TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori
2.1.2 Manajemen Laba
Para peneliti mempunyai pandangan yang berbeda beda mengenai pengertian manajemen
laba. Menurut Sulistyanto (2008) manajemen laba sebagai upaya manajer perusahaan untuk
mengintervensi atau mempengaruhi informasi akuntansi dalam laporan keuangan dengan tujuan
untuk mengelabui stakeholder yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan. Istilah
intervensi dan mengelabui inilah yang dipakai sebagai dasar sebagian pihak untuk menilai
manajemen laba sebagai kecurangan. Alasannya, intervensi itu dilakukan manajer perusahaan
dalam kerangka standar akuntansi, yaitu masih menggunakan metode dan prosedur akuntansi
yang diterima dan diakui secara umum. Healy dan Wahlen (1999) mengemukakan bahwa
keuangan dan penyusunan transaksi untuk mengubah laporan keuangan, dengan tujuan untuk
memanipulasi besaran (magnitude) laba kepada beberapa stakeholders tentang kinerja ekonomi
perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil perjanjian (kontrak) yang tergantung pada
angka-angka akuntansi yang dilaporkan.
Scott (2000) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua: Pertama,
melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam
menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan political costs (opportunistic earnings
management).Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting
(efficient earnings management), dimana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas
untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak
terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, manajer
dapat mempengaruhi nilai pasar perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan
membuat perataan laba (income smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu.
Pada umumnya studi tentang manajemen laba sering mengacu pada sudut opurtunistis
dibandingkan dengan sudut pandang efisiensi. Meutia (2004) berpendapat manajemen laba
merupakan usaha manajemen yang disengaja untuk memanipulasi laporan keuangan dalam
batasan yang diperbolehkan oleh prinsip-prinsip akuntansi. Tujuannya adalah untuk memberikan
informasi yang menyesatkan para pengguna laporan keuangan demi keuntungan pihak manajer.
Pendapat lain yang disampaikan oleh Weil (2009) menyatakan bahwa manajemen laba bukanlah
istilah teknis dalam akuntansi atau keuangan. Namun hal tersebut terjadi ketika manajemen
perusahaan memiliki kesempatan untuk membuat keputusan akuntansi yang mengubah
Arfani dan Sasongko (2005) menyatakan bahwa perusahaan yang mengalami kerugian
ataupun yang memperoleh laba, sama-sama melakukan earnings management dan terdapat
perbedaan earnings management yang signifikan antara perusahaan yang mengalami kerugian
dan memperoleh laba. Surifah (2001) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat
indikasi earnings management yang lebih tinggi pada perusahaan publik yang mengalami
kerugian daripada perusahaan publik yang memperoleh laba.
Menurut Scott (2003) beberapa motivasi yang mendorong manajemen melakukan
manajemen laba, antara lain sebagai berikut:
1. Motivasi bonus, yaitu manajer akan berusaha mengatur laba bersih agar dapat
memaksimalkan bonusnya.
2. Motivasi kontrak, berkaitan dengan utang jangka panjang, yaitu manajer menaikkan laba
bersih untuk mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami technical default.
3. Motivasi politik, aspek politis ini tidak dapat dilepaskan dari perusahaan, khususnya
perusahaan besar dan industri strategis karena aktivitasnya melibatkan hajat hidup orang
banyak.
4. Motivasi pajak, pajak merupakan salah satu alasan utama perusahaan mengurangi laba
bersih yang dilaporkan.
5. Pergantian CEO (Chief Executive Officer), banyak motivasi yang timbul berkaitan dengan
CEO, seperti CEO yang mendekati masa pensiun akan meningkatkan bonusnya, CEO yang
kurang berhasil memperbaiki kinerjanya untuk menghindari pemecatannya, CEO baru
untuk menunjukkan kesalahan dari CEO sebelumnya.
