TENTANG PRINSIP-PRINSIP MANAJEMEN ZAKAT, INFAQ, DAN SHADAQAH
C. Manajemen Zakat, Infaq, dan Shadaqah
“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya do’amu itu
66 Ali, Sistem Ekonomi, h. 65-66.
(menumbuhkan) ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”(QS. At-Taubah 9: 103)67
Ayat di atas menjelaskan tentang pentingnya pengelolaan atau manajemen dalam urusan zakat. Selain itu, ayat di atas juga menjelaskan bahwa zakat itu dipungut dari para muzakki untuk kemudian disalurkan kepada mereka yang berhak menerimanya. Manajemen dalam Islam telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. ketika mengutus para sahabat ke daerah-daerah yang memerlukan seorang manajer atau pengelola terhadap suatu urusan khususnya dalam bidang zakat. Sebagai dasar, berikut ini hadits yang menjelaskan mengenai kewajiban zakat dan penggunaan fungsi manajemen yang dilakukan oleh Rasulullah saw. kepada para sahabat sebagai berikut:
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Muadz r.a. berkata:
Rasulullah mengutusku seraya mengatakan, ‘Kamu akan mendatangi orang-orang Ahli Kitab. Maka ajaklah mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka taat pada ajakan itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam.
Jika mereka mematuhi itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat yang dipungut dari mereka yang kaya, lalu dikembalikan kepada mereka yang fakir. Jika mereka mematuhi itu, maka berhati-hatilah kamu terhadap harta mereka yang bernilai, dan takutlah terhadap doa orang yang dizalimi, karena tidak ada penghalang antara doanya dengan Allah Azza wa Jalla.” (Muslim 1/ 37-38)68
67 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 273
68 Al-Albani, Ringkasan Shahih, h. 243.
Pemberian perintah Nabi Muhammad saw. kepada sahabatnya merupakan contoh manajemen yang menerapkan fungsi pengorganisasian.
Rasulullah saw. memerintahkan kepada sahabat Muadz r.a. untuk pergi menemui Ahli Kitab dan mengajak pada Islam. Kemudian tak hanya itu, dari hadits di atas kita dapat pahami mengenai tingkatan perintah dan pemberian perintah secara persuasif. Jika perintah yang disampaikan oleh seorang pemimpin pada bawahannya dilakukan secara halus dan dengan pendekatan secara personal, maka para bawahan yang mendengarkan perintah diharapkan secara sukarela menerima perintah dan melaksanakannya. Dengan demikian, Islam memandang manajemen sebagai suatu ilmu yang harus diterapkan dalam semua bidang kehidupan, dalam hal ini khususnya tentang zakat, agar setiap tujuan yang hendak dicapai dapat terwujud dengan lancar dan sesuai dengan apa yang diharapkan.
Sebagaimana telah dibahas dalam sub-bab terdahulu, bahwa pembahasan mengenai manajemen itu bersifat relatif dan tidak baku, serta memiliki cakupan yang cukup luas. Demikian halnya dengan pengertian manajemen zakat, infaq, dan shadaqah atau lebih dikenal dengan istilah manajemen zakat. Istilah manajemen zakat muncul belum lama di Indonesia, mengingat penggabungan istilah manajemen dan zakat ini memiliki kesamaan kata dengan pengelolaan dan penggunaan istilah manajemen zakat pun lebih dikenal di kalangan praktisi dan akademisi yang fokus dalam bidang zakat. Hal itu menjadi faktor relatifnya teori yang dipakai dalam pembahasan manajemen zakat ini.
Sebagaimana termuat dalam Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2011, pengelolaan zakat diatur atau dikelola dalam dua model, yaitu: pertama zakat
dikelola oleh pemerintah; dan kedua zakat dikelola oleh lembaga yang dibentuk oleh masyarakat69. Untuk model yang pertama, pemerintah memiliki wewenang dalam mengatur berbagai ketentuan menganai pengelolaan zakat.
