• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. Manajemen Sumber Daya Manusia

a. Definisi Manajemen Sumber Daya Manusia

Menurut Henry Simamora (2006) dalam Setyowati dan Yuniarto (2012) manajemen sumber daya manusia adalah ilmu yang menyangkut desain dan implementasi sistem perencanaan, penyusunan karyawan, pengembangan karyawan, pengelolaan karier, evaluasi kinerja, kompensasi karyawan dan hubungan ketenagakerjaan yang baik. Manajemen sumber daya manusia melibatkan semua keputusan dan praktek manajemen yang mempengaruhi secara langsung sumber daya manusianya. Sedangkan Hasibuan (2012) mendefinisikan manajemen sumber daya manusia adalah ilmu dan seni mengatur peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat. b. Peranan Manajemen Sumber Daya Manusia

Terdapat 9 peranan manajemen sumber daya manusia dalam mengatur dan menetapkan program kepegawaian menurut Hasibuan (2012) sebagai berikut:

12 1) Menetapkan jumlah kualitas dan penempatan tenaga kerja yang efektif sesuai dengan kebutuhan perusahaan berdasarkan berdasarkan job

description, job spesification, job requirement dan job evaluation.

2) Menetapkan penarikan, seleksi dan penempatan karyawan berdasarkan asas the right man in the right place and the right man in the right job. 3) Menetapkan program kesejahteraan, pengembangan promosi dan

pemberhentian.

4) Meramalkan penawaran dan permintaan sumber daya manusia pada masa yang akan datang.

5) Memperkirakan keadaan perekonomian pada umumnya dan perkembangan perusahaan pada khususnya.

6) Memonitor dengan cermat undang-undang perburuhan dan kebijaksanaan pemberian balas jasa perusahaan sejenis.

7) Memonitor kemajuan teknik dan perkembangan serikat buruh. 8) Melaksanakan pendidikan, latihan dan penilaian prestasi karyawan. 9) Mengatur mutasi karyawan baik vartikal maupun horizontal. 10)Mengatur pensiun, pemberhentian dan pesangonnya.

B. Kepuasaan Kerja

1. Definisi Kepuasan Kerja

Menurut Robbins dan Judge (2011) dalam Sutanto dan Gunawan (2013) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan positif pada suatu pekerjaan yang merupakan dampak/hasil evaluasi dari aspek pekerjaan tersebut.

13 Sedangkan menurut Umar (2013), kepuasaan kerja adalah seperangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan mereka. Apabila seseorang bergabung dalam suatu organisasi sebagai seorang pekerja, ia membawa seperangkat keinginan, kebutuhan, hasrat, dan pengalaman masa lalu yang menyatu membentuk harapan kerja.

Menurut Robbins (2003) dalam Wibowo (2012) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, yang menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima. Selain itu menurut Darsono dan Tjatjuk (2011) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai seperangkat perasaan karyawan yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan berdasarkan imbalan material dan imbalan psikologis (non-material).

Dari penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap emosional karyawan atas pencapaian hasil pekerjaannya yang diperoleh melalui imbalan jasa, reward dan pujian hasil kerja dari pimpinan dalam suatu perusahaan.

2. Faktor yang Mempengaruhi Kepuasaan Kerja

Karyawan akan mempunyai rasa komitmen yang tinggi ke perusahaan, jika karyawan merasa puas dalam bekerja. Apabila karyawan dirasakan tidak bekerja optimal terdapat beberapa faktor penyebabnya salah satunya adalah kepuasan kerja. Berikut faktor yang mempengaruhi timbulnya kepuasan kerja karyawan menurut Robbins (1996) dalam Irbayuni (2012) antara lain:

14 a. Pekerjaan yang menantang, yaitu karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan karyawan dan menawarkan beragam tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai betapa baik mereka mengerjakan pekerjaan mereka. Karakteristik seperti ini membuat kerja secara mental menantang.

b. Pemberian gaji yang adil, yaitu karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang dipersepsikan adil, tidak membingungkan dan sesuai dengan harapan.

c. Kondisi kerja yang mendukung, yaitu karyawan peduli akan lingkungan kerja baik untuk keamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugasnya dengan baik. Karyawan lebih menyukai kondisi fisik organisasi yang tidak berbahaya.

d. Rekan kerja yang mendukung, yaitu rekan kerja yang ramah dapat meningkatkan kepuasan dalam bekerja.

