• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Keragaman jenis tanaman hutan rakyat di PUP CV. Dipantara di Desa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Keragaman jenis tanaman hutan rakyat di PUP CV. Dipantara di Desa"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Keragaman jenis tanaman hutan rakyat di PUP CV. Dipantara di Desa Bejiharjo paling tinggi dengan didominasi tanaman jati 80,75%. Desa Nglipar jenis tanaman penyusun relatif sedikit, dominasi tanaman jati (55,87%) mulai berkurang dengan hadirnya tanaman mahoni (35,77%). Desa Wonorsari sangat didominasi oleh tanaman jati (98,83%) dan hampir tidak ada jenis lain.

2. Potensi volume tegakan (standing stock) pada hutan rakyat di PUP lokasi penelitian rata-rata sebesar 170,87 /Ha dengan persebaran Desa Bejiharjo sebesar 104,06 /Ha, Desa Nglipar sebesar 249,66 /Ha, dan Desa Wonosari sebesar 164,50 /Ha.

6.2 Saran

1. Perlu adanya penyuluhan kepada masyarakat guna memberikan tambahan pemahaman tentang perlunya pengelolaan hutan rakyat demi terciptanya pengelolaan hutan rakyat yang lestari.

2. Perlu peningkatan peran masing-masing pihak guna memacu penambahan produktivitas hutan rakyat sehingga dapat mendatangkan tambahan manfaat bagi masyarakat.

(2)

Desa Wonosari mempunyai vst terbesar kedua dengan 164,50 /Ha dengan persebaran volume dominasi jati sebesar 98,46% dan sisanya kayu jenis lain dengan 1,54%. Hal ini menggambarkan bahwa volume yang terdapat pada desa tersebut sangat melimpah untuk jenis jati karena memang masyarakat sangat menggemari jenis ini untuk ditanam pada setiap lahan milik mereka. Jenis jati yang sangat melimpah berbanding lurus dengan volume jati yang ada.

Sedangkan yang terakhir adalah Desa Bejiharjo dengan vst terkecil sebesar 104,06 /Ha dengan persebaran volume setiap jenis ada. Jati mendominasi dengan 79,20%, dilanjutkan mahoni dengan 9,53%, sonokeling dengan 6,43%, akasia dengan 1,65%, sedangkan yang terakhir adalah kayu jenis lain dengan 3,19%. Desa Bjiharjo walaupun memiliki vst terkecil diantara desa lainnya, tetapi memiliki persebaran volume pada tiap jenis yang merata. Hal di atas menunjukkan bahwa volume yang ada di desa ini berasal dari banyak jenis, tidak hanya didominasi oleh satu jenis seperti yang terjadi pada Desa Wonosari.

(3)

164,50 /Ha dan yang terakhir adalah Desa Bejiharjo vst 104,06 /Ha. Berikut tabel yang menjelaskan mengenai data di atas:

Tabel 22. Volume standing stock berdasarkan wilayah hutan rakyat

Desa Volume

pohon/Ha

Jenis (%)

Total Jati Mahoni Sonokeling Akasia Kayu lain

Bejiharjo 104,06 79,20 9,53 6,43 1,65 3,19 100

Nglipar 249,66 51,22 38,41 3,90 0,00 6,47 100

Wonosari 164,50 98,46 0,00 0,00 0,00 1,54 100

Rata-rata 170,87 76,66 15,61 3,47 0,57 3,69 100,00

Sumber:Data Primer, 2014.

Dilihat dari volume tiap jenis tergambar presentase terbesar jati dengan 76,10%, selanjutnya adalah mahoni dengan 15,61%, berturut-turut dilanjutkan sonokeling dengan 3,47%, akasia 0,57%, dan yang terakhir adalah kayu jenis lain dengan 3,69%.

Desa Nglipar memiliki vst terbesar dengan dominasi tanaman jati 51,22% dari total volume dan yang paling kecil adalah jenis akasia dengan 0%. Mahoni dengan presentase 38,41%, dilanjutkan sonokeling dengan 3,90%, dan yang terakhir adalah kayu jenis lain dengan 6,47%.

Volume standing stock Desa Nglipar memliki jumlah dua kali lipat jika dibandingkan dengan vst yang terdapat di Desa Bejiharjo. Desa Nglipar juga memiliki presentase yang relatif merata tiap jenisnya dengan tidak adanya dominasi salah satu jenis yang dijadikan indikator penelitian. Hal ini memberikan gambaram bahwa di Desa Nglipar terdapat potensi pohon yang merata pada tiap jenis dengan jumlah yang relatif besar.

(4)

Sedangkan pada lokasi yang terakhir yaitu pada Desa Wonosari sebagian besar didominasi oleh tanaman jati. Hal ini ditandai dengan hanya ada satu jenis lainnya di luar jati yang ditemukan di daerah tersebut yaitu kayu jenis lain. Jenis lainnya yang dijadikan indikator penelitian yaitu mahoni, sonokeling, dan akasia tidak ditanam di daerah ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat cenderung menanam tanaman jati saja dibandingkan tanaman lainnya karena memang tanaman jati selain cocok ditanam di daerah tersebut juga memang jenis ini yang mempunyai harga jual yang tinggi.

5.5 Analisa Volume Standing Stock Hutan Rakyat.

Dalam rekapitulasi kali ini akan disajikan besaran volume standing stock yang ada pada lakasi penelitian. Vst berguna untuk mengetahui seberapa besar volume yang tersedia pada hutan rakyat tersebut. Berikut data mengenai rekapitulasi volume standing stock yang ada:

Tabel 21. Volume berdasarkan Wilayah Lokasi

Volume

pohon Luas /Ha

Volume m3 / Ha Karangmojo 56,19 0,54 104,06 Nglipar 124,83 0,5 249,66 Wonosari 85,54 0,52 164,50 Rata-rata PUP 170,87 Sumber:Data Primer, 2014.

Dari data di atas dipeoleh bahwa volume standing stock pada hutan rakyat adalah 170,87 /Ha. Data menunjukkan bahwa volume terbesar berada pada Desa Nglipar dengan 249,66 /Ha, selanjutya Desa Wonosari dengan Vst

(5)

Dari data rekapitulasi didapatkan jumlah pohon 687 batang /Ha. Data di atas sangat menarik untuk dikaji bahwa pada setiap daerah sampel pada 3 lokasi yang berbeda menunjukkan karakteristik pohon penyusun dan jumlah yang bervariatif. Desa Bejiharjo mempunyai jenis tegakan penyusun lebih bervariatif dengan ditandai bahwa semua jenis yang menjadi indikator dalam penelitian terdapat tanamannya, atau dapat dibilang bahwa jenis penyusun pada hutan rakyat tersebut lebih banyak. Jumlah pohon paling banyak diantara ketiga lokasi penelitian adalah Desa Wonosari dengan didominasi oleh tanaman jati dengan presentase 98,83%. Jumlah dan jenis penyusun tanaman di Desa Bejiharjo dapat dianalisa bahwa masyarakat sudah berfikir untuk membudidayakan tanaman kayu selain jati walaupun jumlahnya masih relatif kecil, hal ini bagus bagi perkembangan hutan rakyat di sana karena masyarakat sudah berani untuk mencoba membudidayakan lebih banyak lagi jenis tanaman berkayu.

Pada Desa Nglipar jenis tanaman yang ada mengalami penurunan jika dibandingkan dengan Desa Bejiharjo, hal ini ditandai dengan tidak adanya jenis akasia yang ditanam di daerah tersebut. Hal menarik adalah mengenai jumlah penyusun yang tidak lagi didominasi oleh tanaman jati karena jenis tanaman lain yaitu mahoni mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan lokasi sebelumnya, hal ini menunjukkan bahwa mahoni sudah dipandang sebagai salah satu jenis yang dijadikan prioritas untuk ditanam oleh masyarakat serta sebagai jenis alternatif selain jati, yang diangap cocok untuk ditanam dan memiliki nilai jual yang relatif baik.

(6)

10,1 , berturut-turut dilanjutkan dengan kelas diameter 41-50 cm dengan 6,41 , sedangkan yang terkecil adalah kelas diameter 0-10 cm dengan volume 0,63 .

5.4 Analisa Komposisi Jenis Tegakan Pohon Penyusun Pada PUP Hutan

Rakyat.

Komposisi jenis tegakan pohon penyusun pada hutan rakyat pada 3 lokasi tersebut menggambarkan mengenai jumlah dan jenis pohon penyusun yang ada pada hutan rakyat tersebut, hal ini diperoleh dari jumlah kumulatif pohon hutan rakyat dari sampel yang diambil. Berikut akan disajikan data mengenai jumlah dan jenis tiap pohon penyusun hutan rakyat:

Tabel 19. Jumlah pohon berdasarkan wilayah. Lokasi

Jumlah

pohon Luas /Ha

Jumlah pohon / Ha Bejiharjo 348 0,54 644 Nglipar 383 0,5 766 Wonosari 341 0,52 656 Rata-rata PUP 687 Sumber:Data Primer, 2014.

Tabel 20. Perbandingan potensi jumlah pohon berdasarkan wilayah hutan rakyat

Desa Jumlah

pohon/Ha

Jenis (%)

Total Jati Mahoni Sonokeling Akasia Kayu lain

Bejiharjo 644 80,75 8,91 4,31 2,59 3,45 100

Nglipar 766 55,87 35,77 5,48 0,00 2,87 100

Wonosari 656 98,83 0,00 0,00 0,00 1,17 100

Rata-rata 687,00 78,80 14,55 3,25 0,90 2,50 100,00

(7)

b. Tegal.

Tabel 17. Volume pohon pada tiap kelas diameter di lahan tegal. Jenis Kelas diameter (cm) Total volume % 0-10 11-20 21-30 31-40 41-50 50 up Jati 0,67 6,83 13,54 2,14 0,00 0,00 23,19 100,00 Mahoni 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Sonokeling 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Akasia 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Kayu jenis lain 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Jumlah 0,67 6,83 13,54 2,14 0,00 0,00 23,19 100,00 Sumber:Data Primer, 2014.

Jenis jati kembali begitu dominan dengan ditandai tidak adanya jenis lain yang ditanam pada lahan ini, sedangkan volume terbesar terdapat pada kelas diameter 21-30 cm dengan 13,5 dilajutkan kelas diameter 11-20 cm dengan 6,83 , kelas diameter 31-20 cm dengan 2,14 , dan yang terakhir kelas diameter 0-10 cm dengan 0,67 .

c. Wono.

