• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.6 Manajemen Kelestarian Hutan Rakyat Secara

Kawasan.

Krakteristik pengelolaan hutan rakyat adalah bersifat individual oleh keluarga, tidak memiliki manajemen formal, tidak responsif, subsisten, dan dipandang sebagai tabungan bagi keluarga pemilik hutan rakyat. Karakteristik seperti ini dalam perkembangannya kurang memiliki daya saing tinggi, tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dengan pedagang dan industri, dan sinkronisasi konservasi dan kelestarian hutannya tidak dapat terjamin. Oleh karena itu,

2.5 Tebang Butuh.

Tebang butuh merupakan sistem pelaksanaan penebangan pohon di lahan masyarakat yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat (Sabarudin, 2005). Pola pemanenan yang diterapkan oleh petani hutan rakyat pada umumnya tebang butuh.Tebang butuh merupakan suatu keadaan nyata yang terjadi di hutan rakyat khusunya di Gunungkidul dimana petani pemilik hutan akan memanen hasil hutan kayu yang diusahakannya sewaktu-waktu jika ada kebutuhan mendesak seperti membangun rumah, hajatan, ataupun untuk biaya pendidikan anaknya (Maryudi, 2001).

Sistem pemanenan ini dilakukan sewaktu-waktu sehingga tidak ada musim panen yang jelas dikarenakan kebutuhan yang akan dipenuhi biasanya tidak berlangsung secara periodik dan hanya pada saat waktu tertentu saja. Fenomena tebang butuh di atas sebenarnya tidak sejalan dengan prinsip kelestarian hutan jika menebang dalam jumlah yang melebihi produktivitas lahan tersebut dalam menghasilkan kayu. Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan hutan rakyat ialah terkait dengan pemanenan hasil hutan rakyat yang seharusnya sesuai dengan etat tebangan, tapi bagaimana cara memenuhi kebutuhan keluarga pemilik lahan agar pemenuhannya tidak menebang pohon yang belum layak tebang berdasarkan perhitungan daurnya. Tidak jarang konsep etat tebangan yang sudah direncanakan tidak dapat diaplikasikan di lapangan dikarenakan keluarga pemilik lahan menebang pohon di lahan yang mereka miliki dengan dalih untuk pemenuhan kebutuhan yang relatif besar (tebang butuh).

3) Merupakan suatu kesatuan ekosistem mulai dari tegakan sampai tumbuhan bawah, hewan dan mikro organisme.

4) Dikelola dan dikuasai oleh rakyat.

Di daerah Gunung kidul, DIY hutan rakyat yang berkembang didominasi oleh tanaman jati yang ditanam di daerah pekarangan, tegal, daerah kontur, dan batas-batas lahan. Pengelolaannya saat ini meliputi penanaman, pemeliharaan, pengolahan, penebangan, dan pemasaran. Menurut Awang, dkk (2001) usaha pengelolaan hutan rakyat di Gunungkidul adalah sebagai berikut :

1) Sistem penebangan mengikuti pendekatan individual tree model, artinya pohon ditebang sesuai dengan kebutuhan, sesuai dengan ukuran diameter tertentu, gabungan antara kebutuhan keluarga akan ekonomi dan besarnya diameter pohon untuk tanaman jati.

2) Pembibitan dilakukan secara swadaya dengan sistem “puteran” yang berasal dari biji dan anakan pohon alami yang kemudian dipindahkan ke lahan yang sudah disediakan.

3) Pemeliharaan dilakukan secara sambilan saaat memelihara tanaman perkebunan dan tanaman pangan lainnya.

4) Pengolahan kayu tidak dilakukan oleh petani karena tengkulak kayu akan membeli kayu yang masih dalam keadaan berdiri (Awang, dkk., 2001). Berdasarkan kondisi aktual pola pengelolaan hutan rakyat yang cukup bervariatif dengan model agroforestry yang beragam, sehingga mampu menopang fungsi ekonomi, ekosistem, dan sosial di masyarakat.

2.3.3 Pola kemitraan (kredit usaha hutan rakyat).

Hutan rakyat dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan swasta dengan insentif permodalan berupa kredit kepada rakyat dengan bunga ringan. Dasar pertimbangan kerjasama itu adalah pihak perusahaan perlu bahan baku dan masyarakat butuh bantuan modal kerja. Pola kemitraan ini dilakukan dengan memberikan bantuan secara penuh melalui perencanaan sampai dengan membagi hasil usaha secara bijaksana, sesuai kesepakatan antara perusahaan dengan masyarakat.

