• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2.TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Manajemen Konflik

Thomas (1992 dalam Robbins, 2003) mendefenisikan konflik merupakan proses yang bermula ketika satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah memengaruhi secara negatif. Marquis dan Huston (1998 dalam Asmuji, 2012) mengatakan konflik adalah masalah internal dan eksternal yang terjadi sebagai akibat perbedaan pendapat, nilai-nilai, atau keyakinan dua orang atau lebih. Sedangkan menurut Handoko (1999 dalam Asmuji, 2012) konflik adalah segala macam interaksi pertentangan atau antogonistik antara dua pihak atau lebih.

Menurut Ross yang dikutip Sumaryanto (2010) bahwa manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau

tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif.

2.2.2. Perubahan Pandangan tentang Konflik

Robbins dan Judge dalam Wibowo (2013) juga membedakan perkembangan pandangan tersebut dalam tiga kategori :

1. The traditional view of conflict.

Merupakan keyakinan bahwa semua konflik adalah menyakitkan dan harus dihindari. Konflik dipandang negatif dan didiskusikan dengan terminologi seperti kekerasan, perusakan, dan tidak rasional. Konflik bersifat disfungsional sebagai hasil dari buruknya komunikasi, kurangnya keterbukaan dan kepercayaan di antara orang, dan kegagalan manajer merespon pada kebutuhan dan aspirasi pekerja. 2. The interaction view of conflict.

Merupakan keyakinan bahwa konflik tidak hanya merupakan kekuatan positif dalam kelompok, tetapi juga kebutuhan mutlak bagi kelompok untuk berkinerja secara efektif. Menurut pandangan ini tingkat konflik minimal dapat membantu kelompok bergairah, melakukan kritik diri, dan kreatif. Menurut pandangan interactionist tidak semua konflik baik. Functional conflict yang mendukung tujuan kelompok dan memperbaiki kinerja merupakan bentuk konflik yang konstruktif. Sedang konflik yang mengganggu kinerja kelompok bersifat destruktif dan dinamakan dysfunctional conflict.

3. Resolution focused view of conflict.

Merupakan pandangan bahwa konflik mungkin tidak dapat dihindarkan dikebanyakan organisasi dan lebih memfokus pada penyelesaian konflik produktif. Pandangan ini menemukan metode konstruktif untuk menyelesaikan konflik secara produktif sehingga pengaruh yang mengganggu dapat diminimalkan.

2.2.3. Sumber Konflik

Munculnya konflik dalam organisasi pelayanan tidak terlepas dari penyebab atau sumber konflik. Manajer harus mampu mengenali sumber konflik sehingga pemecahan masalah dapat dilakukan secara efektif. Sumber konflik dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu :

1. Variabel komunikasi

Penyampaian informasi yang tidak jelas akibat kesalahan semantik, saluran informasi yang terganggu, dan kemampuan komunikasi menerima pesan dapat menyebabkan kesalahpahaman yang menjadi potensi konflik.

2. Variabel struktur

Konflik yang didasarkan atas variabel struktur adalah konflik yang terjadi antara bagian satu dan bagian yang lain, bukan didasarkan atas konflik pribadi. Menurut Robbins (2003 dalam Asmuji, 2012) struktur yang digunakan dalam konteks ini mencakup variabel ukuran kelompok, derajat spesialisasi dalam tugas yang diberikan ke anggota kelompok, kecocokan anggota, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antar-kelompok.

Semakin besar ukuran kelompok, semakin besar pula potensi konflik. Hal tersebut disebabkan semakin besar kelompok, semakin banyak ide dan kemauan sehingga semakin sulit untuk disatukan. Kelompok muda mempunyai potensi konflik lebih besar dibandingkan kelompok tua karena kelompok muda lebih idealis dan lebih menyukai tantangan. Ketidakjelasan peran dan tanggung jawab juga meningkatkan konflik dalam organisasi.

Gaya kepemimpinan menentukan pula timbulnya konflik. Gaya kepemimpinan tertutup dan pengamatan ketat secara terus-menerus dapat meningkatkan potensi konflik. Akan tetapi, gaya kepemimpinan yang terlalu mengandalkan partisipasi juga dapat merangsang konflik.

Ketidakadilan dalam sistem imbalan meningkatkan potensi konflik. Kelompok yang sangat tergantung dengan kelompok lain (tidak saling tergantung) merangsang timbulnya konflik.

3. Variabel pribadi

Sistem nilai dan karakteristik yang dimiliki setiap individu dapat menyebabkan timbulnya perbedaan antar-individu yang secara nyata dapat menyebabkan timbulnya konflik.