Tabel 18. Volume pohon pada tiap kelas diameter di lahan wono.

Jenis Kelas diameter (cm) Total

volume % 0-10 11-20 21-30 31-40 41-50 50 up Jati 0,63 20,03 10,10 3,01 6,41 2,34 42.52 100.00 Mahoni 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Sonokeling 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Akasia 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Kayu jenis lain 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Jumlah 0,63 20,03 10,10 3,01 6,41 2,34 42,52 100,00 Sumber:Data Primer, 2014.

Data di atas menunjukkan persebaran volume pada tiap kelas diameter jenis jati ada semua, adapun volume terbesar terdapat pada kelas diameter 11-20 cm dengan volume 20 , disusul dengan kelas diameter 21-30 cm dengan

(8)

diameter 11-20 cm dengan 5,25 , sedangkan terendah terdapat pada kelas diameter 50 cm ke atas. Jenis ini mengalami peningkatan dibandingakan pada

wono di lokasi penelitian sebelumnya. Jenis jati memiliki presentase terbesar pada kelas diameter 21-30 cm dengan 12,36 sedangkan yang terkecil adalah kelas diameter 50 cm dengan 0 .

5.3.3 Desa Wonosari.

a. Pekarangan.

Tabel 16. Volume pohon pada tiap kelas diameter di lahan pekarangan. Jenis Kelas diameter (cm) Total volume % 0-10 11-20 21-30 31-40 41-50 50 up Jati 0,15 2,25 9,16 6,95 0,00 0,00 18,52 93,37 Mahoni 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Sonokeling 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Akasia 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Kayu jenis lain 0,00 0,63 0,68 0,00 0,00 0,00 1,31 6,63 Jumlah 0,15 2,89 9,85 6,95 0,00 0,00 19,83 100,00 Sumber:Data Primer, 2014.

Pekarangan kali ini jenis jati kembali mendominasi ditandai dengan hanya ada kayu jenis lain yang terdapat di lahan tersebut, adapun kelas diameter pada jati yang terbesar terdapat pada diameter 21-30 cm dengan volume 9,16 , sedangkan kelas diameter terkecil ada pada diameter 41 cm ke atas. Kayu jenis lain volume terbesar ada pada kelas diameter 21-30 cm dengan volume 0,68 dilanjutkan dengan diameter 11-20 cm dengan volume 0,63 .

(9)

terbesar mahoni terdapat pada kelas diameter 31-40 cm, sedangkan terendah terdapat pada kelas diameter 41 ke atas. Jenis sonokeling dan akasia tidak terdapat pada lahan ini, sedangkan kayu jenis lain hanya ada satu kelas diameter yang ada yaitu 21-30 cm dengan 0,9 . Berikut tabel yang menjelaskan mengenai data di atas:

Tabel 14. Volume pohon pada tiap kelas diameter di lahan tegal.

Jenis Kelas diameteer (cm) Total

volume % 0-10 11-20 21-30 31-40 41-50 50 up Jati 0.14 3.71 9.47 5.42 0 0 18.74 62.10 Mahoni 0.13 1.95 2.83 5.67 0 0 10.58 35.04 Sonokeling 0 0 0 0 0 0 0 0.00 Akasia 0 0 0 0 0 0 0 0.00 Kayu jenis lain 0 0 0.86 0 0 0 0.86 2.86 Jumlah 0.26 5.67 13.16 11.09 0.00 0.00 30.18 100 Sumber:Data Primer, 2014. c. Wono.

Tabel 15. Volume pohon pada tiap kelas diameter di lahan wono.

Jenis Kelas diameter (cm) Total

volume % 0-10 11-20 21-30 31-40 41-50 50 up Jati 0,92 6,54 12,36 6,89 5,82 0,00 32,54 58,71 Mahoni 2,14 5,25 2,84 1,87 1,96 0,00 14,06 25,37 Sonokeling 0,07 1,32 0,31 0,00 0,00 0,00 1,69 3,05 Akasia 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Kayu jenis lain 0,06 0,19 0,93 1,14 0,00 4,82 7,13 12,87 Jumlah 3,19 13,29 16,44 9,90 7,78 4,82 55,42 100,00 Sumber:Data Primer, 2014.

Pada kayu jenis lain volume terbesar terdapat pada kelas diameter 50 cm ke atas dengan volume 4,82 , sedangkan volume terkecil pada jenis ini terdapat pada kelas diameter 41-50 cm. Mahoni diameter terbesar terdapat pada kelas

(10)

Pada lahan wono tingkat keragaman jenis meningkat dengan adanya semua jenis tanaman dengan kelas diameter terbanyak terdapat pada pada diameter 11-20 cm, kecuali jenis sonokeling yang kelas diameter terbanyaknya adalah 31-40 cm dengan volume 1,33 dan kayu jenis lain pada kelas diameter 41-50 cm.

5.3.2 Desa Nglipar.

a. Pekarangan.

Tabel 13. Volume pohon pada tiap kelas diameter di lahan pekarangan.

Jenis Kelas diameter (cm) Total

volume % 0-10 11-20 21-30 31-40 41-50 50 up Jati 0.16 2.87 3.40 3.90 2.33 0.00 12.66 32.27 Mahoni 0.19 1.95 5.74 12.05 3.38 0.00 23.31 59.41 Sonokeling 0.00 0.39 0.95 1.83 0.00 0.00 3.18 8.09 Akasia 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Kayu jenis lain 0.00 0.09 0.00 0.00 0.00 0.00 0.09 0.23 Jumlah 0.35 5.30 10.10 17.78 5.71 0.00 39.24 100 Sumber:Data Primer, 2014.

Tabel di atas menunjukkan bahwa ada jenis yang persebaran volume relatif merata disetiap kelas diameter yatu jati. Kelas diameter terbesar terdapat pada diameter 31-40 cm dengan volume 3,897 . Jenis akasia tidak terdapat sama sekali pada semua kelas diameter, sedangkan kayu jenis lain hanya terdapat satu kelas diameter yaitu 11-20 cm dengan volume 0,09 .

b. Tegal.

Pada lahan tegal menunjukkan bahwa dominasi tanaman jati masih terjadi dengan banyaknnya volume pada tiap kelas diameter, volume terbesar terdapat pada kelas diameter 21-30 cm dengan volume 9,47 , sedangkan volume terendah ada pada kelas diameter 41-50cm dan 51 cm ke atas. Kelas diameter

(11)

sedangkan yang terkecil terdapat pada kelas diameter 31 ke atas. Lahan pekarangan relatif terdapat semua jenis kecuali akasia yang tidak ada sama sekali, adapun kelas diameter yang banyak terdapat di sana pada semua jenis yang ada adalah pada kelas diameter 11-20 cm.

b. Tegal

Tabel 11. Volume pohon pada tiap kelas diameter di lahan tegal.

Jenis

Kelas diameter (cm) Total

volume % 0-10 11-20 21-30 31-40 41-50 50 up Jati 0.77 3.60 1.40 1.12 0.00 0.00 6.88 76.76 Mahoni 0.00 0.60 1.49 0.00 0.00 0.00 2.08 23.24 Sonokeling 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Akasia 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Kayu jenis lain 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Jumlah 0.77 4.19 2.88 1.12 0.00 0.00 8.97 100.00 Sumber:Data Primer, 2014.

Data di atas menunjukkan komposisi jenis menurun dibandingkan dengan pada lahan jenis pekarangan karena di sana hanya ditumbuhi 2 jenis tanaman yaitu jati dan mahoni saja. Presentase tertinggi pada jenis jati terdapat pada kelas diameter 11-20 cm dengan volume 3,6 , sedangkan pada mahoni memiliki volume terbesar pada kelas diameter 21-30 dengan jumlah volume 1,49 .

c. Wono.

Tabel 12. Volume pohon pada tiap kelas diameter di lahan wono

Jenis 0-10 11-20 21-30 31-40 41-50 50 up Total volume % Jati 1.41 12.18 10.25 2.03 0.00 0.00 25.87 74.62 Mahoni 0.19 2.03 0.87 0.00 0.00 0.00 3.09 8.91 Sonokeling 0.04 1.01 0.93 1.33 0.00 0.00 3.31 9.55 Akasia 0.06 0.87 0.00 0.00 0.00 0.00 0.93 2.68

Kayu jenis lain 0.05 0.20 0.00 0.00 1.22 0.00 1.47 4.24

Jumlah 1.75 16.29 12.05 3.35 1.22 0.00 34.67 100.00

(12)

yang sangat tinggi menyebabkan masyarakat cenderung tidak mau menanam pohon kayu jenis lainnya sehingga jenis mahoni, sonokeling, dan akasia tidak ada sama sekali. Hal ini mengakibatkan dampak positif dan negatif. Dampak positif ialah produk kayu jenis jati begitu melimpah di Desa Wonosari serta perawatan tanaman yang relatif seragam karena memiliki jenis yang sama, tetapi dampak negatifnya produk kayu jenis lainnya tidak ada sama sekali di desa tersebut serta jika ada hama penyakit yang menyerang pada tanaman penyebarannya lebih mudah dan cepat karena hanya didominasi oleh satu jenis tanaman saja (monokultur).

5.3 Volume PUP Hutan Rakyat

5.3.1.Desa Bejiharjo

a. Pekarangan

Tabel 10. Volume pohon pada tiap kelas diameter di pekarangan. Jenis

Kelas diameter (cm) Total

volume % 0-10 11-20 21-30 31-40 41-50 50 up Jati 0,03 3,61 8,11 0,00 0,00 0,00 11,75 93,56 Mahoni 0,00 0,18 0,00 0,00 0,00 0,00 0,18 1,44 Sonokeling 0,00 0,30 0,00 0,00 0,00 0,00 0,30 2,41 Akasia 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

Kayu jenis lain 0,00 0,32 0,00 0,00 0,00 0,00 0,32 2,58

Jumlah 0,03 4,42 8,11 0,00 0,00 0,00 12,56 100,00

Sumber:Data Primer, 2014.