Tetapi dalam pelaksanaannya, pemerintah lebih memosisikan diri sebagai regulator dan fasilitator dalam rangka memastikan bahwa pengelolaan zakat dilakukan dengan baik dan diperuntukkan demi kemaslahatan umat. Sementara untuk model kedua, masyarakat memiliki wewenang yang besar untuk mengelola zakat, akan tetapi ia diharuskan berkoordinasi, melaporkan, dan siap dibina oleh pemerintah. Penerapan kedua model pengelolaan tersebut untuk mewujudkan tata kelola zakat yang ideal. Negara merupakan regulator dan fasilitator, tetapi pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga yang diberi kewenangan secara mandiri. Hal ini menunjukkan bahwa antara negara dan masyarakat tidak dapat berdiri sendiri-sendiri dalam proses pengelolaan zakat, karena keduanya menyadari adanya tujuan penting dari pengelolaan zakat itu yaitu sebagai sebagai pemberdaya umat.
Menurut Undang-Undang RI tentang pengelolaan zakat, Badan Amil Zakat Nasional atau BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional, dan menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:
1. Perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
2. Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
3. Pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
4. Pelaporan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.70
69 Kementerian Agama RI, Standarisasi Amil Zakat di Indonesia (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2012), h. 43.
70 Mardani, Hukum Islam, h. 98.
Dalam melaksanakan fungsinya sebagai pengelola zakat, BAZNAS dapat bekerja sama dengan pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAZNAS melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden melalui Menteri dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia peling sedikit 1 kali dalam 1 tahun. Pembentukan BAZNAS sendiri dinilai sebagai sebuah keniscayaan mengingat pentingnya sektor zakat yang menjadi area kerjanya. Pengelolaan zakat bukanlah perkara yang mudah mengingat bangsa Indonesia sendiri, terutama yang muslim belum sepenuhnya menyadari letak urgensi zakat dan pendayagunaannya.
Dalam upaya meningkatkan kualitas pengelolaan zakat agar dapat diberdayakan secara optimal, maka perlu manajemen yang profesional dalam pelaksanaannya, berikut ini beberapa fungsi manajemen zakat yang dapat menjadi acuan bagi pengelola zakat di Indonesia:
1. Perencanaan
Dalam mengelola zakat, petugas yang tergabung dalam LAZ maupun BAZ memiliki prosedur yang sudah ditetapkan oleh Kementerian Agama RI.
Dalam perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan dana zakat, para Amil perlu memperhatikan beberapa hal berikut ini:
a. Pengumpulan
Pengumpulan zakat dilakukan oleh Badan Amil Zakat dengan cara menerima atau mengambil dari Muzakki atas dasar pemberitahuan Muzakki.
b. Pendistribusian
Setiap Badan Amil Zakat setelah mengumpulkan zakat, dana zakat yang telah dikumpulkan wajib disalurkan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
c. Pendayagunaan
Pendayagunaan zakat diperuntukkan kebutuhan konsumtif dan produktif. 71
Proses perencanaan dalam pengumpulan zakat dalam konteks masa kini lebih banyak mengikuti konsep fundraising, yaitu suatu kegiatan yang memiliki tujuan penggalangan dana untuk tujuan tertentu. Fundraising zakat berarti upaya mengumpulkan zakat dari perorangan atau badan usaha untuk mencapai tujuan zakat.72 Sumber utama fundraising zakat adalah muzakki atau wajib zakat. Maka mengingat proses fundraising zakat merupakan hal yang mendasar bagi upaya pengelolaan zakat, pihak-pihak yang telah diberi wewenang untuk mengelola zakat harus mampu meyakinkan masyarakat muslim mengenai pentingnya zakat. Oleh sebab itu, para pengurus BAZNAS atau LAZ memiliki kapasitas untuk melakukan hal-hal seperti tergambar dalam bagan berikut:
71 Kementerian Agama RI, Standar Operasional Prosedur Lembaga Pengelolaan Zakat, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2012), h. 56.