2.4 Prinsip manajemen Hutan Rakyat.

Memahami pengelolaan hutan rakyat pada dasarnya adalah memotret keseluruhan aktivitas penduduk di lahan milik (pekarangan, tegal, dan wono). Pengelolaan hutan rakyat bukan sesuatu yang berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari keseluruhan aktivitas keseharian penduduk atau petani, yang mengelola berbagai jenis lahan sesuai dengan potensinya (Awang, dkk., 2001). Menurut Djuwadi (2002) pengelolaan hutan rakyat secara utuh adalah sebagai berikut:

1) Kelompok pohon-pohonan yang didominasi oleh pohon berkayu. Society of American Foresters (1976) menyatakan An association of tress predominated by wood vegetation.

2) Luas dan kerapatannya cukup, sehingga bisa menciptakan iklim mikro yang berbeda dengan sekitarnya.

hutan, maka pengurusan hutan rakyat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, sehingga salah urus terhadap hutan rakyat dapat dikenakan tuntutan hukum. Menurut Awang (2005) dalam pengembangan hutan rakyat ada tiga pola yang dapat dijalankan, yaitu:

2.3.1 Pola swadaya.

Hutan rakyat pola swadaya adalah hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan madal dan tenaga dari kelompok maupun perorangan itu sendiri. Melalui pola ini masyarakat akan didorong agar mau dan mampu melaksanakan pembuatan hutan rakyat secara swadaya dengan bimbingan teknis dari kehutanan. Hutan rakyat akan diarahkan dan dikembangkan pada lahan masyarakat secara hidro-orologis kritis dan masyarakatnya mempunyai keterbatasan dalam hal pengetahuan dan kemampuan.

2.3.2 Pola subsidi (model hutan rakyat).

Hutan rakyat pola subsidi adalah hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya. Subsidi atau bantuan diberikan pemerintah (melalui Inpres penghijauan, padat karya, dan dana bantuan lainnya) atau dari pihak lainnya yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat. Selanjutnya akan diarahkan dan dikembangkan pada lahan masyarakat yang secara hidro-orologis kritis dan masyarakatnya mempunyai keterbatasan dalam hal pengetahuan dan kemampuan.

Menurut Widayanti dan Djuwadi (2008) untuk menghitung volume tegakan berdiri hutan rakyat dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

V = 0,25*π* *t*f

Dimana :

V : Volume pohon ( ) π : phi (3,14)

D : Diameter pohon (m) t : Tinggi total pohon (m)

f : Bilangan bentuk suatu jenis pohon ( Jati : 0,6 dan jenis lainnya 0,7) Mengetahui pertumbuhan kayu dari hutan rakyat sama artinya dengan mengetahui besarnya produksi kayu maksimum yang diperbolehkan dari hutan rakyat. Mengetahui pertumbuhan kayu hutan rakyat per tahun maka informasi tersebut dapat digunakan untuk menyusun rencana pengaturan hasil kayu di hutan rakyat. Pengaturan hasil hutan rakyat diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara pemanenan (produksi) dengan pertumbuhan (riap), bila keseimbangan tersebut dapat tercapai maka kelestarian hasil kayu dari hutan rakyat dapat diwujudkan selama masa pengelolaannya (Widayanti dan Djuwadi, 2008).

2.3 Pengembangan Hutan rakyat.

Agar semua hutan memenuhi fungsinya dengan baik maka hutan rakyat perlu diatur pengurusan dan pengusahaannya oleh negara meskipun pelaksanaan pengurusan dan pengusahaan itu dilakukan sendiri oleh pemiliknya. Sudah sewajarnya bahwa pengurusan hutan rakyat dilalukan oleh pemiliknya dengan bimbingan dan atas pengawasan dari pemerintah. Sesuai dengan fungsi sosial

3) Kesadaran bersama tentang perlindungan hutan di daerah kritis semakin baik.

4) Kelompok tani hutan rakyat semakin berkembang.

5) Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tentang pemetaan hutan.

2.2.2 Potensi kayu.

Potensi kayu yang ada di hutan baik pada pekarangan, tegal, dan wono adalah volume dan jumlah pohon yang selanjutnya dilakukan inventarisasi dengan metode sensus yang selanjutnya memberikan gambaran tentang potensi dan perencanaan pengaturan hasil hutan rakyat (Widayanti dan Djuwadi, 2008).