Volume kayu PUP di Desa Bejiharjo diketahui berdasarkan sampel yang diambil berdasarkan 3 lokasi yaitu pekarangan, tegal, dan wono seperti di atas. Pada tabel 10 di atas dapat dilihat bahwa presentase tertinggi terdapat pada jenis jati dengan kelas diameter antara 21 sampai 30 cm yaitu sebesar 8,11 ,

(13)

menunjukkan dominasi tanaman jati atas tanaman lainnya yaitu dengan memiliki prosentase 98,83% dari jumlah total tanaman yang ditanam masyarakat. Sisanya yaitu 1,17% diisi oleh tanaman dengan kayu jenis lain, sedangkan lainnya yaitu mahoni, sonokeling, dan akasia tidak ada sama sekali (0%). Dilihat dari jumlah pohon, jati dengan 98,83% menunjukkan jumlah 647 batang/Ha, sedangkan kayu jenis lain dengan 1,2% hanya berjumlah 8 batang/Ha.

Berikut disajikan grafik untuk lebih mengetahui jumlah persebaran masing-masing jenis pada tiap jenis lahan yaitu pekarangan, tegal, dan wono.

Gambar 3. Grafik jumlah dan jenis pohon PUP di Desa Wonosari.

Dari grafik tersebut bahwa terlihat jelas masyarakat sangat meminati menanam tanaman jati pada semua jenis lahan mereka. Perincian pada pekarangan berjumlah 102 batang/Ha, tegal 203 batang/Ha, dan wono342 batang/Ha. Kayu jenis lain hanya ada pada lahan jenis pekarangan dengan jumlah 8 batang/Ha, sedangkan pada lahan tegal dan wono tidak ada. Minat terhadap menanam jati

0 50 100 150 200

Pekarangan Tegal Wono

Jum la h P oho n (B at ang ) Jenis Lahan

Grafik Pohon Pada PUP Desa

Wonosari

Jati Mahoni Sonokeling Akasia Kayu jenis lain

(14)

separuh dari jumlah pohon jati, dengan perbedaan jumlah seperti di atas memberikan gambaran bahwa masyarakat Desa Nglipar memiliki minat menanam mahoni yang hampir sama besar dengan menanam jati. Hal tersebut cukup menggembirakan mengingat pada sampel sebelumnya jenis jati sangat mendominasi dibandingkan dengan jenis lainnya, sehingga di Desa Nglipar produk kayu yang dihasilkan bukan hanya didominasi oleh kayu jati saja tetapi juga ada produk kayu mahoni yang jumlahnya relatif besar. Selain jenis mahoni yang relatif banyak hal sebaliknya terjadi pada kayu jenis akasia yang tidak ada sama sekali. Hal tersebut mengindikasikan bahwa jenis ini kurang diminati oleh masyarakat Desa Nglipar.

5.2.3 Potensi kayu pada PUP hutan rakyat di Desa Wonosari.

Tabel 9. Jenis dan jumlah pohon di Desa Wonosari.

Jenis lahan

Jumlah pohon

Total % Jati Mahoni Sonokeling Akasia

kayu jenis lain jml % jml % jml % jml % Jml % Pekarangan 53 92,98 0 0 0 0 0 0 4 7,02 57 16,72 Tegal 106 100 0 0 0 0 0 0 0 0 106 31,09 Wono 178 100 0 0 0 0 0 0 0 0 178 52,20 Jumlah 337 98,8 0 0 0 0 0 0 4 1,17 341 100,00 Rata-rata/Ha 647 98,83 0 0 0 0 0 0 8 1,17 655 100 Sumber: Data Primer, 2014.

Potensi kayu yang terdapat di Desa Wonosari dapat diketahui setelah dilakukan pengukuran pada sampel lahan dengan luasan total 0,521 Ha (Pekarangan 0,21 Ha, Tegal 0,19 Ha, dan wono 0,13 Ha). Data pada tabel 9

(15)

Berikut ini disajikan grafik yang memaparkan jumlah dan jenis pohon yang tumbuh pada tiap jenis hutan rakyat mulai dari pekarangan, tegal, dan wono

pada Desa Nglipar.

Gambar 2. Grafik jumlah dan jenis pohon di Desa Nglipar.

Pemaparan grafik di atas menunjukkan pada lahan pekarangan tanaman jenis jati dan mahoni memiliki jumlah yang sama yaitu 86 batang/Ha, dilanjutkan dengan sonokeling 16 batang/Ha, dan yang terakhir kayu jenis lain dengan 2 batang/Ha. Lahan kedua yaitu tegal memiliki urutan yaitu jati dengan 128 batang/Ha, mahoni 50 batang/Ha, dan yang terakhir kayu jenis lain 4 batang/Ha. Terakhir pada wono dengan jumlah pohon jati 214 batang/Ha, mahoni 138 batang/Ha, sonokeling 26 batang/Ha, serta kayu jenis lain dengan jumlah 16 batang/Ha.

Grafik di atas menunjukkan bahwa jenis mahoni secara jumlah relatif sama banyaknya dengan jenis tanaman Jati, seperti pada pekarangan yang memiliki jumlah yang sama. Lahan tegal dan wono jumlah mahoni hampir

0 20 40 60 80 100 120

Pekarangan Tegal Wono

Jum la h P oho n (B at ang ) Jenis Lahan

Grafik Pohon Pada PUP Desa Nglipar

Jati Mahoni Sonokeling Akasia Kayu jenis lain

(16)

dua jenis tanaman tersebut yang lebih cocok ditanam dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

5.2.2 Potensi kayu pada PUP hutan rakyat di Desa Nglipar.

Tabel 8. Jenis dan jumlah pohon di Desa Nglipar

Jenis lahan

Jumlah pohon

Total % Jati Mahoni Sonokeling Akasia

kayu jenis lain Jml % jml % jml % jml % Jml % Pekarangan 43 45,3 43 45,3 8 8,4 0 0 1 1,05 95 24,80 Tegal 64 70,3 25 27,5 0 0 0 0 2 2,2 91 23,76 Wono 107 54,3 69 35 13 6,6 0 0 8 4,06 197 51,44 Jumlah 214 55,9 137 35,8 21 5,5 0 0 11 2,87 383 100,00 Rata-rata/Ha 428 55,9 274 35,8 42 5,5 0 0 22 2,87 766 100 Sumber: Data Primer, 2014.

Potensi kayu yang terdapat di Desa Nglipar di atas dapat diketahui setelah dilakukan pengukuran pada sampel lahan milik Bapak Kasidi dan Sabar Budiman dengan luasan total 0,5Ha (Pekarangan 0,27Ha, Tegal 0,172Ha, dan wono 0,06Ha).

Data di atas menunjukkan dominasi oleh tanaman dengan jenis jati dengan 55,9%, dilanjutkan mahoni 35,8%, selanjutnya sonokeling dengan 5,5%, kayu jenis lain 2,87% serta akasia dengan 0%. Jumlah pohon per hektar pada tiap jenis ialah 428 batang/Ha untuk jati, 274 batang/Ha untuk mahoni, 42 batang/Ha untuk sonokeling dan kayu jenis lain dengan 22 batang/Ha, sedangkan jenis akasia tidak ada sama sekali.

(17)

Data di atas dapat dianalisa bahwa lahan hutan rakyat yang berjenis wono

menjadi lahan yang sangat diminati untuk ditanami mayoritas jenis tanaman, mulai jati, mahoni, sonokeling, dan akasia. Hal ini sesuai dengan definisi dari

wono itu sendiri sebagai lahan hutan yang semua arealnya ditanami oleh tanaman berkayu, tanpa campuran tanaman pertanian maupun tanaman pangan lainnya. Sangat wajar jika lahan ini sangat didominasi oleh jenis-jenis pohon yang ditanam dengan tujuan untuk diambil kayunya. Lahan selanjutnya ialah pekarangan yang masih didominasi oleh tanaman jati, tetapi pada urutan kedua ditempati oleh kayu jenis lain dengan jumlah 13 batang/Ha, sedangkan jenis lainnya jumlahnya berada di bawah kayu jenis lain.

Hal ini dapat dianalisa dengan karakteristik pekarangan itu sendiri bahwa lahan ini ditanam dengan tanaman kayu dicampur dengan tanaman pertanian dan tanaman pangan lainnya. Kayu jenis lain sendiri relatif banyak ditemukan karena jenis ini juga meliputi tanaman buah-buahan yang selain diambil kayunya juga diambil buahnya sebagai hasil yang bernilai ekonomi bagi masyarakat. Terakhir adalah lahan tegal yang hanya ditanami oleh tanaman jati dan mahoni sedangkan jenis lainnya tidak ditemukan. Hal tersebut dapat diindakasikan bahwa tanaman kayu hanya ditanam pada areal sengkedan guna untuk menanggulangi erosi supaya lahan yang kosong dapat ditanami tanaman pertanian maupun pangan lainnya, sehingga pemilik lahan lebih mengoptimalkan hasil dari tanaman pertanian dan pangan lainnya. Tanaman jati dan mahoni dipilih karena memang

(18)

Berikut ini juga disajikan grafik yang menyajikan jumlah dan jenis pohon yang tumbuh pada PUP hutan rakyat di Desa Bejiharjo

Gambar 1. Grafik jumlah dan jenis pohon pada PUP Desa Bejiharjo. Dari gambar 1 dapat dilihat jenis jati mendominasi pada semua jenis lahan baik pekarangan dengan jumlah 92 batang/Ha, tegal 87 batang/Ha, maupun wono

dengan jumlah 340 batang/Ha. Jumlah tersebut masih sangat banyak jika dibandingkan dengan jenis mahoni yang hanya memiliki 9 batang/Ha pada pekarangan, 15 batang/Ha pada tegal, dan 33 batang/Ha pada wono. Sonokeling berjumlah 6 batang/Ha pada pekarangan, 0 batang/Ha pada tegal, dan 22 batang/Ha pada wono. Dilanjutkan dengan akasia yang berjumlah 0 batang/Ha pada pekarangan, 0 batang/Ha pada tegal, dan 17 batang/Ha pada wono. Terakhir adalah kayu jenis lain yang memiliki jumlah 13 batang/Ha pada pekarangan, 0 batang/Ha pada tegal, dan 9 batang/Ha pada wono.