72 Kementerian Agama RI, Standarisasi Amil, h. 48.
Gambar 2.6: Skema Proses Fundraising
Adapun perencanaan mengenai distribusi dana zakat dilakukan setelah potensi zakat terkumpul. Pengelola zakat melakukan pembagian zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Permasalahan yang kerap terjadi di masyarakat ialah pendistribusian zakat dilakukan secara langsung oleh pihak pengelola kepada mustahik. Di banyak pedesaan di Indonesia, tidak sedikit yang membagikan zakat harta secara langsung, baik yang dikirim melalui amplop maupun dengan cara mengumpulkan mustahik pada suatu tempat tertentu. Fenomena yang cukup memprihatinkan adalah, muzakki membagikan zakat hartanya dengan cara membagikan kupon, lalu mustahik berkumpul di depan rumahnya dan saling berebut zakat yang dibagikan.73 Penyaluran seperti itu justru menimbulkan banyak korban dan bahkan dapat menghabiskan biaya perawatan yang lebih besar daripada jumlah zakat yang diterima.
73 Kementerian Agama RI, Standarisasi Amil, h. 51.
SKEMA PROSES FUNDRAISING
FUNDRAISING
Memengaruhi Memberitahukan
Mengingatkan Membujuk, merayu
Mendorong Kesadaran, motovasi, kepedulian
Pendistribusian dengan cara seperti itu dinilai oleh banyak kalangan sebagai pendistribusian secara konsumtif, yaitu dana zakat yang diberikan segera habis setelah digunakan. Kenyataan seperti itu menggugah para ulama untuk merumuskan suatu skema pendistribusian zakat secara produktif agar mustahik memperoleh manfaat pendayagunaan zakat yang lebih besar.
2. Pengorganisasian
Setelah perencanaan mengenai proses fundraising dan empowering zakat selesai dibuat, tahap selanjutnya berkenaan dengan manajemen zakat ialah pengorganisasian. Sebagaimana dikutip dari pendapat Erie Sudewo dalam bukunya, bahwa ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam pengorganisasian zakat, di antaranya: 1) Pemeliharaan aset umat; 2) Koordinasi dan Wewenang; 3) Perencanaan Personalia, dan 4) Penyusunan Personalia74.
Menurut Erie, asset yang dimiliki umat sekarang ini sangat potensial bagi kesejahteraan dan keberhasilan ekonomi umat. Seperti BPRS, BRR, atau lembaga keuangan lain yang menerapkan prinsip syariah dalam pengelolaannya. Dalam masalah pengorganisasian, dalam sebuah lembaga khususnya yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan atau sejenisnya, perlu diperhatikan kriteria dalam memilih anggota atau karyawan seperti: 1) Memiliki akhlak islami; 2) Jujur dalam berbuat dan bertutur; 3) Dapat dipercaya; 4) Memiliki tanggung jawab yang tinggi, dan 5) Mampu bekerja dalam tim. Kriteria tersebut memang sangat relatif dan
74 Erie Sudewo, Manajemen ZIS: Profesionallah agar Tak Terus Terbetot di Kubangan Tradisi, Potensi, dan Wacana (Ciputat: IMZ, 2012), h. 199.
umumnya sangat sulit mencari orang-orang seperti yang terdapat dalam kriteria tersebut.