Potensi kayu di hutan rakyat memiliki arti penting dalam pengelolaan hutan rakyat. Mengetahui potensi hutan rakyat maka akan dapat ditentukan beberapa tindakan yang terkait dengan kelestarian hasil hutan rakyat, sehingga kelestarian hutan rakyat dapat diwujudkan. Parameter yang digunakan dalam menyatakan potensi hutan rakyat adalah luas, volume kayu dan jumlah kayu pohon baik dari jenis yang mendominasi maupun jenis-jenis lainnya. Data potensi ini dapat dianalisis untuk mengetahui taksiran riap dan etat. Penaksiran potensi kayu dimulai dengan perhitungan potensi hutan rakyat yang dimiliki oleh setiap petani/pemilik lahan. Data hasil inventarisasi kayu yang meliputi jumlah pohon, luas bidang dasar (lbds) dan volume hutan rakyat per satuan luas (Widayanti dan Djuwadi, 2008).

misalnya untuk biaya sekolah, hajatan, ataupun kebutuhan kayu untuk konstruksi pembangunan rumah sendiri. Hal ini menunjukkan penebangan memiliki korelasi yang kuat dengan jumlah kebutuhan petani. Maka dalam perkembangannya sistem pemanenan ini dilakukan berdasarkan kebutuhan yang selanjutnya familier dengan nama sistem tebang butuh (Awang, 2005).

2.2 Potensi Hutan Rakyat

Hutan rakyat memiliki potensi yang cukup berkontribusi dalam pemenuhan ekonomi masyarakat. Parameter yang digunakan dalam menyatakan potensi hutan rakyat adalah luas lahan, volume kayu, dan jumlah pohon baik dari jenis yang mendominasi ataupun yang jenis-jenis lainnya. Selanjutnya data tersebut dapat digunakan untuk merencanakan pengaturan hasil hutan rakyat, sehingga diperoleh hasil tebangan tahunan sesuai dengan potensi yang dimiliki.

2.2.1 Luas hutan rakyat.

Luas hutan rakyat memiliki ukuran yang bervariasi sesuai dengan kepemilikan masing-masing pemilik lahan. Lahan yang digunakan terklasifikasi menjadi tiga tipe lahan yaitu pekarangan, tegal, dan wono. Menurut Awang (2005), manfaat yang diperoleh dari pengklasifikasian ini antara lain:

1) Status hutan rakyat (status, batas, dan kepemilikan) menjadi semakin jelas. 2) Kerjasama antar warga masyarakat tentang pengelolaan hutan rakyat

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian hutan rakyat

Hutan rakyat merupakan hutan yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat dengan tujuan untuk menghasilkan kayu atau komoditas ikutannya yang secara ekonomis dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (Simon,2010). Pengertian mengenai hutan rakyat sebaiknya diperluas dan diakui secara nasional sebagai salah satu strategi dalam membangun hutan nasional. Definisi ideal dari hutan rakyat adalah hutan yang pengelolaannya dilakukan oleh organisasi masyarakat baik pada lahan milik individu, komunal, lahan adat maupun lahan yang dikuasai oleh negara (Awang, 2001). Hutan rakyat tersusun dari satuan ekosistem kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan usaha tani semusim, peternakan dan jasa rekreasi alam.

Pengelolaan hutan rakyat dipandang sebagai usahatani yang masih bersifat subsisten. Produk kayu yang dihasilkan merupakan produk yang secara sengaja disiapkan untuk menjadi salah satu sumber pendapatan bagi keluarga petani. Sifat dari pengelolaan hutan rakyat nampak pada cara pemanenan yang dilakukan, yaitu tergantung kepada kebutuhan keluarga. Kebutuhan jika sudah dapat terpenuhi dari hasil pertanian maka penebangan kayu tidak dilakukan. Penebangan dilakukan jika petani dihadapkan pada kebutuhan yang akan dipenuhi dalam skala besar,

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Memberikan informasi terkini berdasarkan data mengenai kondisi aktual hutan rakyat yang meliputi struktur tegakan maupun volume standing stock terhadap para pihak yang berkepentingan.