0 50 100 150 200

Pekarangan Tegal Wono

Jum la h P oho n (B at ang ) Jenis lahan

Grafik Pohon Pada PUP Desa

Bejiharjo

Jati Mahoni Sonokeling Akasia Kayu jenis lain

(19)

Tabel 7. Jenis dan jumlah pohon Desa Bejiharjo Jenis lahan Jumlah pohon Total %

Jati Mahoni Sonokeling Akasia

kayu jenis lain Jml % Jm l % Jml % Jml % Jml % Pekaranga n 50 76,92 5 7,69 3 4,62 0 0 7 10,7 65 18,68 Tegal 47 85,45 8 14,55 0 0,00 0 0 0 0,00 55 15,80 Wono 184 80,70 18 7,89 12 5,26 9 3,95 5 2,19 228 65,52 Jumlah 281 80,75 31 8,91 15 4,31 9 2,59 12 3,45 348 100,0 0 Rata-rata/Ha 520 81 57 8,91 28 4,31 17 2,59 22 3,45 644 100

Sumber: Data Primer, 2014.

Berdasarkan data pada tabel 7 di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa jenis yang mendominasi pada ketiga jenis lahan tersebut adalah jati dengan 81%, diikuti mahoni dengan 8,91%, selanjutnya berturut-turut dengan sonokeling 4,31%, akasia 2,59% dan kayu jenis lain 3,45%. Pohon yang tumbuh di Desa Bejiharjo berjumlah 644 batang/Ha. Perinciannya tanaman jati dengan jumlah 520 batang/Ha, mahoni 57 batang/Ha, dilanjutkan dengan jenis sonokeling 28 batang/Ha, akasia 17 batang/Ha, serta yang terakhir kayu jenis lain dengan jumlah 22 batang/Ha. Dilihat dari data tersebut masyarakat cenderung menanam tanaman jati dikarenakan trend kebutuhan pasar akan kayu jati semakin hari semakin meningkat. Dilihat dari karakteristiknya, wilayah Gunungkidul yang bertanah kapur memang sangat cocok untuk ditanami tanaman jati, sehingga pertumbuhan tanaman jati dapat tumbuh subur, serta faktor yang tidak kalah penting ialah dari segi ekonomi. Kayu jati memiliki harga jual yang relatif tinggi dan stabil dari tahun ke tahun sehingga masyarakat termotivasi untuk menanam tanaman ini.

(20)

5.2 Potensi Hutan Rakyat.

Potensi merupakan hal yang sangat penting untuk diketahui jika ingin melihat mengenai pemanfaatan hasil dari hutan rakyat. Potensi yang dihitung di PUP hutan rakyat ini masih sebatas mengetahui potensi pohon yang ada, belum menginjak pada potensi hasil hutan non kayu maupun jasa lingkungan yang didapatkan. Data dari sampel di atas menunjukkan bahwa lahan di Desa Bejihajo sebesar 34,61%, Desa Nglipar 32,09% dari total sampel, dan yang terakhir Desa Wonosari dengan 33,30%. Perhitungan untuk mengetahui potensi kayu dilakukan dengan cara menginventarisasi pohon yang ada secara sensus guna mengetahui volume pohon-pohon tersebut. Indikator yang dipakai untuk mengetahui potensi berdasarkan jumlah dan jenis penyusun yang tersebar pada tiga desa yang dijadikan sampel penelitian.

5.2.1 Potensi kayu hutan rakyat di Desa Bejiharjo.

Potensi kayu yang terdapat di Desa Bejiharjo dapat diketahui setelah dilakukan pengukuran pada sampel lahan milik Bapak Kisno Sakiran, Adi Prapto, dan Prawito Rejo dengan luasan total 0,541 Ha (Pekarangan 0,304Ha, Tegal 0,23Ha, dan wono 0,01Ha). Data mengenai jumlah dan jenis pohon penyusun pada lokasi penelitian disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:

(21)

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Luas dan Persebaran PUP Hutan Rakyat

Luasan hutan rakyat memiliki posisi yang strategis dalam dinamika yang terjadi di hutan rakyat. Luasan hutan rakyat berarti menunjukkan suatu areal yang dianggap dan dijadikan sebagai hutan rakyat yang biasanya ditunjukkan dengan satuan hektar (Ha). Luasan juga berhubungan langsung dengan potensi yang dapat dikembangkan dan dikelola pada suatu areal.

Dalam penelitian kali ini luasan hutan rakyat yaitu meliputi luasan lahan yang dianggap sebagai sebuah hutan rakyat sesuai dengan pola penggunaannya, yaitu pekarangan, tegal, dan wono dengan lokasi penelitian yaitu Desa Bejiharjo, Nglipar, dan Wonosari. Berikut data mengenai luasan PUP hutan rakyat pada masing-masing desa tersebut:

Tabel 6. Luas dan persebaran PUP hutan rakyat Pola

penggunan Lahan

Bejiharjo Nglipar Wonosari Total

hektar (Ha) Presentase (%) Ha % Ha % Ha % Pekarangan 0,3 38,97 0,27 34,62 0,21 26,41 0,78 50 Tegal 0,23 38,44 0,17 29,25 0,19 32,31 0,58 37,82 Wono 0,01 5,80 0,06 30,55 0,13 63,65 0,2 12,18 Jumlah 0,54 34,61 0,5 32,09 0,52 33,30 1,56 100,0

(22)

selatan dengan desa Baleharjo, sebelah barat dengan desa Kepek, sedangkan sebelah timur berbatasan denan desa Selang (RPJM Desa Wonosari 2011).

4.4.2 Kondisi Ekonomi.

Masyarakat desa Wonosari cenderung bekerja sebagai karyawan swata dengan jumlah 1.346 orang, sebagai PNS sebanyak 614 orang, sedangkan yang bekerja sebagai petani sebanyak 677 orang. Hal ini diindasikan karena desa ini terletak di dekat ibukota kabupaten Gunungkidul (RPJM Desa Wonosari 2011).

4.4.3 Pola Penggunaan Lahan.

Desa Wonosari memiliki luas wilayah 306,7 Ha dengan kondisi tanah dominan kering, berikut data mengenai pola penggunaan lahan di Desa Wonosari.

Tabel 5.Pola penggunaan lahan Desa Wonosari.

Pola Penggunaan Lahan Luas (Ha) Presentase (%) Area Permukiman 62,75 20,50 Tegal 56,84 18,57 Pekarangan 74,05 24,19 Wono 52,03 17,00 Perkantoran 19,71 6,44 Sarana Umum 40,69 13,29 Jumlah 306,07 100,00

(23)

4.3.2 Kondisi Ekonomi.

Masyarakat Desa Nglipar terdapat berbagai jenis kegiatan perekonumian diantaranya koperasi 3 unit koperasi dengan jumlah anggota 300 orang, Industri kecil dan menengah 99 unit, dan lainnya bekerja sebagai petani dan PNS.

4.3.3 Pola Penggunaan Lahan.

Penggunaan lahan di desa Nglipar digunakan untuk sumber daya alam salah satunya hutan rakyat. Berikut data mengenai pola penggunaan lahan di Desa Nglipar.

Tabel 4.Pola penggunaan lahan Desa Nglipar No Pola Penggunaan Lahan Luas

(Ha) Presentase (%) 1 Sawah - 0 2 Hutan rakyat 227,25 49,58 3 Permukiman 146,08 31,83 4 Kantor pemerintah 3,57 0,78 5 Fasilitas umum 19,96 4,35 6 Lainnya 61,76 13,46 Jumlah 458,62 100

Sumber:RPJM Desa Nglipar, 2011.

4.4 Kondisi Umum Wilayah Desa Wonosari

4.4.1 Kondisi Geografis.

Desa Wonosari terletak di kecamatan Wonosari, dengan memiliki rata-rata ketinggian 350 m dpl, dengan curah hujan rata 1.928 mm/th. Suhu udara rata-rata 25- C dengan topografi yang dominasi dataran rendah. Batas wilayah administratif desa ini sebelah utara berbatasan dengan desa Piyaman, sebelah

(24)

4.2.3 Pola Penggunaan Lahan.

Desa Bejiharjo memiliki sumber daya alam berupa hasil hutan kayu yang tersebar di pekarangan, tegal, dan wono. Berikut data penggunaan lahan Desa Bejiharjo.

Tabel 3.Pola Penggunaan lahan Desa Bejiharjo

Pola Penggunaan Lahan Luas (Ha) Presentase

(%)

Pekarangan 81,50 33,13

Tegal 99,04 40,27

Wono 65,43 26,60

Jumlah 245,97 100,00

Sumber:RPJM Desa Bejiharjo 2011.

4.3 Kondisi Umum Wilayah Desa Nglipar

4.3.1 Kondisi Geografis.

Desa Nglipar terletak di kecamatan Nglipar, dengan memiliki rata-rata ketinggian 250 m dpl, dengan curah hujan rata-rata 1.954 mm/th dengan luas desa yaitu 1.332.811,5 Ha. Batas wilayah administratif desa ini sebelah utara berbatasan dengan desa Kedungpoh, sebelah selatan dengan desa Kedungkeris, sebelah barat dengan desa Pengkol, sedangkan sebelah timur berbatasan denan esa Katongan (RPJM Desa Nglipar 2011).

(25)

4.2 Kondisi Umum Wilayah Desa Bejiharjo

4.2.1 Kodisi Geografis.

Desa Bejiharjo terletak di kecamatan Karangmojo. Desa ini memiliki ketinggian rata-rata 100-250 m dpl, dengan curah hujan rata-rata 180 mm/th. Suhu udara rata-rata mencapai C. Batas wilayah desa ini adalah sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Nglipar, sebelah selatan berbatasan dengan desa Bendungan dan desa Wiladeg, sebelah barat dengan kecamatan Wonosari sedangkan sebelah timur berbatasan dengan desa Ngawis dan desa Wiladeg. Jarak desa tersebut dari ibukota kecamatan adalah 4,5 km, Jarak dari ibukota kabupaten 6,6 km, sedangkan dari ibukota provinsi berjarak 45 km (RPJM Desa Bejiharjo, 2011).

4.2.2 Kondisi Ekonomi.

Sumber penghasilan terbesar masyarakat adalah dari sektor pertanian dengan jumlah masyarakat yang berprofesi sebagai petani sebanyak 4.480 orang, sedangkan yang kedua adalah sebagai buruh swasta dengan jumlah 1.714 orang, pedagang sebanyak 754 orang, Peternak sebanyak 399 orang, PNS 174 orang, dan pekerjaan lain hingga mencapai jumlah penduduk keseluruhan.

(26)

6) Memperbaiki dan meningkatkan kondisi lingkungan di dalam dan sekitar wilayah kerja Dipantara.

7) Mendapatkan dan mempertahankan sertifikat FSC untuk pengelolaan hutan lestari di semua lahan anggota hutan rakyat binaan.