3. Faktor Pendukung Kepuasan Kerja

Menurut Greenberg dan Baron (2003) dalam Wibowo (2012) mengemukakan setidaknya ada 4 cara untuk mencegah ketidakpuasan dan meningkatkan kepuasan kerja dengan cara sebagai berikut:

a. Membuat pekerjaan menyenangkan, orang lebih puas dengan pekerjaan yang mereka senangkan kerjakan daripada yang membosankan.

15 b. Orang dibayar dengan jujur, orang percaya bahwa sistem pengupahan tidak jujur cenderung tidak puas dengan pekerjaannya. Hal ini diperlukan tidak hanya untuk gaji dan upah per jam, tetapi juga fringe benefit.

c. Mempertemukan orang dengan pekerjaan yang cocok dengan minatnya, semakin banyak orang menemukan bahwa mereka dapat memenuhi kepentingannya sambil di tempat kerja, semakin puas mereka dengan pekerjaannya.

d. Menghindari kebosanan dan pekerjaan berulang-ulang, sesuai dengan two

factor theory, orang jauh lebih puas dengan pekerjaan yang meyakinkan

mereka memperoleh sukses dengan secara bebas melakukan kontrol atas bagaimana cara mereka melakukan sesuatu.

Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat meningkatkan kepuasan kerja menurut Greenberg dan Baron (2003) dalam Wibowo (2012) terdiri dari membuat pekerjaan yang menyenangkan, orang dibayar dengan jujur, mempertemukan orang dengan pekerjaan yang cocok dengan minatnya, menghindari kebosanan dan pekerjaan berulang-ulang. Sudah seharusnya perusahaan memperhatikan faktor-faktor meningkatnya kepuasan kerja karyawan agar karyawan merasa puas sehingga karyawan tidak mempunyai niat pindah kerja.

4. Faktor Penyebab Ketidakpuasan Kerja

Menurut Husnan (1991) sumber rasa ketidakpuasan karyawan dalam bekerja yaitu:

16 a. Imbalan yang mungkin dirasakan kurang memadai.

b. Kondisi kerja yang dipandang kurang memuaskan. c. Situasi lingkungan kerja kurang mendukung. d. Perlakuan yang dirasakan kurang adil. e. Kurangnya jaminan masa depan karyawan.

f. Terjadinya konflik yang berlarut-larut tanpa penyelesaian yang memuaskan.

Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab ketidakpuasan kerja menurut Husnan (1991) terdiri dari imbalan yang mungkin dirasakan adil, kondisi kerja yang dipandang kurang memuaskan, situasi lingkungan kerja kurang mendukung, perlakukan yang dirasakan adil, kurang jaminan masa depan karyawan dan terjadinya konflik yang berlarut-larut tanpa penyelesaian yang memuaskan. Perusahaan perlu memperhatikan faktor-faktor ketidakpuasan kerja karyawan apabila karyawan merasa tidak puas maka karyawan akan mempunyai niat pindah.

5. Teori Kepuasan Kerja

Menurut Wibowo (2012) teori kepuasaan kerja mengungkapkan penyebab sebagian orang lebih puas terhadap pekerjaanya daripada pekerjaan lain. Teori ini mencari landasan tentang proses perasaan terhadap kepuasan kerja diantaranya :

a. Two Factor Theory

Teori dua faktor merupakan teori kepuasan kerja yang menganjurkan bahwa satisfaction (kepuasan) dan dissatisfaction (ketidakpuasan)

17 merupakan bagian dari kelompok variabel yang berbeda yaitu motivators

dan hygiene factors.