2.2.4. Jenis Konflik

Menurut Asmuji (2012) konflik dalam kehidupan berorganisasi dibagi menjadi lima jenis sebagai berikut.

1. Dalam diri individu (intrapersonal)

Konflik yang terjadi dalam diri individu dapat terjadi karena adanya ketidakcocokan antara keinginan dan kenyataan, status pekerjaan yang tidak pasti, ketidakmampuan individu untuk berbuat sesuai tanggung jawabnya, dan lain-lain. 2. Antara individu dan individu (interpersonal)

Kesalahpahaman, pertentangan dan perbedaan pendapat antar-individu dapat menyebabkan konflik.

3. Antara individu dan kelompok

Konflik ini dapat terjadi jika ketidakcocokan atau pertentangan antara keinginan individu dan kelompok. Individu melanggar kesepakatan kelompok juga dapat menyebabkan konflik.

4. Antara kelompok dan kelompok

Konflik ini dapat terjadi karena kesalahpahaman, pertentangan dan juga perbedaan pendapat antar-kelompok.

5. Antara organisasi dan organisasi

Konflik ini dapat ditimbulkan karena adanya persaingan terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh organisasi. Dengan adanya konflik ini, akan berdampak ke arah pengembangan produk yang dihasilkan. Organisasi akan bersaing untuk menghasilkan produk yang berkualitas, efisien dan terjangkau.

2.2.5. Proses Konflik

Proses konflik dalam Asmuji (2012) terdiri dari lima tahap berikut. 1. Tahap I : Potensi Oposisi atau Ketidakcocokan

Tahap pertama dalam proses konflik adalah adanya kondisi yang menciptakan kesempatan munculnya konflik. Pada tahap ini, kondisi yang memengaruhi timbulnya konflik adalah variabel komunikasi, struktur, dan variabel individu. Variabel-variabel tersebut mendorong terjadinya konflik.

2. Tahap II : Kognisi dan Personalisasi

Tahap kedua merupakan wujud adanya oposisi dan ketidakcocokan pada kondisi anteseden. Pada tahap ini, terdapat dua macam konflik, yaitu konflik yang dipersepsikan dan konflik yang dirasakan. Kesadaran individu diperlukan untuk dapat memersepsikan adanya konflik.

3. Tahap III : Menentukan Maksud

Maksud (keinginan, niat) merupakan keputusan untuk bertindak dalam cara tertentu guna menangani konflik yang dirasakan. Penanganan konflik yang dirasakan dan sengaja dimunculkan untuk dicari solusinya dapat dilakukan dengan cara bersaing, kerja sama, berkompromi, menghindar, atau mengakomodasi. 4. Tahap IV : Perilaku

Tahap ini merupakan upaya-upaya nyata dari individu-individu yang mengalami konflik. Upaya ini dapat berupa pernyataan, tindakan, atau juga reaksi terhadap terjadinya konflik.

5. Tahap V : Hasil

Tahap ini menghasilkan konsekuensi yang telah dibuat oleh pihak yang terlibat konflik. Hasil yang diperoleh dapat bersifat fungsional (meningkatkan kinerja) atau disfungsional (merintangi kinerja kelompok).

2.2.6. Gaya Manajemen Konflik

Menurut Hendricks (2008) bahwa ada 5 (lima) gaya manajemen konflik yang dapat dilakukan untuk menangani konflik yaitu

1. Gaya penyelesaian konflik dengan mempersatukan (integrating)

Individu yang memilih gaya ini tukar menukar informasi. Di sini ada keinginan untuk mengamati perbedaan dan mencari solusi yang dapat diterima semua kelompok. Penyelesaian konflik dengan cara mempersatukan (integrating) mendorong tumbuhnya creative thingking (berpikir kreatif). Mengembangkan alternatif adalah salah satu kekuatan gaya integrating. Penyelesaian konflik dengan model mempersatukan menekankan diri sendiri dan orang lain dalam mensintesiskan informasi dari perspektif yang divergen (berbeda). Namun demikian, penyelesaian konflik gaya ini menjadi tidak efektif bila kelompok yang yang berselisih kurang memiliki komitmen atau bila waktu menjadi sesuatu yang sangat penting, karena penyelesaian konflik dengan cara mempersatukan itu membutuhkan waktu yang panjang. Penyelesaian cara ini juga dapat menjadi penyelesaian yang menimbulkan frustasi terutama dalam konflik tingkat tinggi karena penalaran dan pertimbangan rasional seringkali dikalahkan oleh komitmen emosional untuk suatu posisi.