4.1.3 Target.

Target yang ingin dicapai oleh Dipantara sebagai berikut:

1) Kerjasama melalui penandatanganan MoU dan SPKS dengan 240 kelompok tani.

2) Standing stock kayu sebanyak 115.000 .

3) Jatah tebangan tahunan sebanyak 6.000 dan penjualan kayu sebanyak 5.500 pada tahun 2014.

4) Penanaman bibit jati dan jenis lain sebanyak 200.000 bibit yang terdiri dari 150.000 bibit untuk jati dan 50.000 bibit untuk sengon atau jabon di lahan anggota.

5) Pemberian pelatihan tentang kegiatan pengelolaan hutan lestari kepada anggota, meliputi inventarisasi, pemetaan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan penebangan.

6) Identifikasi dan pengelolaan wilayah-wilayah dengan nilai konservasi tinggi.

(27)

BAB IV

LOKASI PENELITIAN

4.1Kondisi CV. Dipantara.

4.1.1 Lokasi dan luas.

Wilayah kerja Dipantara saat ini berada di dalam wilayah Kabupaten Gunungkidul dengan luas mencapai 1.485,36 . Kota Wonosari terletak di sebelah tenggara Kota Yogyakarta (Ibukota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) dengan jarak kurang lebih 39 km.

4.1.2 Tujuan.

Dalam pengelolaan Dipantara memiliki tujuan, diantaranya sebagai berikut:

1) Mengembangkan strategi pengelolaa hutan rakyat.

2) Mengembangkan dan memperkuat kemandirian ekonomi masyarakat melalui pengusahaan hutan rakyat.

3) Meningkatkan kapasitas masyarakat di dalam pengelolaan hutan rakyat secara luas.

4) Mengembangkan pola kebersamaan/kemitraan antar stakeholder

dalam pengelolaan hutan rakyat.

5) Mengembangkan aspek-aspek silvikultur dan agroforestry dalam pengelolaan hutan rakyat.

(28)

2) Rekapitulasi potensi tegakan hutan rakyat.

Rekapitulasi potensi tegakan Hutan Rakyat meliputi perhitungan kumulatif volume kayu dan jumlah dan jenis pohon pada hutan rakyat diseluruh sampel. Rekapitulasi diklasifikasikan berdasarkan jenis pohon, jumlah pohon, dan volume pada tiap lokasi. Pada rekapitulasi juga dijabarkan jumah pohon tiap kecamatan dan lokasi penanaman, presentase masing-masing jenis, serta volume per hektar pada tiap kecamatan.

(29)

mendapatkan jarak yang relatif datar dengan pohon yang akan diukur. Tinggi pohon yang dimaksud adalah ukuran pohon mulai dari pangkal pohon pada permukaan tanah sampai pada ujung pohon. Aplikasi pengukuran alat ini menggunakan prinsip segitiga sebangun dan konsep perhitungan trigonometri.

3.5 Metode Analisa Data

Analisa yang dilakukan dalam penelitian tersebut adalah menghitung potensi tegakan hutan rakyat dan rekapitulasi potensi tegakan hutan rakyat.

1) Perhitungan potensi hutan rakyat

Potensi diperoleh dari inventarisasi tegakan pada hutan rakyat yang meliputi data luas lahan, jenis pohon, volume kayu, dan jumlah pohon.Luas hutan rakyat adalah luas lahan penyusun hutan rakyat yang diklasifikasikan berdasarkan jarak dari rumah dan jenis tanaman penyusun, yang terbagi dalam pekarangan, tegal, dan wono.

Menurut Widayanti dan Djuwadi(2008) pengukuran potensi hutan rakyat bertujuan untuk menghitung volume kayu yang ada, dalam perhitungannya menggunakan rumus: V=0,25*π* *t*f

Keterangan:

V : Volume kayu ( )

π : phi 3,14

d :Diameter pohon (m)

t : Tinggi total pohon (m)

(30)

Pengambilan data dilakukan dengan metode purposive sampling yaitu dengan memilih tempat secara sengaja yang dianggap representatif terhadap hal yang diteliti. Yaitu petak ukur permanen milik CV. Dipantara yang berada pada tiga lokasi yang berbeda. Lokasi penelitian dipilih berdasarkan perbedaan wilayah secara administrasi desa.

Dalam pengukurannya terdapat sembilan sampel pada tiga lokasi yang terbagi dalam tiga kategori pemanfaatan lahan yaitu pekarangan, tegal, dan wono. Luasan sampel sesuai dengan luas lahan hutan rakyat pada masing-masing lahan garapan. Tabel 2 menunjukkan luas sampel dan pemilik masing-masing lahan yang dipilih pada tiga lokasi tersebut.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengukur tinggi dan keliling pohon di atas 30 cm. Pengukuran dilakukan untuk mengetahui besaran staksiran volume standing stock. Berikut merupakan cara pengumpulan data primer yang dilakukan:

1) Pengukuran diameter pohon.

Pengukuran diameter dilakukan dengan mengukur setiap pohon pada ketinggian 1,3 meter (DBH) dari atas permukaan tanah. Pengukurannya diukur keliling pohon yang selanjutnya dikonversikan menjadi diameter dengan menggunakan formula D=K/π (π = phi 3,14 cm).

2) Pengukuran tinggi pohon.

Pengukuran tinggi dilakukan dengan menggunakan alat pengukur tinggi pohon yaitu hagameter.Alat ini pada saat pengukuran diharuskan

(31)

3.3 Jenis Data

Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder.

1. Data primer yang diperlukan antara lain: a. Jenis pohon.

b. Jumlah pohon. c. Tinggi pohon. d. Diameter pohon.

2. Data sekunder yang diperlukan antara lain: a. Letak dan keadaan umum lokasi penelitian. b. Data monografi.

c. Data penunjang lain.

3.4 Metode Pengumpulan Data.

Tabel 2. Jenis lahan dan luas lokasi penelitian PUP.

No Pemilik Lokasi Tipe Penggunaan

Lahan Luas (m

2 )

Kecamatan Desa Dusun

1 Adi Prapto Karangmojo Bejiharjo Gelaran II Pekarangan 3.043

2 Kisno Sakiran Karangmojo Bejiharjo Gelaran II Tegal 2.259

3 Prawito Rejo Karangmojo Bejiharjo Gelaran II Wono 114

4 Kasidi H.S Nglipar Nglipar Nglipar Lor Pekarangan 2.701

5 Kasidi H.S Nglipar Nglipar Nglipar Lor Tegal 1.720

6 Sabar Budiman Nglipar Nglipar Nglipar Lor Wono 600

7 Ladiman Wonosari Wonosari Tawarsari Pekarangan 2.063

8 Sahid Nyoto Wonosari Wonosari Tawarsari Tegal 1.900

9 Sudono Wonosari Wonosari Tawarsari Wono 1.250

(32)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Januari dan Februari 2014, yaitu pada hutan rakyat yang masuk terdaftar sebagai anggota CV. DIPANTARA yang berada di kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hutan rakyat yang dijadikan sampel dalam penelitian terletak di tiga desa yang berbeda, yaitu di Desa Bejiharjo, Desa Nglipar, Serta yang terakhir adalah Desa Wonosari.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian kali adalah sebagai berikut:

1. Tallysheet : Untuk mencatat hasil inventarisasi. 2. Hagameter : Untuk mengukur tinggi pohon.

3. Pitameter :Untuk mengukur keliling/diameter pohon. 4. Alat tulis :Untuk mencatat data.

5. Komputer :Untuk mengolah dan menganalisa hasil penelitian. 6. Kamera :Untuk mendokumentasikan objek penelitian.

(33)

3) Zona Selatan (Zona Pegunungan Seribu): ketinggian berada pada 100-300 m dpl dengan wilayah meliputi Kecamatan Tepus, Tanjungsari, Panggang, Purwosari, Semanu bagian selatan, dan Ponjong bagian selatan.

2.8 Petak Ukur Permanen.

PUP merupakan sarana penting dalam pengumpulan data lapangan untuk mengetahui riap diameter dan volume serta dinamika struktur tegakan (Priyadi et

al., 2006). Data pertumbuhan yang dikumpulkan melalui pengukuran berulang (time series) PUP merupakan deret pertumbuhan nyata (Alder, 1980). Vanclay mengemukakan bahwa data riap tegakan dapat dikumpulkan melalui kegiatan inventarisasi tegakan meliputi inventarisasi statis (static inventory) dan inventarisasi dinamis dynamic inventory). Inventarisasi statis ditujukan untuk mengetahui potensi tegakan pada suatu waktu tertentu dilakukan dengan menggunakan petak ukur temporer (PUT), sedangkan inventarisasi dinamis ditujukan untuk mengumpulkan informasi pertumbuhan tegakan dilakukan dengan pembuatan dan pengukuran PUP.

(34)

pangan dan holtikultura serta tegalan.Penetapan pola hutan rakyat di DIY didasarkan pada luas bidang dasar (lbds) per hektar.

Tabel 1. Pola Hutan Rakyat.

No. Luas bidag Dasar Pola Hutan Rakyat

1 > 8 /ha Kayu-kayuan HR 5

2 > 8 /ha Buah – buahan HR 4

3 > 8 /ha HMT/ campur HR 3

4 4 /ha - 8 /ha Kebun HR 2

5 4 /ha - 8 /ha Pangan/rumputhortik

ultura

HR 1

6 0 /ha - 4 /ha Tegal Bukan HR

Sumber : Buku Rencana Pengembangan Hutan Rakyat DIY, 1998 (Awang, 2005).

2.7 Zonasi Wilayah Kabupaten Gunungkidul

Kabupaten Gunungkidul terletah pada ketinggian 0-1000 mdpl. Sebagian besar wilayahnya yaitu 90% berada pada ketinggian 100-500 m dpl, sedangkan sisanya 8% terletak pada ketinggian kurang dari 100 dan 2% terletak pada ketinggian 500-1000 m dpl (Nugroho, 2005).

Menurut Ayuningtyas (2008) Dinas pariwisata Gunungkidul secara garis besar membagi Kabupaten Gunungkidul dalam 3 zona berdasarkan topografi keadan tanah yaitu:

1) Zona Utara (Zona Baturagung): ketinggian 200-700 m dpl yang meliputi Kecamatan Nglipar, Gedangsari, Patuk, Ngawen, Semin dan Ponjong bagian utara.