Pada teori ini, ketidakpuasan dihubungkan dengan kondisi disekitar pekerjaan seperti kondisi kerja, pengupahan, keamananan, kualitas pengawasan dan hubungan dengan orang lain. Karena faktor ini mencegah reaksi negatif, dinamakan sebagai hygiene atau maintenence factors. Sebaliknya, kepuasan ditarik dari faktor yang terkait dengan pekerjaan itu sendiri seperti sifat pekerjaan, prestasi dalam pekerjaan, peluang promosi dan kesempatan untuk pengembangan diri dan pengakuan. Karena faktor ini berkaitan dengan kepuasan kerja tinggi dinamakan motivators.

b. Value Theory

Konsep teori ini kepuasan kerja terjadi pada tingkatan dimana hasil pekerjaan diterima individu seperti diharapkan. Semakin banyak orang menerima hasil akan merasa puas. Semakin sedikit mereka menerima hasil akan kurang puas. Value theory memfokuskan pada hasil mana pun yang menilai orang tanpa memerhatikan siapa mereka. Kunci menuju kepuasan dalam pendekatan ini adalah perbedaan antara aspek pekerjaan yang dimiliki dan diinginkan seseorang. Semakin besar perbedaan, semakin rendah kepuasan orang.

Implikasi teori ini mengundang perhatian pada aspek pekerjaan yang perlu diubah untuk mendapatkan kepuasan kerja. Secara khusus teori ini menganjurkan bahwa aspek tersebut tidak harus sama berlaku untuk semua

18 orang, tetapi mungkin aspek nilai dari pekerjaan tentang orang-orang merasakan adanya pertentangan serius.

Dengan menekankan pada nilai-nilai, teori ini menganjurkan bahwa kepuasan kerja dapat diperoleh dari banyak faktor. Oleh karena itu, cara efektif untuk memuaskan pekerja adalah dengan menemukan apa yang mereka inginkan.

6. Peran Pimpinan dalam Meningkatkan Kepuasan Kerja

Menurut Darsono dan Tjatjuk (2011), manajemen harus membangun kepuasan kerja SDM-nya melalui cara-cara sebagai berikut:

a. Imbalan materiil yang layak untuk hidup, imbalan itu harus dapat memenuhi kebutuhan makan-minum, perumahan, kesehatan, dan pendidikan anak.

b. Memanusiakan SDM, mereka harus dijadikan subyek kerja yang harus ditingkatkan keterampilan dan pengetahuannya.

c. Membangun sikap positif terhadap pekerjaan dan hari depan yang lebih baik.

Dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa menurut Darsono dan Tjatjuk (2011) pimpinan perlu membangun kepuasan kerja karyawan SDMnya yang dilakukan dengan cara imbalan materiil yang dirasakan cukup, memanusiakan SDM, membangun sikap positif terhadap pekerjaan dan hari depan yang lebih baik. Pimpinan mempunyai peran penting dalam meningkatkan kepuasan kerja karyawan karena jika karyawan merasa puas dan

19 nyaman ketika bekerja mereka akan bekerja dengan optimal akan berdampak pada karyawn tidak mempunyai niat pindah kerja.

C. Komitmen Organisasi

1. Definisi Komitmen Organisasi

Menurut Robbins dan Judge dalam Sutanto dan Gunawan (2013) sebagai suatu keadaan karyawan memihak kepada perusahaan tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaannya dalam perusahaan itu. Sedangkan menurut Cheng and Yu (1993) dalam Wang et al. (2012) mendefinisikan komitmen organisasi adalah sikap bangga sebagai anggota organisasi. Ditandai dengan loyalitas dan kemauan untuk mencoba menjadi salah satu yang terbaik dalam organisasi sehingga tercapainya tujuan organisasi.