2. Menambah referensi mengenai perkembangan hutan rakyat khususnya di kabupaten Gunungkidul.

pada tiap tahunnya belum tentu selalu sama, tergantung pada besarnya kebutuhan yang akan mereka penuhi dari hasil penjualan kayu tersebut. Catatan selanjutnya adalah dengan semakin meningkatnya trend hutan rakyat, kalangan industry melihat bahwa hutan rakyat menjadi alternative pemenuhan bahan baku industri mereka, sehingga aktifitas penjualan kayu semakin meningkat pada tiap tahunnya, hal ini berdampak pada aktivitas penebangan yang tinggi.

Melihat catatan di atas, maka diperlukan kegiatan inventarisasi tegakan guna mengetahui potensi yang meliputi jumlah, jenis, dan volume standing stock guna untuk menghitung etat tebengan pada tiap tahunnya agar tidak terjadi overcutting sebagai salah satu syarat kelestarian hutan.

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui komposisi jenis tegakan penyusun hutan rakyat di PUP CV. Dipantara di Kabupaten Gunungkidul.

2. Mengetahui perkiraan potensi volume kayu di Petak ukur permanen hutan rakyat CV. Dipantara Kabupaten Gunungkidul.

memperhatikan asas kelestarian juga diperlukan kelembagaan yang kuat agar kegiatan pengelolaan hutan rakyat dapat berjalan secara efektif dan efisien.

1.2 Rumusan Masalah

Hutan rakyat di Kabupaten Gunungkidul yang berada di bawah binaan CV. Dipantara telah mendapatkan sertifikasi dari lembaga FSC yang dapat berfungsi sebagai jaminan bahwa hutan rakyat tersebut telah memenuhi syarat-syarat pengelolaan hutan rakyat sehingga dapat dipertanggungjawabkan pengelolaan hutannya. Salah satu bentuk manfaat sertifikasi FSC adalah kayu hasil penebangan dapat dilakukan pengecekan asal usul kayu yang menunjukkan legalitas kayu tersebut.

Pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan secara individual oleh masing-masing pemilik lahan masih berlangsung sangat sederhana, yaitu dengan sistem tebang butuh. Sistem tebang butuh yaitu pemilik lahan akan menebang pohon jika dalam kondisi membutuhkan uang tambahan untuk keperluannya, jadi penebangan dilakukan bukan berdasarkan etat volume tetapi lebih berdasarkan kepada kebutuhan-kebutuhan pemilik lahan. Hal ini menjadikan volume pohon yang ditebang pada setiap periode tidak selalu sama.

Dilihat dari segi pengaturan hasil, dengan sistem seperti di atas ada beberapa cacatan yang perlu diperhatikan, yang pertama adalah pohon yang di tebang rata-rata adalah pohon yang memiliki diameter yang relative besar jika dibandingkan dengan pohon yang lainnya, adapun jumlah pohon yang ditebang

menjelaskan kepemilikan atas tanah tersebut. Adanya permudaan tanaman yang berhasil dapat diwujudkan dengan adanya penanaman kembali serta pemeliharaan tanaman pada areal-areal pasca dilakukan pemanenan. Tidak terjadinya overcutting dapat diwujudkan dengan adanya perhitungan riap pertumbuhan pada tanaman dengan cara menginventarisasi tegakan penyusun, dalam inventarisasi tersebut dilakukan secara sensus supaya memperkecil kesalahan pada saat perhitungan. Inventarisasi nantinya akan diketahui komposisi dan potensi tegakan penyusun yang selanjutnya didapatkan volume standing stock pada tegakan tersebut. Hal ini penting untuk diketahui karena dengan volume standing stock nantinya akan dihitung etat tebangan berdasarkan volume sebagai kontrol agar tidak terjadi overcutting pada saat pemanenan.

Kegiatan inventarisasi tegakan diharapkan dapat memberikan penaksiran potensi hasil kayu yang dapat dihasilkan pada tiap tahunnya. Inventarisasi pada penelitian kali ini dilakukan pada petak ukur permanen yang ada di areal hutan binaan CV. Dipantara. Petak ukur permanen merupakan areal yang digunakan untuk dilakukan pengukuran tegakannya secara berkelanjutan guna untuk mengetahui riap pertumbuhan tiap tahunnya. Petak ukur permanen (PUP) merupakan sarana untuk pemantauan dan pengumpulan data pertumbuhan dan hasil tegakan.