2) Zona Tengah (Zona Ledoksari): ketinggian 150-200 m dpl yang meliputi Kecamatan Playen, Wonosari, Karangmojo, Semanu bagian selatan dan Ponjong bagian tengah.

(35)

1) Hutan rakyat monokultur atau sebagian besar di dominasi satu jenis tanaman keras saja. Pada kelompok ini cenderung tidak ada tanaman pangan di dalam hutan rakyat.

2) Hutan rakyat campuran yang memiliki 3-5 jenis tanaman keras. Pada kelompok ini masih mungkin ditanami tanaman pangan, buah-buahan, dan sayur-sayuran.

Secara fisik hutan rakyat memiliki pola tanam yang sangat beragam. Namun demikian, sebagian besar hutan rakyat yang ada di lapangan pada umumnya menggunakan pola tanam campuran (wanatani), yakni campuran antara tanaman pangan dan tanaman kayu-kayuan. Menurut Munawar (1986) Berdasarkan pola tanamnya hutan rakyat dapat diklasifikasikan dalam 3 macam, yaitu:

1) Penanaman pohon disepanjang batas milik. 2) Penanaman pohon di teras bangku.

3) Penanaman pohon diseluruh lahan milik.

Pola-pola tersebut secara arif dikembangkan masyarakat sesuai dengan tingkat kesuburan lahan dan ketersediaan tenaga kerja. Tujuan pengembangan pola seperti yang telah disebutkan di atas adalah dalam rangka meningkatkan produksi lahan secara optimal, baik ditinjau dari nilai ekonomi maupun ekologi. Sementara itu berdasarkan Rencana pengembangan Hutan Rakyat yang disusun Kanwil Kehutanan Daerah Istimewa Yogyakarta, pola-pola hutan rakyat meliputi kayu-kayuan, buah-buahan, HMT (Hijauan Makan Ternak), dan campuran kebun,

(36)

dipelukan strategi baru untuk mengelola hutan rakyat. Salah satu pemikiran yang akan dikembangkan adalah dengan membangun model manajemen hutan rakyat secara kolaboratif pada tingkat kawasan tertentu (Awang, 2005).

Hardjosoediro (1980) menyebutkan hutan rakyat atau hutan milik adalah semua hutan yang ada di Indonesia yang tidak berada di atas tanah yang dikuasai oleh pemerintah. Proses terjadinya hutan rakyat bisa dibuat oleh manusia, bisa juga terjadi secara alami, tetapi proses hutan rakyat terjadi ada kalanya berawal dari upaya untuk merehabilitasi tanah-tanah kritis.

Sepanjang pengamatan yang dilakukan di Gunungkidul menurut Hardjosoediro (1980), hutan rakyat dapat diklasifikasikan sesuai dengan susunan dan letaknya menjadi 3 keadaan, yaitu:

1) Tanaman keras seperti jati dan mahoni atau jenis lainnya ditanam hanya pada sepanjang batas lahan milik, dan tanah di antara pohon-pohon tersebut ditanami tanaman pangan.

2) Tanaman keras ditanam di seluruh lahan tegalan dan pekarangan tanpa ada tanaman pertanian semusim seperti tanaman pangan. Hal ini dikarenakan pada umumnya tanahnya kurang subur, berbatu-batu dan berkapur.

3) Tanaman keras ditanam di batas-batas dan sepanjang teras, sebagai bentuk kearifan tradisional dalam rangka mengurangi bahaya erosi tanah. Diantara pohon-pohon di teras tersebut ditanami tanaman pangan dan sayuran. Menurut Awang (2005), dilihat dari susunan jenisnya hutan rakyat dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:

(37)

Permasalahan di atas dapat dipecahkan dengan adanya kelembagaan dalam pengelolaan hutan rakyat telah kuat dan dilakukan oleh organisasi profesional yang dibentuk oleh kelompok pemilik hutan rakyat itu sendiri. Diperlukan penguatan kelembagaan pengelolaan hutan rakyat yang memiliki aturan internal yang mengatur sistem penebangan, serta juga diperlukan peran dari pemerintah.

Terkait solusi dari masalah di atas, tahun 2012 Kementrian Kehutanan RI melalui Peraturan Kepala Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan dengan nomor P. 01/P2H-2/2012 tertanggal 5 Oktober 2012 memberikan solusi pemecahan atas permasalah yaitu menawarkan program tunda tebang bagi pemilik lahan hutan rakyat yang memerlukan dana sebagai pemenuhan kebutuhan tanpa harus menebang pohon yang dimiliki di lahan mereka. Hal ini diharapakan konsep pengelolaan hutan rakyat terkait dengan pengaturan hasil hutan dapat diterapkan dan ditingkatkan di tingkat lapangan.

2.6 Manajemen Kelestarian Hutan Rakyat Secara Kolaboratif Pada Tingkat

Kawasan.

Krakteristik pengelolaan hutan rakyat adalah bersifat individual oleh keluarga, tidak memiliki manajemen formal, tidak responsif, subsisten, dan dipandang sebagai tabungan bagi keluarga pemilik hutan rakyat. Karakteristik seperti ini dalam perkembangannya kurang memiliki daya saing tinggi, tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dengan pedagang dan industri, dan sinkronisasi konservasi dan kelestarian hutannya tidak dapat terjamin. Oleh karena itu,

(38)

2.5 Tebang Butuh.

Tebang butuh merupakan sistem pelaksanaan penebangan pohon di lahan masyarakat yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat (Sabarudin, 2005). Pola pemanenan yang diterapkan oleh petani hutan rakyat pada umumnya tebang butuh.Tebang butuh merupakan suatu keadaan nyata yang terjadi di hutan rakyat khusunya di Gunungkidul dimana petani pemilik hutan akan memanen hasil hutan kayu yang diusahakannya sewaktu-waktu jika ada kebutuhan mendesak seperti membangun rumah, hajatan, ataupun untuk biaya pendidikan anaknya (Maryudi, 2001).

Sistem pemanenan ini dilakukan sewaktu-waktu sehingga tidak ada musim panen yang jelas dikarenakan kebutuhan yang akan dipenuhi biasanya tidak berlangsung secara periodik dan hanya pada saat waktu tertentu saja. Fenomena tebang butuh di atas sebenarnya tidak sejalan dengan prinsip kelestarian hutan jika menebang dalam jumlah yang melebihi produktivitas lahan tersebut dalam menghasilkan kayu. Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan hutan rakyat ialah terkait dengan pemanenan hasil hutan rakyat yang seharusnya sesuai dengan etat tebangan, tapi bagaimana cara memenuhi kebutuhan keluarga pemilik lahan agar pemenuhannya tidak menebang pohon yang belum layak tebang berdasarkan perhitungan daurnya. Tidak jarang konsep etat tebangan yang sudah direncanakan tidak dapat diaplikasikan di lapangan dikarenakan keluarga pemilik lahan menebang pohon di lahan yang mereka miliki dengan dalih untuk pemenuhan kebutuhan yang relatif besar (tebang butuh).

(39)

3) Merupakan suatu kesatuan ekosistem mulai dari tegakan sampai tumbuhan bawah, hewan dan mikro organisme.

4) Dikelola dan dikuasai oleh rakyat.

Di daerah Gunung kidul, DIY hutan rakyat yang berkembang didominasi oleh tanaman jati yang ditanam di daerah pekarangan, tegal, daerah kontur, dan batas-batas lahan. Pengelolaannya saat ini meliputi penanaman, pemeliharaan, pengolahan, penebangan, dan pemasaran. Menurut Awang, dkk (2001) usaha pengelolaan hutan rakyat di Gunungkidul adalah sebagai berikut :

1) Sistem penebangan mengikuti pendekatan individual tree model, artinya pohon ditebang sesuai dengan kebutuhan, sesuai dengan ukuran diameter tertentu, gabungan antara kebutuhan keluarga akan ekonomi dan besarnya diameter pohon untuk tanaman jati.

2) Pembibitan dilakukan secara swadaya dengan sistem “puteran” yang berasal dari biji dan anakan pohon alami yang kemudian dipindahkan ke lahan yang sudah disediakan.

3) Pemeliharaan dilakukan secara sambilan saaat memelihara tanaman perkebunan dan tanaman pangan lainnya.

4) Pengolahan kayu tidak dilakukan oleh petani karena tengkulak kayu akan membeli kayu yang masih dalam keadaan berdiri (Awang, dkk., 2001). Berdasarkan kondisi aktual pola pengelolaan hutan rakyat yang cukup bervariatif dengan model agroforestry yang beragam, sehingga mampu menopang fungsi ekonomi, ekosistem, dan sosial di masyarakat.

(40)

2.3.3 Pola kemitraan (kredit usaha hutan rakyat).

Hutan rakyat dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan swasta dengan insentif permodalan berupa kredit kepada rakyat dengan bunga ringan. Dasar pertimbangan kerjasama itu adalah pihak perusahaan perlu bahan baku dan masyarakat butuh bantuan modal kerja. Pola kemitraan ini dilakukan dengan memberikan bantuan secara penuh melalui perencanaan sampai dengan membagi hasil usaha secara bijaksana, sesuai kesepakatan antara perusahaan dengan masyarakat.

2.4 Prinsip manajemen Hutan Rakyat.

Memahami pengelolaan hutan rakyat pada dasarnya adalah memotret keseluruhan aktivitas penduduk di lahan milik (pekarangan, tegal, dan wono). Pengelolaan hutan rakyat bukan sesuatu yang berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari keseluruhan aktivitas keseharian penduduk atau petani, yang mengelola berbagai jenis lahan sesuai dengan potensinya (Awang, dkk., 2001). Menurut Djuwadi (2002) pengelolaan hutan rakyat secara utuh adalah sebagai berikut:

1) Kelompok pohon-pohonan yang didominasi oleh pohon berkayu. Society of American Foresters (1976) menyatakan An association of tress predominated by wood vegetation.

2) Luas dan kerapatannya cukup, sehingga bisa menciptakan iklim mikro yang berbeda dengan sekitarnya.

(41)

hutan, maka pengurusan hutan rakyat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, sehingga salah urus terhadap hutan rakyat dapat dikenakan tuntutan hukum. Menurut Awang (2005) dalam pengembangan hutan rakyat ada tiga pola yang dapat dijalankan, yaitu:

2.3.1 Pola swadaya.

Hutan rakyat pola swadaya adalah hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan madal dan tenaga dari kelompok maupun perorangan itu sendiri. Melalui pola ini masyarakat akan didorong agar mau dan mampu melaksanakan pembuatan hutan rakyat secara swadaya dengan bimbingan teknis dari kehutanan. Hutan rakyat akan diarahkan dan dikembangkan pada lahan masyarakat secara hidro-orologis kritis dan masyarakatnya mempunyai keterbatasan dalam hal pengetahuan dan kemampuan.