Menurut Hatmoko (2006) dalam Sidharta & Margaretha (2011), komitmen organisasional adalah loyalitas seorang karyawan terhadap organisasi melalui penerimaan sasaran-sasaran, nilai-nilai organisasi, kesediaan atau kemauan untuk berusaha menjadi bagian dari organisasi, serta keinginan untuk bertahan di dalam organisasi tersebut. Selain itu menurut Sopiah (2008) menyatakan bahwa komitmen organisasi adalah keinginan anggota organisasi untuk tetap mempertahankan keanggotannya dalam organisasi dan bersedia keras bagi pencapaian tujuan organisasi.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, komitmen organisasi adalah keadaan dimana karyawan memiliki rasa loyalitas terhadap perusahaaan

20 terlihat dengan ciri-ciri antara lain karyawan merasa memiliki tujuan yang sama dengan perusahaan, adanya rasa bangga kepada perusahaan tempat bekerja dan mengerahkan segala upaya demi kemajuan perusahaan. Ketika karyawan memutuskan bekerja dalam suatu perusahaan, karyawan memiliki segala harapan agar kebutuhannya dapat terpenuhi oleh perusahaan. Apabila harapan karyawan tidak dapat terpenuhi, maka karyawan akan ada niat untuk pindah kerja ke perusahaan lain.

2. Jenis Komitmen Organisasi

Mayer dan Allen (1990) dalam Sutanto dan Gunawan (2013) mengemukakan tiga jenis komitmen organisasi, antara kain:

a. Affective commitment, terjadi apabila karyawan ingin menjadi bagian

perusahaan karena adanya ikatan emosional. Dengan kata lain, komitmen afektif yang kuat akan mengidentifikasikan karyawan dengan terlibat aktif dan menikmati keanggotaanya dalam perusahaan. Karyawan mengakui adanya kesamaan antara dirinya dan perusahaan, sehingga menunjukkan perhatian secara konsekuen membentuk komitmen yang mengesankan. Selain itu, karyawan tersebut rela untuk melepaskan nilai-nilai pribadinya dan menyesuaikan dengan perusahaan.

b. Continuance commitment, didasarkan pada persepsi karyawan atas

kerugian yang akan diperolehnya jika ia tidak melanjutkan pekerjannya dalam sebuah perusahaan. Dengan kata lain, karyawan tersebut bertahan pada suatu perusahaan karena membutuhkan gaji dan keuntungan-keuntungan lain atau karena belum menemukan pekerjaan lain.

21

c. Normative commitment, timbul dari nilai-nilai diri karyawan yang bertahan

menjadi anggota perusahaan karena ada kesadaran bahwa berkomitmen terhadap perusahaan merupakan keharusan dan kewajiban. Karyawan tersebut hanya bertahan dalam perusahaan karena mereka merasa memang sudah seharusnya melakukan hal tersebut.

3. Faktor Pendukung Komitmen Organisasi

Menurut Neale dan Northcraft (1991) komitmen organisasi dalam diri karyawan dipengaruhi empat faktor utama yaitu:

a. Visibilitas merupakan perilaku yang dapat diamati oleh orang lain. Cara sederhana untuk membuat individu mempunyai komitmen pada organisasi dengan melihat dukungannya kepada organisasi beserta tujuan-tujuannya. Visibilitas harus dikombinasikan dengan ketegasan.

b. Ketegasan berarti individu tidak dapat menyangkal perilaku yang terjadi. Ketegasan perilaku tergantung pada dua faktor dapat diamati dan jelas atau tidak samar-samar. Jika perilaku tidak dapat diamati maka merujuk kepada ketidakjelasan.

c. Keteguhan perilaku yakni perilaku bersifat permanen, tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan.

d. Kemauan pribadi berarti mengikat karyawan pada tindakan yakni tanggung jawab pribadi.

Dapat disimpulkan dari penjabaran menurut Neale dan Northcraft (1991) komitmen organisasi dalam diri karyawan dipengaruhi empat faktor utama yaitu visibilitas, ketegasan, keteguhan perilaku dan kemauan pribadi. Sudah

22 seharusnya karyawan di dalam dirinya perlu menanamkan rasa komitmen tinggi pada perusahaan agar karyawan tidak mempunyai niat pindah kerja. 4. Faktor Penghambat Komitmen Organisasi

