• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4. METODE PENELITIAN

6. Uji Validitas dan Realibilitas

2.2 Manajemen laktasi

Dalam pembahasan tentang hasil penelitian manajemen laktasi akan dijabarkan bagaimana manajemen laktasi yang dilakukan ibu di PTPN IV Kebun Bah Butong. Dari hasil penelitian, menunjukkan bahwa mayoritas responden sebanyak 36 orang (58,1%) selama masa kehamilan pernah memeriksakan payudara mereka. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmadani, dkk (2012) bahwa hanya 48,7% responden yang memeriksakan payudara mereka selama hamil.Pemeriksaan ini penting dilakukan dengan tujuan

agar memelihara kebersihan payudara, melenturkan dan menguatkan puting susu, mengetahui ada tidaknya benjolan pada puting susu serta mempersiapkan produksi ASI (Huliana, 2003).

Selama menyusui, 37 responden (59,7%) mengatakan tidak pernah melakukan konseling dengan petugas kesehatan mengenai masalah menyusui mereka, karena 46 responden (74,2%) tidak pernah mengalami masalah payudara saat menyusui seperti bengkak dan lecet, dan 41 orang (66,1%) responden tidak mengalami kesulitan dengan bayi mereka selama menyusui. Asumsi peneliti, responden hanya melakukan konseling saat mereka mengalami masalah atau kesulitan saat menyusui. Walaupun mayoritas responden tidak mengalami kesulitan selama menyusui, namun pelaksanaan konseling dengan petugas kesehatan penting dilakukan oleh ibu untuk meningkatkan pengetahuan ibu. Konseling yang dilakukan secara intens akan mempengaruhi peningkatan pengetahuan ibu. Pengulangan informasi yang dilakukan selama konseling dapat menjadi faktor pendukung dalam pemahaman ibu terhadap informasi mengenai masalah menyusui (Ambarwati, dkk., 2013).

Menurut Roesli (2000), ASI yang keluar secara berlebihan harus dikeluarkan sebelum menyusui, karena jika tidak akan menyebabkan bayi tersedak dan enggan menyusui. Namun dari hasil penelitian, mayoritas responden yaitu 35 responden (56,5%) tidak memerah ASI mereka saat terasa penuh.Penelitian yang sama didapat oleh Putri (2013) di Puskesmas Mandiangin kota Bukit Tinggi 76,7% responden tidak melaksanakan ASI perah. Hal yang menarik adalah keseluruhan responden yang memerah ASI menyimpan ASI

tersebut di lemari pendingin (freezer). ASI dapat disimpan di dalam lemari es selama 3 hari sedangkan dalam freezer, ASI beku dapat bertahan selama 3 bulan. ASI perah yang disimpan ini tidak mengalami perubahan kualitas, hanya warna dan bentuknya saja yang mungkin berubah (Handayani, 2010).

Ketika akan diberikan kepada bayi, ASI perah harus dihangatkan terlebih dahulu. Penghangatan ASI perah dapat dilakukan dengan menyiram botol ASI dengan kran air hangat atau merendam botol berisi ASI dalam mangkuk yang berisi air hangat (Handayani, 2010). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yaitu 20 responden (74%) menjawab menghangatkan ASI yang disimpan di kulkas dengan direndam dalam rendaman air hangat. Untuk cara pemberian ASI perah sebaiknya tidak menggunakan dot, tetapi menyuapinya dengan menggunakan sendok. Ini dilakukan agar bayi tidak mengalami sindrom bingung puting, karena menyusu dengan dot lebih mudah mengeluarkan susu daripada menyusu dari payudara ibu (Boedihartono, 2002). Pendapat ini tidak sesuai dengan hasil penelitian bahwa mayoritas responden (62,9%) masih menggunakan dot saat memberikan ASI perah kepada bayi mereka. Hanya 25,9% yang memberikan ASI perah menggunakan sendok, dan sisanya (11,2%) menggunakan cangkir kecil.

Kesibukan ibu bekerja selama menyusui, tentu mengganggu keberhasilan pemberian ASI eksklusif kepada bayi. Dari hasil penelitian diketahui bahwa dari 30 responden yang bekerja, 29 responden tetap bekerja sejak bayi lahir sampai bayi berusia 2 tahun. Namun demikian ada alternatif cara yang dapat dilakukan yaitu pemberian ASI sebelum ibu berangkat kerja dan pemberian ASI perah.

Danuatmaja (2003) juga menganjurkan kepada ibu yang bekerja untuk memberikan ASI sebelum berangkat kerja agar kebutuhan nutrisi bayi terpenuhi. Pemberian ASI sebelum ibu berangkat kerja sesuai dengan hasil penelitian, yaitu mayoritas responden (89,6%) memberikan ASI mereka sebelum berangkat kerja. Penelitian yang dilakukan Sitinjak (2013) juga mengatakan 95,3% memberikan ASI sebelum ibu berangkat kerja. Hanya saja, kebanyakan dari responden (51,7%) tidak memberikan ASI perah kepada bayi mereka saat ibu bekerja.

Kebijakan dari pemerintah atau perusahaan tempat para ibu bekerja juga berperan penting dalam keberhasilan pemberian ASI eksklusif. WHO (2014) menyarankan agar perusahaan yang mempekerjakan wanita dalam perusahaannya membuat sebuah kebijakan untuk mereka seperti memberi waktu cuti hamil, pengaturan kerja paruh waktu serta fasilitas ruangan tempat ibu memerah ASI. Keberhasilan mayoritas responden memberikan ASI eksklusif mungkin dipengaruhi oleh hasil penelitian bahwa 68,9% responden diberi waktu oleh perusahaan tempat mereka bekerja untuk kembali kerumah menyusui bayi mereka.Hasil penelitian yang sama oleh Danso (2014) tentang praktik pemberian ASI eksklusif oleh ibu pekerja di Ghana mengatakan 51% responden kembali ke rumah untuk menyusui bayi mereka pada saat jam istirahat kerja.

Keberhasilan pemberian ASI ekslusif pada ibu bekerja juga dapat dilakukan dengan memerah ASI mereka di tempat kerja dan membawanya pulang untuk diberikan kepada bayi mereka. Selainbayi tetap memperoleh ASI saat ibunya bekerja, memerah ASI juga dapat menghilangkan bendungan ASI, menghilangkan rembesan ASI, juga menjaga kelangsungan persediaan ASI saat

ibu sakit atau bayi sakit (Roesli, 2005). Pendapat ini tidak sesuai dengan hasil penelitian bahwa 79,3% responden tidak memerah ASI mereka di tempat kerja. Asumsi peneliti, hal ini mungkin disebabkan oleh tidak adanya fasilitas tempat untuk ibu memerah ASI di tempat kerja mereka.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan manajemen laktasi pada masa kehamilan dikatakan baik karena mayoritas responden memeriksakan payudara mereka saat hamil, tidak baik pada saat segera setelah lahir karena petugas kesehatan tidak melakukan inisiasi menyusu dini, dan untuk pasca melahirkan juga dikatakan tidak baik karena mereka tidak melakukan konseling dengan petugas kesehatan, tidak melakukan perawatan payudara serta tidak memerah ASI mereka saat terasa penuh.

3. Keterbatasan Peneliti

Peneliti tidak mengidentifikasi kelompok bayi usia berapa pola pemberian ASI berjalan dengan baik, misalnya apakah bayi masih tetap mendapat ASI setiap kali bayi menginginkan pada usia di atas 6 bulan, yang seharusnya pada usia tersebut bayi harus sudah diberi makanan tambahan.

62

Dokumen terkait