Setelah memiliki karyawan yang sesuai dengan kriteria, perhatian selanjutnya ditujukan pada aspek koordinasi dan wewenang. Koordinasi merupakan upaya penyatuan sikap dan langkah. Sama seperti di lembaga mana pun, di organisasi zakat juga terhimpun sejumlah orang dengan membawa kepentingan masing-masing. Erie berpendapat, bahwa menyamakan kepentingan di perusahaan yang telah jadi giant holding, ternyata jauh lebih mudah. Padahal perusahaan seperti ini telah berkembang begitu rumit dengan sekian ratus anak perusahaan yang menjelajah ke seluruh dunia. Setidaknya ada dua hal yang mendorong solidnya penyatuan kepentingan perusahaan. Pertama, sebesar apa pun perusahaan, pasti jelas pemilikmya. Jika tak suka dengan pemilik perusahaan, atau kepentingannya tak terakomodir dalam kebijakan perusahaan, karyawan hanya tinggal memilih untuk ikuti kebijakan atau keluar dari perusahaan. Kedua, tujuan perusahaan ialah mencari profit atau keuntungan.75
Berbeda dengan lembaga zakat, sekecil apa pun lembaga zakat, ternyata menyamakan kepentingan jauh lebih sukar. Ada dua hal pula penyebabnya. Pertama, tak ada pemilik lembaga. Yang ada hanyalah pendiri, meski seorang diri mendirikan lembaga zakat, tetap dia bukan pemilik.
Masalahnya jadi bertambah karena seorang pendiri seolah identik dengan pemilik. Pendiri yang esensinya bukan seorang pemilik, biaskan kepemilikan. Anggota atau amil yang paham hakikat ini terangsang untuk
75 Sudewo, Manajemen ZIS, h. 211.
memanfaatkan. Bagi mereka yang pandai, maka akan segera tebar pengaruh.
Bagi anggota yang merasa memiliki kelompok tertentu pun juga tak akan tinggal diam. Semua kepentingan bercampur dalam satu lembaga, yang akhirnya lembaga terjebak dalam masalah kepentingan perorangan.
Penyebab kedua berpangkal pada tujuan lembaga zakat. Seperti lemabag nirlaba lain, tujuan lembaga zakat adalah menebar benefit.
Peran koordinasi sesungguhnya juga pengawasan harus melekat sedini mungkin. Koordinasi dapat terlaksana dengan baik bila memperhatikan beberapa faktor di antaranya: 1) Pimpinan; 2) Sumber Daya Manusia, dan 3) Sistem. Organisasi zakat sangat ditentukan sikap dari seorang pemimpin.
Apa yang dikatakan pimpinan, jadi perintah yang harus dikerjakan. Baik atau buruknya koordinasi ditentukan pula oleh kompetensi dan karakter Sumber Daya Manusia. Sosok lembaga zakat itu tercermin dari seorang amil. Tingkat kesadaran seorang amil yang tinggi, menjadi potensi yang baik bagi berjalannya koordinasi. Setiap masalah yang ada diselesaikan melalui mekanisme dan koordinasi. Tak hanya itu, lembaga zakat perlu memiliki sistem yang baik. Membangun sistem lembaga zakat memang perlu beberapa hal seperti: adanya kesadaran dari semua pihak untuk menata sistem organisasi; harus ada konsistensi untuk membenahi kekurangan lembaga; dibutuhkan waktu yang cukup; perbaikan harus dilakukan terus menerus, dan mengakui sistem itu sebagai prosedur yang harus ditaati oleh semua orang.
Sebagaimana kita ketahui dan telah dibahas pada sub-bab terdahulu, bahwa di Indonesia ini terdapat standarisasi bagi amil zakat. Pada dasarnya,
ada empat bidang kerja dalam lembaga pengelola zakat yang seharusnya memiliki standard operating procedure, yaitu manajemen penghimpunan dana, manajemen keuangan, dan back office, manajemen sumberdaya manusia, serta manajemen pendayagunaan atau pendistribusian dana zakat.76 Dengan adanya standard performance management system, maka fungsi-fungsi manajemen zakat pada sebuah lembaga amil diharapkan dapat berjalan sesuai perencanaan dan terkendali. Standarisasi pengelolaan zakat menjadi masalah prioritas yang mesti diselesaikan. Sudah seharusnya dana zakat dikelola dengan sistem kerja yang profesional dengan pendekatan manajemen organisasi modern, namun kaidah dan aturan hukum syariah tidak boleh ditinggalkan, agar keduanya saling bersinergi dan menjadi satu hal yang bermanfaat dalam kehidupan manusia di dunia dan di akhirat.