Menurut Armstrong (1995) konsep komitmen organisasi terdapat tiga masalah utama yaitu:

a. Adanya penyederhanaan dalam menerapkan menerima konsep komitmen sebagai suatu kerangka berpikir yang sama dan merupakan asumsi yang tidak realistis karena suatu organisasi terdiri dari berbagai kepentingan manusia

b. Komitmen sebagai penghambat fleksibilitas karena karyawan terikat dengan seperangkat nilai dan tujuan sehingga mereka tidak mampu mengatasi kebingungan dan ketidakpastian yang terjadi dalam kehidupan organisasi. Akibatnya kecocokan karyawan dengan nilai yang dipaksakan akan menghambat pemecahan masalah yang bersifat kreatif, resistensi terhadap perubahan dan tingkat stress tinggi

c. Terdapat suatu keyakinan nilai positif dari komitmen bahwa karyawan yang mempunyai komitmen tinggi berhubungan dengan tingkat dan absensi karyawan rendah.

Dapat disimpulkan dari penjabaran menurut Armstrong (1995) konsep komitmen organisasi terdapat tiga masalah utama yaitu adanya penyederhanaan dalam menerapkan menerima konsep komitmen sebagai suatu kerangka berpikir yang sama dan merupakan asumsi yang tidak realistis karena suatu organisasi terdiri dari berbagai kepentingan manusia, komitmen sebagai

23 penghambat fleksibilitas karena karyawan terikat dengan seperangkat nilai dan tujuan sehingga mereka tidak mampu mengatasi kebingungan dan ketidakpastian yang terjadi dalam kehidupan organisasi dan suatu keyakinan nilai positif dari komitmen bahwa karyawan yang mempunyai komitmen tinggi berhubungan dengan tingkat dan absensi karyawan rendah. Sudah seharusnya perusahaan perlu memperhatikan faktor yang menghambat komitmen organisasi karena apabila komitmen organisasi karyawan rendah maka karyawan akan mempunyai niat pindah kerja.

5. Dampak Komitmen Organisasi

Menurut Sopiah (2008) mengemukakan bahwa komitmen karyawan, baik yang tinggi maupun rendah, akan berdampak pada:

a. Karyawan itu sendiri, misalnya terhadap perkembangan karier karyawan itu di organisasi atau perusahaan.

b. Organisasi, karyawan yang berkomitmen tinggi pada organisasi akan menimbulkan kinerja organisasi yang tinggi, tingkat absensi berkurang, loyalitas karyawan dan lain-lain.

6. Peran Pimpinan dalam Meningkatkan Komitmen Organisasi

Dessler dalam Luthans (2006) memberikan pedoman khusus untuk mengimpementasikan sistem manajemen yang mungkin membantu memecahkan masalah dan meningkatkan komitmen organisasi pada diri karyawan:

24 a. Berkomitmen pada nilai utama manusia. Membuat aturan tertulis, mempekerjakan manajer yang baik dan tepat dan mempertahankan komunikasi.

b. Memperjelas dan mengkomunikasikan misi pimpinan. Memperjelas misi dan ideologi, berkharisma, menggunakan praktik perekrutan berdasarkan nilai, menekankan orientasi, membentuk tradisi.

c. Menjamin keadilan organisasi. Memiliki prosedur penyampaian keluhan yang komprehensif, menyediakan komunikasi dua arah yang ekstensif. d. Menciptakan rasa komunitas. Membangun homogenitas berdasarkan nilai,

keadilan, menekankan kerja sama, saling mendukung, kerja tim, berkumpul bersama.

e. Mendukung perkembangan karyawan. Melakukan aktualisasi, memberikan pekerjaan menantang pada tahun pertama, memajukan dan memberdayakan, mempromosikan, menyediakan aktivitas perkembangan, menyediakan keamanan kepada karyawan tanpa jaminan.

Dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa Dessler dalam Luthans (2006) memberikan pedoman khusus untuk mengimpementasikan sistem manajemen yang mungkin membantu memecahkan masalah dan meningkatkan komitmen organisasi pada diri karyawan dengan cara-cara yaitu berkomitmen pada nilai utama manusia, memperjelas dan mengkomunikasikan misi pimpinan, menjamin keadilan organisasi, menciptakan rasa komunitas dan mendukung perkembangan karyawan. Pimpinan perlu meningkatkan rasa komitmen organisasi dalam diri karyawan karena apabila komitmen organisasi

25 karyawan tinggi akan berdampak pada karyawan akan berkontribusi dalam pencapaian tujuan perusahaan sehingga karyawan tidak mempunyai untuk niat pindah kerja.

D. Turnover Intention

1. Definisi Turnover Intention

Menurut Paramarta dan Reny (2014) turnover intention adalah keinginan individu/karyawan untuk keluar atau berhenti bekerja secara sukarela. Selain itu, menurut Tett and Meyer (1993) dalam Waspodo et al. (2013) menyatakan

turnover intention adalah keinginan berpindah mengacu pada keinginan yang

secara sadar dan disengaja meninggalkan organisasi.

Menurut Cotton and Tuttle (1986) dalam Mahdi et al. (2012) mendefinisikan turnover intention adalah niat individu untuk meninggalkan organisasi yang mengacu pada omset/gaji yang diterima. Sedangkan menurut Yulianto (2001) dalam Sidharta & Margaretha (2011), turnover intention merupakan salah satu bentuk perilaku menarik diri dalam dunia kerja, akan tetapi sekaligus juga merupakan hak bagi setiap individu untuk menentukan pilihannya, apakah tetap bekerja atau keluar dari perusahaan tersebut. Namun perilaku seperti itu tidaklah buruk sebab bisa saja seorang karyawan ingin keluar dari perusahaan tempat. Ia bekerja untuk mendapatkan kesempatan yang jauh lebih baik untuk bekerja di tempat lain atau juga dia ingin keluar karena sudah tidak tahan dengan situasi di tempat bekerjanya saat itu.

26 Jadi dari beberapa definisi tersebut disimpulkan bahwa, turnover

intention adalah keinginan karyawan untuk berpindah kerja ke perusahan lain

dikarenakan beberapa faktor penyebab diantaranya mendapatkan penawaran gaji yang lebih baik di perusahaan lain, tidak tahan lagi dengan situasi tempat bekerja dan harapan pekerjaan yang lebih baik.

2. Faktor Pendukung Turnover Intention

Menurut Cushway (1996) hal umum yang mempengaruhi pergantian pegawai antara lain:

a. Upah dan fasilitas, upah dan fasilitas ini harus dianggap adil karena ketidakpuasan dapat tumbuh bila mereka tidak diperlakukan sama dengan rekannya. Demikian juga bila organisasi tidak menggaji sebaik yang ditawarkan pesaing maka lama kelamaan akan kehilangan pegawai.

b. Pengakuan dan prospek, setiap ada kesempatan manajer harus memberikan apresiasi atas pekerjaan yang terselesaikan dengan baik. Pekerja yang efektif sedapat mungkin dipromosikan asalkan mereka dilengkapi dengan keahlian untuk pekerjaan berikutnya tetapi jika promosi tak dapat diberikan paling tidak pujian yang harus disampaikan.

c. Kondisi kerja, kondisi kerja yang buruk akan menyebabkan ketidakpuasan. d. Desain kerja, pekerjaan itu sendiri harus sedapat-dapatnya dirancang untuk

memenuhi kebutuhan individu dan harus memungkinkan adanya variasi minat dan kesempatan untuk belajar dan berkembang jika tidak kekecewaan yang mungkin timbul.