2.3.2 Pola subsidi (model hutan rakyat).

Hutan rakyat pola subsidi adalah hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya. Subsidi atau bantuan diberikan pemerintah (melalui Inpres penghijauan, padat karya, dan dana bantuan lainnya) atau dari pihak lainnya yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat. Selanjutnya akan diarahkan dan dikembangkan pada lahan masyarakat yang secara hidro-orologis kritis dan masyarakatnya mempunyai keterbatasan dalam hal pengetahuan dan kemampuan.

(42)

Menurut Widayanti dan Djuwadi (2008) untuk menghitung volume tegakan berdiri hutan rakyat dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

V = 0,25*π* *t*f

Dimana :

V : Volume pohon ( ) π : phi (3,14)

D : Diameter pohon (m) t : Tinggi total pohon (m)

f : Bilangan bentuk suatu jenis pohon ( Jati : 0,6 dan jenis lainnya 0,7) Mengetahui pertumbuhan kayu dari hutan rakyat sama artinya dengan mengetahui besarnya produksi kayu maksimum yang diperbolehkan dari hutan rakyat. Mengetahui pertumbuhan kayu hutan rakyat per tahun maka informasi tersebut dapat digunakan untuk menyusun rencana pengaturan hasil kayu di hutan rakyat. Pengaturan hasil hutan rakyat diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara pemanenan (produksi) dengan pertumbuhan (riap), bila keseimbangan tersebut dapat tercapai maka kelestarian hasil kayu dari hutan rakyat dapat diwujudkan selama masa pengelolaannya (Widayanti dan Djuwadi, 2008).

2.3 Pengembangan Hutan rakyat.

Agar semua hutan memenuhi fungsinya dengan baik maka hutan rakyat perlu diatur pengurusan dan pengusahaannya oleh negara meskipun pelaksanaan pengurusan dan pengusahaan itu dilakukan sendiri oleh pemiliknya. Sudah sewajarnya bahwa pengurusan hutan rakyat dilalukan oleh pemiliknya dengan bimbingan dan atas pengawasan dari pemerintah. Sesuai dengan fungsi sosial

(43)

3) Kesadaran bersama tentang perlindungan hutan di daerah kritis semakin baik.

4) Kelompok tani hutan rakyat semakin berkembang.

5) Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tentang pemetaan hutan.

2.2.2 Potensi kayu.

Potensi kayu yang ada di hutan baik pada pekarangan, tegal, dan wono

adalah volume dan jumlah pohon yang selanjutnya dilakukan inventarisasi dengan metode sensus yang selanjutnya memberikan gambaran tentang potensi dan perencanaan pengaturan hasil hutan rakyat (Widayanti dan Djuwadi, 2008).

Potensi kayu di hutan rakyat memiliki arti penting dalam pengelolaan hutan rakyat. Mengetahui potensi hutan rakyat maka akan dapat ditentukan beberapa tindakan yang terkait dengan kelestarian hasil hutan rakyat, sehingga kelestarian hutan rakyat dapat diwujudkan. Parameter yang digunakan dalam menyatakan potensi hutan rakyat adalah luas, volume kayu dan jumlah kayu pohon baik dari jenis yang mendominasi maupun jenis-jenis lainnya. Data potensi ini dapat dianalisis untuk mengetahui taksiran riap dan etat. Penaksiran potensi kayu dimulai dengan perhitungan potensi hutan rakyat yang dimiliki oleh setiap petani/pemilik lahan. Data hasil inventarisasi kayu yang meliputi jumlah pohon, luas bidang dasar (lbds) dan volume hutan rakyat per satuan luas (Widayanti dan Djuwadi, 2008).

(44)

misalnya untuk biaya sekolah, hajatan, ataupun kebutuhan kayu untuk konstruksi pembangunan rumah sendiri. Hal ini menunjukkan penebangan memiliki korelasi yang kuat dengan jumlah kebutuhan petani. Maka dalam perkembangannya sistem pemanenan ini dilakukan berdasarkan kebutuhan yang selanjutnya familier dengan nama sistem tebang butuh (Awang, 2005).

2.2 Potensi Hutan Rakyat

Hutan rakyat memiliki potensi yang cukup berkontribusi dalam pemenuhan ekonomi masyarakat. Parameter yang digunakan dalam menyatakan potensi hutan rakyat adalah luas lahan, volume kayu, dan jumlah pohon baik dari jenis yang mendominasi ataupun yang jenis-jenis lainnya. Selanjutnya data tersebut dapat digunakan untuk merencanakan pengaturan hasil hutan rakyat, sehingga diperoleh hasil tebangan tahunan sesuai dengan potensi yang dimiliki.

2.2.1 Luas hutan rakyat.

Luas hutan rakyat memiliki ukuran yang bervariasi sesuai dengan kepemilikan masing-masing pemilik lahan. Lahan yang digunakan terklasifikasi menjadi tiga tipe lahan yaitu pekarangan, tegal, dan wono. Menurut Awang (2005), manfaat yang diperoleh dari pengklasifikasian ini antara lain:

1) Status hutan rakyat (status, batas, dan kepemilikan) menjadi semakin jelas. 2) Kerjasama antar warga masyarakat tentang pengelolaan hutan rakyat

(45)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian hutan rakyat

Hutan rakyat merupakan hutan yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat dengan tujuan untuk menghasilkan kayu atau komoditas ikutannya yang secara ekonomis dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (Simon,2010). Pengertian mengenai hutan rakyat sebaiknya diperluas dan diakui secara nasional sebagai salah satu strategi dalam membangun hutan nasional. Definisi ideal dari hutan rakyat adalah hutan yang pengelolaannya dilakukan oleh organisasi masyarakat baik pada lahan milik individu, komunal, lahan adat maupun lahan yang dikuasai oleh negara (Awang, 2001). Hutan rakyat tersusun dari satuan ekosistem kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan usaha tani semusim, peternakan dan jasa rekreasi alam.

Pengelolaan hutan rakyat dipandang sebagai usahatani yang masih bersifat subsisten. Produk kayu yang dihasilkan merupakan produk yang secara sengaja disiapkan untuk menjadi salah satu sumber pendapatan bagi keluarga petani. Sifat dari pengelolaan hutan rakyat nampak pada cara pemanenan yang dilakukan, yaitu tergantung kepada kebutuhan keluarga. Kebutuhan jika sudah dapat terpenuhi dari hasil pertanian maka penebangan kayu tidak dilakukan. Penebangan dilakukan jika petani dihadapkan pada kebutuhan yang akan dipenuhi dalam skala besar,

(46)

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Memberikan informasi terkini berdasarkan data mengenai kondisi aktual hutan rakyat yang meliputi struktur tegakan maupun volume standing stock terhadap para pihak yang berkepentingan.

2. Menambah referensi mengenai perkembangan hutan rakyat khususnya di kabupaten Gunungkidul.

(47)

pada tiap tahunnya belum tentu selalu sama, tergantung pada besarnya kebutuhan yang akan mereka penuhi dari hasil penjualan kayu tersebut. Catatan selanjutnya adalah dengan semakin meningkatnya trend hutan rakyat, kalangan industry melihat bahwa hutan rakyat menjadi alternative pemenuhan bahan baku industri mereka, sehingga aktifitas penjualan kayu semakin meningkat pada tiap tahunnya, hal ini berdampak pada aktivitas penebangan yang tinggi.

Melihat catatan di atas, maka diperlukan kegiatan inventarisasi tegakan guna mengetahui potensi yang meliputi jumlah, jenis, dan volume standing stock

guna untuk menghitung etat tebengan pada tiap tahunnya agar tidak terjadi

overcutting sebagai salah satu syarat kelestarian hutan.

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui komposisi jenis tegakan penyusun hutan rakyat di PUP CV. Dipantara di Kabupaten Gunungkidul.

2. Mengetahui perkiraan potensi volume kayu di Petak ukur permanen hutan rakyat CV. Dipantara Kabupaten Gunungkidul.

(48)

memperhatikan asas kelestarian juga diperlukan kelembagaan yang kuat agar kegiatan pengelolaan hutan rakyat dapat berjalan secara efektif dan efisien.

1.2 Rumusan Masalah

Hutan rakyat di Kabupaten Gunungkidul yang berada di bawah binaan CV. Dipantara telah mendapatkan sertifikasi dari lembaga FSC yang dapat berfungsi sebagai jaminan bahwa hutan rakyat tersebut telah memenuhi syarat-syarat pengelolaan hutan rakyat sehingga dapat dipertanggungjawabkan pengelolaan hutannya. Salah satu bentuk manfaat sertifikasi FSC adalah kayu hasil penebangan dapat dilakukan pengecekan asal usul kayu yang menunjukkan legalitas kayu tersebut.

Pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan secara individual oleh masing-masing pemilik lahan masih berlangsung sangat sederhana, yaitu dengan sistem tebang butuh. Sistem tebang butuh yaitu pemilik lahan akan menebang pohon jika dalam kondisi membutuhkan uang tambahan untuk keperluannya, jadi penebangan dilakukan bukan berdasarkan etat volume tetapi lebih berdasarkan kepada kebutuhan-kebutuhan pemilik lahan. Hal ini menjadikan volume pohon yang ditebang pada setiap periode tidak selalu sama.

Dilihat dari segi pengaturan hasil, dengan sistem seperti di atas ada beberapa cacatan yang perlu diperhatikan, yang pertama adalah pohon yang di tebang rata-rata adalah pohon yang memiliki diameter yang relative besar jika dibandingkan dengan pohon yang lainnya, adapun jumlah pohon yang ditebang

(49)

menjelaskan kepemilikan atas tanah tersebut. Adanya permudaan tanaman yang berhasil dapat diwujudkan dengan adanya penanaman kembali serta pemeliharaan tanaman pada areal-areal pasca dilakukan pemanenan. Tidak terjadinya

overcutting dapat diwujudkan dengan adanya perhitungan riap pertumbuhan pada tanaman dengan cara menginventarisasi tegakan penyusun, dalam inventarisasi tersebut dilakukan secara sensus supaya memperkecil kesalahan pada saat perhitungan. Inventarisasi nantinya akan diketahui komposisi dan potensi tegakan penyusun yang selanjutnya didapatkan volume standing stock pada tegakan tersebut. Hal ini penting untuk diketahui karena dengan volume standing stock

nantinya akan dihitung etat tebangan berdasarkan volume sebagai kontrol agar tidak terjadi overcutting pada saat pemanenan.