3. Pelaksanaan
Lembaga Amil Zakat (LAZ) adalah institusi pengelolaan zakat yang sepenuhnya dibentuk atas prakarsa masyarakat dan dikelola oleh masyarakat sendiri. Pemerintah berfungsi sebagai regulator dan koordinator. Maka dari itu pemerintah di sini berperan sebagai Pembina, pelindung, dan pengawas Lemaga Amil Zakat. Adapun sesuai standar pengelolaan amil zakat, Lembaga Amil Zakat terbagi menjadi dua tingkat, yaitu:
a. Lembaga Amil Zakat Tingkat Pusat
Lembaga Amil Zakat tingkat pusat dibentuk oleh Lembaga Dakwah atau organisasi masyarakat yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan sosial, dan kemaslahatan umat yang telah memiliki jaringan di sepertiga
76 Kementerian Agama RI, Standar Operasional, h. 50.
jumlah provinsi di Indonesia. Adapun syarat agar LAZ dapat dihukumkan menjadi Lembaga Amil Zakat tingkat pusat ialah sebagai berikut:
1) Berbadan hukum;
2) Memiliki data muzakki dan mustahiq;
3) Telah beroperasi minimal 2 tahun;
4) Memiliki laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik selama 2 tahun terakhir;
5) Memiliki wilayah operasi secara nasional minimal 1 Provinsi;
6) Telah mampu mengumpulkan dana sebesar Rp1.000.000.000,- (Satu Miliyar Rupiah) dalam satu tahun;
7) Bersedia disurvey oleh tim yang dibentuk oleh Kementrian Agama dan bersedia diaudit oleh akuntan publik, dan
8) Dalam melaksanakan kegiatan, bersedia berkoordinasi dengan Badan Amil Zakat Nasional dan Kementrian Agama. 77
b. Lembaga Amil Zakat Tingkat Provinsi
Adapun Lembaga Amil Zakat tingkat provinsi dibentuk oleh organisasi Islam atau Lembaga Dakwah yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan, dan kemaslahatan umat yang telah memiliki jaringan di sepertiga jumlah kabupaten di provinsi yang bersangkutan. Untuk dapat dikukuhlan menjadi lembaga amil zakat tingkat provinsi, setiap LAZ harus memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai berikut:
1) Berbadan hukum;
2) Memiliki data muzakki dan mustahiq;
3) Telah beroperasi minimal 2 tahun;
4) Memiliki laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik selama 2 tahun terakhir;
5) Memiliki wilayah operasi secara nasional minimal 40% dari jumlah kabupaten di provinsi tempat lembaga berada;
6) Mendapat rekomendasi dari kantor wilayah Kementrian Agama Provinsi setempat;
7) Telah mampu mengumpulkan dana sebesar Rp500.000.000,- dalam satu tahun;
8) Bersedia disurvey oleh tim yang dibentuk oleh kantor wilayah Kementrian Agama Provinsi setempat dan bersedia diaudit oleh akuntan publik, dan
77 Kementerian Agama RI, Standar Operasional, h. 58.
9) Dalam melaksanakan kegiatan, bersedia berkoordinasi dengan Badan Amil Zakat Daerah dan kantor Wilayah Kementrian Agama provinsi setempat.78
Dalam pelaksanaannya, pengelola zakat harus selalu menerapkan prinsip-prinsip dalam melakukan kegiatan manajemen zakat. Sebagaimana dikutip dari buku yang diterbitkan oleh Kementrian Agama RI tentang Standarisasi Amil Zakat di Indonesia sebagai berikut:
a. Syariat Islam
“Pengelolaan zakat harus berdasarkan syariat Islam. Konsep dan mekanisme yang dipakai tidak boleh keluar dari syariat Islam.