27 e. Hubungan kerja, hubungan kerja yang buruk akan menyebabkan kekecewaan dan mengakibatkan ketidakhadiran serta menambah tingkat perputaran pegawai.

f. Kinerja, jika manusia tidak cukup dan hatinya tidak berada di pekerjaannya maka secara moral mereka akan menderita. Oleh karena itu, karyawan harus diberi petunjuk yang jelas tentang apa yang diharapkan perusahaan dan perlu diberikan juga pelatihan.

g. Perjanjian, jika manusia tidak merasa mempunyai tanggung jawab terhadap organisasi maka karyawan akan mencari kesibukkan sendiri. Tugas manajer adalah menjelaskan tujuan organisasi dan berusaha melakukan tanggung jawabnya atas pekerjaan.

h. Promosi dan seleksi yang buruk, mengangkat seseorang yang tidak siap untuk suatu pekerjaan akan menyebabkan tingginya tingkat perputaran karyawan.

i. Harapan, jika ada penghargaan akan kemajuan di dalam organisasi atau tersedianya imbalan namun kemudian tidak terpenuhi akan muncul ketidakpuasan dan menambah tingkat perputaran karyawan.

j. Supervisi dan manajemen yang tidak efektif.

Dapat disimpulkan bahwa menurut Menurut Cushway (1996) pendukung

turnover yaitu upah dan fasilitas, pengakuan dan prospek, kondisi kerja, desain

kerja, hubungan kerja, kinerja perjanjian, promosi dan seleksi buruk, harapan dan supervise dan manajemen yang tidak efektif. Perusahaan perlu

28 memperhatikan hal-hal yang menyebabkan turnover agar tidak terjadi rasa ketidakpuasan kerja karyawan yang berdampak pada turnover karyawan. 3. Faktor Penghambat Turnover Intention

Menurut Manullang (1994) dalam Sidharta & Margaretha (2011) menggolongkan penyebab-penyebab turnover ke dalam tiga sebab utama yaitu: a. Keinginan perusahaan, karena karyawan merupakan karyawan tidak

potensial.

b. Keinginan pribadi, yaitu keinginan dari karyawan sendiri untuk keluar dari tempat ia bekerja.

c. Penyebab lain, habisnya masa kontrak antara karyawan dengan pihak perusahaan.

Dapat disimpulkan bahwa menurut Manullang (1994) dalam Sidharta & Margaretha (2011) penyebab turnover yaitu keinginan perusahaan, keinginan pribadi dan habisnya masa kontrak antara karyawan dengan pihak perusahaan. Perusahaan perlu memperhatikan hal-hal yang menyebabkan turnover agar dapat mengurangi niat pindah kerja karyawan.

4. Jenis-jenis Turnover Intention

Menurut Robbins (2003) dalam Sidhartha & Margaretha (2011) ada dua jenis turnover berdasarkan fungsinyayaitu:

a. Fungsional

Turnover dikatakan fungsional jika keluarnya karyawan adalah

karyawan yang tidak produktif atau tidak potensial sedangkan perusahaan dalam keadaan sulit ekonomi, sehingga harus melakukan penghematan

29 biaya. Selain itu perusahaan merasa diuntungkan juga jika turnover digunakan sebagai kesempatan promosi bagi karyawan yang lain dalam organisasi yang sama.

b. Disfungsional

Turnover dikatakan disfungsional apabila dengan keluarnya

karyawan tersebut, organisasi justru mengalami kerugian, terutama jika yang keluar adalah karyawan yang potensial Yulianto (2001) dalam Sidharta & Margaretha (2011).

5. Dampak Turnover Intention Bagi Organisasi

Aamodt (2004) mengemukakan bahwa dampak dari turnover akan terbagi dua yaitu dampak yang tampak dan dampak yang tidak tampak. Dampak yang tampak dari turnover diantaranya biaya iklan, biaya agensi karyawan, insentif, biaya perjalanan penerimaan, gaji dan biaya yang dikeluarkan selama proses aplikasi dan wawancara kandidat, serta biaya penempatan dari bagi karyawan baru.

Dampak yang tidak tampak termasuk hilangnya produktivitas berhubungan dengan pindah karyawan, karyawan lain harus melakukan pekerjaan yang lebih banyak, tidak ada produktivitas pada masa lowong, merendahnya produktivitas berkaitan dengan karyawan yang baru mendapat pelatihan. Sebagai tambahan pada dampak yang tidak terlihat termasuk waktu kerja yang melebihi seharusnya pada karyawan yang menggantikan posisi yang lowong dan biaya pelatihan ketika karyawan pengganti telah diterima.

Dokumen terkait