Pengambilan data secara sensus digunakan karena cakupan luasan lahan hutan rakyat yang dimiliki oleh masyarakat relative lebih kecil jika dibandingkan dengan luasan hutan Negara. Adanya manajemen pengelolaan yang

Tiga asas kelestarian di atas belum dapat dicapai seperti yang diharapkan sehingga setiap hari hutan semakin berkurang jika tidak boleh dikatakan habis, sehingga manfaat yang dirasakan terhadap keberadaan hutan Negara semakin berkurang baik secara ekonomi, ekologis maupun sosial. Hal ini dapat dilihat jika dari segi ekonomi, kayu yang dihasilkan tidak dapat lagi menopang (supply) kebutuhan kayu oleh masyarakat, di lain pihak permintaan (demand) kayu semakin hari semakin meningkat. Dari segi ekologis dapat dirasakan bahwa adanya eksploitasi secara besar-besaran serta pencurian kayu menyebabkan keseimbangan ekologis terganggu yang mengakibatkan terjadinya bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dll. Sedangkan dari fungsi social banyak terjadinya konflik-konflik sosial yang terjadi antara masyarakat desa sekitar hutan dengan pihak pengelola yang diberikan “mandat” untuk mengelola hutan tersebut.

Dampak negatif yang dirasakan dari pengelolaan hutan Negara seperti di atas dilain pihak memunculkan sebuah “peluang” bagi hutan milik (hak) untuk menggantikan fungsi hutan negara. Sekarang banyak masyarakat yang sadar dan cerdas untuk mengelola lahan yang mereka miliki dengan mulai menanam tanaman kehutanan yang dapat mendatangkan manfaat, yang menjadikan trend hutan rakyat menjadi meningkat.

Fenomena di atas diperlukan sebuah manajemen pengaturan yang dapat mengontrol hasil hutan dan menjamin kelestarian hutan rakyat agar dapat mendatangkan manfaat yang optimal. Batas lahan yang jelas dan diakui oleh semua pihak dapat ditunjukkan dengan kepemilikan surat-surat tanah yang

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.

Hutan merupakan sumber daya alam yang didominasi oleh tanaman-tanaman berkayu yang dapat menciptakan iklim mikro tersendiri di dalamnya. Dilihat dari kepemilikannya hutan dibagi menjadi 2 yaitu hutan Negara dan hutan milik (hak). Hutan Negara merupakan kawasan hutan yang secara kepemilikan dikuasai oleh Negara. Sesuai dengan pasal 33 UUD 1945: “bumi, air, dan kekayaaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sedangkan hutan milik (hak) merupakan lahan yang dimiliki oleh perseorangan yang dapat dibuktikan dengan sertifikat kepemilikan tanah atau sejenisnya. Lahan tersebut dijadikan hutan dengan ditanami tanaman-tanaman berkayu oleh pemiliknya secara sukarela.

Pengelolaan hutan memerlukan sebuah kelestarian baik secara ekonomi maupun secara ekologi agar pemanfaatan hasil hutan dapat dilakukan secara terus menerus dan sedapat mungkin dapat meningkatkan kualitas dan kuantitasnya. Kelestarian sendiri memiliki 3 asas yang sebaiknya dapat dicapai, yaitu adanya batas kawasan yang jelas dan diakui oleh semua pihak, adanya permudaan yang berhasil, serta tidak terjadi overcutting.

xiii

COMPOSITION AND POTENTIAL OF COMMUNITY FOREST CERTIFICATION OF CV. DIPANTARA IN THE GUNUNGKIDUL

REGENCY

by:

Gangsar Dwi Suciyanto 11/320885/DKT/01484

Abstract

The community forest is a forest development concept undertaken on private land. Development of community forests is due to the public awareness of the importance of forests akn for the environment and their lives. Forest development brings economic benefits, ecological, and social for the community. Economically forest products can be sold to increase income of land owners, and the ecology can prevent erosion on marginal lands. Forest products such as timber must be managed properly in order to avoid overcutting kelstarian that can threaten public forests. The inventory was conducted to determine the potential and constituent composition of forests in order to know the amount of people standing stock volume.

The study was conducted with a purposive sampling method in three different locations, namely in the Village Bejiharjo, Nglipar Village, and the Village Wonosari. The analysis used to determine how the number and types of trees making, as well as calculating the volume of each stand are three classifications contained in the public forests yard, tagal, and Wono at each location.