Dalam berbagai literatur hukum Islam yang menguraikan tentang zakat, zakat merupakan suatu kewajiban yang harus ditunaikan dan didistribusikan kepada sekelompok masyarakat yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an. Kemudian hadits Nabi Saw. banyak menjelaskan tentang hal-hal yang bersifat detail dari jenis, masa-waktu, jumlah (kadar), serta siapa yang boleh dan tidak boleh menerima dan memberi. Syariat Islam telah memberikan batasan-batasan yang cukup jelas mengenai hal ihwal zakat”. 79
b. Amanah
“Pengelola dan pengelolaan zakat harus dapat dipercaya. Asas ini merupakan salah satu faktor yang mendasar bagi pengelolaan zakat.
Belum maksimalnya pengelolaan zakat secara terlembaga disebabkan oleh belum tumbuhnya tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi kepada lembaga-lembaga pengelola zakat sehingga para muzakki lebih suka mendistribusikan zakatnya secara langsung kepada mustahik.” 80
c. Kemanfaatan
“Asas kemanfaatan maksudnya adalah bahwa pengelolaan zakat dilakukan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi mustahik. Pengelolaan zakat tidak boleh dilakukan hanya untuk meraih kemanfaatan pihak pengelola semata. Manfaat yang paling konkret dan terukur adalah bilamana zakat dapat secara efektif
78 Kementerian Agama RI, Standar Operasional, h. 60.
79 Kementerian Agama RI, Standarisasi Amil, h. 74.
80 Kementerian Agama RI, Standarisasi Amil, h. 74.
meningkatkan pendapatan ekonomi mustahik agar terbebas dari belitan kemiskinan”. 81
d. Keadilan
“Asas keadilan artinya ialah pendistribusian zakat harus dilakukan secara adil. Apa yang dimaksud adil di sini tidak hanya mencakup skala prioritas berdasarkan proporsinya, melainkan juga kemampuan untuk merumuskan kebutuhan para mustahik secara faktual”.
e. Kepastian Hukum
“Dalam pengelolaan zakat terdapat jaminan kepastian hukum bagi mustahik dan muzakki. Kepastian hukum bagi mustahik berdasarkan undang-undang dan peraturan hukum lainnya akan menjamin dan melindungi hak mereka mendapatkan zakat.
Sementara bagi muzakki, terwujudnya ketentraman batin atas kepastian jaminan keabsahan zakat yang telah ditunaikan. Zakat tersebut dapat digunakannya untuk mengurangi besar beban pajak yang harus ditanggungnya. Sedang bagi amil zakat, dengan asas kepastian hukum, pengelola zakat itu akan memperoleh legalitas dan jaminan perlindungan hukum yang semestinya”.
f. Terintegrasi
“Pengelolaan zakat dilaksanakan secara hierarki dalam upaya meningkatkan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Hierarki pengelolaan zakat secara kelembagaan melibatkan lembaga pengelola zakat yang dibentuk secara legal oleh pemerintah dengan tetap memerhatikan regulasi dan pelaksanaan yang koordinatif satu sama lain”.
g. Akuntabilitas
“Artinya, pengelolaan zakat dapat dipertanggungjawabkan dan diakses oleh masyarakat. Asas ini sangat penting dan dapat mendorong tingkat kepercayaan masyarakat kepada lembaga pengelola zakat. Akuntabilitas mengandung kewajiban-kewajiban dari pihak-pihak tertentu untuk melaksanakan tanggungjawab yang telah dipercayakan kepadanya di mana hasil dari kepercayaan itu dapat diperlihatkan kepada publik untuk dinilai secara terbuka”. 82
81 Kementerian Agama RI, Standarisasi Amil, h. 75.
82 Kementerian Agama RI, Standarisasi Amil, h. 76.
Prinsip-prinsip di atas merupakan amanat Undang-Undang dan harus ditaati oleh siapapun yang bergerak dalam bidang pengelolaan zakat di Indonesia. Sebagai asas, ia memiliki prinsip kewajiban dan kriteria yang harus dipenuhi. Artinya tanpa asas-asas tersebut, penyelenggaraan pengelolaan zakat tidak dapat dilaksanakan.
