dengan organisasi akan memberikan keuntungan ekonomi yang juga baik. Efektifitas organisasi juga akan meningkat jika Ergonomi Makro diterapkan dalam rancangan kerja organisasi. Sedangkan menurut Demerouti (2004), terdapat hubungan antara konflik di rumah, tanggung jawab pekerjaan, kesehatan kerja dan tingkat absensi dari pekerja dengan tatacara pengaturan kerja bergilir. Tidak terlalu bermasalah bagi pekerja yang selalu bekerja siang hari (dayshift) selama seminggu, sedangkan bagi pekerja yang bekerja senantiasa pergiliran malam akan mengalami konflik di rumah yang cukup banyak walaupun ada hari libur pada akhir minggu. Dengan demikian harus ada fleksibilitas pengaturan kerja bergilir sesuai karakter individu pekerja. Cruz et al. (2003) menyatakan bahwa pengaturan kerja bergilir dengan rotasi searah jarum

jam dan berlawanan arah tidak terlalu mempengaruhi durasi tidur, waktu dan kualitasnya, tetapi yang menjadi masalah adalah perubahan pada pergiliran pagi (06.00) dan pergiliran tengah malam (10.00).

Dalam berbagai penelitiannya, Costa (2002) yang mengkaji pengaruh dan dampak sosial dari pengaturan jam kerja bergilir (shiftwork). Hasil penelitiannya menyatakan bahwa biaya sosial akibat pengaturan jam kerja lembur sangat besar untuk jangka waktu yang panjang.

Perancangan jam kerja bergilir harus mempertimbangkan ritme biologi (circardian rhythm), serta ritme social masyarakat pekerja tersebut (socio rhythm). Seperti dikutip Kroemer (2001) bahwa menurut Colligan dan Tepas, beberapa pola biologis manusia mengikuti ritme yang senantiasa berulang selama satu hari. Keberulangan ini tergantung dari berbagai kebiasaan hidup masing-masing individu. Berbagai ritme biologi manusia dapat dilihat pada Gambar 10.

Midnight

Gambar10 Berbagai ritme biologi manusia (circardian rhythm) selama 1 hari (sumber : Kroemer 2001) beasts/min mm Hg μmoles/ min degrees (Celcius) Noon Midnight

Efek dari circardian Rythm juga dibahas oleh Natale et al. (2003), yang mempengaruhi tipologi kebiasaan tidur-bangun pada pengendali lalu lintas udara. Secara khusus dalam ranah teknologi manufaktur, Pinochet et al. (1996), melakukan konstruksi sistem knowledge-based untuk mendiagnosis integrasi sosioteknik pada teknologi manufaktur yang modern.

Beberapa peneliti lain seperti Carayon (2000), Kleiner (2001), dan Axtell (2001) juga mencermati tentang berbagai hubungan penerapan teknologi, pendekatan ergonomi dan aspek sosioteknik yang ditimbulkan.

2.3 Lingkungan Fisik Tempat Kerja

Lingkungan fisik ruang kerja mencakup kondisi fisik yang terdiri dari kebisingan, temperatur, kelembaban, getaran, pencahayaan, bau-bauan, sirkulai dan tingkat polusi. Kondisi fisik ruang kerja sangat mempengaruhi kinerja operator, apalagi jika posisi kerja operator di ruang tersebut harus terpapar dalam waktu yang cukup lama. Pengaturan lingkungan fisik yang baik harus dilakukan dengan memperhatikan tingkat ambang batas ketahanan fisik dan psikis pekerja. Jika dalam hal tertentu kondisi lingkungan fisik tidak dapat diubah, alat pelindung diri (APD) harus dipersiapkan untuk melindungi pekerja. Alat pelindung diri sangat membantu pekerja dalam menghadapi kondisi ekstrim lingkungan kerja. Namun kesadaran ini di lapangan belum merata. Masih banyak pekerja yang enggan untuk menggunakan APD dengan alasan mengganggu gerakan, panas atau tidak nyaman. Dengan demikian perlu senantiasa diberikan pencerahan dan pengarahan kepada seluruh pekerja agar kesadaran untuk melindungi diri sendiri ini terbentuk dan risiko kecelakaan kerja dapat dikurangi. Berikut dipaparkan hal-hal utama yang merupakan komponen lingkungan fisik ruang kerja.