The results showed that each location has a characteristic constituent of stands and different amounts. Bejiharjo village shows that diverse plant species dominated constituent teak. Nglipar village has a simpler constituent types by the dominance of teak and mahogany on each land, while the Village Wonosari constituent types tend to have a monoculture with teak dominance. Standing stock volume on the community forest is 170.87 / ha with details on Gelaran II vst of 104.06 / ha, Nglipar lor 249.66 / ha and the latter Tawarsari for 164,50

/ ha.

xii

KOMPOSISI DAN POTENSI TEGAKAN HUTAN RAKYAT DI PETAK UKUR PERMANEN SERTIFIKASI BINAAN CV. DIPANTARA DI

KABUPATEN GUNUNGKIDUL

Oleh:

Gangsar Dwi Suciyanto 11/320885/DKT/01484

INTISARI

Hutan rakyat merupakan suatu konsep pembangunan hutan yang dilakukan di lahan milik. Pembangunan hutan rakyat terjadi karena adanya kesadaran masyarakat akn pentingnya hutan bagi lingkungan dan kehidupan mereka. Pembangunan hutan mendatangkan manfaat ekonomi, ekologis, maupun sosial bagi masyarakat. Secara ekonomi hasil hutan dapat dijual untuk menambah pemasukan pemilik lahan, dan secara ekologi dapat mencegah bahaya erosi pada lahan kritis. Hasil hutan yang berupa kayu harus dikelola dengan baik agar tidak terjadi overcutting yang dapat mengancam kelstarian hutan rakyat. Inventarisasi dilakukan untuk mengetahui potensi dan komposisi penyusun hutan rakyat agar dapat diketahui besaran volume standing stock.

Penelitian dilakukan dengan metode purposive sampling pada tiga lokasi yang berbeda yaitu di Desa Bejiharjo, Desa Nglipar,dan Desa Wonosari. Analisa yang digunakan dengan cara mengetahui jumlah dan jenis pohon penyusun, serta menghitung volume pada tiap tegakan yang terdapat pada tiga klasifikasi hutan rakyat yaitu pekarangan, tagal, dan wono pada masing-masing lokasi.

Hasil penelitian menunjukkan masing-masing lokasi mempunyai ciri tegakan penyusun dan jumlah yang berbeda. Desa Bejiharjo menunjukkan jenis tanaman penyusun yang beragam yang didominasi tanaman jati. Desa Nglipar mempunyai jenis penyusun yang lebih sederhana dengan dominasi tanaman jati dan mahoni pada tiap lahannya, sedangkan Desa Wonosari mempunyai jenis penyusun cenderung monokultur dengan dominasi jati. Volume standing stock pada hutan rakyat tersebut adalah 170,87 /Ha dengan perincian di dusun gelaran II vst sebesar 104,06 /Ha, dusun Nglipar lor 249,66 /Ha dan yang terakhir dusun Tawarsari sebesar 164,50 /Ha.

xi DAFTAR LAMPIRAN

x

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Gambar Halaman Gambar 1 Grafik Jumlah dan Jenis Pohon di Dusun Gelaran II... 34 Gambar 2 Grafik Jumlah dan Jenis Pohon di Dusun Nglipar Lor... 37 Gambar 3 Grafik Jumlah dan Jenis Pohon di Dusun Tawarsari... 39

ix

DAFTAR TABEL

No. Tabel Tabel 1

Judul Tabel

Pola Hutan Rakyat...

Hal 18 Tabel 2 Jenis Lahan dan Luas Lokasi Penelitian PUP... 21

Tabel 3 Pola Penggunaan Lahan Desa Bejiharjo... 28

Tabel 4 Pola Penggunaan Lahan Desa Nglipar... 29

Tabel 5 Pola Penggunaan Lahan Desa Wonosari... 30

Tabel 6 Luas dan persebaran PUP hutan rakyat... 31

Tabel 7 Jumlah dan Jenis Pohon di Desa Bejiharjo... 33

Tabel 8 Jumlah dan Jenis Pohon di Desa Nglipar... 36

Tabel 9 Jumlah dan Jenis Pohon di Desa Wonosari... 38

Tabel 10 Volume Pohon di Lahan Pekarangan Desa Bejiharjo... 40

Tabel 11 Volume Pohon di Lahan Tegal Desa Bejiharjo... 41

Tabel 12 Volume Pohon di Lahan Wono Desa Bejiharjo... 41

Dokumen terkait