Sebagaimana telah disinggung pada pembahasan sebelumnya, bahwa pelaksanaan manajemen zakat meliputi tiga hal utama, yaitu: manajemen pengumpulan dana zakat, manajemen pendistribusian zakat, dan manajemen pendayagunaan zakat. Manajemen pengumpulan dana zakat atau sekarang ini lebih dikenal dengan istilah fundraising zakat, perlu perhatian lebih dari pihak pengelola zakat akan pentingnya pendataan dan pemetaan secara serius mengenai masyarakat Indonesia, agar potensi zakat di Indonesia dapat memperoleh target yang maksimal dan pencapaian yang tinggi.
Adapun pendistribusian zakat yang terjadi di Indonesia ini, diharapkan dapat merubah mustahik menjadi muzakki. Artinya, pendistribusian yang dilakukan harus memperhatikan aspek-aspek konsumtif dan produktif.
Merujuk pada mekanisme pendistribusian zakat yang diisyaratkan oleh ajaran Islam mengenai zakat, pendistribusian zakat itu dilakukan dengan beberapa ketentuan, di antaranya sebagaimana dikutip dari buku Standarisasi Amil Zakat di Indonesia:
a. Mengutamakan distribusi domestik, yaitu distribusi zakat kepada masyarakat setempat (lokal) sebelum ke wilayah lain.
b. Pendistribusian secara merata dengan ketentuan:
1) Didistribusikan kepada seluruh golongan yang berhak menerima zakat jika hasil pengumpulan zakat mencapai jumlah yang melimpah.
2) Pendistribusiannya menyeluruh kepada delapan golongan yang telah ditetapkan.
3) Apabila didapati hanya terdapat beberapa golongan penerima zakat yang membutuhkan penanganan secara khusus, diperbolehkan untuk memberikan semua bagian zakat kepada beberapa golongan tersebut.
4) Menjadikan golongan fakir miskin sebagai golongan pertama yang menerima zakat.
c. Membangun kepercayaan antara pemberi dan penerima zakat.
Zakat harus bisa diberikan setelah adanya keyakinan dan juga kepercayaan bahwa di penerima adalah orang yang berhak dengan cara mengetahui atau menanyakan hal tersebut kepada orang-orang adil yang tinggal di lingkungannya, ataupun yang mengetahui keadaan penerima zakat yang sebenarnya. 83
Pendistribusian zakat yang bersifat produktif perlu diimbangi dengan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahik. Bila pembinaan atau pendampingan tidak dilakukan dengan optimal dan berkesinambungan, dikhawatirkan para mustahik tidak akan bertahan dengan program zakat produktif yang direncanakan. Pendistribusian zakat secara produktif perlu dilakukan dengan tahap-tahap yang tepat agar dapat mencapai tujuan dan sasaran secara efektif. Dikutip dari pendapat Zainur Rahman oleh penulis dari Kementrian Agama RI bahwa terdapat beberapa langkah pendistribusian zakat secara produktif, yang digambarkan pada skema berikut84:
Gambar 2.7: Skema Distribusi Zakat Pengawasan
83 Kementerian Agama RI, Standarisasi Amil, h. 81.
84 Kementerian Agama RI, Standarisasi Amil, h. 85.
Fungsi yang juga penting dalam manajemen zakat ialah pengawasan.
Fungsi yang juga penting dalam manajemen zakat ialah pengawasan.