2.3.1 Kebisingan

Menurut Suma’mur (1996), bunyi didengar sebagai rangsangan-rangsangan pada telinga melalui media elastis, dan manakala bunyi-bunyi tersebut tidak dikehendaki, maka dinyatakan sebagai kebisingan. Kebisingan dapat didefinisikan sebagai bunyi yang tidak disukai, suara yang mengganggu atau bunyi yang menjengkelkan yang dalam jangka waktu yang panjang akan dapat mengganggu kenyamanan saat bekerja. Keberadaan kebisingan sedapat mungkin harus

dihilangkan, setidaknya harus dikendalikan sehingga dampak yang ditimbulkan tidak terlalu merugikan, tetapi seharusnya kebisingan yang terjadi tidak boleh menimbulkan kerugian bagi pekerja yang ada.

Menurut Moriber (1974), bising adalah sesuatu hal yang berbeda dari polutan yang lain dalam hal:

a) Keberadaannya yang gampang menghilang, tidak seperti polutan udara lainnya yang bisa terakumulasi di atmosfer.

b) Menimbulkan masalah pada masyarakat yang tidak dilibatkan dalam berbagai interaksi antara tumbuhan, hewan, dan manusia.

Jenis-jenis kebisingan yang sering ditemukan di lingkungan kerja menurut Suma’mur (1996), yaitu sebagai berikut:

a) Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas (steady state, wide band noise), misalnya mesin-mesin, kipas angin, dll.

b) Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi sempit (stedy state, narrow band noise), misalnya gergaji sirkuler, katup gas, dll.

c) Kebisingan terputus-putus (intermittent), misalnya lalu lintas, suara pesawat terbang di lapangan udara.

d) Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise), seperti tembakan senapan atau meriam, ledakan.

e) Kebisingan impulsif berulang, misalnya mesin tempa di perusahaan. Tabel 2 Tingkat kebisingan dalam kantor

Level (dB) Keadaan 20-30 30-35 35-40 40-50 50-55 >55

Kantor sangat tenang, penggunaan telepon memuaskan, cocok untuk konferensi besar

Kantor tenang, memuaskan untuk konferensi (jarak meja 15 kaki)

Memuaskan, dengan jarak meja 6-8 kaki Percakapan telepon agak terganggu

Tidak memuaskan untuk konferensi lebih dari 2 sampai 3 orang

Sangat bising untuk konferensi Sumber : Depnaker (1999)

Tabel 3 Tingkat kebisingan dalam industri Level (dB) Keadaan 85-100 100-115 115-130 130-160

Terdapat pada pabrik tekstil, tempat kerja mekanis seperti penggiling, pengguna udara bertekanan, bor listrik, gergaji mekanis, dan lain-lain

Terdapat pada pabrik pengalengan, ruang ketel, pneumatic drill, dan sebagainya

Terdapat pada mesin-mesin diesel besar, mesin turbin, pesawat terbang dengan mesin turbo, compressor, sirine, dan lain-lain

Terdapat pada mesin-mesin jet, roket, dan peledak Sumber : Depnaker (1999)

Tabel 4 Skala tingkat bising Skala

Intensitas

Tingkat Bising

(dB(A)) Ilustrasi

Menulikan 100-120 Halilintar, meriam, mesin uap

Sangat hiruk 80-100 Jalan hiruk pikuk, perusahaan

gaduh, pluit

Kuat 60-80 Kantor gaduh, jalan pada

umumnya, radio

Sedang 40-60 Rumah gaduh, percakapan kuat,

kantor pada umumnya

Tenang 20-40 Rumah tenang, percakapan biasa,

kantor perorangan

Sangat tenang 0-20 Berbisik, suara daun jatuh, tetesan

air

Sumber : Notoatmodjo ( 2003)

Intensitas atau arus energi persatuan luas biasanya dinyatakan dalam suatu logaritmik yang disebut desibel (dB) dengan membandingkan kekuatan dasar 0.0002 dyne/cm2 (2x10-5 N/m2) yaitu kekuatan dari bunyi dengan frekuensi 1000 Hz yang tepat dapat didengar oleh telinga normal. Ukuran kebisingan dinyatakan

dengan istilah sound pressure level (SPL). Alat yang digunakan untuk mengukur kebisingan yaitu sound level meter. Alat ini mengukur kebisingan diantara 30-130 dB dan dengan frekuensi 20-20000 Hz. Hasil keluaran pengukuran dengan alat ini adalah desibel (dB) dengan menggunakan dasar persamaan (Chanlett, 1979):

SPL = 10 log (P/Pref)2...(1) dimana SPL : tingkat tekanan kebisingan (dB)

P : tekanan suara (N/m2)

Pref : tekanan bunyi reference (2x10-5 N/m2) Terdapat 3 skala pengukuran untuk sound level meter yaitu:

Dokumen terkait