Kegiatan inventarisasi tegakan diharapkan dapat memberikan penaksiran potensi hasil kayu yang dapat dihasilkan pada tiap tahunnya. Inventarisasi pada penelitian kali ini dilakukan pada petak ukur permanen yang ada di areal hutan binaan CV. Dipantara. Petak ukur permanen merupakan areal yang digunakan untuk dilakukan pengukuran tegakannya secara berkelanjutan guna untuk mengetahui riap pertumbuhan tiap tahunnya. Petak ukur permanen (PUP) merupakan sarana untuk pemantauan dan pengumpulan data pertumbuhan dan hasil tegakan.

Pengambilan data secara sensus digunakan karena cakupan luasan lahan hutan rakyat yang dimiliki oleh masyarakat relative lebih kecil jika dibandingkan dengan luasan hutan Negara. Adanya manajemen pengelolaan yang

(50)

Tiga asas kelestarian di atas belum dapat dicapai seperti yang diharapkan sehingga setiap hari hutan semakin berkurang jika tidak boleh dikatakan habis, sehingga manfaat yang dirasakan terhadap keberadaan hutan Negara semakin berkurang baik secara ekonomi, ekologis maupun sosial. Hal ini dapat dilihat jika dari segi ekonomi, kayu yang dihasilkan tidak dapat lagi menopang (supply)

kebutuhan kayu oleh masyarakat, di lain pihak permintaan (demand) kayu semakin hari semakin meningkat. Dari segi ekologis dapat dirasakan bahwa adanya eksploitasi secara besar-besaran serta pencurian kayu menyebabkan keseimbangan ekologis terganggu yang mengakibatkan terjadinya bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dll. Sedangkan dari fungsi social banyak terjadinya konflik-konflik sosial yang terjadi antara masyarakat desa sekitar hutan dengan pihak pengelola yang diberikan “mandat” untuk mengelola hutan tersebut.

Dampak negatif yang dirasakan dari pengelolaan hutan Negara seperti di atas dilain pihak memunculkan sebuah “peluang” bagi hutan milik (hak) untuk menggantikan fungsi hutan negara. Sekarang banyak masyarakat yang sadar dan cerdas untuk mengelola lahan yang mereka miliki dengan mulai menanam tanaman kehutanan yang dapat mendatangkan manfaat, yang menjadikan trend hutan rakyat menjadi meningkat.

Fenomena di atas diperlukan sebuah manajemen pengaturan yang dapat mengontrol hasil hutan dan menjamin kelestarian hutan rakyat agar dapat mendatangkan manfaat yang optimal. Batas lahan yang jelas dan diakui oleh semua pihak dapat ditunjukkan dengan kepemilikan surat-surat tanah yang

(51)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang.

Hutan merupakan sumber daya alam yang didominasi oleh tanaman-tanaman berkayu yang dapat menciptakan iklim mikro tersendiri di dalamnya. Dilihat dari kepemilikannya hutan dibagi menjadi 2 yaitu hutan Negara dan hutan milik (hak). Hutan Negara merupakan kawasan hutan yang secara kepemilikan dikuasai oleh Negara. Sesuai dengan pasal 33 UUD 1945: “bumi, air, dan kekayaaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sedangkan hutan milik (hak) merupakan lahan yang dimiliki oleh perseorangan yang dapat dibuktikan dengan sertifikat kepemilikan tanah atau sejenisnya. Lahan tersebut dijadikan hutan dengan ditanami tanaman-tanaman berkayu oleh pemiliknya secara sukarela.

Pengelolaan hutan memerlukan sebuah kelestarian baik secara ekonomi maupun secara ekologi agar pemanfaatan hasil hutan dapat dilakukan secara terus menerus dan sedapat mungkin dapat meningkatkan kualitas dan kuantitasnya. Kelestarian sendiri memiliki 3 asas yang sebaiknya dapat dicapai, yaitu adanya batas kawasan yang jelas dan diakui oleh semua pihak, adanya permudaan yang berhasil, serta tidak terjadi overcutting.

(52)

xiii

COMPOSITION AND POTENTIAL OF COMMUNITY FOREST CERTIFICATION OF CV. DIPANTARA IN THE GUNUNGKIDUL

REGENCY

by:

Gangsar Dwi Suciyanto 11/320885/DKT/01484

Abstract

The community forest is a forest development concept undertaken on private land. Development of community forests is due to the public awareness of the importance of forests akn for the environment and their lives. Forest development brings economic benefits, ecological, and social for the community. Economically forest products can be sold to increase income of land owners, and the ecology can prevent erosion on marginal lands. Forest products such as timber must be managed properly in order to avoid overcutting kelstarian that can threaten public forests. The inventory was conducted to determine the potential and constituent composition of forests in order to know the amount of people standing stock volume.

The study was conducted with a purposive sampling method in three different locations, namely in the Village Bejiharjo, Nglipar Village, and the Village Wonosari. The analysis used to determine how the number and types of trees making, as well as calculating the volume of each stand are three classifications contained in the public forests yard, tagal, and Wono at each location.

The results showed that each location has a characteristic constituent of stands and different amounts. Bejiharjo village shows that diverse plant species dominated constituent teak. Nglipar village has a simpler constituent types by the dominance of teak and mahogany on each land, while the Village Wonosari constituent types tend to have a monoculture with teak dominance. Standing stock volume on the community forest is 170.87 / ha with details on Gelaran II vst of 104.06 / ha, Nglipar lor 249.66 / ha and the latter Tawarsari for 164,50

/ ha.

(53)

xii

KOMPOSISI DAN POTENSI TEGAKAN HUTAN RAKYAT DI PETAK UKUR PERMANEN SERTIFIKASI BINAAN CV. DIPANTARA DI

KABUPATEN GUNUNGKIDUL

Oleh:

Gangsar Dwi Suciyanto 11/320885/DKT/01484

INTISARI

Hutan rakyat merupakan suatu konsep pembangunan hutan yang dilakukan di lahan milik. Pembangunan hutan rakyat terjadi karena adanya kesadaran masyarakat akn pentingnya hutan bagi lingkungan dan kehidupan mereka. Pembangunan hutan mendatangkan manfaat ekonomi, ekologis, maupun sosial bagi masyarakat. Secara ekonomi hasil hutan dapat dijual untuk menambah pemasukan pemilik lahan, dan secara ekologi dapat mencegah bahaya erosi pada lahan kritis. Hasil hutan yang berupa kayu harus dikelola dengan baik agar tidak terjadi overcutting yang dapat mengancam kelstarian hutan rakyat. Inventarisasi dilakukan untuk mengetahui potensi dan komposisi penyusun hutan rakyat agar dapat diketahui besaran volume standing stock.

Penelitian dilakukan dengan metode purposive sampling pada tiga lokasi yang berbeda yaitu di Desa Bejiharjo, Desa Nglipar,dan Desa Wonosari. Analisa yang digunakan dengan cara mengetahui jumlah dan jenis pohon penyusun, serta menghitung volume pada tiap tegakan yang terdapat pada tiga klasifikasi hutan rakyat yaitu pekarangan, tagal, dan wono pada masing-masing lokasi.

Hasil penelitian menunjukkan masing-masing lokasi mempunyai ciri tegakan penyusun dan jumlah yang berbeda. Desa Bejiharjo menunjukkan jenis tanaman penyusun yang beragam yang didominasi tanaman jati. Desa Nglipar mempunyai jenis penyusun yang lebih sederhana dengan dominasi tanaman jati dan mahoni pada tiap lahannya, sedangkan Desa Wonosari mempunyai jenis penyusun cenderung monokultur dengan dominasi jati. Volume standing stock

pada hutan rakyat tersebut adalah 170,87 /Ha dengan perincian di dusun gelaran II vst sebesar 104,06 /Ha, dusun Nglipar lor 249,66 /Ha dan yang terakhir dusun Tawarsari sebesar 164,50 /Ha.

(54)

xi DAFTAR LAMPIRAN

(55)

x

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Gambar Halaman Gambar 1 Grafik Jumlah dan Jenis Pohon di Dusun Gelaran II... 34 Gambar 2 Grafik Jumlah dan Jenis Pohon di Dusun Nglipar Lor... 37 Gambar 3 Grafik Jumlah dan Jenis Pohon di Dusun Tawarsari... 39

Gambar

Tabel 22. Volume standing stock berdasarkan wilayah hutan rakyat
Tabel 20. Perbandingan potensi jumlah pohon berdasarkan wilayah hutan rakyat
Tabel 17. Volume pohon pada tiap kelas diameter di lahan tegal.
Tabel 16. Volume pohon pada tiap kelas diameter di lahan pekarangan.
+7

Referensi

Dokumen terkait

CBUBO UJSPTJOBTF NBLB VKJ QFOHIBNCBUBO UJSPTJOBTF EJMBLVLBO QBEB NJOHHV LF o 4FUFMBI QFOZJNQBOBO NJOHHV OJMBJ QFSTFO QFOHIBNCBUBO UJSPTJOBTF EBSJ LFEVB LSJN NFOHBMBNJ QFOVSVOBO

Pada gambar 11 atap yang awal mulanya berada di dalam secara otomatis akan bergerak keluar atau menutup ketika cuaca mendung, Sehingga ketika turun hujan,

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bentuk pelayanan hak mendapatkan pendidikan pada siswa kurang mampu di SMA Negeri 1 Gondang Kabupaten Sragen,

Tito Sepriadi, NIM: C100100075, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, Tahun 2015, Judul: “PENGARUH IZIN USAHA PERTAMBANGAN BATU TUF TERHADAP

Adapun informasi yang diperoleh peneliti bahwa matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang dianggap sulit dan menyebabkan siswa menjadi malas belajar

Dalam hal ini, seperti halnya algoritma penayang waktu nyata parameter pengujian yang ditunjukkan dalam Gambar 4.b, data yang dipresentasikan di grafik dan tabulasi adalah

Secara umum tujuan pendidikan moral dalam keluarga adalah mendidik dan membina anak menjadi manusia dewasa yang memiliki mentalitas dan moralitas yang luhur dan