6. Penawaran saham perdana (IPO), manajer perusahaan yang going public melakukan
mendapatkan respon pasar yang positif terhadap peramalan laba sebagai sinyal dari nilai
perusahaan.
7.Motivasi pasar modal, misalnya untuk mengungkapkan informasi privat yang dimiliki
perusahaan kepada investor dan kreditor.
Nilai laba dalam laporan keuangan adalah sebuah fakta, tetapi bukan fakta yang 100
persen objektif. Nilai laba dapat ditentukan oleh subjektivitas penyusunnya (Sulistiawan , 2011).
Menurut Sulistyanto (2008), ada beberapa cara yang dipakai perusahaan untuk mempermainkan
besar kecilnya laba,yaitu mencatat pendapatan terlalu cepat, mencatat pendapatan palsu,
mengakui biaya periode berjalan menjadi biaya periode sebelum atau sesudahnya, tidak
mengungkapkan semua kewajiban, mengakui pendapatan periode berjalan menjadi pendapatan
periode sebelumnya, serta mengakui pendapatan masa depan menjadi pendapatan periode
berjalan.
Scott (1997) merangkum pola umum yang banyak dilakukan dalam praktik manajemen
laba, antara lain:
1. Pola taking a bath, pola ini dilakukan dengan cara mengatur laba perusahaan tahun berjalan
menjadi sangat tinggi atau rendah dibandingkan laba periode tahun sebelumnya atau tahun
berikutnya. Pola ini biasa dipakai pada perusahaan yang sedang mengalami masalah
organisasi (organizational stress) atau sedang dalam proses pergantian pimpinan
manajemen perusahaan.
2. Pola income minimization, pola ini dilakukan dengan menjadikan laba periode tahun
berjalan lebih rendah dari laba sebenarnya. Pola ini relatif sering dilakukan dengan
3. Pola income maximization, pola ini merupakan kebalikan dari pola income minimization.
Menurut pola ini, manajemen laba dilakukan dengan cara menjadikan laba tahun berjalan
lebih tinggi dari laba sebenarnya. Teknik yang dilakukan pun beragam. Mulai dari
menunda pelaporan biaya-biaya periode tahun berjalan ke periode mendatang, pemilihan
metode akuntansi yang dapat memaksimalkan laba, sampai dengan meningkatkan jumlah
penjualan dan produksi. Pola ini biasanya banyak digunakan oleh perusahaan go public
dengan tujuan menjaga kinerja saham mereka.
4. Pola income smoothing, pola ini dilakukan dengan mengurangi fluktuasi laba sehingga laba
yang dilaporkan relatif stabil. Untuk investor dan kreditor yang memiliki sifat risk adverse,
kestabilan laba merupakan hal penting dalam mengambil keputusan. Stabilitas laba ini
dapat diperoleh dengan mengombinasikan dua pola tersebut, yaitu meminimalkan laba atau
memaksimalkan laba.
Akuntansi berbasis akrual dipandang lebih rasional dan adil serta informatif dibanding
dengan model dasar kas. Namun akuntansi berbasis akrual dapat membuat munculnya komponen
akrual yang mudah untuk dipermainkan besar kecilnya. Seperti pendapat Koyuimirsa (2011)
yang menyatakan manajemen cenderung memilih kebijakan manajemen laba dengan
mengendalikan transaksi akrual yaitu kebijakan akuntansi yang memberikan keleluasaan pada
manajemen untuk membuat pertimbangan akuntansi yang akan memberi pengaruh pada
pendapatan yang dilaporkan. Peluang ini sering digunakan oleh manajer ketika mereka
menghendaki keuntungan tertentu bagi dirinya.
Menurut Scott (2003) discretionary accruals adalah suatu cara untuk mengurangi
pelaporan laba yang sulit dideteksi melalui manipulasi kebijakan akuntansi yang berkaitan
discretionary accruals yang merupakan akrual tidak normal dan merupakan pemilihan kebijakan
manajemen dalam pemilihan metode akuntansi.