2. Gaya penyelesaian konflik dengan kerelaan untuk membantu (obliging)

Kerelaan membantu menempatkan nilai yang tinggi untuk orang lain sementara dirinya sendiri dinilai rendah. Gaya ini mungkin mencerminkan rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Gaya ini dapat juga dipakai sebagai strategi yang sengaja digunakan untuk mengangkat atau menghargai orang lain, membuat mereka merasa lebih baik dan senang terhadap suatu isu. Penggunaan gaya penyelesaian konflik “rela membantu orang lain” (obliging) dengan menaikkan status pihak lain adalah bermanfaat, terutama jika peran individu dalam organisasi secara politis tidak berada dalam posisi yang membahayakan.

Strategi rela membantu berperan dalam menyempitkan perbedaan antar kelompok dan mendorong mereka untuk mencari kesamaan dasar. Perhatian tinggi kepada orang lain menyebabkan seorang individu merasa puas dan merasa keinginannya terpenuhi oleh pihak lain, kadang-kadang mengorbakan sesuatu yang penting untuk dirinya sendiri. Gaya penyelesaian konflik “rela membantu orang lain”, bila digunakan secara efektif, dapat mengawetkan dan melanggengkan hubungan. Gaya ini dengan tidak disadari, dapat dengan cepat membuat orang untuk rela mengalah misalnya ungkapan yang bernada mengalah “tidak usah menunggu saya”. Dengan menggunakan gaya rela membantu, individu dapat menerima kekuasaan orang lain, luangkan waktu untuk memperkirakan situasi dan menyurvei kemungkinan-kemungkinan.

3. Gaya penyelesaian konflik dengan mendominasi (dominating)

Gaya ini tekanannya pada diri sendiri. Dimana kewajiban bisa diabaikan oleh keinginan pribadi, gaya mendominasi ini meremehkan kepentingan orang lain. Gaya ini adalah strategi yang efektif bila suatu keputusan yang cepat dibutuhkan atau jika persoalan tersebut kurang penting.

Strategi ini dapat menjadi reaksioner, yang digerakkan oleh mekanisme mempertahankan diri. Gaya ini tercermin dalam sebuah penyerangan untuk menang yang diekspresikan melalui falsafah “lebih baik menembak daripada ditembak”. Bila isu itu penting, gaya individu mendominasi akan memaksa orang lain untuk menaruh perhatian pada seperangkat kebutuhan spesifik.

Gaya mendominasi sangat membantu jika individu kurang pengetahuan atau keahlian tentang isu yang menjadi konflik. Ketidakmampuan untuk menyediakan tenaga ahli yang memberikan nasihat atau yang dengan tegas menyampaikan isu inilah pangkal gaya mendominasi. Gaya mendominasi juga paling banyak diasosiasikan dengan gertakan dan “hardball tactic” dari pialang kekuasaan.

Strategi penyelesaian konflik dengan gaya mendominasi paling baik dipakai bila dalam keadaan terpaksa. Dipergunakan sepanjang individu merasa memiliki hak dan sesuai dengan pertimbangan hati nurani individu.

4. Gaya penyelesaian konflik dengan menghindar (avoiding)

Para penghindar tidak menempatkan suatu nilai pada diri sendiri atau orang lain. Gaya ini adalah gaya menghindar dari persoalan. Aspek negatif gaya menghindar termasuk diantaranya menghindar dari tanggungjawab atau mengelak dari suatu

isu. Bila suatu isu tidak penting, tindakan menangguhkan dibolehkan untuk mendinginkan konflik – inilah penggunaan gaya penyelesaian konflik menghindar yang paling efektif. Gaya ini juga efektif bila waktu memang dibutuhkan. Di lain pihak, gaya ini dapat membuat frustasi orang lain karena penyelesaian konflik demikian lambat. Rasa kecemasan biasanya berpangkal dari gaya penyelesaian konflik dengan menghindar, dan konflik cenderung meledak bila gaya ini dipakai. 5. Gaya penyelesaian konflik dengan kompromis (compromising)

Dalam gaya ini perhatian pada diri sendiri maupun pada orang lain berada dalam tingkat sedang. Ini adalah orientasi jalan tengah. Dalam kompromi, setiap orang memiliki sesuatu untuk diberikan dan menerima sesuatu. Kompromi akan menjadi salah bila salah satu sisi itu salah. Tapi kompromi akan menjadi kuat bila kedua sisi adalah benar.

Kompromi adalah paling efektif sebagai alat bila isu kompleks atau bila ada keseimbangan kekuatan. Kompromi dapat menjadi pilihan bila metode lain gagal dan dua kelompok mencari penyelesaian jalan tengah. Kompromi bisa menjadi pemecah perbedaan atau pertukaran konsesi. Kompromi hampir selalu diarahkan oleh semua kelompok yang berselisih untuk memberikan sesuatu untuk mendapatkan jalan keluar atau pemecahan.

Dokumen terkait